KH. Mbah Maimoen Zubair Hafidzahullaahu berwasiat tentang pentingnya wasilah (Tawassul)
Beliau mengingatkan bahwa ,
" yang termasuk orang yang tidak punya adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala itu nak, orang yang selalu berdo'a langsung minta yang diinginkan tanpa memuji Allah dahulu, tanpa wasilah menggunakan salah satu Asma'ul Husnahnya Allah tanpa wasilah kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dahulu, sukanya langsung minta apa yang di inginkan".
Salah satu perintah Allah Azza wa
Jalla adalah berdoa kepadaNya diawali dengan bertawasul.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
(washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan”
(QS Al Maa’idah [5]: 35 )”
Pada hakikatnya hadiah bacaan Al
Fatihah, surat Yasin dan surat lainnya bukanlah “transfer pahala” namun bagian
dari tawasul dengan amal kebaikan berupa bacaan surat sebelum doa inti kepada
Allah Azza wa Jalla yang kita panjatkan untuk ahli kubur maupun kepentingan
kita sendiri.
Sedangkan berdoa kepada Allah
diawali bertawassul dengan Rasulullah, Ahlul Bait, Salafush Sholeh, para Wali
Allah maupun guru-guru agama kita terdahulu adalah sebagai wujud syukur kita
kepada mereka sehingga agama Islam sampai kepada kita dan sekaligus untuk
menyambung tali silaturrahmi dengan ahli kubur.
Jadi bertawassul adalah adab dalam
berdoa , yakni berdoa kepada Allah diawali dengan permohonan keberkahan
(bertabarruk) kepada Allah dengan hadiah bacaan surat, ucapan salam atau pujian
bagi ahli kubur ataupun istighatsah dengan menyebut para Nabi, para kekasih
Allah (wali Allah) atau orang-orang sholeh sebelum doa inti kepada Allah Azza
wa Jalla yang dipanjatkan untuk ahli kubur maupun kepentingan sendiri.
Tabaruk berasal dari kata
al-Barakah. Arti al-Barakah adalah tambahan dan perkembangan dalam kebaikan /
keutamaan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi al-Khair) atau sesuatu yang mempunyai
keutamaan (berkat).
Contoh berdoa kepada Allah untuk
kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah
bacaan Al Fatihah :
Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari
Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat
melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu
perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi
penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah
di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’
Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu
dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun
sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi
dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih
dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’
Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu,
katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan
membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan
bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda
beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian
bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar
dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah
dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian
orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu
memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)
Contoh berdoa kepada Allah meminta
kesembuhan, bertawassul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah
Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, An Nas dan Al Falaq)
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Yusuf Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari
Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menderita sakit, maka beliau membacakan Al Mu’awwidzaat untuk
dirinya sendiri, lalu beliau meniupkannya. Dan ketika sakitnya parah, maka
akulah yang membacakannya pada beliau, lalu mengusapkan dengan menggunakan
tangannya guna mengharap keberkahannya. (HR Bukhari 4629)
Contoh berdoa kepada Allah untuk
kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan “ludah
sebagian kami” yakni ludah hambaNya yang telah meraih maqom (derajat)
disisiNya.
Telah menceritakan kepadaku Shadaqah
bin Al Fadl telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin
Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau
membaca:
BISMILLAHI TURBATU ARDLINA BI
RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA
(Dengan nama Allah, Debu tanah kami
dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin
Rabb kami (HR Bukhari 5304)
Contoh berdoa kepada Allah untuk
kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah
jubah atau gamis
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Pergilah kamu dengan membawa baju
gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat
kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf [12]:93)
Setelah itu, ia meneruskan
ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah
ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan
membersihkannya untuk orang sakit agar ia lekas sembuh dengan mengenakannya.
(HR Muslim 3855)
Begitupula yang sudah kita kenal
adalah sunnah Rasulullah bertawasul (beperantara) sebelum doa inti yang
dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla dengan permohonan keberkahan
(bertabarruk) kepada Allah dengan tempat seperti Multazam, Raudah, Hijr Ismail,
Hajar Aswad, Maqom Ibrahim (tempat pijakan Nabi Ibrahim Alaihisalam) dan lain
lain.
Contoh berdoa kepada Allah untuk
kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah
menyebut nama orang yang dicintai dari para kekasih Allah (Wali Allah)
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia
berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami
kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki
kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari
ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang
lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama
orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu
menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada
kakinya.
Umat Islam setiap hari selalu
bertawasul dengan Rasulullah yang sudah wafat dengan mengucapkan
“ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU
WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para Sahabat
bertawasul dengan penduduk langit yakni para malaikat dan kaum muslim yang
meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya yakni orang-orang shalih baik yang
sudah wafat maupun yang masih hidup
Pada awalnya para Sahabat bertawasul
dengan ucapan
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU
‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada
Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rasulullah
menyederhanakan ucapan tawasulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA
‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada
hamba-hamba Allah yang shalih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia
mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih
baik di langit maupun di bumi“
Telah menceritakan kepada kami Umar
bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami
Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia
berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka kami mengucapkan:
ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI,
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA
FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpahkan
kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan
dan fulan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan
shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya
Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat
(tahiyyat), hendaknya mengucapkan;
AT-TAHIYYATUT LILLAHI
WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA
RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH
SHAALIHIIN,
(penghormatan, rahmat dan kebaikan
hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada
engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang
shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup
seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu
melanjutkan;
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA
ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH
(Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang
berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).
Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Oleh karenanya berdoa setelah sholat
lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Allah, bertawasul dengan
bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam dan tawasul dengan
hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi
Begitupula dalam susunan doa setelah
sholat, sebelum doa inti, kita bertawasul dengan memohonkan ampunan kepada kaum
muslim yang telah wafat.
“Astaghfirullahalazim li wali waa
lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya
immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Allah yang Maha
Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat
yang masih hidup dan yang telah mati.”
Sebaliknya penduduk langit mendoakan
penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat
kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan
kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah.
Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat
kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u
al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami
menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits
shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada
karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan
kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada
itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai
Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah
kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Jadi jika seseorang melakukan ziarah
kubur dalam rangka silaturahmi dan berbicara hajatnya dengan ahli kubur bukan
berarti ahli kubur yang mengabulkan atau mewujudkan hajat pemohon melainkan
ahli kubur dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) disisi Allah
mendoakan hajat pemohon kepada Allah Azza wa Jalla.
Contoh berdoa kepada Allah untuk
meminta ampunan, bertawasul dengan bertabaruk atau berperantara dengan barokah
pujian kepada Rasulullah adalah sebagaimana kisah yang termuat dalam kitab
tafsir Ibnu Katsir tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam.
Amat disayangkan dalam kitab tafsir
Ibnu Katsir terbitan akhir ada pula kisah tawasul tersebut telah “dihilangkan”
oleh tangan-tangan jahil.
Kita masih bisa mendapatkannya pada
kitab Tafsir Ibnu Katsir , terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal
283-284. Silahkan periksa pada gambar di atas atau pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/ikjuz5p281_285.pdf
*Awal kutipan.
Al-Atabi ra menceritakan bahwa
ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam,
datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan,
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah
(semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah
mendengar Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka
ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha
Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu,
memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu
(agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut
mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di
lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya
semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau
menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan
kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan
dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam
tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu
beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui
itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan
ampunan kepadanya!”
*Akhir kutipan.
Prof, DR Ali Jum’ah menjelasakan
tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum
wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan
judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa
Press beralamat Jl Datuk Ibrahim No. 19, Condet, Balekambang, Jakarta Timur.
Telp 021 8098583. Website: http://www.khatulistiwapress.com/
Berikut kutipan penjelasan Prof, DR
Ali Jum’ah.
*Awal kutipan
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa
[4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya,
baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya
dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu
akan tetap ada hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang menjadi
barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh
karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan
dalil yang menunjukkan hal itu.
Keumuman (kemutlakan) makna suatu
ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal. Sedangkan
taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yang
menunjukkannya.
Ini adalah pemahaman ulama ahli
tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu
Katsir. Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu
mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil
menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
*Akhir kutipan
Begitupula ulama-ulama terdahulu
yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat seperti, Ibnu
Hajar al-Haitami mengatakan ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk
dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta
ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan
ini tidak terputus dengan wafat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu
Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal.
12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama
dari mazhab Maliki berkata,
*Awal kutipan
“Tawasul dengan beliau merupakan
media yang akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Karena keberkahan dan
keagungan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam di sisi Allah itu tidak bisa
disandingi oleh dosa apapun. Syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih
agung dibandingkan dengan semua dosa, maka hendaklah orang menziarahi (makam)
nya bergembira.
Dan hendaklah orang tidak mau
menziarahinya, mau kembali kepada Allah Ta’ala dengan tetap meminta syafaat
Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Barangsiapa yang mempunyai keyakinan
yang bertentangan dengan hal ini, maka ia adalah orang yang terhalang (dari
syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam).
Apakah ia tidak pernah mendengar
firman Allah yang berbunyi:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang
rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka
ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )
Oleh karena itu, barang siapa yang
mendatangi beliau, berdiri di depan pintu beliau, dan bertawassul dengan
beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allah Ta’ala telah berjanji untuk
menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu beliau (Nabi
shallallahu alaihi wasallam) dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak diragukan
lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah
dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan
syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260).
*Akhir kutipan
Imam an Nawawi, ulama dari kalangan
Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu
alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya
(setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta
yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik
dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al
Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari
kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, agar peziarah membaca ayat di atas,
mengajak bicara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan memakai ayat
tersebut dan meminta kepada beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah.
*Awal kutipan
Maka setelah peziarah membaca salam,
doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah
berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )
Aku datang kepadamu (Nabi
shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas
dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku.
Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana
Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi
wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdoa untuk
kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
*Akhir kutipan
Begitupula kita dianjurkan berdoa
kepada Allah diawali dengan bertawassul dengan sholawat bukan berarti
Rasulullah membutuhkan sholawat dari umatnya namun kita mendapatkan balasan
salam dari Rasulullah dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi
Allah.
Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah
mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam .” HR. An-Nasa’i
Al-Hakim 2/421 )
Sunnah Rasulullah agar doa inti yang
kita panjatkan kepada Allah lebih mustajab maka kita disunnahkan diawali
bertawasul dengan amal kebaikan berupa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
bertawasul dengan amal kebaikan berupa sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi
Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya
dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat
kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa
sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Anas bin Malik r.a meriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali
terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas
Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi,
terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian,
kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”. (QS Al Baqarah [2]:186 )
Dalam firmanNya tersebut telah
disampaikan syarat agar doa kita dapat dikabulkanNya yakni “maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”
Siapakah muslim yang menjalankan
perintahNya, menjauhi laranganNya, beriman kepada Allah serta selalu dalam
kebenaran atau selalu berada di atas jalan yang lurus ?
Jawabannya adalah muslim yang dekat
dengan Allah atau muslim yang meraih manzilah (maqom atau derajat) disisiNya
yakni muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan
yakni muslim selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau muslim yang
selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai
Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada
Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak
melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah
karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang
selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap
atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya ,
menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga
terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau
muslim yang ihsan.
Muslim yang memandang Allah Ta’ala
dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang
selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid
untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya
selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa
melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang
membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman
seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu
bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah
selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah
ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah
melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah
saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra
menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat,
tetapi bisa dilihat oleh hati”
Tidak semua manusia dapat
menggunakan hatinya
Orang kafir itu tertutup dari cahaya
hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan
perbuatannya ketika taat kepada Allah Ta’ala, pada saat yang sama ia telah
terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi
besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya
Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan
perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan
tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam
hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik
hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah
yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
shummun bukmun ‘umyun fahum laa
yarji’uuna ,
“mereka tuli, bisu dan buta (tidak
dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang
benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa
ya’qiluuna ,
“mereka tuli (tidak dapat menerima
panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
(QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan
di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya)
di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih
tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Para ulama Allah mengatakan bahwa
hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab,
cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya
orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi
hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan,
karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa
bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain
tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan
adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim
no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat
sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi ,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ,
“Allah berfirman, Keagungan adalah
sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku)
maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Kemuliaan adalah sarung-Nya dan
kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan
mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan
“Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum
bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain;
wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia
dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika
orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi
wasallam bersabda
“Tiada lurus iman seorang hamba
sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR.
Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan,
“Jangan pernah tertipu oleh teriakan
seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan
amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah
ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang bertambah ilmunya
tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah
melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak
berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang
berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal
tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak
(ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa
hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah
Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia
hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga
meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya
dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh
orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin
berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Muslim yang berada di atas kebenaran
adalah muslim yang ihsan yakni muslim yang memperoleh karunia Allah dan Allah
Azza wa Jalla telah mensucikan (menganugerahkan) mereka dengan akhlak yang
tinggi, muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang meraih maqam (manzilah,
kedudukan, derajat) di sisi Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah)
dan berkumpul dengan Rasulullah
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena
karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang
bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan
mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi
Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad
[38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus ,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al
Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada
dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang
diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan
(disucikan / dipelihara) oleh Allah Ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan
keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau
muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat
menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh).
Hubungan yang tercipta antara Allah
Ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi
(205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah
(cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh
karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah,
sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih,
dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari
makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan
kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah
(pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah
kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya
bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah,
yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki
mereka berbeda.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga
peringkat ‘ishmah, yakni ‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi), ‘ishmah al-awliya
(‘ishmah para wali), ‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Bagi umumnya orang-orang beriman
‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa;
sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari
kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka
mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Jadi jika Allah telah mencintai
hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka
berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka
ketika masih di dunia.
Sedangkan ulama su’ (ulama yang
buruk) adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah
Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka
menyadarinya di akhirat kelak.
Contohnya ada dari para pengikut
Wahabisme penerus kebid’ahan yang menyalahkan atau bahkan menuduh musyrik
kepada muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka yang
mewajibkan berdoa langsung kepada Allah dan jangan berperantara bahkan diiikuti
dengan celaan “Tuhan tidak tuli”
Oleh karena kesalahpahaman mereka
dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka secara tidak langsung
telah menghardik Salafush Sholeh yang berdoa kepada Allah dengan berperantara.
Contohnya riwayat berikut
Dari Anas ibnu Malik ra berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berapa banyak manusia lemah
dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah
memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.” Ketika
Barra’ memerangi kaum musyrikin, para Sahabat: berkata: “Wahai Barra’,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Andaikata
Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh karena itu, berdoalah untuk kami.”
Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan. Di medan peperangan Sus,
Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan
temukanlah aku dengan NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’
gugur sebagai syahid.
Suatu hari Umar r.a. kedatangan
rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya:
“Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”.
Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik.
“Siapa namamu?” tanya Umar.
“Aku Uwais”, jawabnya datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi.
“Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas.
Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang).
“Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”.
“Mintakan aku ampunan kepada Allah”.
Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih berhak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)
“Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”.
Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik.
“Siapa namamu?” tanya Umar.
“Aku Uwais”, jawabnya datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi.
“Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas.
Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang).
“Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”.
“Mintakan aku ampunan kepada Allah”.
Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih berhak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)
Riwayat tersebut bukan berarti
Sayyidina Umar ra tidak termasuk wali Allah (kekasih Allah) namun sekedar
mengabarkan Uwais ra adalah seorang wali Allah di antara Tabi’in.
Allah Ta’ala telah berfirman bahwa
“jika wali Allah (kekasih Allah) meminta atau berdoa pasti dikabulkanNya”
artinya seorang muslim semakin dekat dengan Allah sehingga meraih maqam
(manzilah, kedudukan, derajat) di sisiNya maka doanya akan mustajab.
Berikut riwayat selengkapnya,
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah
Ta’ala berfirman bahwa
“jika Aku sudah mencintainya, maka
Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia
jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan
kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi,
dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu
untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana
keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap
kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR
Bukhari 6021)
Selain itu ada pula dari pengikut
Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah hanya melarang berdoa kepada Allah
bertawassul dengan yang sudah wafat.
Pada hakekatnya memanggil nama
seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia
seorang muslim, mukmin, shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat karena bila
seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat
dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena
seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat
kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika seseorang berkata bahwa orang
mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia
dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah
sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan
mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan
kehidupan atau kematian.
Begitupula Prof. DR. Sayyid Muhammad
bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani dalam http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/paham_yang_harus_…
mengatakan
****** awal kutipan *******
Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini
maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal
perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini
oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya
dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu
seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa
ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya
meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya
bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku
padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.
Namun mayoritas kaum muslimin tidak
pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang
tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang
mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan :
Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena
orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan
kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi
ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang
terjadi pada selain Nabi dari para wali.
******* akhir kutipan *****
Berikut kutipan nasehat salah satu
gurunya Muhammad bin Abdul Wahhab yakni Syaikh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi
as-Syafi’i, yang berisi nasehat agar ia tidak menyempal keluar dari mayoritas
kaum muslim (as-sawad al a’zham)
***** awal kutipan *****
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
***** akhir kutipan ******
Sebutan Wahabi itu pertama kali
dimunculkan oleh Syaikh Sulamain bin Abdul Wahab al-Hanbali. Beliau adalah
saudara kandung dari Muhammad bin Abdul Wahab.
Sulaiman bertanya kepada adiknya:
“Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab: “lima”.
Sulaiman: “Tetapi kamu menjadikan 6!”
Muhammad: “Apa?”
Sulaiman: “Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir“.
Muhammad : “Terdiam dan marah“.
Muhammad menjawab: “lima”.
Sulaiman: “Tetapi kamu menjadikan 6!”
Muhammad: “Apa?”
Sulaiman: “Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir“.
Muhammad : “Terdiam dan marah“.
Sesudah itu ia berusaha menangkap
kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan
setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal
Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi) sebagaimana gambar
pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/as-shawaiqul-ilah…
Hal yang sama diungkapkan oleh ulama
madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata
dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis
biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
“Demikian pula putra beliau, Syaikh
Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya
dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan
bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul
Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya
adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap
orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan
membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia
akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada
malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang
yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih
al-Hanabilah, hal. 275).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi,
al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga
berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut:
“Keterangan tentang pengikut
Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi
pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan
berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah.
Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang
berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu
mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya
Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara
kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala
al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).
Sedangkan ulama madzhab al-Maliki,
Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki , ulama terkemuka abad 12 Hijriah
dan semasa hidupnya dengan pendiri Wahhabi , sebagaimana yang disampaikan oleh
cucu dari Syaikh Nawawi al Bantani yakni KH Thobary Syadzily bahwa kitab tafsir
“Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang saat ini beredar di seluruh dunia,
asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an) ayat yang
menerangkan tentang khawarij dan dihubungankan dengan “Wahabiyah” dihapus dan
dihilangkan oleh kelompok Wahabi. Karena, kalau tidak dihilangkan akan
merugikan dan membahayakan bagi mereka, bahkan bisa menjadi ancaman bagi Saudi
Arabia dalam rangka tetap menjaga dan memelihara eksistensi kerajaannya di
dunia internasional sebagaimana kajiannya yang dimuat pada http://19aswaja26.blogspot.co.id/…/bukti-scanned-kitab-keja…
Dikabarkan dalam kajian tersebut
berikut bukti scan kitabnya bahwa mereka menghapus kalimat:
و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم
الوهابية
Mereka adalah golongan orang-orang
yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Saudi). Golongan tersebut dinamakan
“Wahabiyyah”.
Tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir
Al-Jalalain” yang masih asli dan belum ditahrif , contohnya cetakan pertama
“Darul Fikr” th 1988 jilid 5 halaman 119, tertulis:
و قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج
الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم ,
لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون
أنهم على شيئ
“Dikatakan bahwa ayat tersebut di
atas diturunkan pada kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang suka
mentahrif (merubah) Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan demikian, mereka
menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Hal itu bisa dibuktikan, karena
adanya suatu kesaksian pada bangsa mereka saat ini. Mereka adalah golongan
orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Mekkah). Golongan tersebut
dinamakan “Wahabiyyah”. Mereka mengira bahwa mereka berkuasa atas sesuatu.”
Firqah salaf (terdahulu) atau firqah
pada zaman Rasulullah yang gemar menyalahkan dan bahkan mengkafirkan muslim
lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah orang-orang seperti
Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim sebagaimana yang telah
disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/firqah-salaf-menyalahk…/
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk
Najed dari bani Tamim juga termasuk salaf karena bertemu dengan Rasulullah
namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman
atau akal pikirannya sendiri yang berakibat menjadikannya sombong dan durhaka
kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani
menyalahkan dan menghardik Rasulullah
Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu
‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul
Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai
Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!.
Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh
kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR
Bukhari 3341)
Abu Sa’id berkata; Orang-orang
Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, kenapa
pemimpin-pemimpin Najd yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak
dibaginya? maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab:
Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka.
Sementara itu, datanglah laki-laki berjenggot tebal, pelipis menonjol, mata
cekung, dahi menjorok dan kepalanya digundul. Ia berkata, Wahai Muhammad!
Takutlah Anda kepada Allah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Siapa pulakah lagi yang akan mentaati Allah, jika aku sendiri telah
mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi,
maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku? (HR Muslim 1762)
Orang-orang seperti Dzul
Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang
menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij
Khawarij adalah bentuk jamak
(plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena orang-orang seperti Dzul
Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim salah memahami Al Qur’an dan As
Sunnah sehingga mereka bersikap.
Wallahu A'lam Bishawab...
0 Response to "Adab Berdoa Kepada Allah Diawali Dengan Bertawassul"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip