//

Sang Ayah Dimata Al Habib Ahmad bin Novel bin Jindan

Al Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan


Dikutip dari catatan dan website Al Habib Ahmad bin Novel bin Jindan:


 
Salah satu guru saya yang pertama kali mendidik saya adalah ayahanda tercinta, al habib Novel bin salim bin ahmad bin jindan. Beliaulah kunci segelanya bagi saya. Yang kalau bukan karena didikannya maka tidak tahu bagaimana keadaan saya.


 
Al Walid Al Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Husain bin Soleh bin Abdullah bin Jindan lahir pada hari sabtu pagi, 2 Rabits Tsani 1361 H / 18 April 1942 M di bidara cina otista jati negara. Ibu beliau adalah Syarifah Aisyah binti Al Habib Usman bin Abdullah Syatho. Al Habib Usman adalah salah seorang ulama dari Makkah yang datang ke Sulawesi untuk berdakwah dan kemudian menikahi salah seorang wanita berdarah biru dari Bugis hingga lahir dari perkawinan tsb Syarifah Aisyah binti Al Habib Usman Syatho.

Al Walid Al Habib Novel sangat bakti kepada ibunya. Yang saya ketahui dari beliau adalah kepatuhannya kepada ibunya. Tidak pernah berucap kata “Tidak” kepada ibunya. Hingga wafat sang ibu pada tahun 1990 atau 1991. Sebagaimana bakti beliau yang sangat luar biasa kepada sang ayah, Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. al Habib Salim yang senantiasa mendidik beliau. Al Walid Al Habib Novel selalu mendampingi sang ayah. Sekitar tahun 1967 beliau berangkat ke Makkah, dan tinggal di sana selama kurang lebih 2 tahun. Menimba ilmu dari para ulama yang ada di sana, diantaranya As Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki. Al Walid sangat disayang oleh As Sayyid Alwi hingga dipersaudarakan dengan putranya Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki. Sebagaimana beliau juga menimba ilmu dan dekat dengan As Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Asy Syeikh Hasan Masysyaath dan para ulama ulama Al Haramain yang Saat itu berada di sana.

Al Habib Salim berniat untuk pindah ke Makkah bersama seluruh keluarga besarnya, sehingga Al Walid menunggu kedatangan beliau dan mempersiapkan segalanya, namun karena beberapa hal hingga kepindahan Al Habib Salim tidak terwujud dan batal. Ketika Al Walid mendapat kabar bahwa kepindahan ayahnya batal, maka beliau bergegas untuk pulang ke indonesia karena khawatir akan keadaan ayahnya. Setibanya di indonesia sang ayah sangat gembira dan bahagia. Al Walid pernah bercerita kepada saya bahwa beliau sama-sama berdakwah dengan Al Habib Salim sang ayah. Terkadang dalam suatu acara, sohibul bait mengundang Al Habib Salim dan Al Walid agar keduanya berceramah. Dan di waktu yang sama ditempat lainpun mengundang keduanya, sehingga Al Habib Salim mengatakan kepada Al Walid, engkau sekarang ke acara yang di sana sedangkan aku di acara yang di sini, setelah engkau selesai maka bergegas untuk hadir di acara yang di sini sedangkan aku akan beranjak ke acara yang di sana.

Guru kami Al Habib Abdul Qodir bin Muhammad Al Haddad Al Hawi bercerita bahwa pernah dalam acara maulid Al Walid Al Habib Novel diminta berceramah di hadapan ayahnya Al Habib Salim dan saat itu hadir pula para habaib dan ulama lainnya. Setelah berceramah, sang ayah Al Habib Salim berdiri dan mengatakan dengan bangga, “wahai Hadirin, beginilah para Habaib dan keluarga Rasulullah SAW, mereka bagaikan pohon pisang, tidak mati induknya melainkan setelah tumbuh sempurna anaknya”.
Hingga suatu hari dalam sebuah kesempatan Al Habib Salim melepaskan Imamah yang beliau pakai dan beliau letakkan dan pakaikan di kepala Al Walid Al Habib Novel bin Salim bin Jindan.

Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Wafat pada Malam senin tahun 1969. Dan meninggalkan putra pitri yang solih dan solihah yang bertaqwa kepada Allah. Dan tidak lama kemudian Al Walid menikah dengan ibu kami putri Al Habib Muhammad bin Ali bin Abdurahman Al Habsyi.

Al Walid Al Habib Novel juga berguru kepada Al Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi, Al Habib Ali bin Husain Al Attas, Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Haddad Al Hawi, dan senantiasa mendampingi mertua beliau dan berguru kepadanya Al Habib Muhammad bin Ali bin Abdurahman Al Habsyi Kwitang, dan beliau juga berguru dari para ulama lainnya. Bahkan hampir sebagian besar guru-guru Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan adalah guru bagi Al Walid Al Habib Novel. Sebab Al Habib Salim setiap kali meminta Ijazah dari para gurunya selalu memintanya juga untuk anak dan keturunannya.

Seluruh hidup beliau hanya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, hanya untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah hingga akhir hayat beliau.
Dorongan beliau kepada putra putrinya untuk menempuh jalan agama, dakwah di jalan Allah. Hingga beliau kirim semua anak-anaknya untuk menimba ilmu. Dan setiap anak dari mereka saat berangkat, beliau selalu berpesan kepadanya dengan apa yang di katakan oleh ibunda Asy Syeikh Abdul Qodir Al Jailani saat berpisah dan melepas anaknya menimba ilmu, wahai anakku, belajarlah bersungguh-sungguh dan jangan pernah berfikir kembali dan berjumpa, sebab aku akan menunggumu di depan telaga Rasulullah SAW di hari kiamat. Kata-kata ini tidak pernah kami lupakan dari beliau dan ibu kami tercinta. Dan harapan ini Allah wujudkan untuk beliau ketika putra tertua beliau wafat saat menimba Ilmu kepada Al Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith di Madinah Al Munawwarah, dan kemudian dimakamkan di Makkah.

Saya masih selalu teringat Saat saya masih kecil di waktu dhuha ketika saya berada di kamar, dan saya mendengar dari kamar Al Walid suara beliau yang lantang yang sedang mengulang-ulang hafalan Hadits beliau dari kitab Riyadhus Solihin. Saya mendengar bahwa beliau hafal kita Riyadhus Solihin karya Al Imam An Nawawi.

Sebagaimana saya masih mengingat bahwa sebagian besar waktu beliau ketika bersama kami selalu membawakan cerita para awliya dan salaf solihin dari keluarga Al Ba Alawi.
Tidak pernah beliau menghadiri acara maulid atau majelis meliankan harus ikut semua atau sebagian anak-anak beliau mendampinginya. Kami saat itu merasa berat, namun setelah dewasa kami sadar bahwa yang beliau lakukan adalah sangat bermanfaat untuk kami, bahkan segala keberkahan yang kami dapatkan saat ini tiada lain karena sebab pendidikan kedua orang tua kami.

Ketika beliau melihat saya di kamar suatu hari sedang memegang kitab Maulid Simtud Durar, beliau gembira dan bahagia dan menghampiri saya kemudian duduk bersebelahan dengan saya. Dan menyemangati saya untuk melancarkan bacaan suatu fashal dari kitab maulid tersebut, yaitu Fashal sebelum Qiyam dan Fashal sebelum doa maulid. Setelah saya lancar, setiap kali ada acara maulid, beliau memerintahkan saya untuk tampil dan membaca Fashal maulid tersebut.

Sepulangnya saya dari Hadramaut, saya selalu mendamping beliau bersama kakak saya Al Habib Jindan bin Novel. Hingga beliau wafat pada hari jumat jam 17.00 tanggal….. Saat itu telapak tangan kanan beliau berada di telapak tangan saya, dan ibu saya mentalqinkan beliau, dan adik-adik saya berada di kaki beliau, sedangkan kakak saya Al Habib Jindan sedang mewakili beliau berdakwah di Singapura di Masjid Ba Alawi dalam acara Haul Al Imam Al Habib Muhammad bin Salim Al Attas.

Pernah suatu kali wartawan suatu majalah islami berkunjung ke rumah kami untuk mewawancara kami dan Al Walid. Salah satu pertanyaan mereka kepada Al Walid adalah, Apa cita-cita Habib Novel untuk umat islam? Kerena bekas stroke sehingga beliau berbicara terpatah-patah, namun saat itu beliau menjawab hanya dengan isyarat tangannya yang sangat membahagaiakan kami semua. Beliau menunjuk kepada Kakak saya, Al Habib Jindan dan kepada saya serta anak-anak beliau. Seakan beliau mengatakan, merekalah cita-cita dan persembahanku untuk ummat.

Dikutip dari catatan dan website Al Habib Ahmad bi Novel bin Jindan

abdkadiralhamid@2015

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Sang Ayah Dimata Al Habib Ahmad bin Novel bin Jindan"

Silahkan komentar yg positip