//

IJTIHAD Menurut Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi


IJTIHAD
1.       

     


      Pertanyaan:
Sekarang timbul lagi masalah ijtihad. Ada yang menghen­daki pintu ijtihad supaya dibuka, ada yang menghendaki tetap tertutup. Ada juga yang menyarankan agar dilakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang pernah disepakati kaum muslim­in sebelumnya. Mereka menghendaki perubahan hukum se­suai tuntutan zaman, seperti misalnya bunga bank atau lainnya.
Apa pendapat yang tepat dalam masalah ini?

Jawab:
Tujuan dari petunjuk, bimbingan, dan ajaran Allah ialah memelihara kelestarian alam dan seluruh makhluk isinya agar tidak terjadi benturan-benturan, kerusakan, atau kehancuran. Untuk kepentingan itu, pasti ada perintah dan larangan. Apa yang tidak termasuk perintah dan larangan, tergolong dalam lingkungan dibolehkan atau mubah. Lingkungan dibolehkan atau mubah tidak menimbulkan sesuatu pengaruh yang meru­gikan. Kalau saja ada pengaruhnya, tentu sudah beralih kepada perintah atau larangan (wajib atau haram). Perintah dan larang­an terbagi dalam dua bentuk,

Pertama, suatu nash hukum yang jelas dan tegas tidak mungkin bisa dikeluarkan dari lingkungan “perintah dan larangan”. Tidak boleh ada upaya ijtihad untuk mengubahnya. Kalau terjadi perubahan, hukum dunia akan rusak binasa.

Kedua, termasuk juga dalam lingkungan “perintah dan larangan” tetapi ketetapan hukumnya kurang jelas dan tegas dan memungkinkan bagi akal untuk membahasnya. Dalam hal yang tergolong bentuk kedua ini, ijtihad untuk memahami ketetapan hukum itu dapat diterima dan tidak akan merusak kelestarian alam semesta. Tetapi syarat-syaratnya harus dipe­nuhi.

Ketetapan hukum dari seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan, akan menentukan dan memastikan syariat penga­malannya. la tidak boleh mengatakan bahwa inilah yang hak, yang lain batil. Dia harus mengatakan bahwa ini yang benar, tetapi bisa juga keliru atau salah. Dan yang lain itu mungkin mengandung kebenaran.
Pendapat yang berbeda perlu dihormati.

Tanya :
Mohon contoh masalah perbedaan pendapat seperti itu.

Jawab:
Selelah selesai Perang Ahzab, kaum muslimin merasa letih dan bersiap akan beristirahat. Allah SWT mewahyukan agar kaum muslimin jangan beristirahat. Rasulullah menyampaikan­nya dalam ucapan beliau yang terkenal.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir jangan­lah shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.”

Pasukan muslimin segera berangkat ke perkampungan Bani Quraidhah. Dalam perjalanan mereka memperkirakan akan habis waktu ashar sebelum mereka sampai. Sebagian dari mereka shalat ashar. Sebagian lagi berpendapat bahwa sabda Rasulullah berarti suatu keharusan shalat ashar di perkam­pungan Bani Quraidhah dan tidak boleh shalat ashar di tempat lain.
Timbul dua pendapat Sebagian berpegang dari segi waktu, sebagian berpegang dari segi tempat. Mendengar itu, Rasu­lullah Shalallahu alahi wa aalihi wa shahbihi wa salam, membenarkan kedua-duanya.

Dari ketetapan Rasulullah tersebut, dapat ditarik kesim­pulan bahwa apabila suatu ketetapan hukum mengandung un­sur ijtihad, tiap pendapat dari seorang mujtahid yang meme­nuhi persyaratan dapat dianggap benar.

Contoh lain, ketetapan Al-Qur an dalam masalah wudhu.
Firman-Nya,

يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِۚ . . . . ﴿6﴾
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak me­ngerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai deng­an siku dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai deng­an kedua mata kaki…” (al-Maa’idah: 6)

Muka tidak disebut batasnya karena tidak akan ada beda pendapat mengenai batas-batas muka, tangan, ditentukan sam­pai siku. Kalau tidak disebut dengan jelas, bisa menimbulkan perbedaan penafsiran. Ada yang mengatakan pengertian tang­an sampai siku, atau sampai lengan atau tapak tangan. Sebab menurut istilah bahasa, ketiganya disebut tangan juga.

Mengusap kepala disebut bi-ruusikum, didahului dengan bi yang berarti sebagian. Kalau yang dikehendaki seluruh kepala atau seperempat kepala, tentu sudah ditegaskan.

Pada dasarnya, hukum itu membuka kesempatan untuk berbeda pendapat dan beda penafsiran, asal tidak keluar dari batas hukum itu sendiri, seperti mengenai bi itu.

Ketetapan hukum yang sudah jelas dan tegas tidak dapat lagi diijtihadkan apalagi dengan alasan kebutuhan zaman yang sudah tidak sesuai sehingga produk hukum itu dianggap tak sesuai lagi atau perlu pembaruan.

Kalau alasan perubahan itu diterima, berarti ketetapan hukum itu yang mengatur adalah zaman.
Syariat Allah bertujuan meningkatkan kebutuhan zaman untuk kepentingan manusia. Bukan mengurangi atau menu­runkan kualitas hukum demi keperluan, kebutuhan, dan ke­pentingan masyarakat yang makin merosot alau makin mun­dur iman, akhlak, dan ibadahnya.
Sekarang ijtihad sudah diracuni orang-orang yang tidak paham agama. Banyak orang yang mengaku Islam (Islam KTP) dengan berani ikut-ikutan memberi pendapat dalam soal-soal agama. Alasannya Islam itu agama yang mudah, fleksibel, tidak merugikan, dan tidak dirugikan orang lain serta alasan lain-lain sesuai dengan kepentingan akal dan perutnya. Malah celakanya lagi, mereka yang mengeluarkan semboyan-sem­boyan itu.
Dalam masalah ketetapan hukum yang masih samar-sa­mar, untuk memastikan dan meyakinkannya, boleh berijtihad.

Firman Allah:
“Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin me­ngetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).(an-Nisaa’: 83)

Ulil Amri ialah tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka. Kalau hanya pedomannya orang yang pandai berbicara bisa menetapkan hukum, pembicaraannya pasti akan keluar dari lingkup fatwa. Yang bisa berfatwa tentang masalah kedokteran adalah dokter, yang bisa tentang teknik orang tek­nik, yang bisa berfatwa masalah hukum sudah pasti orang hu­kum. Begitu pula yang bisa berfatwa tentang urusan agama tentu orang yang punya ilmu agama.
Firman Allah:

“Karena itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pe­ngetahuan, jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl 43).


2.      Pertanyaan:
Kami sering mendengar bahwa Islam itu milik semua golo­ngan boleh membahasnya. Bagaimana itu?
Jawab:
Memang benar agama Islam milik seluruh umat Islam. Telapi supaya diketahui bahwa agama Islam itu untuk dianut dan diamalkan. Bukan semua orang Islam membahas ilmu dan hukumnya.
Kedua persoalan yang berbeda jangan dicampur aduk. Banyak sekali umat Islam yang dangkal atau tidak tahu sama sekali tentu ilmu agamanya.
Oleh sebab itu, diperlukan orang-orang yang mengkhusus­kan diri mendalami ilmu agama.
Dulu orang mengkhususkan diri dalam bidang ilmu terten­tu, misalnya bacaan Al-Qur’an, faraidh, tafsir, dan lain-lain. Sehingga mereka mampu dan ahli dalam bidangnya masing-masing.


Pertanyaan:
Apa yang seharusnya dilakukan bila timbul suatu perkara (kejadian) yang belum pernah ada pada zaman dahulu?
Jawab:
Kalau ada ketetapan hukumnya dalam syariat, tidak boleh berijtihad lagi. Kita pakai ijtihad ulama-ulama dulu, kita harus menghormati pendapat-pendapat ulama itu, apabila pendapat­nya didukung oleh bukti-bukti dan dalil-dalil yang masuk akal dan bisa diterima. Apabila ada dua ijtihad yang berbeda, kita ambil salah satunya yang tidak akan menimbulkan keburukan, kecuali kalau ada kesepakatan bahwa hasil ijtihad tersebut ada­lah yang paling benar dan yang lain batil.


Pertanyaan:
Apakah masa sekarang ini kita boleh melakukan ijtihad secara perorangan?
Jawab:
Tidak boleh!  Masyarakat antar bangsa sudah semakin de­kat. Para ulama seluruh dunia bisa dengan mudah berkumpul. Sebaiknya para ulama mujtahid bertemu, bersatu berpendapat dalam membahas kepentingan agama untuk segala zaman dan tempat. Juga untuk menyanggah pendapat-pendapat orang-orang yang berusaha menghalangi kelancaran agama Allah. Jangan sampai orang-orang yang tidak senang kepada Islam menilai bahwa ulama-ulama kaum muslimin tidak bisa bersatu pendapat dalam menentukan hukum agama.


Pertanyaan:
Bagaimana sikap musuh-musuh Islam dengan adanya beda pendapat di antara kita?
Jawab:
Gembira sekali, mereka sangat senang apabila antarumat Islam selalu berselisih terus. Mereka tidak senang akan ke­murnian Islam dalam bidang hukum. Beda pendapat dan selisih di kalangan ulama Islam dijadikan alasan untuk men­jauhi agama dan meremehkannya. Menurut pendapat saya, sebaiknya kita tetapkan dan perkokoh soal-soal pokok yang sudah disepakati.
Masalah furuiah (bukan utama), kita pisahkan sebagai upaya ijtihad. Sebab, masalah furu’ bukan pokok agama, apa­bila dilakukan ijtihad tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi gerak kehidupan beragama. Kalau saja masalah furu’ ini akan mengganggu. Tentu Allah SWT. sudah menetapkannya dengan hukum yang jelas, pasti, dan tidak samar-samar. Janganlah kita berkelahi karena berbeda pendapat masalah furu’ yang mengakibatkan kila terpecah-belah, sampai-sampai saling mengafirkan. Jangan fanatik buta dan beranggapan bah­wa lslamnya-lah yang paling benar, yang lain salah.
Janganlah Islam diisi oleh warna-warna para mujtahid. Islam harus tetap tegak, kokoh kuat, dan putih bersih tanpa warna. Islam adalah agama yang putih seperti air hujan yang turun sebelum menyentuh bumi. Kalau air sudah berwarna, ia akan diberi nama sesuai warna itu. Nanti akan ada pihak-pihak tertentu yang tidak suka minuman berwarna. Kalau air itu tetap putih, jernih, dan murni, pasti tidak akan ada satu makh­luk manusia pun yang tidak suka.
Sumber: Anda

 Bertanya Islam Menjawab Karya Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "IJTIHAD Menurut Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip