Oleh Muhammad Idrus Ramli
WAHABI: Anda harus keluar dari madzhab Syafi’i, dan ikuti madzhab Wahabi. Karena wahabi adalah madzhab Syafi’i yang asli.
SUNNI: Apa buktinya bahwa Wahabi madzhab Syafi’i yang asli?
WAHABI: Buktinya, kami anti ilmu kalam dan akal, persis seperti Imam Syafi’i, yang mendahulukan dalil daripada akal. Kata Ustadz Dr Nur Ihsan, ilmu kalam itu mulai berkembang pada masa Imam al-Syafi’i. Dr Nur Ihsan, menasehati untuk mengetahui madzhab Syafi’i yang asli, silahkan baca kitab Manazil al-Aimmah al-Arba’ah, karya al-Imam Yahya bin Ibrahim al-Salmasi w. 550 H. Di situ lengkap.
SUNNI: Anda ini lucu. Kemarin sudah kami jelaskan bahwa ilmu kalam sudah berkembang sejak sebelum Imam al-Syafi’i lahir ke dunia, dan beliau termasuk salah satu pakar ilmu kalam, dengan argumentasi yang tidak akan dapat Anda patahkan. Silahkan Anda patahkan kalau bisa.
Sedangkan saran guru Anda, Dr Nus Ihsan, agar kami merujuk kepada kitab Manazil al-Aimmah al-Arba’ah, karya al-Salmasi, justru kitab tersebut banyak menentang faham Wahabi yang Anda sebarkan dalam buku Anda, Manhaj Salafi Imam Syafi’i. Hal ini saya contohkan dengan beberapa bukti:
1) Al-Salmasi dalam kitab Manazil al-Aimmah al-Arba’ah menyebutkan bahwa dalil-dalil agama yang disepakati oleh para Imam empat adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara dalam buku Anda, tidak ada penjelasan sedikitpun tentang Ijma’ dan Qiyas. Al-Imam al-Syafi’i berkata:
اَلأَصْلُ الْقُرْآَنُ وَالسُّنَّةُ وَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا، وَاْلإِجْمَاعُ أَكْبَرُ مِنَ الْحَدِيْثِ الْمُنْفَرِدِ
Dasar agama itu al-Qur’an, Sunnah dan Qiyas terhadap keduanya. Sedangkan Ijma’, lebih besar (lebih kuat posisinya) dari pada hadits ahad. (Lihat, al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 9 hlm 105; al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, juz 2 hlm 30 dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz 10 hlm 20).
Perhatikan dalam pernyataan di atas, dalil Ijma’ lebih kuat otoritasnya dari pada hadits ahad. Karena Ijma’ itu berkekuatan qath’iy, sedangkan hadits ahad berkuatan zhanni.
2) Al-Salmasi juga memuji al-Imam Abu Hanifah sebagai pakar ilmu kalam. Ia berkata:
فصل: في ذكر أبي حنيفة رضي الله عنه أما أبو حنيفة فله في الدين المراتب الشريفة والمناصب المنيفة، ... سيد الفقهاء في عصره، وراس العلماء في مصره، ... سبق الكافة منهم إلى تقرير القياس والكلام
Bagian tentang Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu. Adapun Abu Hanifah, maka ia memiliki martabat yang mulia dan pangkat yang luhur dalam agama. Penghulu para fuqaha pada masanya, pemimpin para ulama di kotanya. Ia mendahului mereka semua dalam menetapkan Qiyas dan ilmu Kalam. (Al-Salmasi, Manazil al-Aimmah al-Arba’ah, hlm 161).
Perhatikan, dalam pernyataan tersebut, al-Salmasi memuji Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu dengan keahliannya dalam bidang ilmu kalam yang mendahului seluruh ulama pada masanya. Ini bertentangan dengan pernyataan Dr Nur Ihsan, yang mengatakan bahwa bid’ah ilmu kalam lahir pada masa Imam al-Syafi’i.
3) Dalam kitab tersebut, al-Salmasi mengutip pernyataan Imam al-Haramain al-Juwaini dalam al-Risalah al-Nizhamiyyah yang menyatakan bahwa ulama salaf dan mayoritas ulama, menggunakan pendekatan tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) berkaitan dengan teks-teks mutasyabihat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sementara menurut Mujassimah (nama lain dari Hasyawiyah, dan Wahabi), pendekatan tafwidh adalah pendekatan sesat. Kaum Wahabi melakukan pendekatan literal atau mengambil makna zhahir terhadap teks-teks yang mutasyabihat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
WAHABI: Apa sih perbedaan Tafwidh dan Ta’wil?
SUNNI: Begini, di antara ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qut’an ada ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat tersebut apabila diartikan secara literal, akan menimbulkan pengertian bahwa Allah memiliki sifat kekurangan dan menyerupai makhluk-Nya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat tersebut, Ahlussunnah Wal-Jama'ah memiliki dua pandangan.
Pertama, metodologi tafwidh yang diikuti oleh mayoritas ulama salaf. Yaitu tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks tersebut, namun mencukupkan diri dengan penetapan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi Dzat-Nya, serta menyucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap hal-hal yang baru. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengikuti metode ta'wil ijmali terhadap teks-teks tersebut dan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Allah SWT. Tafwidh atau Ta’wil Ijmali maksudnya adalah Ta'wil yang bersifat umum, artinya mengalihkan maksud teks-teks yang mutasyabihat tersebut dari makna literalnya, tanpa memberikan maksud yang pasti terhadapnya, dengan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Allah SWT.
Berangkat dari metodologi tafwidh atau ta'wil ijmali, mayoritas ulama salaf dan sebagian ulama khalaf mengartikan teks-teks mutasyabihat seperti ayat,
َالرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
"Tuhan yang Maha Pemurah, ber-istiwa' di atas 'Arsy". (QS. Thaha : 5).
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَجَاءَ رَبُّكَ
"Dan datanglah Tuhanmu." (QS. al-Fajr : 22).
Demikian pula dalam hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ. (رواه البخاري، 1077).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pada setiap malam Tuhan SWT selalu turun ke langit dunia ketika waktu tinggal sepertiga malam yang terakhir. Tuhan berfirman, "Siapa yang akan berdoa kepada-Ku, Aku pasti mengabulkannya. Siapa yang akan memohon kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan siapa yang akan memohon ampunan kepada-Ku, Aku pasti mengampuninya." (HR. al-Bukhari : 1077).
Mayoritas ulama salaf dengan mengikuti metodologi tafwidh atau ta'wil ijmali, tidak mengartikan kata istiwa' dalam ayat tersebut dengan bersemayam dan bertempat di 'Arasy. Dan tidak pula mengartikan datang dan turunnya Tuhan dalam ayat dan hadits tersebut dengan datang atau turun seperti halnya makhluk yang berpindah dan bergerak dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ulama salaf berpandangan bahwa kata istiwa', datang dan turun dalam teks-teks tersebut memiliki makna-makna tersendiri yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak mengandung penyerupaan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Tentu saja teks-teks mutasyabihat seperti di atas tidak boleh dibiarkan mengikuti makna literalnya tanpa melakukan ta'wil baik secara ijmali maupun secara tafshili (rinci). Membiarkan teks-teks tersebut tanpa melakukan ta'wil baik secara ijmali maupun secara tafshili, belum pernah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf, karena apabila ayat-ayat tersebut dibiarkan mengikuti makna literalnya, maka akan melahirkan pertentangan dengan ayat-ayat yang lain. Misalnya ayat,
َالرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
"Tuhan yang Maha Pemurah, ber-istiwa' di atas 'Arsy". (QS. Thaha : 5).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ اْلكَلِمُ الطَّيِّبُ
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik. (QS. Fathir : 10).
Kedua ayat di atas termasuk ayat mutasyabihat yang tidak boleh dibiarkan mengikuti makna literalnya, misalnya dengan mengatakan bahwa Allah bertempat di arah atas atau di Arsy. Pengertian demikian akan bertentangan dengan ayat-ayat yang lain, misalnya dengan ayat,
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah : 115).
Ayat ini apabila diartikan secara literal, maka akan melahirkan pemahaman bahwa Allah berada di seluruh arah di muka Bumi, Barat, Timur, Selatan dan Utara.
Demikian pula dengan ayat,
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menuju kepada Tuhanku, dan dia akan memberi petunjuk kepadaku". (QS. al-Shaffat : 99).
Ayat ini apabila diartikan secara literal, akan melahirkan pemahaman bahwa Allah ada di Palestina, karena Nabi Ibrahim dalam ayat tersebut mengatakan akan pergi ke Palestina.
Demikianlah, ayat-ayat mutasyabihat di atas apabila diartikan secara literal, akan menimbulkan pengertian yang paradoks. Ayat pertama menyimpulkan, bahwa Allah ada di Arsy. Ayat kedua menyimpulkan, bahwa Allah ada di arah atas. Ayat ketiga menyimpulkan, bahwa Allah ada di berbagai arah di muka bumi. Dan ayat terakhir menyimpulkan, bahwa Allah ada di Palestina. Apabila ayat-ayat tersebut dibiarkan mengikuti maksud literalnya, akan menimbulkan pengertian yang paradoks, maksud ayat yang satu bertentangan dengan maksud ayat yang lain. Padahal demikian itu tidak boleh terjadi dalam al-Qur'an, berdasarkan firman Allah,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. al-Nisa' : 82).
Oleh karena, terjadinya pertentangan dalam al-Qur'an itu tidak boleh, maka kita harus meninggalkan maksud literal ayat-ayat mutasyabihat tersebut, dan mengembalikan pemahamannya kepada ayat yang muhkamat seperti ayat,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (QS. al-Syura : 11).
Berangkat dari ayat yang muhkamat ini, maka akan dapat kita disimpulkan bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.
Kedua, metodologi ta'wil yang diikuti oleh mayoritas ulama khalaf dan sebagian ulama salaf. Yaitu mengalihkan pengertian teks-teks yang mutasyabihat tersebut dari makna-makna literalnya dan meletakkan maksud-maksudnya dalam satu bingkai pengertian yang sejalan dan seiring dengan teks-teks lain yang muhkamat yang memastikan kesucian Allah dari arah, tempat dan anggota tubuh seperti makhluk-Nya. Oleh karena itu, mereka menafsirkan istiwa' dalam ayat di atas dengan kekuasaan Allah, menafsirkan tangan dalam ayat lain dengan kekuatan dan kedermawanan, menafsirkan 'ain (mata) dengan pertolongan ('inayah) dan pemeliharaan (ri'ayah), menafsirkan dua jari-jari dalam hadits ”hayi sorang mu’min berada di antra dua jar-jari Tuhan” dengan kehendak (iradah) dan kekuasaan (qudrah) Allah dan lain sebagainya.
Apabila diamati dengan seksama, sebenarnya antara pendapat salaf dengan pendapat khalaf memiliki kesamaan, yaitu tidak menyifati Allah SWT dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk-Nya. Mereka sama-sama tidak berpegangan dengan arti-arti literal ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat tersebut. Mereka sepakat untuk menyucikan Allah dari sifat-sifat yang menjadi ciri khas makhluk-Nya dan bahwa maksud ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat tersebut bukanlah makna-makna yang dikenal dimiliki makhluk-Nya. Jadi, tidak seorang pun dari kalangan mereka yang meyakini bahwa turunnya Allah ke langit dunia dalam hadits di atas adalah turun secara jasadi seperti turunnya Malaikat dan manusia. Tidak pula di antara mereka yang meyakini bahwa maksud istiwa' dalam ayat di atas adalah bahwa Allah itu duduk atau menetap di Arsy atau ada di arah atas tanpa bersentuhan dengan Arsy. Hal tersebut mereka lakukan dengan berdasarkan firman Allah SWT:
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. al-Syura : 11).
Ayat ini menegaskan kesucian Allah yang bersifat mutlak dari menyerupai apapun, sehingga ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang mutasyabihat dan mengesankan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya harus dikembalikan maksudnya terhadap ayat ini, karena ayat ini kedudukannya muhkamat.
WAHABI: Di dunia Wahabi, konsep seperti ini tidak ada.
SUNNI: Wahabi memang tidak mengenal konsep seperti ini. Bahkan, dalam buku Manhaj Salafi Imam Syafi’i yang Anda bertiga tulis, semuanya bertentangan dengan konsep salaf yang shaleh, terutama dengan Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu sendiri.
abdkadiralhamid@2015
0 Response to "WAHABI TIDAK MEMFUNGSIKAN AKAL Bongkar Kedustaan Buku Manhaj Salafi Imam Syafi’I (part 3)"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip