Oleh :
Muhammad Idrus Ramli
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti aliran Mu'tazilah hingga berusia 40 tahun. Namun kemudian setelah sekian lama menjadi tokoh Mu'tazilah dan tidak jarang mewakili gurunya Abu Ali al-Jubba'i, seorang ulama yang sangat sepuh dan masih ayah tirinya, dalam forum-forum perdebatan, akhirnya al-Asy'ari keluar dari aliran Mu'tazilah dan kembali kepada ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Pertanyaan yang patut dikemukakan di sini adalah, apakah latar belakang keluarnya al-Asy'ari dari Mu'tazilah dan kembali kepada Ahlussunnah Wal-Jama'ah?
Menurut data sejarah yang disampaikan oleh para ulama, seperti Ibnu 'Asakir, Syamsuddin Ibnu Khallikan, Tajuddin al-Subki dan lain-lain, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi perpindahan al-Asy'ari dari Mu'tazilah ke Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Pertama, ketidakpuasan al-Asy'ari terhadap ideologi Mu'tazilah yang selalu mendahulukan akal tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi akal yang sama. Ketidakpuasan al-Asy'ari tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat yang menyatakan bahwa, sebelum al-Asy'ari keluar dari aliran Mu'tazilah, dia tidak keluar rumah selama lima belas hari. Kemudian pada hari Jum'at setelahnya, dia keluar ke Masjid Jami' dan menaiki mimbar dengan berpidato:
"Sebenarnya saya telah menghilang dari kalian selama lima belas hari ini. Selama itu saya meneliti dalil-dalil semua ajaran yang ada. Ternyata saya tidak menemukan jalan keluar. Dalil yang satu tidak lebih kuat daripada dalil yang lain. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah SWT, dan ternyata Allah memberikan petunjuk-Nya kepadaku untuk meyakini apa yang saya tulis dalam beberapa kitab ini. Mulai saat ini, aku mencabut semua ajaran yang selama ini aku yakini."
Kemudian al-Asy'ari menyerahkan beberapa kitab yang ditulisnya sesuai dengan madzhab Ahlussunnah Wal-Jama'ah kepada orang-orang di sana. Di antaranya adalah kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida', kitab yang memaparkan kerancuan Mu'tazilah yang berjudul Kasyf al-Astar wa Hatk al-Asrar, dan kitab-kitab lain. Setelah kitab-kitab tersebut dibaca oleh kalangan ahli hadits dan fuqaha dari golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah, mereka mengambil isinya, mengadopsinya, meyakini kehebatan al-Asy'ari dan menjadikannya sebagai panutan.
Ketidakpuasan al-Asy'ari dengan faham Mu'tazilah tersebut dapat pula dilihat dengan memperhatikan riwayat lain yang mengisahkan perdebatannya dengan Abu Ali al-Jubba'i, seorang ulama sepuh yang ayah tiri dan gurunya. Suatu ketika al-Asy'ari berdialog dengan al-Jubba'i sebagai berikut :
Al-Asy'ari, "Bagaimana pendapatmu tentang nasib tiga orang yang meninggal dunia, satunya orang mukmin, satunya orang kafir dan yang satunya lagi anak kecil?"
Al-Jubba'i, "Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka dan anak kecil akan selamat."
Al-Asy'ari, "Mungkinkah anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah?"
Al-Jubba'i, "Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, "Orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya, sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu."
Al-Asy'ari, "Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, demikian itu bukan salahku. Andaikan Engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu."
Al-Jubba'i, "Oh, tidak bisa, Allah akan menjawab, "Oh, bukan begitu, justru Aku telah mengetahui, bahwa apabila kamu diberikan umur panjang, maka kamu akan durhaka, sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena itu, demi menjaga masa depanmu, aku matikan kamu sewaktu masih kecil, sebelum kamu menginjak usia taklif."
Al-Asy'ari, "Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, Engkau telah mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa Engkau tidak memperhatikan masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu, sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan mengapa Engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi orang kafir dan akhirnya aku disiksa seperti sekarang ini?"
Mendengar pertanyaan al-Asy'ari ini, al-Jubba'i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban. Al-Jubba'i hanya berkata: "Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada."
Al-Asy'ari, "Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang selama ini Anda yakini. Akan tetapi, Guru tidak mampu menjawab pertanyaanku."
Demikianlah di antara latar belakang keluarnya Imam al-Asy’ari dari Mu’tazilah ke Ahlussunnah Wal-Jamaah, karena ketidakpuasan terhadap ajaran Mu’tazilah dan perdebatan seru dengan gurunya sendiri, Abu Ali al-Jubba’i, seorang ulama sepuh.
Setelah itu Imam al-Asy’ari tidak pernah berhenti membongkar kesalahan gurunya dan ulama sepuh lainnya melalui kitab-kitab yang ditulisnya. Semoga menjadi pelajaran bagi kita. Amin.
abdkadiralhamid@2015
Ketidakpuasan al-Asy'ari dengan faham Mu'tazilah tersebut dapat pula dilihat dengan memperhatikan riwayat lain yang mengisahkan perdebatannya dengan Abu Ali al-Jubba'i, seorang ulama sepuh yang ayah tiri dan gurunya. Suatu ketika al-Asy'ari berdialog dengan al-Jubba'i sebagai berikut :
Al-Asy'ari, "Bagaimana pendapatmu tentang nasib tiga orang yang meninggal dunia, satunya orang mukmin, satunya orang kafir dan yang satunya lagi anak kecil?"
Al-Jubba'i, "Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka dan anak kecil akan selamat."
Al-Asy'ari, "Mungkinkah anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah?"
Al-Jubba'i, "Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, "Orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya, sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu."
Al-Asy'ari, "Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, demikian itu bukan salahku. Andaikan Engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu."
Al-Jubba'i, "Oh, tidak bisa, Allah akan menjawab, "Oh, bukan begitu, justru Aku telah mengetahui, bahwa apabila kamu diberikan umur panjang, maka kamu akan durhaka, sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena itu, demi menjaga masa depanmu, aku matikan kamu sewaktu masih kecil, sebelum kamu menginjak usia taklif."
Al-Asy'ari, "Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, Engkau telah mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa Engkau tidak memperhatikan masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu, sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan mengapa Engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi orang kafir dan akhirnya aku disiksa seperti sekarang ini?"
Mendengar pertanyaan al-Asy'ari ini, al-Jubba'i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban. Al-Jubba'i hanya berkata: "Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada."
Al-Asy'ari, "Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang selama ini Anda yakini. Akan tetapi, Guru tidak mampu menjawab pertanyaanku."
Demikianlah di antara latar belakang keluarnya Imam al-Asy’ari dari Mu’tazilah ke Ahlussunnah Wal-Jamaah, karena ketidakpuasan terhadap ajaran Mu’tazilah dan perdebatan seru dengan gurunya sendiri, Abu Ali al-Jubba’i, seorang ulama sepuh.
Setelah itu Imam al-Asy’ari tidak pernah berhenti membongkar kesalahan gurunya dan ulama sepuh lainnya melalui kitab-kitab yang ditulisnya. Semoga menjadi pelajaran bagi kita. Amin.
abdkadiralhamid@2015
0 Response to "Al-Imam Al-Asy’ari vs Gurunya, Ulama Sepuh"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip