Persiapan Mental Bagi Para Da'i
Kalam Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz
Setiap dai harus menyadari bahwa langkah pertama yang harus ia tempuh adalah membunuh nafsu ammârah bissû’-nya dengan cara menanggung gangguan dan celaan masyarakat.
Imam Ahmad bin Umar bin Smith, seorang dai, berkata,
“Jika kalian ingin berdakwah di suatu tempat atau pertemuan, katakanlah kepada diri kalian bahwa masyarakat akan berkata, ‘Diamlah! Kami tidak menginginkan kalian, kami tidak ingin mendengarkan kalian, kami tidak menyukai ucapan kalian.’ Andaikata mereka benar-benar berkata demikian, hendaknya kalian tetap menyampaikan perintah Allah, hendaknya kalian menemui mereka dengan kasih sayang. Tapi, jika ternyata mereka menyambut kalian dengan baik, maka itu adalah tambahan nikmat dari Allah. Dengan demikian, nanti, andaikata ada orang yang mencaci dan menentang kalian, maka perbuatan mereka tidak akan berpengaruh atau melukai hati kalian.”
Pria dan wanita yang shidq tidak akan terpengaruh oleh ucapan manusia, sebab ia berbicara bukan untuk manusia. Orang yang berbicara untuk manusia akan terpengaruh oleh ucapan manusia, sedangkan orang yang berbicara karena Tuhan manusia tidak akan terpengaruh oleh ucapan manusia. Ia berbicara karena Allah Ta’âla dan orang yang berbicara karena Allah Ta’âla perlu adab, izin, kelembutan, waktu yang sesuai dan tema yang tepat. Aku lebih suka jika tema yang diangkat tidak keluar dari hukum-hukum thohâroh, salat, puasa, zakat, birrul wâlidain, berbuat baik pada tetangga, silaturahim, pendidikan anak-anak dan semacamnya.
Jika ada yang bertanya tentang suatu persoalan hendaknya kalian kembalikan kepada ahli ilmu atau ulama yang berada di kota Tarim atau Seiwun. Di negara kita ini banyak ulama, oleh karena itu, barang siapa memiliki persoalan hendaknya ia bertanya. Namun, jika pertanyaan yang diajukan jelas, misalnya masalah wudhu atau thohâroh, dan ia memiliki jawaban yang meyakinkan, maka ia boleh menjawabnya. Jika tidak, maka ia dilarang menjawabnya.
Inilah langkah pertama untuk menjual diri kita kepada Allah. Jika kita telah menjual diri kita kepada Allah, maka kita tidak akan terpengaruh oleh ucapan seseorang, bahkan kita akan merasa senang. Karena inilah, maka Habib Alwi bin Abdullah bin Syihabudin tetap tenang ketika mendengar bahwa Habib Muhammad Al-Haddar ra di tahan di kota Adn pada masa pemerintahan Inggris. Setelah dibebaskan, Habib Muhammad Al-Haddar ra segera menemui Habib Alwi bin Abdullah. Habib Alwi berkata kepadanya,
“Aku mendengar kau berdakwah di jalan Allah. Masyarakat senang, terkesan dan memperoleh manfaat dari dakwahmu. Namun, ketika kulihat kau tidak memperoleh gangguan sedikit pun, aku merasa cemas. Aku berkata dalam hati, jika dia pewaris salaf, bekerja untuk salaf, tentu dia akan memperoleh gangguan. Sebab, demikianlah sunatullah berlaku bagi para nabi dan kaum sholihin. Jika tidak ada seorang pun yang mengganggunya, aku khawatir apa yang ia peroleh hanyalah istidrâj. Ketika kudengar mereka memenjara-kanmu, hatiku menjadi tenang, berarti kau berada di jalur para salaf yang saleh, semoga Allah meridhoi mereka semua.”
Lihatlah, bagaimana cara berpikir orang-orang yang berakal dan kaum ulama.
Oleh karena itu, jika kau dengar ada seseorang yang berbicara buruk tentangmu, maka berbahagialah, jika ada seseorang yang mengganggumu, maka berbahagialah dan berbuat baiklah kepadanya. Sebab, inilah tanda shidq (kebenaran), tanda kesuksesan, tanda keberuntungan dan tanda keselamatan. Kaum sholihin merasa ringan mengorbankan diri dan harta mereka untuk kepentingan dakwah. Mereka mengajak masyarakat untuk kembali ke jalan Allah dan memeluk agama Nabi Muhammad, bukan untuk mengambil sesuatu dari mereka, mereka bahkan memberi.
Kaum Muhajirin menjadi miskin karena memberikan dan meninggalkan hartanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan kaum Anshor mendermakan harta dan rumah mereka untuk Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah meridhoi mereka semua. Kaum Anshor mengasihi saudara-saudara mereka kaum Muhajirin. Beginilah orang-orang yang shôdiq bersikap. Mereka meletakkan perintah Allah di atas hubungan kekerabatan, di atas adat, di atas norma (qowâid), di atas segala sesuatu. Mereka bahkan rela menanggung siksa karenanya. Sayidina Ammar, Sayidina Yasir, Sayidatina Sumayyah, Sayidina Bilal dan yang lain, semuanya mengalami penderitaan dalam berdakwah. Namun sekarang dakwah menjadi mudah. Kita tidak mengalami kesulitan seperti yang mereka alami. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan sebaik-baik balasan.
Adapun kita sekarang, paling tidak harus memiliki kesungguhan, bersedia menanggung gangguan tanpa mengeluh. Para ulama berkata bahwa tanda keburukan akhlak adalah jika kau mengeluhkan keburukan akhlak seseorang, jika kau berkata, “Masyarakat berakhlak buruk, semua perbuatan mereka buruk.” Inilah tanda bahwa akhlakmu buruk. Sebab, jika akhlakmu baik, kau tidak akan mengeluh kepada seorang pun ketika mendapat gangguan dari masyarakat.
Wahai kaum mukminat, demikian inilah pendidikan yang benar. Sayang pendidikan semacam ini tidak ditemukan lagi di zaman ini.
Kita semua senang jika dakwah dapat ditegakkan dan masyarakat tolong-menolong dalam berdakwah. Namun, kita harus mendalami segala persoalan tentang dakwah. Jika seorang dai memiliki sifat-sifat mulia di atas, maka kabar gembira baginya. Ia akan memperoleh pertolongan salaf yang sholeh. Ia akan mendapat pertolongan dari pemimpin para rasul, pertolongan Fatimah Az-Zahra dan Khodijah Al-Kubra. Sebab itulah jalan mereka, akhlak mereka. Ia akan berhasil menundukkan nafs-nya dan mengutamakan Allah Ta’âla di atas dirinya. Berkat dia Hadhramaut akan memperoleh kebaikan, penduduk negeri ini dan seluruh kaum muslimin akan memperoleh kebaikan. Bahkan kebaikan itu akan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Namun, jika kita melupakan akhlak itu, melupakan sifat-sifat mulia tersebut, dan mengira bahwa dakwah ke jalan Allah Ta’âla hanyalah sekedar penampilan, pidato, sekedar penghormatan yang diberikan masyarakat kepada kita, sekedar keinginan masyarakat untuk mendengarkan ucapan kita, maka kita telah hilang tersesat dan menyia-nyiakan dakwah.
Hari-hari kita berlalu, tapi banyak kebaikan yang terlewatkan, dan tidak ada seorang pun membantu kita. Sebab, kita tidak menempuh jalan mereka, tidak bersikap tawadhu (merendahkan diri), ikhlas, shidq terhadap Allah, tidak beradab dan tidak membalas keburukan dengan kebaikan.
Mereka rodhiyallôhu ‘anhum sering melakukan perjalanan untuk menyebarkan dakwah di segala penjuru dunia, di daerah yang subur maupun gersang, dataran rendah maupun tinggi. Mereka melupakan berbagai kenikmatan, meninggalkan kampung halaman, mengorbankan jiwa dan harta, demi dakwah untuk menanamkan keyakinan dalam hati dan akal masyarakat, sehingga hati mereka mau menghadap kepada Allah, sehingga angin keimanan bertiup kencang dan menebarkan keberkahan. Pemerintahan tauhid, iman, ibadah dan takwa dapat diselenggarakan. Semua ini dapat kita raih jika kita mau menempuh jalan mereka, menyadari sifat-sifat mulia tersebut. Negeri ini dalam waktu singkat akan dipenuhi cahaya dan Allah mencurahkan kebaikan yang sangat banyak. Sejarah (kaum sholihin) yang telah lama hilang akan segera berulang kembali, yakni sejarah Zainab Ummul Fuqoro, isteri Al-Faqih Al-Muqoddam, sejarah anak perempuan Ahmad bin Muhammad Shohib Mirbath, sejarah perjalanan anak-anak perempuan Assegaf, Al-Muhdhor, Alaydrus, sejarah perjalanan kaum wanita yang taat, arif, ahli ibadah, bertakwa dan wara. Sesungguhnya sejarah kehidupan mereka di negeri ini sangat agung. Kita telah banyak kehilangan sejarah perjalanan hidup mereka. Semoga Allah mengembalikan akhlak mereka yang telah lama hilang kepada kita, Insya Allôh.
Jika kalian bersikap shidq kepada Allah, semua pintu pasti akan terbuka untuk kalian, dan kalian akan merasakan manisnya iman. Nafs kalian akan tunduk dan kalian akan memperoleh kedudukan tinggi di sisi Allah. Sebab, orang yang merendahkan diri, oleh Allah akan diangkat dan ditinggikan kedudukannya. Kita harus merendah dan menerima ucapan ini dengan kekuatan. Kita harus berkeinginan untuk melipatgandakan kekuatan dakwah dengan menerapkan adab, akhlak, kelembutan, kasih sayang dan rahmat. Kita harus memperbanyak kunjungan kepada sesama kita (kaum muslimin), mempererat hubungan di antara kita. Kita harus membekali diri kita dengan ilmu dan pemahaman mengenai metode dan sarana-sarana dakwah.
[Diambil dari Manhaj Dakwah, cetakan I, 2001, penerbit Putera Riyadi Solo]
abdkadiralhamid@2014
0 Response to "Persiapan Mental Bagi Para Da'i"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip