IJTIHAD
1.
Pertanyaan:
Sekarang
timbul lagi masalah ijtihad. Ada yang menghendaki pintu ijtihad supaya dibuka, ada
yang menghendaki tetap tertutup. Ada juga yang menyarankan agar dilakukan
ijtihad dalam masalah-masalah yang pernah disepakati kaum muslimin sebelumnya.
Mereka menghendaki perubahan hukum sesuai tuntutan zaman, seperti misalnya
bunga bank atau lainnya.
Apa
pendapat yang tepat dalam masalah ini?
Jawab:
Tujuan
dari petunjuk, bimbingan, dan ajaran Allah ialah memelihara kelestarian alam
dan seluruh makhluk isinya agar tidak terjadi benturan-benturan, kerusakan, atau
kehancuran. Untuk kepentingan itu, pasti ada perintah dan larangan. Apa yang
tidak termasuk perintah dan larangan, tergolong dalam lingkungan dibolehkan
atau mubah. Lingkungan dibolehkan atau mubah tidak menimbulkan sesuatu pengaruh
yang merugikan. Kalau saja ada pengaruhnya, tentu sudah beralih kepada
perintah atau larangan (wajib atau haram). Perintah dan larangan terbagi dalam
dua bentuk,
Pertama, suatu
nash hukum yang jelas dan tegas tidak mungkin bisa dikeluarkan dari lingkungan
“perintah dan larangan”. Tidak boleh ada upaya ijtihad untuk mengubahnya. Kalau
terjadi perubahan, hukum dunia akan rusak binasa.
Kedua, termasuk
juga dalam lingkungan “perintah dan larangan” tetapi ketetapan hukumnya kurang
jelas dan tegas dan memungkinkan bagi akal untuk membahasnya. Dalam hal yang
tergolong bentuk kedua ini, ijtihad untuk memahami ketetapan hukum itu dapat
diterima dan tidak akan merusak kelestarian alam semesta. Tetapi
syarat-syaratnya harus dipenuhi.
Ketetapan
hukum dari seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan, akan menentukan dan
memastikan syariat pengamalannya. la tidak boleh mengatakan bahwa inilah yang
hak, yang lain batil. Dia harus mengatakan bahwa ini yang benar, tetapi bisa
juga keliru atau salah. Dan yang lain itu mungkin mengandung kebenaran.
Pendapat
yang berbeda perlu dihormati.
Tanya
:
Mohon
contoh masalah perbedaan pendapat seperti itu.
Jawab:
Selelah
selesai Perang Ahzab, kaum muslimin merasa letih dan bersiap akan beristirahat.
Allah SWT mewahyukan agar kaum muslimin jangan beristirahat. Rasulullah
menyampaikannya dalam ucapan beliau yang terkenal.
“Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir janganlah shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.”
Pasukan
muslimin segera berangkat ke perkampungan Bani Quraidhah. Dalam perjalanan
mereka memperkirakan akan habis waktu ashar sebelum mereka sampai. Sebagian
dari mereka shalat ashar. Sebagian lagi berpendapat bahwa sabda Rasulullah
berarti suatu keharusan shalat ashar di perkampungan Bani Quraidhah dan tidak
boleh shalat ashar di tempat lain.
Timbul
dua pendapat Sebagian berpegang dari segi waktu, sebagian berpegang dari segi
tempat. Mendengar itu, Rasulullah Shalallahu alahi wa aalihi wa shahbihi wa
salam, membenarkan kedua-duanya.
Dari
ketetapan Rasulullah tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila suatu
ketetapan hukum mengandung unsur ijtihad, tiap pendapat dari seorang mujtahid
yang memenuhi persyaratan dapat dianggap benar.
Contoh
lain, ketetapan Al-Qur an dalam masalah wudhu.
Firman-Nya,
يأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِۚ . . . .
﴿6﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki…” (al-Maa’idah:
6)
Muka
tidak disebut batasnya karena tidak akan ada beda pendapat mengenai batas-batas
muka, tangan, ditentukan sampai siku. Kalau tidak disebut dengan jelas, bisa
menimbulkan perbedaan penafsiran. Ada yang mengatakan pengertian tangan sampai
siku, atau sampai lengan atau tapak tangan. Sebab menurut istilah bahasa,
ketiganya disebut tangan juga.
Mengusap
kepala disebut bi-ruusikum, didahului dengan bi yang berarti sebagian. Kalau
yang dikehendaki seluruh kepala atau seperempat kepala, tentu sudah ditegaskan.
Pada
dasarnya, hukum itu membuka kesempatan untuk berbeda pendapat dan beda
penafsiran, asal tidak keluar dari batas hukum itu sendiri, seperti mengenai bi itu.
Ketetapan
hukum yang sudah jelas dan tegas tidak dapat lagi diijtihadkan apalagi dengan
alasan kebutuhan zaman yang sudah tidak sesuai sehingga produk hukum itu
dianggap tak sesuai lagi atau perlu pembaruan.
Kalau
alasan perubahan itu diterima, berarti ketetapan hukum itu yang mengatur adalah
zaman.
Syariat
Allah bertujuan meningkatkan kebutuhan zaman untuk kepentingan manusia. Bukan
mengurangi atau menurunkan kualitas hukum demi keperluan, kebutuhan, dan kepentingan
masyarakat yang makin merosot alau makin mundur iman, akhlak, dan ibadahnya.
