Kekeliruan dalam Memahami Imsak
Sebagian orang salah memahami tentang
imsak. Imsak secara bahasa adalah menahan. Secara istilah, imsak
bermakna menahan diri dari apa yang membatalkan puasa. Hal ini berbeda
dengan shaum atau puasa. Shaum atau puasa adalah menahan diri dari apa
yang membatalkan puasa sejak terbit fajar (shadiq) sampai terbenamnya
matahari.
Waktu imsak yang dikenal masyarakat saat
ini dan yang kita bahas kali ini adalah masa untuk menahan diri dari apa
yang membatalkan puasa sejak sekitar 10-15 menit sebelum fajar shadiq.
Imsak ini mustahab, karena ia merupakan apa yang biasa dilakukan Nabi.
Artinya, jika dikerjakan mendapatkan pahala dan meninggalkannya tidak
berdosa. Orang dapat tetap makan dan minum di waktu imsak hingga terbit
fajar shadiq. Namun itu bukanlah sunnah Nabi. Namun, jika ia telat
bangun, maka ia dapat bersahur pada waktu imsak dan berhenti ketika
terbit fajar shadiq.
Namun sebagian orang salah memahami hal ini. Mereka yang salah paham terbagi kepada dua golongan:
2. Mereka yang menganggap bahwa imsak bukanlah sunnah Nabi dan merupakan bid’ah munkarah.
Dua golongan ini muncul karena kesalah
pahaman. Bagi golongan pertama, maka ketahuilah bahwa imsak bukanlah
awal waktu berpuasa. Awal waktu berpuasa adalah pada saat terbit fajar
shadiq. Sebelum terbit fajar shadiq, maka dibolehkan untuk makan, minum
dan sebagainya, tetapi makruh. Makruh adalah sesuatu yang jika
dikerjakan tidak mendapat dosa, jika ditinggalkan mendapat pahala.
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ أَبِي أُسَامَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا
يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin
Isma’il dari Abu Usamah dari ‘Ubaidullah dari Nafi’ dari Ibu ‘Umar dan
Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Bilal biasa
melakukan adzan (pertama) di malam hari, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata: Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu
Maktum melakukan adzan, karena dia tidak melakukan adzan kecuali sudah
terbit fajar. [Shahih Bukhari no.1785]
Bilal beradzan pada malam hari untuk
membangunkan orang-orang yang ingin qiyamul lail. Rasul biasa bersahur
setelah Bilal adzan dan berhenti kira-kira sepuluh menit sebelum ibnu
Ummi Maktum adzan. Lalu beliau shalat sunnah dua raka’at sebagaimana
diriwayatkan dari Anas bin Malik, yang insya Allah akan dijelaskan
kemudian. Tetapi selama fajar shadiq (tanda waktu shubuh) belum terbit,
maka masih dibolehkan untuk makan dan minum seperti dijelaskan dalam
hadits dari ‘Aisyah di atas.
Adapun golongan kedua itu mengingkari
imsak 10 menit sebelum fajar adalah berdasarkan hadits-hadits dha’if dan
karena salah dalam memahami perkataan ulama. Berikut ini di antara
hadits yang mereka kemukakan.
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم أوذنه لصلاة الفجر , و هو يريد الصيام , فدعا بإناء فشرب , ثم ناولني فشربت , ثم خرجنا إلى الصلاة
“Aku pernah mendatangi Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam untuk adzan shalat shubuh, padahal beliau akan
berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air untuk minum. Setelah itu
beliau mengajakku untuk minum dan kami keluar untuk shalat”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir no. 3018 dan 3019, Ahmad 6/12 no. 23935,
dan perawi-perawinya tsiqaat, para perawi Al-Bukhari dan Muslim. Namun
sanad hadits ini adalah dla’if, karena tidak diketahui penyimakan
‘Abdullah bin Ma’qil Al-Muzanniy dari Bilaal. Ada riwayat lain yang
semakna dari Ja’far bin Barqan dari Syaddaad maula ‘Iyadl bin ‘Amir dari
Bilal, namun ia juga lemah karena jahalah Syaddaad - sebagaimana
diriwayatkan oleh Ahmad 6/13 no. 23947]
كان
علقمة بن علاثة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم , فجاء بلال يؤذنه
بالصلاة , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : رويدا يا بلال ! يتسحر
علقمة, وهو يتسحر برأس
Alqamah bin Alatsah pernah bersama
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian datanglah Bilal untuk
mengumandangkan adzan. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Tunggu sebentar wahai Bilal ! Alqamah sedang makan sahur. –
Dan ia (‘Alqamah) baru mulai makan sahur ” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thayalisi no. 2010 dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir sebagaimana
dalam Al-Majma’ 3/153 dan ia berkata : “Qais bin Ar-Rabi’ dianggap
tsiqah oleh Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri padahal padanya – yaitu Qais –
ada pembicaraan]. Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Haditsnya (Qais)
hasan jika ada syawahid-nya, karena ia (Qais) sendiri shaduq (jujur).
Hanya yang dikhawatirkan adalah jeleknya hafalannya. Maka apabila ia
meriwayatkan hadits yang sesuai dengan perawi-perawi tsiqat lainnya,
haditsnya dapat dipakai”. Dr. Muhammad bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy
(pen-tahqiq Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisiy) berkata : “Sanadnya dla’if,
karena ke-dla’if-an Qais bin Ar-Rabii’”.]
Bilal biasa adzan pada malam hari untuk
membangunkan orang yang ingin qiyamul lail.. Sedangkan ibnu Ummi Maktum
adzan pada saat terbit fajar. Ditambah lagi, menurut mereka sendiri,
hadits ini dha’if.
Diriwayatkan dari Syuhaib bin Gharqadah Al-Bariqi dari Hiban bin Harits ia berkata :
تسحرنا مع علي بن أبي طالب رضي الله عنه , فلما فرغنا من السحور أمر المؤذن فأقام الصلاة
“Kami pernah makan sahur bersama ‘Ali bin
Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Maka ketika kami telah selesai makan
sahur, ia (‘Ali) menyuruh muadzin untuk iqamat” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/106 dan Al-Muhlis dalam
Al-Fawaid Al-Munthaqah 8/11/1]. Perawi-perawinya tsiqat kecuali Hibban.
Ibnu Abi Hatim 1/2/269 membawakan riwayat ini dan ia tidak menyebutkan
jarh ataupun ta’dil-nya. Sedangkan Ibnu Hibban menulisnya dalam
Ats-Tsiqaat.
Tampaknya mereka salah paham dengan
hadits ini. Padahal maksud hadits ini adalah: “Kami pernah makan sahur
bersama ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Maka ketika kami telah
selesai makan sahur, ia (‘Ali) menyuruh muadzin (untuk adzan). Kemudian
didirikanlah shalat.” Dalam riwayat ini tidak diceritakan secara detail,
hanya garis besarnya. Sebenarnya, setelah mereka sahur, Ali
memerintahkan muadzin untuk adzan. Lalu mereka sholat sunnah, lalu
iqamat, lalu mereka mendirikan shalat shubuh. Sungguh tak dapat diterima
jika Ali bersahur setelah terbit fajar.
مِنَ
الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا أُحْدِثَ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ إِيقَاعِ
الْأَذَانِ الثَّانِي قَبْلَ الْفَجْرِ بِنَحْوِ ثُلُثِ سَاعَةٍ فِي
رَمَضَانَ وَإِطْفَاءِ الْمَصَابِيحِ الَّتِي جُعِلَتْ عَلَامَةً
لِتَحْرِيمِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ عَلَى مَنْ يُرِيدُ الصِّيَامَ زَعْمًا
مِمَّنْ أَحْدَثَهُ أَنَّهُ لِلِاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَةِ وَلَا
يَعْلَمُ بِذَلِكَ إِلَّا آحَادُ النَّاسِ وَقَدْ جَرَّهُمْ ذَلِكَ إِلَى
أَنْ صَارُوا لَا يُؤَذِّنُونَ إِلَّا بَعْدَ الْغُرُوبِ بِدَرَجَةٍ
لِتَمْكِينِ الْوَقْتِ زَعَمُوا فَأَخَّرُوا الْفِطْرَ وَعَجَّلُوا
السُّحُورَ وَخَالَفُوا السُّنَّةَ فَلِذَلِكَ قَلَّ عَنْهُمُ الْخَيْر
وَكثير فِيهِمُ الشَّرُّ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa
yang terjadi di jaman ini (jamannya Ibnu Hajar) yaitu adanya
pengumandangan adzan kedua tiga perempat jam sebelum waktu fajar bulan
Ramadlan. Serta memadam lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya
waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa keesokan harinya.
Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa hal itu dimaksudkan
untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis batas
akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati yang demikian,
juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali
setelah matahari terbenam beberapa saat agar lebih mantap lagi (menurut
anggapan mereka). Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka
puasa, suka mempercepat waktu sahur, dan suka menyalahi Sunnah. Oleh
sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak
mendapatkan keburukan. Wallahul Musta’an.” [Fathul-Baariy, 4/199]
Maka mereka salah paham ketika berfikir
bahwa al-Hafizh telah mengingkari imsak seperti yang kita lakukan.
Ketahuilah bahwa yang beliau ingkari adalah adzan ketika 3/4 jam sebelum
fajar. Adakah kita beradzan ketika itu? Adakah kita adzan ketika imsak
(10 menit sebelum fajar)? Jangankan adzan ketika imsak, adzan untuk
membangunkan qiyamul lail pun tidak.
Kemudian yang juga beliau ingkari adalah
pengharaman makan dan minum di waktu imsak. Sedangkan kita tidak
mengharamkan makan dan minum di waktu imsak.
Maka jelaslah bahwa al-Hafizh tidak
menganggap bahwa imsak yang kita lakukan ini adalah bid’ah munkaroh.
Karena dalam Fathul Bari juz’ 2 halaman 54 beliau menjelaskan tentang
dua hadits berikut:
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ حَدَّثَهُ أَنَّهُمْ
تَسَحَّرُوا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ
قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ
أَوْ سِتِّينَ يَعْنِي آيَةً
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin
‘Ashim berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari
Anas bin Malik bahwa Zaid bin Tsabit telah menceritakan kepadanya, bahwa
mereka pernah sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian
mereka berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku bertanya, “Berapa jarak
antara sahur dengan shalat subuh?” Dia menjawab, “Antara lima puluh
hingga enam puluh.” Yakni (lima puluh hingga enam puluh) ayat. [Shahih
Bukhari Kitab Waktu-Waktu Shalat Bab Waktu Fajar no.541]
حَدَّثَنَا
حَسَنُ بْنُ صَبَّاحٍ سَمِعَ رَوْحَ بْنَ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا فَلَمَّا
فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى قُلْنَا لِأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ
فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلَاةِ قَالَ
قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
Telah menceritakan kepada kami Hasan bin
Shabbah telah mendengar Rauh bin ‘Ubadah telah menceritakan kepada kami
Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan Zaid bin Tsabit makan sahur bersama. Setelah keduanya
selesai makan sahur, beliau lalu bangkit melaksanakan shalat. Kami
bertanya kepada Anas, “Berapa rentang waktu antara selesainya makan sahur
hingga keduanya melaksanakan shalat?” Anas bin Malik menjawab,
“Kira-kira waktu seseorang membaca lima puluh ayat.” [Shahih Bukhari
Kitab Waktu-Waktu Shalat Bab Waktu Fajar no.542]
Dijelaskan oleh al-Hafizh ibnu Hajar dalam Fathul Bari:
وَالَّذِي
يَظْهَرُ لِي فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ أَنَّ أَنَسًا حَضَرَ
ذَلِكَ لَكِنَّهُ لَمْ يَتَسَحَّرْ مَعَهُمَا وَلِأَجْلِ هَذَا سَأَلَ
زَيْدًا عَنْ مِقْدَارِ وَقْتِ السُّحُورِ كَمَا سَيَأْتِي بَعْدُ ثُمَّ
وَجَدْتُ ذَلِك صَرِيحًا فِي رِوَايَة النَّسَائِيّ وبن حِبَّانَ
وَلَفْظُهُمَا عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَنَسُ إِنِّي أُرِيدُ الصِّيَامَ أَطْعِمْنِي
شَيْئًا فَجِئْتُهُ بِتَمْر وإناء فِيهِ مَاء وَذَلِكَ بعد مَا أَذَّنَ
بِلَالٌ قَالَ يَا أَنَسُ انْظُرْ رَجُلًا يَأْكُلُ مَعِي فَدَعَوْتُ
زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَجَاءَ فَتَسَحَّرَ مَعَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
فَعَلَى هَذَا فَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ أَيْ أَذَانِ بن أُمِّ مَكْتُومٍ
فَعَلَى هَذَا فَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ أَيْ أَذَانِ بن أُمِّ مَكْتُومٍ
Dan yang membuat jelas bagiku untuk
mengumpulkan dua riwayat ini bahwa Anas hadhir pada peristiwa itu, akan
tetapi tidak ikut sahur bersama mereka. Maka dari itu, ia menanyai Zaid
mengenai kadar waktu sahur sebagaimana yang akan disebutkan. Aku temukan
juga yang demikian secara sharih dalam riwayat an-Nasai (no.2167) dan
ibnu Hibban dan lafazh mereka: Dari Anas, dia berkata: berkata kepadaku
Rasulullah shollallohu ‘alayhi wa sallam, “Wahai Anas, aku hendak
berpuasa. Maka hidangkan aku sesuatu.” Maka aku datangi beliau dengan
kurma dan wadah yang berisi air. Dan itu setelah adzannya Bilal. Beliau
berkata, “Wahai Anas, carilah seseorang untuk makan bersamaku.” Maka aku
memanggil Zaid bin Tsabit. Maka dia datang dan sahur bersama beliau.
Kemudian mendirikan shalat (sunnah) dua raka’at. Kemudian keluar untuk
sholat (shubuh).
Demikianlah salah satu bukti jika
seseorang menuntut ilmu kepada guru yang tak bersanad. Mereka bisa saja
salah paham, sehingga mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram.
Dalam kasus ini, mereka mengingkari imsak
yang merupakan kebiasaan Rasul shollallohu ‘alayhi wa sallam. Ini baru
salah satu saja. Entah telah berapa banyak sunnah Rasul yang mereka
ingkari dan telah berapa banyak bid’ah yang mereka munculkan. Na’udzu
billahi min dzalik.
Rujukan.
Kitab Fathul Waduud
2014@abdkadiralhamid
0 Response to "Kekeliruan dalam Memahami Imsak "
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip