Keturunan Arab Hadrami sudah lama telah menetap di Hindia Belanda sejak
Abad ke-13 Masehi. Diaspora Keturunan Arab Hadrami dilakukan sampai Abad
ke-19 sebagai diaspora terakhir kaum Hadrami ke Indonesia. Namun, lamakelamaan mereka sering menetap di wilayah Sriwijaya karena dana terbatas, dan
Komunitas Arab Hadrami (Hadramaut) menjadi kelompok pertama yang berhenti
dan menetap di Indonesia. Bukan hal yang aneh bagi Komunitas Arab Hadrami
untuk akhirnya berbaur dengan orang Indonesia asli dan membentuk kelompok
komunitas baru, ‘Arab Peranakan’. Sedangkan kelompok masyarakat Hadrami
lainnya yang memelihara keturunan mereka membentuk kelompok 'Arab Totok
atau Sayyid Arab'.
Jauh sebelum abad ke-15 alias Age of Discovery, orang-orang Hadrami
mulai menyebar ke pantai-pantai Asia, termasuk Nusantara. Menurut Syed Farid
Alatas dalam uraiannya, Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora: Problems in
Theoretical History, proses Islamisasi pelbagai wilayah di pesisir Samudra Hindia
tidak lepas dari peran migrasi komunitas asal Hadramaut. Para ulama Alawiyin
membagi perkembangan sejarah mereka ke dalam empat tahap.
Pertama, masa sejak abad ke-9 hingga ke-13. Kala itu, Ahmad bin Isa dan
kemudian cucunya, Alwi bin Ubaidillah, memimpin masyarakat Hadramaut.
Kaum Alawiyin masih belum mengikuti tarekat sufi tertentu dan tidak bermazhab
Imam Syafii, sekalipun kerap mengeluarkan fatwa yang sejalan dengan aliran fiqih
tersebut. Kedua, era sejak abad ke-13 hingga ke-17. Pada masa ini, komunitas
Alawiyin mulai mengembangkan tarekat al-Alawiyyah. Ciri-cirinya lebih longgar,
tidak “menjauhi kerumunan” bila dibandingkan tarekat-tarekat lainnya. Itulah
satu-satunya tarekat yang di dalamnya persoalan keturunan (nasab) menjadi
identitas penting. Pengadopsian jalan sufi itu dirintis sejak Ustaz al-Adhham
Muhammad al-Faqih memperoleh ijazah al-khirqa dari Syekh Abu Madyan Syuaib
bin al-Husain. Al-Faqih merupakan muqaddam dari generasi ke-13 keturunan Ali
bin Abi Thalib. Ketiga, terjadi sejak akhir abad ke-17 hingga ke-20. Pada masa
inilah sebutan Habib mulai tenar. Masyarakat tempatan mengucapkan gelar itu
untuk merujuk pada alim ulama panutan dari Alawiyin. Dalam periode tersebut
terjadi gelombang perpindahan komunitas Hadramaut ke India dan Asia Tenggara.
Keempat, merupakan era kontemporer atau pasca-kolonial.
Periodisasi tersebut lebih dikerucutkan lagi oleh Ketua Umum Rabithah
Alawiyah, Habib Zein Umar bin Smith. Organisasi tersebut bertujuan antara lain
mendata keturunan Rasulullah Di Indonesia. Dalam konteks Islamisasi Indonesia,
arus kedatangan kaum Alawiyin dapat dikelompokkan menjadi dua gelombang,
yakni periode sejak abad ke-13 dan sejak abad ke-19. Bedanya, gelombang
pertama itu berlabuh di India untuk kemudian berkembang hingga ke Campa
(Indocina) dan kepulauan Nusantara.
Adapun gelombang kedua terjadi setelah arus migrasi orang-orang Hadrami
sempat terputus beberapa abad lamanya. Di era modern tersebut, lantaran
perkembangan teknologi pula, gelombang kedatangan kaum Alawiyin kembali
berlangsung. Kali ini, kehadiran mereka tidak transit ke India terlebih dahulu,
tetapi langsung dari Arab Selatan ke pulau-pulau besar di Indonesia. Pada
akhirnya, jelas Habib Zein, generasi itulah yang ikut menyokong pergerakan
nasional menuju Indonesia Merdeka. Banyak pula tokoh sayyid yang namanya
harum dikenang sebagai pejuang-pejuang bangsa.
Nasab Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia
Sayyidatuna Fathimah dikaruniai dua orang putra yang hidup hingga dewasa
yaitu: Sayyidina Hasan dan Saayidina Husein, dari kedua cucu Nabi ini lahir para
anak cucu Rasulullah yang hingga kini kita kenali dengan sebutan syarif, syarifah,
sayyid, dan habib. Keturunan dari Sayyidina Hasan, yaitu sering disebut dengan
al-Hasni hanya ada sedikit saja di Indonesia. Adapun Sayyidina Husein wafat di
Karbala, beliau mempunyai enam orang anak laki-laki dan tiga wanita, yaitu Ali
Akbar, Ali Awsat, Ali Ashghar, Abdullah, Muhammad, Jakfar, Zainab, Sakinah,
dan Fathimah. Putra Sayyidina Husein keseluruhannya wafat terkecuali Al Awsat
atau yang biasa dikenal dengan nama Imam Ali Zainal ‘Abidin. Ali Zainal ‘Abidin
mempunyai putra bernama Muhammad Al-Baqir, dan mempunyai anak bernama
Ja’far Ash-Shadiq yang menjadi guru daripada Imam Hanafi. Kemudian Imam
Hanafi ini memiliki murid Imam Maliki, lalu imam Maliki memiliki murid Imam
Syafi’i dan Imam Syafi’i bermuridkan Imam Ahmad bin Hambali.
Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq dilahirkan pada tahun 80 H riwayat lain
menyebutkan 83 H, meninggal di kota Madinah pada tahun 148 H dan
dimakamkan di pekuburan Baqi. Keturunannya yaitu Ali Uraidi yang memiliki
putra bernama Muhammad An-Nagieb memiliki putra Isa Arumi dan memiliki
putra Ahmad Al Muhajir. Ahmad bin Isa Al-Muhajir punya dua orang putra yaitu
Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut
Yaman dan mendapat tiga putra yaitu Alwi, Jadid, dan Ismail (Bashriy). Keturunan
mereka punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka
menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal
masyarakat dengan sebutan “Kaum Sayyid Alawiyin”.
Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan karena kekuasaan diktator
khalifah Bani Abbas yang secara turun-menurun terus memimpin umat Islam,
mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Akibat dari kepemimpinan
yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat
pemerintahan lalu hijrah dan menetap di Hadramaut, Yaman. Penduduk Yaman
khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari qabilah Qahthan, yang
awalnya bodoh dan sesat, berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas
syariat Islam yang sebenarnya. Al-Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil
menundukkan masyarakat Hadramaut yang memiliki faham khawarijme dengan
akhlak dan pemahaman yang baik. Para sayyid Alawiyin menyebarkan dakwah
Islamnya di Asia Tenggara melalui dua jalan, pertama hijrah ke India kemudian
pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke
wilayah Asia Tenggara melalui pesisir India.
Di antara yang hijrah ke India adalah syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke
Kota Kanur dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya
sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di
Kota Surat dan Ahmedabad. Dia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin
Abdullah Al-Aydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi dengan gelar
‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal-muasal keturunan penyebar Islam di
Indonesia khususnya di Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo.
Kemudian dari India, mereka melanjutkan dakwahnya ke Indonesia, yaitu
melalui daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan Provinsi
Aceh. Menurut Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunanketurunan Hasan dan Husain itu datang ke Indonesia, tanah air kita ini. Sejak dari
semenanjung Tanah Melayu lalu kepulauan Indonesia dan Filipina. Memang harus
diakui banyak jasa-jasa dari mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara
ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Islam di Banten dan Cirebon adalah
Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat
sebagai penyebar Islam di Mindanau dan Sulu.
Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam,
pernah bangsa Sayyid dari keluarga Jamalullail menjadi raja di Aceh. Negeri
Pontianak pernah diperintah oleh bangsa Sayyid al-Gadri. Siak diperintah oleh
keluarga dari bangsa Sayyid bin Shahab. Perlis (Malaysia) didominasi dan dirajai
oleh bangsa dari Sayyid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia, Sayyid
Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga. Tuanku Haji Bujang ialah
berasal dari keluarga Al-Aydrus.
Kedudukan para sayyid di negeri ini yang turun-temurun menyebabkan
mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan dari
mereka menjadi ulama dan ada juga yang berdagang. Mereka datang dari
Hadramaut dari keturunan Imam Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam.
12
Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal dari mereka
ialah dari keluarga As-Segaf, Al-Kaff, Al-Athas, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi,
Bafaqih, Al-Aydrus, Al-Haddad, Bin Smith, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, AlJufri, Bin Syahab, Al-Qadri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, AlZahir, Basyaiban, Ba’abud, Bin Yahya, dan lain-lain.
Orang-orang dari Arab khususnya Hadramaut mulai datang secara massal
ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir di abad 18, sedangkan kedatangan mereka
di pantai Malabar jauh lebih awal. Pemberhentian mereka yang pertama adalah di
Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orangorang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820 Masehi, dan qabilahqabilah mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada kisaran tahun 1870
Masehi. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 Masehi dan
kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan
kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsabangsa Arab. Semenjak pembangunan pelayaran kapal uap di antara Singapura dan
Arab, Aceh sudah menjadi tidak penting lagi.
Di pulau Jawa terdapat enam qabilah besar Arab, yaitu di Batavia yang
sekarang dikenal dengan nama Jakarta, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Tegal,
dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep. Qabilah Arab di
Surabaya dianggap sebagai pusat qabilah di pulau Jawa bagian Timur. Qabilah
Arab lainnya yang cukup besar berada di Probolinggo, Lumajang, Pasuruan,
Bangil, Besuki, dan Banyuwangi. Qabilah Arab di Besuki mencakup pula orang
Arab yang menetap di Kota Panarukan dan Bondowoso.
Qabilah-qabilah Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada daerah
pesisir tetap menggunakan nama-nama qabilah mereka, sedangkan Alawiyin yang
tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab, mereka berganti nama dengan
nama-nama Jawa, mereka banyak yang berasal dari keluarga Ba’bud, Basyaiban,
Bin Yahya dan lainnya.
(Kanjeng Sunan Lumping, Referensi: Kitab Syamsud Dhahiroh, Kitab Aqidatul
Awwam dan berbagai sumber lainnya.)
0 Response to "Kedatangan Para Habaib dan Nasabnya ke Nusantara"
Posting Komentar
Silahkan komentar yg positip