Sekarang
ijtihad sudah diracuni orang-orang yang tidak paham agama. Banyak orang yang
mengaku Islam (Islam KTP) dengan berani ikut-ikutan memberi pendapat dalam soal-soal
agama. Alasannya Islam itu agama yang mudah, fleksibel, tidak merugikan, dan
tidak dirugikan orang lain serta alasan lain-lain sesuai dengan kepentingan
akal dan perutnya. Malah celakanya lagi, mereka yang mengeluarkan semboyan-semboyan
itu.
Dalam
masalah ketetapan hukum yang masih samar-samar, untuk memastikan dan
meyakinkannya, boleh berijtihad.
Firman
Allah:
“Padahal
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (an-Nisaa’: 83)
Ulil
Amri ialah tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka. Kalau
hanya pedomannya orang yang pandai berbicara bisa menetapkan hukum,
pembicaraannya pasti akan keluar dari lingkup fatwa. Yang bisa berfatwa tentang
masalah kedokteran adalah dokter, yang bisa tentang teknik orang teknik, yang
bisa berfatwa masalah hukum sudah pasti orang hukum. Begitu pula yang bisa
berfatwa tentang urusan agama tentu orang yang punya ilmu agama.
Firman
Allah:
“Karena
itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak
mengetahui.” (an-Nahl
43).
2.
Pertanyaan:
Kami sering mendengar bahwa Islam itu milik semua golongan
boleh membahasnya. Bagaimana itu?
Jawab:
Memang
benar agama Islam milik seluruh umat Islam. Telapi supaya diketahui bahwa agama
Islam itu untuk dianut dan diamalkan. Bukan semua orang Islam membahas ilmu dan
hukumnya.
Kedua
persoalan yang berbeda jangan dicampur aduk. Banyak sekali umat Islam yang
dangkal atau tidak tahu sama sekali tentu ilmu agamanya.
Oleh
sebab itu, diperlukan orang-orang yang mengkhususkan diri mendalami ilmu
agama.
Dulu
orang mengkhususkan diri dalam bidang ilmu tertentu, misalnya bacaan
Al-Qur’an, faraidh, tafsir, dan lain-lain. Sehingga mereka mampu dan ahli dalam
bidangnya masing-masing.
Pertanyaan:
Apa yang seharusnya dilakukan bila
timbul suatu perkara (kejadian) yang belum pernah ada pada zaman dahulu?
Jawab:
Kalau
ada ketetapan hukumnya dalam syariat, tidak boleh berijtihad lagi. Kita pakai
ijtihad ulama-ulama dulu, kita harus menghormati pendapat-pendapat ulama itu,
apabila pendapatnya didukung oleh bukti-bukti dan dalil-dalil yang masuk akal
dan bisa diterima. Apabila ada dua ijtihad yang berbeda, kita ambil salah
satunya yang tidak akan menimbulkan keburukan, kecuali kalau ada kesepakatan
bahwa hasil ijtihad tersebut adalah yang paling benar dan yang lain batil.
Pertanyaan:
Apakah masa sekarang ini kita boleh
melakukan ijtihad secara perorangan?
Jawab:
Tidak
boleh! Masyarakat antar bangsa sudah semakin dekat. Para ulama seluruh
dunia bisa dengan mudah berkumpul. Sebaiknya para ulama mujtahid bertemu,
bersatu berpendapat dalam membahas kepentingan agama untuk segala zaman dan
tempat. Juga untuk menyanggah pendapat-pendapat orang-orang yang berusaha
menghalangi kelancaran agama Allah. Jangan sampai orang-orang yang tidak senang
kepada Islam menilai bahwa ulama-ulama kaum muslimin tidak bisa bersatu
pendapat dalam menentukan hukum agama.
Pertanyaan:
Bagaimana sikap musuh-musuh Islam
dengan adanya beda pendapat di antara kita?
Jawab:
Gembira
sekali, mereka sangat senang apabila antarumat Islam selalu berselisih terus.
Mereka tidak senang akan kemurnian Islam dalam bidang hukum. Beda pendapat dan
selisih di kalangan ulama Islam dijadikan alasan untuk menjauhi agama dan
meremehkannya. Menurut pendapat saya, sebaiknya kita tetapkan dan perkokoh
soal-soal pokok yang sudah disepakati.
Masalah
furuiah (bukan utama), kita pisahkan sebagai upaya ijtihad. Sebab, masalah
furu’ bukan pokok agama, apabila dilakukan ijtihad tidak akan menimbulkan
kemudharatan bagi gerak kehidupan beragama. Kalau saja masalah furu’ ini akan
mengganggu. Tentu Allah SWT. sudah menetapkannya dengan hukum yang jelas,
pasti, dan tidak samar-samar. Janganlah kita berkelahi karena berbeda pendapat
masalah furu’ yang mengakibatkan kila terpecah-belah, sampai-sampai saling
mengafirkan. Jangan fanatik buta dan beranggapan bahwa lslamnya-lah yang
paling benar, yang lain salah.
Janganlah
Islam diisi oleh warna-warna para mujtahid. Islam harus tetap tegak, kokoh
kuat, dan putih bersih tanpa warna. Islam adalah agama yang putih seperti air
hujan yang turun sebelum menyentuh bumi. Kalau air sudah berwarna, ia akan
diberi nama sesuai warna itu. Nanti akan ada pihak-pihak tertentu yang tidak
suka minuman berwarna. Kalau air itu tetap putih, jernih, dan murni, pasti
tidak akan ada satu makhluk manusia pun yang tidak suka.
Sumber:
Anda
Bertanya Islam Menjawab Karya Prof. Dr. M.
Mutawalli asy-Sya’rawi
0 Response to "IJTIHAD Menurut Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip