Siang kemarin ribuan massa yang tergabung sebagai peserta Aksi
Solidaritas Rohingya memadati Bundaran HI hingga Kedutaan Besar Myanmar
di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Sepanjang aksi demonstrasi ribuan
massa yang datang dari berbagai sudut ibu kota meneriakkan yel-yel cukup
keras, seperti mengusir Myanmar dari Indonesia hingga pemutusan kerja
sama Indonesia-Myanmar. Aksi yang diikuti berbagai lapisan organisasi
ini menyita perhatian publik, mengingat aksi dilakukan pada hari kerja
dan dengan jumlah massa yang besar. Tragedi kemanusiaan yang menimpa
etnis Rohingya di negara bagian Rakhine menjadi isu terpanas kedua
setelah kemerdekaan Palestina yang disikapi oleh berbagai kelompok ormas
di Tanah Air.
Memang hampir sepekan terakhir pengusiran etnis Rohingya dari wilayah Rakhine terus berlanjut hingga hari ini. Puluhan ribu orang Rohingya mengungsi ke berbagai negara di kawasan ASEAN, terutama ke negara tetangga terdekat, yaitu Bangladesh dan Thailand. Ribuan pengungsi yang telah berada di perbatasan Shamlapur rela menanti berhari-hari di penampungan itu hanya berbekal makanan dan minuman seadanya. Meski perbatasan ini menjadi pintu masuk Bangladesh, tapi pemerintah setempat baru akan memberikan bantuan makanan dan obat-obatan kepada para pengungsi bila mereka telah masuk ke wilayahnya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi pengungsi di penampungan dengan segala bentuk keterbatasannya.
Tragedi kemanusiaan tersebut memang sangat memprihatinkan di tengah upaya Myanmar bertransformasi menjadi negara demokrasi. Etnis Rohingya yang mayoritas adalah muslim ikut menjadikan isu ini lebih diartikan sebagai konflik agama dan menutupi konflik sesungguhnya, yaitu perebutan lahan. Seperti diketahui, Rakhine merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar.
Keberadaan etnis Rohingya di atas tanah yang bernilai ekonomi tinggi itu menjadikan negara eks otoritarian ini menurunkan militer dalam membantu proses penyelesaiannya. Apa yang dilakukan militer Myanmar dalam perebutan lahan dilakukan bukan hanya terhadap etnis Rohingya saja, tetapi juga dilakukan terhadap kelompok minoritas lainnya. Seperti yang terjadi pada tahun 2012 lalu, latar belakang serangan militer terhadap etnis Rohingya adalah untuk menguasai lahan yang diambil alih proyek pemerintah. Masalah lain yang terjadi di Rakhine adalah hadirnya kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) sebagai kelompok penentang militer Myanmar. Kelompok inilah yang beberapa waktu lalu menyerang pos-pos polisi dan pangkalan militer di Rakhine.
Menyikapi konflik cukup pelik di Myanmar, khususnya yang dihadapi etnis Rohingya, membutuhkan kelincahan dalam berdiplomasi. Meski jutaan orang Indonesia melakukan aksi demonstrasi mengecam Myanmar, tapi melakukan tekanan yang keras hingga berujung sulitnya diplomasi dalam menyalurkan bantuan justru akan memperburuk keadaan. Posisi Pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi dari hulu Myanmar hingga ke hilir di Bangladesh, harus mendapatkan dukungan masyarakat, mengingat segala bentuk bantuan hanya dapat disalurkan melalui kerja sama yang baik antarnegara. Patut diapresiasi pula langkah Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang berhasil menawarkan solusi konflik disebut Formula 4+1 kepada Konselor Myanmar Aung San Suu Kyi dan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jendral U Ming Aung Hlaing pada Selasa (5/9) lalu. Pertemuan Menlu Retno dengan kedua pejabat Myanmar tersebut sekaligus menjadikan Indonesia sebagai jembatan negara-negara ASEAN untuk penyelesaian konflik.
Kini hampir seluruh elemen masyarakat Indonesia bersama-sama mengulurkan tangan dan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun untuk meringankan beban para pengungsi Rohingya. Aksi solidaritas yang digalang mulai dari tingkat sekolah hingga organisasi kemasyarakatan ini menjadi bukti solidaritas masyarakat Indonesia sangat tinggi terhadap kaum yang tertindas oleh kekuasaan militer Myanmar. Aksi demonstrasi massa dan aksi penggalangan dana masyarakat menjadi pelengkap kekuatan diplomasi Indonesia untuk mendorong proses demokrasi yang baik di Myanmar, terutama di Rakhine. Semoga saja berbagai bentuk aksi keprihatinan ini bisa mengubah Aung San Suu Kyi yang pernah menerima Nobel Perdamaian segera mengakhiri sikap diamnya terhadap pembantaian etnis di wilayahnya.
Memang hampir sepekan terakhir pengusiran etnis Rohingya dari wilayah Rakhine terus berlanjut hingga hari ini. Puluhan ribu orang Rohingya mengungsi ke berbagai negara di kawasan ASEAN, terutama ke negara tetangga terdekat, yaitu Bangladesh dan Thailand. Ribuan pengungsi yang telah berada di perbatasan Shamlapur rela menanti berhari-hari di penampungan itu hanya berbekal makanan dan minuman seadanya. Meski perbatasan ini menjadi pintu masuk Bangladesh, tapi pemerintah setempat baru akan memberikan bantuan makanan dan obat-obatan kepada para pengungsi bila mereka telah masuk ke wilayahnya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi pengungsi di penampungan dengan segala bentuk keterbatasannya.
Tragedi kemanusiaan tersebut memang sangat memprihatinkan di tengah upaya Myanmar bertransformasi menjadi negara demokrasi. Etnis Rohingya yang mayoritas adalah muslim ikut menjadikan isu ini lebih diartikan sebagai konflik agama dan menutupi konflik sesungguhnya, yaitu perebutan lahan. Seperti diketahui, Rakhine merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar.
Keberadaan etnis Rohingya di atas tanah yang bernilai ekonomi tinggi itu menjadikan negara eks otoritarian ini menurunkan militer dalam membantu proses penyelesaiannya. Apa yang dilakukan militer Myanmar dalam perebutan lahan dilakukan bukan hanya terhadap etnis Rohingya saja, tetapi juga dilakukan terhadap kelompok minoritas lainnya. Seperti yang terjadi pada tahun 2012 lalu, latar belakang serangan militer terhadap etnis Rohingya adalah untuk menguasai lahan yang diambil alih proyek pemerintah. Masalah lain yang terjadi di Rakhine adalah hadirnya kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) sebagai kelompok penentang militer Myanmar. Kelompok inilah yang beberapa waktu lalu menyerang pos-pos polisi dan pangkalan militer di Rakhine.
Menyikapi konflik cukup pelik di Myanmar, khususnya yang dihadapi etnis Rohingya, membutuhkan kelincahan dalam berdiplomasi. Meski jutaan orang Indonesia melakukan aksi demonstrasi mengecam Myanmar, tapi melakukan tekanan yang keras hingga berujung sulitnya diplomasi dalam menyalurkan bantuan justru akan memperburuk keadaan. Posisi Pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi dari hulu Myanmar hingga ke hilir di Bangladesh, harus mendapatkan dukungan masyarakat, mengingat segala bentuk bantuan hanya dapat disalurkan melalui kerja sama yang baik antarnegara. Patut diapresiasi pula langkah Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang berhasil menawarkan solusi konflik disebut Formula 4+1 kepada Konselor Myanmar Aung San Suu Kyi dan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jendral U Ming Aung Hlaing pada Selasa (5/9) lalu. Pertemuan Menlu Retno dengan kedua pejabat Myanmar tersebut sekaligus menjadikan Indonesia sebagai jembatan negara-negara ASEAN untuk penyelesaian konflik.
Kini hampir seluruh elemen masyarakat Indonesia bersama-sama mengulurkan tangan dan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun untuk meringankan beban para pengungsi Rohingya. Aksi solidaritas yang digalang mulai dari tingkat sekolah hingga organisasi kemasyarakatan ini menjadi bukti solidaritas masyarakat Indonesia sangat tinggi terhadap kaum yang tertindas oleh kekuasaan militer Myanmar. Aksi demonstrasi massa dan aksi penggalangan dana masyarakat menjadi pelengkap kekuatan diplomasi Indonesia untuk mendorong proses demokrasi yang baik di Myanmar, terutama di Rakhine. Semoga saja berbagai bentuk aksi keprihatinan ini bisa mengubah Aung San Suu Kyi yang pernah menerima Nobel Perdamaian segera mengakhiri sikap diamnya terhadap pembantaian etnis di wilayahnya.
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar
Simanjuntak menegaskan yang terjadi di Myanmar bukanlah konflik, tetapi
pembantaian terhadap etnis muslim Rohingya.
“Apa yang terjadi di Myanmar bagi saya bukan konflik, namun pembantaian,” kata Dahnil dalam pernyataan tertulis, Rabu (30/08).
Menurutnya, dunia seolah tak mampu berbuat apa-apa terhadap
pembantaian terhadap etnis muslim Rohingya. Sementara, tragedi itu sudah
lama berlangsung.
Dahnil menambahkan yang dilakukan dunia selama ini hanya sekadar
bersikap menunjukkan keprihatinan dan empati. “Yang menurut saya
basa-basi dalam pergaulan diplomasi perdamaian dunia,” imbuhnya.
Tahun 2012 yang lalu, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah bersama delegasi
Religion for Peace sempat mencoba mediasi dialog dan masuk ke kamp
pengungsian etnis Rohingya, namun tidak bisa. Berbagai komponen juga
sudah lama melakukan berbagai mediasi dialog dan lobby terhadap
pemerintah Junta Militer. Termasuk juga mediasi dengan pemerintah hasil
pemilu saat ini yang dikendalikan oleh peraih hadiah Nobel Perdamaian
Aung San Suu Kyi.
Namun upaya-upaya itu selalu gagal dan tidak membuhkan hasil yang
signifikan bagi perdamaian dan penghentian kekerasan kepada Etnis
Rohingya. Sebaliknya, misi-misi kemanusiaan seperti bantuan logistik dan
kesehatan sulit menembus dan mendapat akses.
“Jadi menurut saya yang paling dibutuhkan saat ini, oleh etnis
Rohingya yang sedang dihadapkan dengan fakta pembantaian oleh militer
Myanmar bukan bantuan logistik dan kesehataan. Tapi, tekanan politik
dari dunia terhadap pemerintah Myanmar yang sedang melakukan
pembantaian,” tandasnya.
AbdkadirAlhamid@2017
0 Response to "Keprihatinan Dunia untuk Rohingya Dinilai Hanya Basa-basi Diplomasi"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip