Perang Buwaib – Kehancuran Para Penyembah Api
Sore itu, angin gurun berembus pelan menerpa wajah-wajah para pejuang. Debu-debu terus membubung tinggi ke angkasa. Terlihat jelas raut kelelahan dalam berjalan. Betapa tidak, jihad fi sabilillah bukanlah perkara remeh.
Untuk kesekian kalinya, tentara-tentara Allah subhanahu wa ta’ala berjuang di bawah kilatan pedang. Benar, jihad dan teror adalah dua sisi yang berbeda. Harapan mereka ialah ingin mengembuskan napas terakhirnya di medan laga. Kelak, dapat terhindar dari api neraka dan dimasukkan ke jannah-Nya.
Latar Belakang Pertempuran
Agama Majusi berideologi adanya dua tuhan. Tuhan cahaya yang menciptakan kebaikan dan tuhan kegelapan yang menciptakan kejahatan. Semua materi di alam ini bermuara kepada dua tuhan tersebut. Namun, mereka lebih memprioritaskan tuhan cahaya daripada tuhan kegelapan. Oleh sebab itu, bangsa Persia menyembah api yang menyala sebagai wujud tuhan cahaya yang mereka yakini itu.
Pasca wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bersikukuh melanjutkan invasi militer ke wilayah Irak yang termasuk teritorial imperium Persia. Perekrutan mujahidin pun marak dihelat di berbagai sektor. Abu Ubaid ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu akhirnya dilantik sebagai panglima perang dalam misi besar yang sarat marabahaya ini.
Pasukan Islam terus melaju setelah mendapat sokongan personel dari beberapa pangkalan militer. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, sejumlah wilayah Irak berhasil dikurangi secara signifikan dan didudukkan dalam kekuasaan Islam.
Sederet kekalahan tersebut ternyata membuat berang kerajaan Persia. Musuh mempersiapkan bala tentara berskala besar yang direncanakan untuk mengikis gempuran para mujahidin. Kedua belah pihak bertemu di medan laga. Peperangan ini berlangsung pada tahun 13 H.
Persiapan Pasukan Islam
Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menginstruksikan kepada Abu Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu agar kerap menggelar majelis musyawarah militer dan bersinergi dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sang khalifah juga mengikutsertakan Salith bin Qais radhiyallahu ‘anhu dalam ekspedisi tempur ini. Beliau merupakan ahli taktik dan administratif tempur yang cukup diperhitungkan. Kaum muslimin terpanggil untuk menjadi ujung tombak pada arena pertempuran. Menyandang senjata, berjuang membela agama Allah subhanahu wa ta’ala.
Pertempuran di Atas Jembatan Eufrat
Ribuan pasukan Majusi tiba di bawah komando panglima senior bernama Dzul Hajib. Dikenal sebagai sosok yang licik, dengan ciri khas mencukur kedua alisnya. Musuh membawa panji kerajaan sebagai lambang kemenangan yang diberi nama Dirafsy (Panji Agung). Terbuat dari kulit harimau yang memiliki panjang 12 hasta dan lebar delapan hasta.
Pasukan Islam kala itu berkekuatan 10.000 prajurit. Tidak ada kata lain, kecuali siap menyongsong fluktuasi medan dengan risiko tinggi. Posisi kedua pasukan tempur itu dipisahkan oleh jembatan panjang di sungai Eufrat, Irak. Perseteruan mempertaruhkan nyawa kembali mencuat di atas jembatan. Rongrongan negara adidaya tersebut siap mencabik-cabik barisan para mujahidin. Puncaknya, musuh menyerbu dengan serangan brutal yang diperkuat kavaleri sejumlah gajah.
Setiap gajah membawa puluhan serdadu beserta peti persenjataan di atasnya dengan gemerincing lonceng, untuk menakut-nakuti kuda pasukan Islam. Strategi ini benar-benar memporak-porandakan struktur armada Islam. Setiap kali para mujahidin hendak menerobos barikade, kuda-kuda mereka tidak mampu bertahan menyibak formasi Persia Majusi itu.
Di lain pihak, pasukan kavaleri musuh dari atas gajah bertubi-tubi memberondongkan amunisi senjatanya, melepaskan anak panah hingga banyak dari tentara Islam yang meregang nyawa. Walau demikian, pasukan Islam berhasil membunuh 6.000 orang dari mereka. Abu Ubaid rahimahullahu lantas mengubah strategi tempur dengan sistem sentralisasi untuk menghabisi seluruh gajah sebagai target utama.
Tak ayal, para prajurit Islam membunuh gajah-gajah yang ada. Belakangan, musuh juga menempatkan seekor gajah putih yang paling besar milik raja mereka di garis terdepan. Abu Ubaid rahimahullahu pun mengayunkan pedangnya untuk menebas belalai gajah tersebut. Tak pelak, gajah tersebut mengamuk beringas dan akhirnya menginjak beliau hingga mengembuskan napas terakhirnya.
Ketujuh panglima pengganti beliau juga secara berurutan gugur di arena tempur. Mulanya, hampir saja pasukan Islam meraih kemenangan. Namun sayang, kinerja pasukan Islam semakin melemah di saat menyaksikan tragedi tersebut.
Titik lemah ini rupanya dapat dibaca dengan jelas oleh musuh. Kontan saja, musuh memaksimalkan daya serangnya menggempur barisan mujahidin. Keadaan semakin terpuruk ketika banyak tentara Islam lari mundur dari zona konflik.
Kemunduran juang tersebut semakin bertambah dengan tindakan Abdullah bin Martsad yang memutus ujung jembatan, agar pasukan Islam kembali maju bertempur. Lambat laun, jembatan itu pun runtuh. Kaum muslimin centang perenang tak berdaya, hingga sebagian dari mereka hanyut tenggelam di sungai Eufrat.
Sampai akhirnya, pucuk komando dipegang Mutsanna bin Haritsah. Beliau bersama para jagoan perang yang banyak terluka parah berupaya mengevakuasi sisa pasukan yang ada di jembatan dari cengkeraman Persia. Lalu pasukan Islam mundur teratur ke belakang. Musuh akhirnya kembali pulang ketika mendengar kekacauan politik di kerajaan mereka.
Jumlah pasukan Islam yang gugur pada perang ini sebanyak 4.000 prajurit. Banyak dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kehilangan nyawa, di antaranya adalah Abu Zaid al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, salah satu anggota tim yang mengumpulkan Al-Qur`an di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Pertempuran Buwaib
Imperium Persia masih memimpin klasemen sementara. Mereka begitu terobsesi untuk memusnahkan para mujahidin dari medan perang. Musuh membentuk batalion gabungan infanteri-kavaleri berjumlah 100.000 serdadu. Pasukan yang diperkuat tiga gajah besar ini di bawah komando seorang penggawa kerajaan yang bernama Mihran.
Meski harus kehilangan teman seperjuangan yang gugur di medan perang, pasukan Islam tetap tegar bersiaga menjaga daerah perbatasan. Menghadapi prahara jihad yang tidak mengijinkan kesalahan sedikitpun di bawah tekanan pihak kafir. Pasukan Islam dengan performa maksimal siap meladeni gelombang serbuan musuh.
Kali ini, brigade Islam berkekuatan 10.000 prajurit setelah mendapatkan bantuan pasukan dari Irak dan wilayah yang lain. Di dalamnya terdapat beberapa sahabat senior Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sayap kanan di bawah komando Basyir, dan sayap kiri diatur oleh Busr. Yang bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan Islam adalah Mutsanna bin Haritsah.
Kedua armada perang bertemu pada bulan Ramadhan di Buwaib, sebuah wilayah cukup luas yang terletak di dekat kota Kufah, Irak saat ini. Antara wilayah Kufah dan Buwaib, terbentang sungai Eufrat yang menjadi pemisah keduanya. Mutsanna menginstruksikan untuk berbuka puasa, para mujahidin pun menanggapi positif instruksi ini. Dan, seluruh satuan perang pada posisi siap memperagakan pola serang secara frontal strategis.
Mutsanna menaiki kudanya yang hanya dinaiki ketika perang saja. Beliau menasehati para prajurit agar gigih dalam berperang dan mengingatkan kepada ganjaran dari Allah subhanahu wa ta’ala di hari kelak. Lalu Mutsanna memberikan instruksi, “Aku akan bertakbir sebanyak tiga kali maka bersiap-siaplah, apabila takbir keempat maka serbulah barikade musuh!”
Ketika pekikan takbir pertama berkumandang, pasukan musuh yang tersusun dalam tiga formasi raksasa dengan seekor gajah besar ditempatkan di belakang tiap formasi telah mendahului menggempur pasukan Islam. Pertempuran kembali berkecamuk. Suara gemuruh, derap kuda, dan dentuman keras mengiringi pertempuran yang menggemparkan dunia ini. Tiap-tiap prajurit Islam bertempur dengan gagah berani. Aksi mereka tak jauh beda dengan sepak terjang panglimanya. Tidak sedikit dari mereka yang gugur kehilangan nyawa atau terluka parah. Hingga komandan pasukan infanteri bernama Mas’ud bin Haritsah gugur dalam pertarungan ini, yang sebanding dengan perang Yarmuk di Syam.
Mutsanna memompa semangat juang para prajurit seusai mendapati kematian Mas’ud, “Wahai kaum muslimin, janganlah kematian saudara kandungku akan melemahkan kekuatan kalian. Sesungguhnya seperti inilah kematian orang-orang terbaik kalian.” Ya, karena kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Akhir dari Pertempuran
Di saat api pertempuran berkobar dengan hebat, Mutsanna menggalang para jagoan perang untuk maju dan melindungi beliau dari belakang. Pasukan khusus ini menyusup menyibak formasi pasukan musuh dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Kedua kubu akhirnya bercampur antara satu dengan lainnya.
Manuver spektakuler tersebut membuahkan hasil yang luar biasa. Formasi barikade pertahanan musuh tercerai-berai, hingga satuan penyerbu mekanis tersebut mampu menerobos ke posisi Mihran. Akhirnya, Mihran berhasil ditikam oleh al-Mundzir bin Hassan adh-Dhabbi hingga jatuh tersungkur dari kudanya yang diwarnai kuning bertanda bulan sabit di keningnya.
Tanpa menyia-nyiakan peluang itu, Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu secepat kilat memenggal leher Mihran. Menyaksikan fenomena tragis tersebut, musuh berupaya melarikan diri dari bentrokan maut itu. Nahas, mereka berhasil dihadang oleh pasukan Islam di dekat jembatan.
Selanjutnya, para mujahidin menghabisi para penyembah api dari siang hingga malam hari. Fakta sejarah mencatat jumlah pasukan Persia yang terbunuh sekitar 100.000 serdadu.
Kemenangan pun diraih. Usai perang, Mutsanna mengumpulkan bala tentaranya di bekas arena pertempuran. Beliau menanyakan sepak terjang mereka selama laga berlangsung. Lalu memberikan penghargaan dan mendoakan mereka. Dan, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang begitu melimpah. Alhamdulillah…
(Disarikan dari kitab al-Bidayah wa an-Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir v dan beberapa kitab tarikh lain.)
abdkadiralhamid@2014
0 Response to "Perang Buwaib – Kehancuran Para Penyembah Api "
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip