Jalan Panjang Maktab Daimi Menelusuri Nasab Alawiyyin
KEHADIRAN para Habaib (keturunan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi Wassallam) bukan hal baru bagi umat Islam di Indonesia. Hal itu terbukti dengan keberadaan makam orang-orang yang dipanggil Habib diberbagai daerah. Sampai saat ini, kegiatan pemuka agama yang dipanggil Habib tersebut, banyak bertebaran di kota-kota besar.Namun, bagaimana mungkin pohon keturunan teridentifikasi dalam rentang waktu 15 abad ? Bukti apa yang bisa menunjukkan keabsahannya? Apakah benar keluarga Nabi Muhammad masih ada?
Serentetan pertanyaan tersebut banyak terlontar ditengah masyarakat. Ada sangsi mengenai pelabelan “Habib”, terutama yang membedakan kualitas pribadinya dengan umat yang bukan berdarah Alawiyyin (sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan NabiMuhammad Shallallhu ‘alaihi Wassallam).
Mari sejenak kita kesampingkan perdebatan pembeda kualitas seorang Habib dibandingkan dengan “manusia biasa” dilihat dari darah keturunanannya.
Kehadiran Maktab Daimi, yayasan pencatatan garis keturunan Rasulullah, banyak dijadikan rujukan terhadap kejelasan garis keturunan tersebut. Lembaga yang bertempat di Gedung Rabithah Alawiyah, Jagakarsa, Jakarta Selatan itu menempuh jalan panjang dalam menelusuri silsilah keturunan.
Ahmad Alattas selaku ketua Maktab Daimi yang ke 10, menjelaskan, sejarah pencatatan tersebut dimulai pada abad 9 H di Hadhramaut, Yaman. Hadramaut merupakan pusat berkumpulnya keturunan Husein-cucu Rasulullah- yang berawal dari Isa al Muhajir setelah hijrah dari Baghdad, Iraq. Akibat imigrasi tersebut, Hadhramaut dipenuhi oleh keturunan Husein.
Hal yang berbeda terjadi dengan keturunan Hasan-cucu Rasulullah lainnya-, yang hijrah ke Maroko. “Kalau keturunan Hasan kebanyakan hijrah ke Maroko dan tidak memiliki banyak keturunan dan qabilah berbanding dengan keturunan Husein,”ulasnya saat ditemui di kantornya, awal September.
Riwayat pencatatan dimulai dari Syeikh Ali bin Abubakar al Sakran, kemudian dilanjutkan oleh Habib Abdullah bin Alwi al Haddad pada abad 17 H. Kemudian pada abad 18 H diteruskan oleh Sayyid Ali bin Syekh bin Muhammad bin Ali bin Shihab. Runutan pencatatan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya buku nasab Alawiyyin di Hadhramaut yang berjumlah 18 jilid.
“Manuscript tersebut sekarang menjadi rujukan Nasab Alawiyyin di Indonesia”, tutur Ahmad sambil menunjukkan salah satu buku Syajarotul Ansab dalam ukuran besar.
Di Indonesia, pencatatan nasab Alawiyyin ini dimulai sejak tahun 1932, yaitu ketika Habib Alwi bin Thahir al Haddad mendirikan Rabithah Alawiyah. Habib Alwi mempunyai inisiatif melakukan pencatatan Alawiyyin yang berada di Indonesia.
Mengakomodir ide tersebut, pada 10 Maret 1932, Maktab Daimi, didirikan. Untuk menjalankan tugas pertama maka ditunjuklah Sayyid Ali bin Ja’far Assegaf sebagai ketua Maktab Daimi yang pertama dan membentuk tim penelusuran nasab.*/bersambung ..Maktab Daimi Lestarikan Nasab..
Maktab Daimi Lestarikan Nasab Alawiyyin
Lebih lanjut Ahmad mengatakan, sensus dilakukan diberbagai wilayah dan provinsi yang ada di Indonesia. Sensus tahap pertama dilakukan mulai tahun 1932-1940.“Mereka berpandu kepada buku Nasab Alawiyyin yang ditulis oleh ahli nasab di Hadhramaut yaitu buku “Syajarah Ansab Al Alawiyyin”. Pendataan dilakukan dengan melihat nasab dari setiap Alawiyyin,”tukas pria lulusan salah satu universitas di Arab Saudi itu.
Hasil sensus tersebut dicatat dalam Syajaratul Ansab khusus Indonesia. Pada akhirnya buku tersebut digabungkan dengan Syajaratul Ansab Hadhramaut.
“Contohnya kita akan melihat nasab Habib Ali bin Ja’far Assegaf yaitu: Ali bin Ja’far bin Syekh bin Seggaf bin Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ahmad Syarif bin Abdurrahman Al Mafqud bin Alwi bin Ahmad Maula Maryamah bin Alwi bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nasabnya yang sangat panjang, dapat terdeteksi salah satu dari nama Alawiyyin yang namanya tercantum dalam buku Syajarah Ansab Al Alawiyyin, pada jilid 4 halaman 183. Maka ini membuktikan, Ali bin Ja’far adalah keturunan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi Wassallam dan tercatat di Maktab Daimi sebagai Alawiyyin,” jelasnya lagi sambil menunjukkan buku gabungan bertuliskan tangan tersebut.
Pada periode berikutnya, sensus dan pendataan di Indonesia dilakukan di tujuh provinsi yang tersebar di 126 kota. Diantaranya provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Hasil sensus tersebut kini sudah tercatat di Maktab Daimi.
Ahmad mengatakan, sensus periode pertama, sangat membantu dan menjadi rujukan bagi Maktab Daimi untuk meneruskan dan menambah generasi dan keturunan Alawiyin berikutnya.
“Namun kita juga punya masalah, karena ada daerah-daerah yang belum dilakukan sensus, karena mungkin jauh. Transportasi mereka juga sulit pada waktu itu” tutur pria yang kakek buyutnya berasal dari Hadhramaut ini. Jika ada generasi yang tidak tercatat, maka penelusurannya semakin sulit.
Dalam proses pencarian, pernah ditemukan salah seorang warga Aceh Pidie yang bernama Sayyid Abdullah bin Usman bin Ismail Ahmad bin Abdullah bin Salim bin Ali bin Muhammad Al Bahsen.
Setelah di cek ulang pada buku Syajarah Ansab Indonesia, didapati kakek buyutnya bernama Muhammad Al Bahsen, tercantum di buku tersebut. Itu berarti, Sayyid Abdullah keturunan keenam dari kakek buyutnya, diketahui sebagai Alawiyin setelah kurang lebih 150 tahun tidak diketahui nasabnya. Penelusuran itu dipermudah dengan kerjasama Maktab Daimi dengan perwakilannya di berbagai daerah.
Ahmad mengakui, pendataan nasab memerlukan energi besar. Tidak hanya di dalam negeri, penelusuran juga dilakukan sampai Malaysia dan Singapura. Pencarian menjadi semakin sulit ketika tidak banyak orang mengetahui silsilah keturunan mereka.
Padahal, bagi pihak yang ingin menelusuri nasabnya, Ia: harus mengetahui paling sedikit enam silsilah keturunan nenek moyang.
Itulah mengapa, tidak mudah menyandang gelar Sayyid, Syarifah atau Habib. Diperlukan nasab yang jelas, dan membuktikan hal itu, bukan hal yang mudah.
Nasab Kenabian Bukan Untuk Dibanggakan
“Pengetahuan nasab bukan untuk dibanggakan. Pengetahuan terhadap nasab ditujukan untuk pelestarian keturunan,”pesan Ahmad pada setiap Alawiyyin yang ditemuinya.Menurutnya, orang yang bangga terhadap nasabnya, sangat merugi. “Contohnya Kan’an, anak Nabi Nuh dan juga Abu Lahab. Mereka berasal dari keturunan yang baik dan dari nasab terhormat. Namun, tidak bermanfaat nasabnya. Maka semua dikembalikan kepada amalan, jika tidak beramal seperti perintah Allah dan Rasul-Nya, maka alangkah meruginya dan nihilnya sebuah nasab,” tukasnya.
Ahmad menekankan, nasab bukan segalanya. ”Kita terwarisi apa-apa yang dilakukan oleh Nabi. Sifat-sifatnya, perbuatannya. Tapi orang yang bangga akan nasabnya, tapi tidak bermanfaat, sangat lucu sekali,”pungkasnya.
abdkadiralhamid@2014
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteIni sumbernya dari mana? Kenapa sambungan tulisan ini ada disini? Saya hanya berikan tulisan dan hasil wawancara dengan ketua maktab daimi kepada tim hidayatullah utk di posting. Tp kok sambungan tulisannya ada di blog ini? https://m.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2014/10/02/30602/jalan-panjang-maktab-daimi-menelusuri-nasab-alawiyyin.html
ReplyDelete