Suatu sore pada tahun 1525, penjara tempat orang tahanan terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap sipir penjara membungkukan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik ... itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara membaca Ayat Suci Al-aQur'an yang amat ia benci.
" Hai ... hentikan suara jelekmu ❗️ Hentikan ‼️ teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata.
Namun apa yang terjadi ❓ Lelaki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk 1 orang.
Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib ... tak terdengar secuil pun keluh kesah kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan pada sang algojo, bibir keringnya hanya berkata lirih, "Rabbi, wa-ana 'abduka"
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir seraya berkata, "Bersabarlah wahai Ustadz ... In syaa Allah tempatmu di Syurga."
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil Ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.
Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.
"Hai orang tua busuk ‼️ Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu ❓❗️ Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu ‼️"
"Hai orang tua busuk ‼️ Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu ❓❗️ Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu ‼️"
Sang Ustadz lalu berucap, "Sungguh ... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah Subhanahu wa ta'ala ... Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-Nya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk ❓ Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya. Lelaki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah.
Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil."
Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
" Berikan buku itu, hai laki-laku dungu ❗️" bentak Roberto.
"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini ❗️" ucap sang Ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.
"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini ❗️" ucap sang Ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.
Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang Ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto.
Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus.
Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
"Ah ... Rasanya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan ❓ Ya, aku pernah mengenal buku ini," suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama buku itu.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama buku itu.
Pemuda berumur tiga puluh tahunan itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol. Akhirnya Roberto duduk di samping sang Ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.
Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.
Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.
Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia.
Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi.
Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.
Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia.
Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi.
Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.
Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur sekira tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua.
Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi (ibu) yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti abaya-nya.
Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi ... ummi ... mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa ...❓ Ummi, cepat pulang ke rumah ummi ..."
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi ... Abi ... Abi ..."
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
"Hai ... siapa kamu ❓" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah
"Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi," jawab sang bocah memohon belas kasihan.
"Hah ... siapa namamu bocah, coba ulang ❗️" bentak salah seorang dari mereka
"Saya Ahmad Izzah ..." sang bocah kembali menjawab agak grogi.
Tiba-tiba "plak ❗️" sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
"Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi," jawab sang bocah memohon belas kasihan.
"Hah ... siapa namamu bocah, coba ulang ❗️" bentak salah seorang dari mereka
"Saya Ahmad Izzah ..." sang bocah kembali menjawab agak grogi.
Tiba-tiba "plak ❗️" sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
"Hai bocah ...❗️ Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang ADOLF ROBERTO... Awas ❗️ Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh ❗️" ancam laki-laku itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar dari lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.
Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang Ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi ... Abi ... Abi ..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.
Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya.
Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusar.
Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusar.
Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi ... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa ..."
Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.
Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.
Sang Ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya.
Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu ..." terdengar suara Roberto memelas.
Sang Ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah SwT ...
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap, "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu."
Setelah selesai berpesan sang Ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah, "Asyhadu an-laa Ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasullullah ..."
Beliau pergi menemui Rabb-nya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.
Beliau pergi menemui Rabb-nya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.
Ahmad Izzah mendalami Islam dengan sungguh-sungguh hingga akhirnya ia menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya.
Dialah ... "Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy"
Dialah ... "Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy"
Benarlah firman Allah ...
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
[QS Ar Rum : 30]
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
[QS Ar Rum : 30]
Masya Allah ...
Semoga kisah ini dapat membuat hati kita luluh dengan hidayah Allah yang mudah-mudahan dapat masuk mengenai qalbu kita untuk tetap taat kepadaNya ...
Semoga kisah ini dapat membuat hati kita luluh dengan hidayah Allah yang mudah-mudahan dapat masuk mengenai qalbu kita untuk tetap taat kepadaNya ...
Semoga bermanfaat ...
Abdkadiralhamid@2016
0 Response to "AL-QUR'AN DAN SANG JENDRAL (diangkat dari kisah nyata)"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip