Kalau tidak ada Ali, tidak ada yang layak menikahi Fatimah |
Madinah al-Munawwarah semakin bercahaya
Dengan tumbuh dan mekarnya “bunga surga”
Penyejuk mata Nabi mulia, Fatimah Zahra ummu abiha.
Nasab mulia dimilikinya, baik dari jalur ayah atau ibunya,
Cahaya kecantikannya tak perlu diragukan
Keagungan akhlaknya patut dibanggakan
Membuat setiap lelaki di zamannya
Tak peduli dengan usia dan kedudukan mereka,
Semua saling berlomba
Untuk merebut hati Sang Nabi dan perhatian Sang Putri.
Sayyidina Sayyidina Abu Bakar yang usianya sepadan dengan Rasulullah
Datang untuk meminang
Fatimah.
“Wahai Rasulullah, Anda telah mengetahui kesetiaan
dan pengabdianku terhadap Islam,
aku menginginkan agar Anda menikahkan diriku dengan Fatimah”, minta Sayyidina Abu Bakar.
Nabi Saw tertegun
mendengarnya, tanpa sepatah katapun keluar dari lisannya. Sayyidina Abu Bakar
memahami Nabi tidak menerimanya. Maka ia pun pergi meninggalkan rumah Nabi yang
mulia.
Di perjalanan ia bertemu Sayyidina Umar sahabatnya
Menyampaikan bahwa Nabi
mengabaikan lamarannya.
Dengan ditolaknya Sayyidina
Abu Bakar, Sayyidina Umar merasa memiliki kesempatan. Tak menunggu waktu, ia
langsung bergegas memburu. Seperti Sayyidina Abu Bakar, ia berhajat meminang
Fatimah untuk menjadi pendamping hidupnya. Namun, ia bernasib sama
Nabi tak meresponnya dan
hanya berkata Beliau sedang menunggu pesan ilahi menyangkut jodoh sang putri
Dua sahabat senior ini Gugur
dalam sayembara suci merebut pujaan hati.
Sahabat-sahabat lainnya tak
mau rugi. Mereka berusaha menampilkan diri dengan segala yang mereka miliki
untuk dapat mempersunting
putri terkasih Nabi.
Dua pengusaha besar saling
berebutan, Abdurrahman bin Auf dan Usman
bin Affan Keduanya datang ke rumah Nabi secara bersamaan Untuk menyampaikan
lamaran kepada Fatimah wanita idaman.
Abdurrahamn bin Auf memulai
pembicaraan,
“Wahai Nabi, nikahkanlah putrimu denganku,
maka aku akan memberinya mahar seratus unta hitam bermata biru yang
berasal dari Mesir di lembah sungai Nil yang semuanya dalam keadaan hamil.
Tidak hanya itu, aku juga akan menambahkan
sepuluh ribu dinar sebagai hantaran.”
Mendengar itu, Usman bin
Affan tak mau ketinggalan,
Ia menyambut pembicaraan
Abdurrahman,
“Wahai Nabi, seperti halnya Abdurrahman,
Aku pun siap memberikan mahar yang sama jika Fatimah berkenan Lagian,
aku masuk Islam lebih duluan.”
Usman mengemukakan kelebihan
Agar Nabi lebih condong
menentukan pilihan.
Rasul tersenyum memandang
kedua sahabatnya ini.
Untuk menenangkan hati
sabdapun disampaikan Nabi,
“Amraha inda rabbiha”,
urusannya ada di sisi Tuhannya.
Nabi tak menginginkan harta
karena memang keluarganya senang hidup sederhana.
Nabi hanya menegaskan bahwa
jodoh Fatimah ada dalam ketetapan Tuhannya.
Syuaib bin Saab menggambarkan
kisah ini dengan indah,
“Ketika matahari
kecantikannya bersinar di langit kerasulan dan menjadi purnama di cakrawala
kenaikan bulan kesempurnaannya, awal pikiran menjangkau ke arahnya dan tatapan
orang-orang terpilih rindu mengamati kecantikannya; maka, para pemimpin kaum
Muhajirin dan Anshar meminangnya, namun orang yang dikarunia ridha Allah (Nabi
Muhammad Saw) menolak mereka dan berkata, ‘Aku sedang menanti ketetapan Tuhan
atasnya’.”
Apakah sebenarnya yang dinantikan
Nabi?
Bukankah telah datang
kepadanya sahabat-sahabat besar yang mengikat janji?
Bukankah telah ditawarkan
limpahan harta sebagai mahar tanda kasih sejati?
Namun mengapa nabi menolak
dan mengembalikannya pada pesan ilahi?
Semua orang merasa bahwa
Fatimah bukanlah “wanita biasa”. Nabi pun mencari suami yang bukan “lelaki
biasa”
Siapa gerangan lelaki itu
adanya? Para sahabat sudah bisa menduga. Lelaki itu sahabat setia sekaligus
kerabatnya.
Ia orang yang paling dekat
dengannya, paling dicintainya,
Ia pembela gigih agama,
berjuang sepenuh jiwa, dan pengabdi yang tak diragukan kesetiaannya, itulah Ali bin Abi Thalib, Haidar Sang Singa
Nabi menantikan
kedatangannya, Namun, sepertinya Ali hilang keberaniannya untuk mengikuti
sayembara cinta melamar Fatimah Ia sadar siapa dirinya Bayangkan, sejak kecil
hingga dewasa ia diasuh di rumah Khadijah, diberi makan, diberi pakaian,
dididik dengan sebaik-baik pendidikan Belum
lagi membalas semua itu, kini berani-beranian meminta lagi Anak Nabi untuk
dijadikan isteri
“Sungguh tidak tahu terima
kasih”, Begitu kata hati yang menghantui batinnya Ali.
Lagian, apa yang bisa
ditawarkan untuk bekal pinangan.
Ali adalah pemuda miskin yang
tak punya rumah idaman,
biaya hidup pas-pasan, pas
ada biaya maka bisa membeli makanan, pas tidak ada maka ibadah puasa jadi
pegangan,
pakaian pun hanya apa yang
ada di badan.
Sungguh tak layak pikir Ali,
untuk melangkahkan kaki,
melamar putri suci, cahaya
mata sang Nabi.
Namun, cerita sudah beredar
bahwa semua orang ditolak Nabi dengan sabar Hanya Ali saja yang belum datang
melamar. Para sahabat memotivasi Ali agar dirinya tak gentar untuk menyampaikan
isi hati yang kian membakar
dalam api cinta suci yang
terus berkobar.
Namun itulah Ali sang Haidar,
pemuda yang tegar di medan pertempuran yang besar, kini tubuhnya bergetar,
lidah kelu tak mampu berujar, kepalanya tertunduk seperti ditindih batu besar, Menghadap
Nabi untuk melamar al-Kautsar.
Rasulullah saw mengerti
gelagat Ali Yang menyimpan keinginan di dalam hati. Ia pun bertanya, “Apa
gerangan yang membawamu kemari?”.
Jantung Ali berdetak lebih
laju, rona wajahnya semakin memerah malu, mulutnya semakin terkunci membisu,
Namun pikirannya ingin
menyampaikan sesuatu.
Dengan menyebut nama Allah
yang Maha Rahman, Ali memulai pembicaraan, Menyampaikan keinginan untuk
memiliki pasangan, Yang mendampinginya mengarungi suka dukanya kehidupan, Dan
itu adalah Fatimah Zahra, wanita mulia sepanjang zaman.
Wajah Nabi menunjukkan
kegembiraan,
Yang dinantikan kini datang
menghadap sopan,
Inilah akhir janji Tuhan,
Agar menikahkan Fatimah
dengan orang yang sepadan,
“Kalau tidak ada Ali, tidak ada yang layak menikahi
Fatimah”
begitu kira-kira janji yang
telah ditetapkan-Nya.
Namun, Nabi tahu aturan, Dibutuhkan
persetujuan untuk menikahkan anak perempuan.
Nabi pun bersabda, “Wahai
Ali, sebelummu, sudah banyak laki-laki datang melamar Fatimah, tapi ia menolak
mereka semua.
Aku akan sampaikan
hajatmu kepadanya,
tunggulah sampai jawaban
terlontar dari lisannya.”
Nabi bergegas menemui
putrinya,
Dan Ali menanti jawaban
az-Zahra dengan hati gundah gulana. “Fatimah!, panggil Nabi dengan suara
lembutnya.
Engkau tahu hubungan Ali
dengan kita, Engkau juga tahu pengabdian dan kesetiaannya Aku meminta kepada
Allah agar menikahkanmu dengannya
Dengan manusia terbaik dari
semua makluk-Nya,
yang mencintai dan dicintai-Nya;
dan kini Ali datang melamarmu, bagaimana pendapatmu?”
Fatimah tak memberikan
jawaban,
Hanya pancaran wajah dan
sorot matanya telah menampakkan isi hatinya.
Nabi saw berdiri
mengumandangkan takbir,
“Allahu Akbar,
diammu menunjukkan persetujuanmu”
Nabi menyampaikan kabar
gembira itu kepada Ali,
Ali pun merasa lega di hati,
tapi tunggu dulu, ada hal
lain yang perlu diketahui,
yaitu mahar apa yang dapat
diberikannya sebagai suami.
“Apa yang bisa kau berikan
sebagai mahar pernikahan?” tanya Nabi kepada Ali.
Inilah yang dikhawatirkan
Haidar,
tak mungkin ia mampu
memberikan mahar untuk menyaingi Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar,
apalagi Abdurrahman bin Auf
dan Usman bin Affan yang dulu datang melamar.
Jangankan seratus ekor unta
bermata biru,
membeli satu untapun dirinya
tak mungkin mampu.
Tapi lamaran sudah terlanjur
disetujui, tak mungkin ditarik kembali.
Dengan memberanikan diri,
berkatalah Ali,
“Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu wahai Nabi
Tentang kehidupanku engkau sangat mengetahui
Aku hanya memiliki tiga buah benda : sebilah pedang, seekor
unta, dan sebuah baju besi.”
Rasulullah tersenyum, ia tahu
betul keadaan sepupunya,
tak ada yang tersembunyi
darinya, kecuali apa yang diutarakannya.
Rasul pun berkata,
“Pedang
kau gunakan untuk berjuang, unta kau pakai untuk mengangkut air kebutuhan
harian.
Tak mungkin kau menyerahkan sebagai mahar pernikahan. Karenanya,
juallah baju besi dan bawa hasilnya kemari”,
Itulah pesan Sang Nabi.
Imam Ali melaksanakan titah
ilahi, Untuk menjual baju besi sebagai mahar mengikat tali kasih dalam suatu
perjanjian suci.
Hasilnya tak seberapa, hanya
500 dirham saja.
Inilah maharnya Fatimah, Kelak
jumlahnya dijadikan oleh keturunan sucinya Para imam yang mulia sebagai batas
mahar pernikahan mereka.
Tak pernah ada yang berani
memberikan mahar melebihi
maharnya Fatimah dan Ali.
Adakah wanita yang merasa
lebih mulia dan solehah
Merasa lebih berhak menerima
mahar melebihi Fatimah?
Adakah lelaki yang merasa
lebih sejati dengan memberi mahar melebihi pemberian Ali?
Perkawinan suci pun
dilangsungkan dengan Nabi bertindak sebagai wali pernikahan. Jamuan sederhana
dibagikan, doa-doa dipanjatkan, dan wajah kegembiraan menebar di seantero alam.
Namun ketika aroma kegembiraan itu meliputi semua hati, mendadak masalah terjadi,
Fatimah menuntut mahar lebih dari apa yang diberikan Ali.
Ia menggugat Nabi, “Bukankah
setiap wanita berhak menentukan maharnya?
Lalu mengapa aku tak diberi
kesempatan untuk meminta maharku?
Aku tak ingin mahar 500
dirham itu, aku menginginkan sendiri maharku.”
Nabi tertegun memandang
Fatimah seolah tak percaya.
Apakah ada keputusannya yang
salah? Mengapa Fatimah berubah?
Tapi memang itu ajaran agama,
bahwa wanita juga berhak menentukan maharnya.
Nabi pun hanya bisa pasrah
mempersilahkan Fatimah meminta maharnya, sambil bersabda mengingatkannya,
“Wahai Fatimah, ini Ali yang
engkau pasti mengenal kehidupannya, lantas mahar apakah yang akan engkau minta
darinya?”
Dengan sungguh-sungguh
Fatimah berkata, meminta mahar yang tidak terkira,
“Aku memohon kepada Allah, dihari pernikahanku,
agar Allah menjadikan syafaatku sebagai mahar pernikahanku”.
Semua memandang seolah tak
percaya sebab Fatimah meminta mahar termahal di dunia.
Siapa yang mampu
mengabulkannya kecuali Tuhan pemilik jagat raya. Tuhan pun menjawab permintaan
az-Zahra, Jibril pun diperintahkan turun dari sisi Tuhan
Untuk menyampaikan salam
persetujuan Mahar syafaat menjadi syarat pernikahan.
Selembar kain yang
bertuliskan perjanjian Tuhan
Dibawa Jibril untuk Fatimah
wanita penghulu alam
memberi syafaat kepada
manusia kelak di alam kebangkitan.
“Allah telah setuju
menjadikan syafaat Fatimah
bagi umat ayahnya sebagai
mahar nikahnya”,
begitu teks perjanjiannya.
Kelak, ketika menjelang
ajalnya, Fatimah berwasiat kepada Ali suaminya untuk meletakkan surat
perjanjian itu dalam kain kafannya,
“Letakkan surat ini di
kain kafanku,
sebab kelak dihari
kiamat, dengan memegang suratku,
aku akan memberikan
syafaatku kepada orang-orang yang berdosa dari umat ayahku.”
Hari itu, 1 Dzulhijjah 14 abad
yang silam, Menjadi saksi penting ikatan kasih saying Dalam perjanjian yang
teguh, mitsaqan ghalizhan Antara dua insan suci yang dibalut
keagungan, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, . Ikatan kasih mereka abadi
Hingga bertemu Ilahi Rabbi.
Ketika mengenang Fatimah,
Imam Ali pernah bercerita,
“Aku menikah dengan Fatimah.
Kami tak memiliki alas tidur
kecuali selembar kulit domba.
Malam harinya kami gunakan
untuk alas tidur,
dan siang harinya kami jemur.
Kami tak memiliki pembantu,
pekerjaan rumah dikerjakan
Fatimah tanpa mengeluh.
Ketika kami pindah,
Rasulullah membekali kami dengan sebuah selimut,
bantal kulit yang diisi
serabut,
dua gilingan tepung, satu
gelas, dan sekantong susu.
Begitu seringnya Fatimah
menggiling tepung,
sampai berbekas kasar pada
tangannya.
Begitu seringnya Fatimah
memanggul air,
sampai berbekas hitam di
punggungnya.
Begitu seringnya Fatimah
membersihkan rumah,
sehingga pakaiannya dipenuhi
debu.
Dan begitu seringnya Fatimah
menyalakan tungku api,
sampai-sampai pakaiannya menghitam
dipenuhi arang.”
Ya Fatimah, Ya Ali,
jalinan cinta kalian ternyata
menjadi rahmat bagi seluruh bumi,
meliputi kami yang hidup saat
ini,
hingga manusia nanti sampai
kiamat terjadi.
Ikatan kasih kalian, menebar
ke seluruh alam
yang terungkap dalam bantuan
syafaat yang sangat kami butuhkan
ketika berdiri di pengadilan
Tuhan.
Ya Fatimah, kami sampaikan
doa dengan wasilah,
“Ya wajihatan ‘indallah,
isfa’i lana ‘indallah”,
“Wahai yang mulia di sisi
Allah, syafaatilah kami di sisi Allah”.
Kepada semua pecinta Fatimah,
Kami sampaikan “Selamat
Hari Mahabbah”
Semoga Allah mengekalkan
cinta kita semua
kepada keluarga suci
Nabi-Nya,
yang menebar hingga anak
–cucu dan keturunan kita.”
Allahumma shalli ‘ala
Muhammad wa aali Muhammad!
0 Response to "Kalau tidak ada Ali, tidak ada yang layak menikahi Fatimah"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip