Oleh: Abu Syarief Putro Bintang
Akhir-akhir ini beredar sejumlah tulisan di media sosial yang menyangkal keaslian nasab habaib (sayyid dari jalur Ba’Alawi) sebagai keturunan Nabi. Upaya penyangkalan itu termasuk dengan mengemukakan klaim hasil tes DNA. Namun disayangkan tulisan-tulisan tersebut mencerminkan pengetahuan dan pemahaman yang serba sedikit dari penulisnya menyangkut persolan DNA yang pada dasarnya sangat kompleks.
Referensi secara acak dan parsial dari sumber-sumber di Internet tanpa memiliki informasi pembanding yang komprehensif menyebabkan kerancuan data dan kesalahan fundamental dalam mengambil kesimpulan.
Mengingat kompleksitas DNA merupakan bidang yang tak banyak diketahui oleh awam, maka analisis rancu dan kesimpulan prematur yang diutarakan dalam tulisan-tulisan tersebut berpotensi menyesatkan pemahaman banyak orang terkait kajian DNA, sejarah, dan ilmu nasab itu sendiri.
Artikel ini selain mencoba menjelaskan ihwal DNA agar awam mendapat gambaran lebih jelas terkait persoalan ilmu genetika itu, juga akan mendedah kelemahaan dan kekeliruan tulisan-tulisan yang berupaya menyangkal ketersambungan Ba’Alawi dengan Nabi Muhammad SAW.
Pertama dan yang terutama harus dimengerti adalah studi genetika merupakan dunia yang pelik, kompleks dan masih berkembang terus. Berbagai penemuan dan teori baru bermunculan. Tak jarang satu analisis dan teori saling bertentangan dengan yang lainnya. Banyak teori dan hipotesis yang sebelumnya diyakini benar, ternyata kemudian terbukti salah seiring dengan munculnya berbagai penemuan baru di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Contohya adalah teori evolusi manusia versi Darwin yang dulu sepenuhnya diyakini oleh para ilmuwan, namun sekarang sudah banyak dipatahkan oleh para saintis modern. Teori evolusi Darwin tidak lagi diyakini kebenarannya seiring dengan kemunculan teori-teori baru yang didasarkan pada berbagai penemuan baru, termasuk DNA di dalamnya.
Teori-teori dan analisis yang beragam dan berbeda satu dengan lainnya ini dengan mudah dapat ditemui dalam ilmu genetika, khususnya yang terkait dengan antrogenica atau ilmu yang terkait antropologi dan geneaolgi. Begitulah dunia sains yang memang tidak pernah berakhir. Semua itu berawal dari keinginan untuk memahami dan menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan, keraguan, dan fenomena yang terjadi.
Sejauh ini DNA hanya mampu mengkonfirmasi penelusuran keturunan atau nasab individu atau sekelompok individu dalam kurun waktu terbatas. Penelitian yang pernah dilakukan secara ilmiah pada sebuah komunitas yang homogen di Islandia hanya mampu memastikan penelusuran genealogi sekelompok individu yang diteliti sampai sekitar 500 tahun yang lalu.
Demikian pula penemuan spektakuler pada 2014 yang melibatkan para ahli genetika terkait Raja Inggris Henry III yang merentang waktu sampai sekitar 5 abad silam. Ini pun hanya berlaku secara relatif dan spesifik terhadap beberapa individu tertentu saja. Keterlibatan para sejarawan dan arkeolog untuk mengkonfirmasi penemuan itu juga mencerminnkan bahwa DNA semata tak cukup untuk menyimpulkan hasil sebuah penelusuran geneologis.
Dengan demikian, penelitian yang melibatkan komunitas yang jauh lebih besar dan dengan rentang waktu yang jauh lebih lama (1000 tahun lebih misalnya), niscaya akan menemukan berbagai discrepancy dan kejanggalan, sehingga tidak bisa dijadikan landasan dan rujukan untuk menentukan dan memastikan asal usul keturunan kelompok tersebut.
Hal ini terbukti dengan data-data yang dikumpulkan oleh berbagai komunitas dan interest group yang sebagiannya difasilitasi oleh sebuah perusahaan DNA komersial di Amerika, dimana sering kali komunitas yang samamenunjukan keragaman Haplogroup. Lucunya, dalam tulisan yang menyangkal keaslian nasab Baalwy itu, si penulis mengutip situs DNA komunitas Yahudi jewishdna.net yang membuktikan discrepancy atau ketidakcocokan Hoplagroup dalam komunitas tersebut.
Artinya, keberagaman Hoplagroup para sayyid (termasuk baalwi) yang dijadikan argumen oleh si penulis sebagai bukti ketidakaslian kesayidan Baalawy, justru digugurkan oleh fakta keberagaman Hoplagroup komunitas Yahudi yang dirujuk si penulis.
Di situs itu jelas termaktub bahwa Haplogroup dan SNP Yahudi tidak seragam melainkan sangat beragam, dan ini bertentangan dengan teori dan asumsi tentang keseragaman Hoplogroup yang diyakini oleh sebagian orang, termasuk oleh si penulis artikel itu sendiri.
Hoplagroup Etnis Yahudi dengan berbagai cabang-cabangnya ternyata beragam dan dengan berbagai subclade cabangnya, baik E, G, J, R, Q, T dan bahkan ada yang jauh sekali sampai ke Hoplogroup B dan C. Keberagaman dengan rentang yang sebegitu jauh ini, menggugurkan teori yang selama ini diyakini yaitu keseregaman Hoplagroup dalam sebuah komunitas.
Bahkan DNA kelompok Yahudi cabang Cohanim (Cohen) yang diasumsikan sebagai keturunan Nabi Harun ternyata muncul di berbagai subclade yang berbeda dan tidak hanya ada di haplogroup J atau subclade J1c3. Fakta-fakta ini dengan dengan sendirinya membantah teori yang diyakini dan asumsi yang coba dibangun oleh penulis-penulis artikel yang menggugat kesayidan Baalawy.
Daftar kelemahan teori dan asumsi mereka masih bisa diperpanjang dengan mempertanyakan bagaimana mereka akan menjelaskan hasil tes Y-DNA keluarga jalur ayah Albert Einstein, yang disebutkan mempunyai Haplogroup E-Z830, sementara dunia genetika selama ini mempercayai Haplogroup E itu berasal dari Afrika Utara?
Belum lagi jika kita kemukakan fakta hasil tes sejumlah individu Yahudi lainnya yang menunjukkan spektrum keragaman dan ketersebaran haplogroup. Ketidakseragaman Hoplagroup itu menimbulkan berbagai pertanyaan dari para ahli atas teori yang ada.
Apalagi jika teori dan asumsi terkait DNA itu dibangun di atas data-data yang secara terbatas dan parsial berasal dari interest group, tanpa disokong oleh penelitian-penelitian ilmiah yang kredibel, maka tentu saja kian layak dipertanyakan keabsahannya. Atas dasar itulah, lembaga dan perusahaan-perusahaan penelitian DNA yang mengumpulkan sampel-sampel orang Yahudi itu, demi akuntabiltas publik, merasa wajib memberikan disclaimer di situs mereka:
Nothing in your DNA can tell you if you belong to the Jewish, or any other belief system. The only way to prove Jewish ancestry is by connecting your family tree to ancestors who are historically confirmed to have been Jewish.
“Tidak ada dalam DNA Anda yang dapat memberi tahu Anda apakah Anda termasuk orang Yahudi, atau lainnya. Satu-satunya cara untuk membuktikan keturunan Yahudi adalah dengan menghubungkan silsilah keluarga Anda dengan leluhur yang secara historis dikonfirmasi sebagai Yahudi”.
Dengan demikian, tidak ada yang aneh jika hal yang serupa juga ditemui di berbagai interest group dan data yang berasal dari komunitas lainnya. Semua data itu semata-mata berisi komparasi database yang tersedia dan hanya menunjukkan apakah seseorang mempunyai deret genomik yang sama di lokus-lokus tertentu dalam skema DNA.
Nah, demikian pula yang terjadi dengan tulisan-tulisan yang membahas kesayyidan Baalwy melalui DNA. Teori dan asumsi yang dibangun didasarkan pada data yang beredar dan dicomot dari dunia maya dengan jumlah sampel yang sangat sedikit tanpa menggunakan metoda penelitian yang benar. Ditambah lagi mereka hanya menggunakan DNA sequencing yang terbatas di beberapa lokus STR tertentu saja, bukan tes lengkap full sequence dengan akurasi tinggi. Dengan demikian tingkat akurasinya rendah dan sama sekali tidak memberikan kepastian.
Mutasi Haplogroup
Sekelompok peneliti dan pakar DNA dari Universitas Cornell dan New York Genome Center di Amerika Serikat melakukan penelitian yang melibatkan 1700 sampel DNA laki-laki dan menemukan laju mutasi yang berbeda antar Haplogroup sehingga estimasi umur Haplogroup juga bisa berbeda-beda. Penelitian ini juga secara tidak langsung mengindikasikan mutasi genetik yang mungkin terjadi antar Haplogroup dan tidak hanya terbatas pada SNP atau subclade saja.
Para ahli belum mampu memahami mengapa hal ini terjadi dan apa sebab-sebabnya. Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Mollecular Biology oleh Universitas Oxford pada 2020. Maka menjadi sangat naif jika seseorang yang memungut data parsial dan terbatas dari sekelompok interst group atau perusahaan DNA dan media sosial di dunia maya, lalu secara tergesa mengambil kesimpulan.
Bahkan, dalam penelitian ilmiah yang serius dan kredibel pun, sampai saat ini DNA belum bisa dijadikan rujukan untuk memastikan keturunan atau nasab seseorang dalam rentang waktu yang sangat jauh, apalagi lebih dari 1000 tahun yang lampau. Banyaknya discrepancy yang ditemukan menyebabkan kesulitan dalam pengambilan kesimpulan.
Kesalahan Fundamental dan Elementer
Maka kesalahan fundamental yang dilakukan oleh penulis artikel yang menggugat kesayyidan Ba’Alawi itu, tidak terbatas pada kesimpulan dan pemahamannya terhadap dunia DNA dan perkembangannya saja, melainkan juga berbagai kesalahan yang bersifat elementer.
Tulisan itu diawali dengan kesimpulan bahwa secara umum etnis Arab di Jazirah Arab berada dalam Haplogroup J dan E untuk yang tinggal di Afrika Utara (Arab suku Ber-Ber). Pernyataan ini sendiri sudah salah kaprah, karena suku Barber itu sendiri adalah etnis yang tidak termasuk dalam kategori ‘Arab’. Mereka sendiri pun tidak mengaku sebagai bagian dari etnis Arab, bahkan mereka mempunyai bahasa lokal tersendiri.
Si penulis artikel tersebut juga menyebutkan bahwa berdasarkan hasil tes DNA yang open posting di FamilyTreeDNA, para habib berhaplogroup G. Artinya garis laki laki mereka ternyata berasal dari Kaukasia. Lagi-lagi ini sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa.
Kalau toh kita mempercayai teori asal-usul Haplogroup itu, yang berbagai detailnya masih diperdebatkan para ahli hingga sekarang, banyak teori lain yang diungkapkan para ilmuwan bahwa Haplogroup G-M201 itu berasal dari fertile cresent, atau daerah yang meliputi Levant, Mesopotamia dan Turki Selatan saat ini.[1]
Tingginya frekuensi Haplogroup atau subclade tertentu di sebuah lokasi tidak berarti dan memastikan di situ pula asal-usul mereka. Ada berbagai teori migrasi yang memprediksikan mengapa terdapat beberapa konsentrasi tinggi G-M201 ini di daerah Kaukasus.[2]
Penulis artikel yang menggugat kesayyidan Ba’Alawi itu menyebutkan bahwa etnis Arab berasal dari Haplogroup J dan etnis Arab itu berada dalam cabang Haplogroup J1. Pernyataan ini sendiri pada dasarnya bermasalah ditinjau dari berbagai sudut. Pertama, definisi etnis Arab itu sendiri sangat kabur karena realitasnya tidak semuanya berasal dari keturunan yang sama. Kedua, Haplogroup J1 tidak spesifik terbatas etnis Arab saja melainkan mencakup berbagai etnis lain, walaupun mempunyai konsentrasi tertinggi di Timur Tengah.
Ketiga, asal-usul Haplogroup J1 atau J-M267 itu sendiri masih diperdebatkan oleh para ahli dan pada dasarnya belum bisa dipastikan. Sebuah penelitian mutakhir mengenai Haplogroup J1 yang dipublikasikan oleh para ilmuan dalam sebuah laporan ilmiah yang diterbitkan pada 2021 dan juga dalam artikel lain di journal ilmiah Nature Communications menyimpulkan bahwa Haplogroup J1 ini bermula dari penemuan manusia tertua di daerah Kaukasus, yaitu gua Satsurblia Cave, yang berada di daerah Georgia sekarang ini ( Jones et. al 2015).[3]
Secara statistik Haplogroup J1 juga mempunyai konsentrasi tinggi di beberapa daerah Kaukasus. Mengikuti teori ini, Haplogroup J1-M267 ini berasal dari Kaukasus dan kemudian menyebar di Timur Tengah.
Keempat, banyak populasi etnis yang dianggap ‘Arab’ juga berada di Haplogroup lain, seperti J2 yang merupakan cabang lain dari Haplogroup J, demikian pula G dan E, bahkan ada yang berada di Haplogroup T. Ini juga bisa dibuktikan di berbagai database perusahan-perusahaan DNA komersial, termasuk yang sering dirujuk sendiri oleh si penulis, yaitu family treeDNA.
Bahkan ada sebuah interest group di situs family tree DNA yang beranggotakan ratusan orang memfokuskan ke penelusuran genetik kelompok Arab yang tergolong dalam Haplogroup G yang disebut G Arabia, di mana bisa ditemukan berbagai sampel dari bebagai golongan dari berbagai suku Arab dan individu sayid yang berada di Timur Tengah, seperti jalur Al-Jammaz, Al-Qitali Ar-Rifa’i, para sayid Musya’sya’in, Al-Abbasi Al-’Alawi, ‘Ubaidali, Al-Ja’fari, Jammaz, Hasyimi dan lain-lainnya.[4]
Yang paling parah dari kengawuran artikel yang menggugat kesayidan Baalay adalah saat si penulis juga menyebutkan ‘dongeng’ terpetakannya DNA keluarga Nabi, yang konon berawal dari tes DNA dua orang keluarga Kerajaan Yordan, dan kemudian menyebar ke keluarga sayid yang lain.
Pertama, berita terkait keluarga kerajaan Yordania dan hasil tes DNA mereka itu, tidak pernah ada kejelasan dan konfirmasinya. Tidak diketahui pula siapa dua orang anggota kerajaan Yordania itu, tetapi yang jelas berita terpetakannya DNA keluarga Nabi itu adalah berita sensasi yang sengaja disebarkan oleh Bennett Greenspan, seorang hartawan Yahudi pemilik perusahaan DNA yang bernama FamiliyTreeDNA untuk mempromosikan bisnisnya.
Untuk mendukung bisnisnya dibuatkanlah sebuah interest group yang mengumpulkan sampel-sampel DNA dari sekelompok individu yang mengaku, dikenal atau diakui sebagai sayid di Timur Tengah dan hasil DNA mereka dianggap sebagai referensi. Lagi-lagi si penulis menggunakan informasi parsial korban informasi publikasi Internet. Malangnya, akibat keawaman di bidang DNA, sebagian orang terkecoh dan mempercayai begitu saja kesimpulan yang dibuat dari tes-tes DNA secara parsial semacam itu.
Sampai pada ukuran tertentu, hal ini menimbulkan masalah keraguan dan kebingungan di sebagian masyarakat yang memiliki relasi dengan kesayidan. Keawaman tentang kompeksitas DNA dan penggunaaan data parsial test DNA sebagai referensi kesahihan silsilah puluhan generasi, juga niscaya akan menimbulkan masalah bagi komunitas mana pun.
Singkat kata, berita tentang telah terpetakannya DNA keluarga Nabi itu (dan keluarga mana pun) merupakan kebohongan. Buktinya, Haplogroup DNA para sayid yang sangat “sharih an-nasab’ dan autentik serta diakui nasabnya pun ternyata beragam. Terlebih lagi, belum ada pernyataan dari lembaga manapun yang memvalidasi seperti apa DNA keluarga Nabi itu.
Oleh karena itulah berbagai lembaga fatwa dan hukum di Timur tengah dan lainnya dengan tegas menolak penggunaan tes DNA ini untuk mengukuhkan itsbat nasab dengan jangka waktu yang jauh. Diantaranya dimuat dalam fatwa No. 50074 dan 75498 yang dikeluarkan lembaga fatwa di kementerian wakaf Qatar. Demikianlah, fatwa yang serupa juga dikeluarkan beberapa negara Timur Tengah lainnya.
Kelemahan klaim telah terpetakannya DNA keturunan Nabi itu juga terlihat dengan fakta perbedaan Haplogroup antara keturunan raja Irak yang pernah disebutkan berada di Hoplagroup G-M201 dan klaim lain yang konon berasal dari keturunan raja Jordania (Hoplagroup J-M267) di mana kedua cabang keluarga bani Hasyim itu berasal dari pangkal yang sama yaitu Syarif Ali bin Husein sang penguasa Hejaz.
Bagaimana pula klaim itu bisa menjelaskan data lain yang menyebutkan bahwa keluarga kerajaan Maroko yang sama-sama merupakan sayid jalur Hasani keturunan Musa Al-Jaun berada di Haplogroup G-L91? Belum lagi para sayid dari kelompok lainnya.
Lagi-lagi semua teori Haplogroup dan pemetaannya, baik secara geografis, pembagian dan umurnya adalah bagian dari berbagai teori yang masih berkembang dan masih perlu pembuktian selanjutnya. Perlu diingat kesemuanya ini semata berdasarkan data statistik dan sangat tergantung jumlah, di region mana sampel berasal dan dari komunitas mana data-data tersebut diambil. Daerah dan komunitas yang under representative akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dan salah pula. Singkatnya, teknologi DNA saat ini tidak bisa dijadikan acuan untuk melacak dan memastikan silislah keturunan dengan kurun waktu dengan rentang waktu yang sangat jauh, apalagi lebih dari 1000 tahun.
Di bagian lain secara tendensius penulis artikel itu mengaitkan beberapa individu yang bercitra negatif dengan kode-kode genetik yang secara teori muncul ribuan tahun lalu seperti G-M201, G-PF3296 dan lain-lain dengan para sayid kelompok Ba’Alawi ini padahal kode-kode genetik SNP itu sendiri banyak dimiliki berbagai kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia yang tidak terbukti ada kaitan historis dan genetik sama sekali.
Menurut teorinya berbagai Haplogroup yang disebut itu pun diperkirakan muncul ribuan tahun lalu, misalnya G-M201 yang diperkirakan muncul belasan ribu tahun lalu, dan kita semua tahu bahwa pada akhirnya manusia semua manusia berasal usul yang sama. Secara serampangan si penulis juga mengaitkan salah sebuah kit dari keluarga Jamalullail dengan SNP P303 yang dikaitkannya dengan SNP Yahudi padahal secara hierarki SNP P303 itu sama sekali tidak ada dalam hierarki SNP yang ada dalam kit yang berasal dari keluarga Jamalullail tersebut.
Tidak puas dengan tipuan ini, kebohongan ini juga ditambah lagi dengan kebohongan lain yang menyebutkan salah satu sampel dari keluarga Jamalullail terdaftar dalam situs DNA Yahudi Jesihdna.net. Ini merupakan salah satu kebohongan licik yang bertujuan mengelabui orang awam.
Penulis artikel itu juga mengungkapkan hasil tes salah seorang figur publik dari kalangan Ba’Alawi yang menyebutkan dimana gen ‘Arab’ nya cuma sekitar 3%. Lagi-lagi sebuah informasi dan pengertian dangkal yang tidak didukung bukti pula, baik kebenaran dan keakuratannya. Apalagi informasi detail mengenai berita itu tidak pernah diketahui dengan pasti, baik data, analisis dan metode yang dilakukan seperti apa. Informasi yang hanya berdasarkan klaim yang bersumber dari media sosial untuk tujuan-tujuan tertentu.
Terlepas dari semuanya, hal ini tidak memberikan petunjuk apapun dan tidak ada hubungan dengan kesayidan seseorang. Pertama, harus diketahui bahwa rata-rata manusia di dunia ini merupakan percampuran dari berbagai ras dan suku bangsa dan boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang murni berasal dari ras atau etnis tertentu. Kalaupun itu ada, walaupun hal ini hampir tidak mungkin, hanya bisa ditemui di suku-suku daerah pedalaman yang tidak pernah berinteraksi dengan dunia lain selama ribuan tahun. Mungkinkan ini ada? Hanya Allah yang tahu.
Kedua, berbagai tes DNA estimasi komposisi ras dan etnis yang dilakukan beberapa perusahaan komersial atau lembaga itu menggunakan database comparison yang mereka punyai sebagai pembanding. Keakuratannya sangat-sangat tergantung kelengkapan dan keakuratan database dan referensi yang mereka punyai, sehingga hasil yang dihasilkan bisa sangat berbeda antar perusahaan atau lembaga yang melakukannya. Lagi-lagi ini semua data ini semata-mata berdasarkan hasil statistik dari berbagai sampel yang diambil dari individu berbagai region.
Komposisi etnis dan persentasenya akan jauh berbeda antar perusahaan jika database dan metode yang dilakukannya berbeda pula. Ini banyak ditemui oleh orang-orang yang telah melakukan tes DNA itu sendiri, termasuk penulis artikel bantahan ini.
Database yang minim dari kelompok tertentu dan akurasi peralatan yang digunakan juga akan mempengaruhi hasil tes. Misalnya, hasil yang dilakukan perusahaan Korea yang tidak up to date dan minim data dari sekelompok etnis atau region tertentu akan jauh berbeda dengan hasil yang dilakukan oleh perusahaan Amerika 23andMe atau familyTreeDNA yang mempunyai database yang jauh lebih lengkap.
Terlepas dari itu, hasil tes yang diberitakan itu sendiri pun sangat diragukan kebenaran dan keakuratannya, mengingat berbagai tes yang dilakukan berbagai individu dari komunitas yang sama, bahkan yang masih terhitung kerabat dalam satu marga yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda.
Hal lain yang banyak tidak diketahui masyarakat awam adalah keakuratan autosomal DNA yang mengambil data parsial beberapa lokus gabungan garis ayah dan ibu itu saat ini masih terbatas menelusuri komposisi etnis sampai lima generasi ke belakang saja. Penelusuran etnis untuk generasi yang jauh ke belakang semakin tidak akurat, apalagi jika databasenya tidak lengkap.
Siyadah atau kesayidan seseorang itu tidak didominasi komposisi ras atau etnis tertentu karena berbagai percampuran ras dan etnis yang terjadi dalam kurun waktu lama dan tergantung di mana dan siapa individu-individu tersebut. Berbagai perkawinan silang antar etnis yang terjadi berulang-ulang beberapa generasi sebelumnya sangat mempengaruhi hal ini. Komposisi etnis para sayid yang berada di Afrika Timur dan India akan berbeda dengan para sayid di Nusantara, Asia Tengah atau Timur Tengah.
Di bagian lain tulisan tersebut disebutkan juga “mengingat dalam kaidah pernasaban dunia, tetap seluruh keturunan Sayyidah Fathimah binti Muhammad SAW, baik dari garis lurus laki-laki maupun perempuan dicatat”.
Lagi-lagi yang bersangkutan tidak memahami ilmu nasab, khususnya pencatatan nasab zuriyat Rasul. Dalam kaidah ilmu nasab yang disepakati oleh para ulama Islam dan tradisi mayoritas masyarakat dunia semenjak dahulu, nasab seseorang itu selalu dinisbahkan ke ayahnya.
Demikian pula berbagai kitab nasab Ahlulbait selalu merujuk nasab melalui jalur ayah, bukan jalur ibu. Hal ini bukan berarti anak-anak wanita tidak dicatat karena pencatatan anak-anak wanita di masa lalu pun dikenal di kalangan kaum alawiyin dan beberapa syajarah ummahat dibuat untuk ini. Namun demikian nasab seseorang itu selalu dinisbahkan melalui jalur ayah, termasuk anak-anak wanita pun menisbahkan nasabnya ke ayahnya, bukan ke ibunya.
Sama sekali bukan berarti tidak menghormati wanita. Nasab zuriyat Rasul yang bersambuing melalui putrinya Fathimah adalah sebuah pengecualian karena ada sabda Rasul mengenai keturunannya melalui sayidah Fathimah ini.
Berbagai kebohongan lain di artikel itu adalah yang menyebutkan bahwa berdasarkan data dan kesaksian Naqib Iraq, Sayyid Ahmad bin Isa tidak pernah hijrah ke Yaman, bahkan makam beliau ada di Kota Muktabaroh, Selatan Baghdad. Ini adalah informasi yang sama sekali tidak berdasar dengan menyebutkan orang dan tempat fiktif.
Siapakah naqib di Iraq yang dimaksud itu dan nama tempat yang bernama Mu’tabarah itu lokasinya dimana tidak pernah diketahui, sementara makam Imam Ahmad bin Isa dan putranya Ubaidillah itu lokasinya sangat jelas, yaitu di Husaysah dan Naqabah Al-Asyraf di Iraq dan di berbagai tempat lain di dunia ini jelas-jelas mengakui para sayid Bani Alawi ini adalah zuriah Rasul. Lagi-lagi sebuah kebohongan yang nyata.
Kedangkalan lain juga menyebutkan berdasarkan kitab Nasab hingga sekitar abad ke 10 H baru muncul nama Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang konon hijrah dari Basrah Iraq ke Hadramaut.
Perlu diketahui dengan jelas bahwa tokoh-tokoh Bani Alawi dan nasabnya itu sudah jauh dikenal dan disebutkan oleh para sejarawan terkenal beberapa abad sebelumnya, diantaranya adalah sejarawan Yaman di abad ke 7 yang bernama Bahauddin Muhammad bin Yusuf Al-Janadi dalam kitabnya yang berjudul “As-Suluuk fi Thabaqat al- Ulama’ wal Muluuk”. Beliau dengan jelas menyebutkan beberapa tokoh ulama bani Alawi pada zamannya dan nasab mereka yang bersambung ke Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir.
Imam Abul Hasan Ali bin Jadid yang nasabnya bersambung melalui Jadid, putra Ubaidillah dan Al-faqih al-Muhammad bin Ali Ba’Alawi yang bersambung ke Alwi bin Ubaidillah termasuk tokoh-tokoh Bani Alawi yang disebutkan di kitab tersebut. Belum lagi sumber-sumber lainnya, baik berbagai fakta sejarah, kitab-kitab sejarah dan kitab nasab lain yang ditulis oleh para pakar nasab dan sejarah serta para muhaqqiqnya, baik dari kalangan ‘Alawiyin maupun selain mereka.
Jika Anda meminta kesaksian Naqabah Al-Asyraf (Kepemimpinan paguyuban para sayid) di Iraq mengenai keabsahan nasab Bani Alawi berarti sama saja Anda ingin mengkonfirmasi 2×2 =4. Naqabah Sadah Al-Asyraf di Iraq melalui sekretariat umumnya secara jelas menuliskan berbagai kitab rujukan nasab para sadah sebagai referensi mereka yang beberapa di antaranya adalah kitab-kitab nasab para sayid dari keluarga Ba’Alawi.
Bagaimana mungkin Naqabah Al-Asyraf menggunakan referensi nasab kelompok yang tidak diakui. Lebih jauh lagi, cabang sadah bani Alawi (Ba’Alawi) ini juga dimuat dengan detil di dalam kitab nasab para sadah keturunan Imam Ali Al-Uraidhi (leluhur group sadah Uraidhiyin, dimana sadah Ba’Alawi adalah salah satu cabangnya) yang disusun oleh ahli nasab dan Naqib Sadah (pemimpin para sayid) Uraydhiyin di Iraq, yaitu Walid Al-Uraydhi dalam kitabnya yang berjudul “Ghayatul Ikhtisar fi Ansab Sadat Al At-haar”.
Belum lagi berbagai muhaqqiq dan para ahli nasab sejak berabad-abad lalu yang tak terhitung jumlahnya, sampai yang kontemporer seperti mahaguru nasab para sayid masa kini yaitu Sayyid Mahdi Raja’i dan lainnya.
Syekh Yusuf An-Nabhani, ulama besar negeri Syam abad 19 M asal Palestina yang bermukim di Libanon mengatakan dalam pengantar bukunya yang berjudul “Riyadh al-Jannah fi Adzkar Al Kitab wa as-Sunah”: “Sesungguhnya para penghulu dan guru kami, yaitu para para sadah Ba’alawi , yang mana umat Muhammad telah sepakat dengan suara bulat sepanjang masa dan di seantero negeri, menyetujui bahwa mereka adalah termasuk yang paling murni dan benar nasabnya, keturunan Ahlilbait Nabi SAW berdasarkan garis keturunan. Sesungguhnya mereka adalah golongan yang paling berpengetahuan, berkarya dan berbudi luhur. Mereka termasuk kelompok dari Ahl al-Sunah wal-Jama’ah pengikut madzhab Imam al-Syafi’i. Semoga Allah meridhoi mereka.“
Nabhani kemudian melanjutkan: “Dan ada baiknya kita menukil perkataan salah seorang ulama negeri Haramain, yang mulia Al-Allamah Syekh Ja’far bin Abubakar Al-Labini Al-Hanafi (w 1342H) dalam kitabnya “Al-Hadits Syujun” dan ulama-ulama setelah beliau seperti Syekh Abdullah Ghazi Al-Makki dalam kitabnya yang berjudul “Ifadatul Anam” dan lainnya. Syekh Ja’far berkata: “Dan banyak dari para sayid penduduk Makkah dan Madinah berasal dari keluarga Ba’Alawi yang terkenal di Hadhramaut. Mereka pindah dari Hadhramaut ke Makkah, Madinah dan berbagai negeri lainnya. Mereka adalah keturunan Al-Faqih Al-Muqaddam, yang merupakan keturunan Ahmad bin Isa Al-Muhajir”.
Kemudian Syekh Ja’far melanjutkan dengan menyebut beberapa nama marga para sayid keluarga Ba ‘Alawi sampai pada akhir kalimatnya yang berbunyi: Mereka ini adalah para sayid yang nasabnya paling terjaga diantara semua sayid dikarenakan mereka sangat menjaga, mencatat dan memperhatikan nasab mereka. Para sadah[5] Ba’Alawi ini sangat dikenal oleh para Naqib Sadah di Makkah dan Madinah, bahkan kebanyakan para Naqib Sadah di Makkah dan Madinah ini dipilih dari kalangan mereka”.
Demikianlah Syekh An-Nabhani dengan tegas menyebutkan keabsahan nasab Bani Alawi ini. Bagaimana mungkin kelompok yang nasabnya palsu bisa dipercaya menjadi para Naqib Sadah di negeri Haramain dan dirujuk oleh para ulama di berbagai negeri.
Akhirul kalam, Bani Alawi yang merupakan zuriyah Rasul itu bukanlah sesuatu yang dibuat-buat dan harus dicari, tetapi merupakan sebuah takdir dan anugerah Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Menjadi keturunan Ahlul bait itu bukan berarti minta dihormati atau dicintai dan lebih mulia di sisi Allah, tetapi sebagai pendorong untuk mengikuti teladan Rasulullah, keluarganya yang suci dan para salafusshalih. Siyadah[6] ini sebagai pendorong agar menjadi teladan dan lebih bertakwa kepada Allah.
Selama kamu menjadi manusia yang bertakwa Allah pasti akan mengangkat derajatmu, apapun ras atau sukumu. Nasab yang mulia tidak akan mengangkat derajat seseorang jika perbuatannya tidak mulia. Semoga Alah SWT menjauhkan kita dari sifat iri dan dengki serta mengampuni kita semua.
Wallahu al-muwaffiq ila aqwami thariq.
AL/IslamIndonesia/Featured Image: Kompas.com
Catatan kaki:
[1] Di bawah ini adalah link terkait fertile cresent yang diperkirakan oleh beberapa peneliti: https://www.marres.nl/EN/G-M201.htm
[2] Lanjutnya bisa dilihat di https://www.eupedia.com/europe/Haplogroup_G2a_Y-DNA.shtml#Neolithic dan salah satu artikel jurnal ilmiah yang dimuat di laman https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0041252. Banyak lagi berbagai jurnal ilmiah yang ditulis oleh para pakar membahas hal ini.
[3] Untuk detailnya bisa dilihat di https://www.nature.com/articles/s41598-021-85883-2.
[4] Lebih lanjut bisa dilihat https://www.familytreedna.com/groups/garabia/about/background .
[5] Sadah adalah bentuk jama’ (plural) dari ‘Sayid’
[6] Siyadah adalah titel sayid, yaitu gelar kehormatan (honorary title) yang diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad SAAW.
Diambil dari sumber : https://islamindonesia.id/
Nyimak only.
ReplyDeletePrettt palsu!!
ReplyDelete