Akibat Politik
Tahkim:
Munculnya Gerakan Khawarij
Di Perang
Shiffin, Imam Ali r.a di Khianati Pengikutnya
(Golongan Kontra Vs Pro Tahkim)
Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang
berada dibawah pimpinan Imam Ali r.a. berjumlah kurang lebih 100.000 orang.
Pasukan ini dikenal sebagai "pasukan Iraq". Sedang pasukan Muawiyah
yang disebut sebagai "pasukan Syam" berjumlah kurang lebih 75.000
orang. Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun
36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang 175.000 orang prajurit Islam.
Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling bertempur di antara mereka sendiri.
Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram --bulan suci-- sebagai sesama pasukan muslimin, kedua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan pertempuran. Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan.
Melihat hal ini Imam Ali r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu dan bisa berlarut-larut. Yang untung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. Pertengahan bulan Syafar tahun 37 Hijriyah ditandai oleh suatu pertempuran dahsyat antara dua pasukan yang berlangsung penuh sepanjang hari. Pada hari keduanya terjadi pertempuran yang paling hebat, yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam sejarah Islam. Menurut kebiasaan bila senja tiba, pertempuran dihentikan, tetapi kali ini pertempuran diteruskan di kegelapan malam. Darah membasahi bumi Shiffin. Prajurit dan komandan berguguran. Bapak melawan anak, saudara bertempur melawan saudara, muslim membunuh muslim. Malam dilewatkan dengan pertumpahan darah yang tiada hentinya hingga fajar menyingsing.
Setelah beberapa hari bertempur dan Muawiyah melihat pasukannya mulai kewalahan, ia berpaling kepada Amr bin Al Ash selaku penasehatnya agar dapat memberikan saran-saran. Amr bin Al Ash muncul dengan tipu muslihatnya. Ia perintahkan kepada semua anggota pasukan supaya menancapkan lembaran-lembaran Al Qur'an di ujung senjata masing-masing dan mengangkatnya setinggi mungkin agar mudah diketahui oleh pasukan Kufah. Sejalan dengan itu terdengarlah mereka berseru:
"Inilah Kitab Allah. Inilah Al Qur'an yang dari awal hingga akhir tetap berada di antara kita. Allah, Allah, jaga dan lindungilah bangsa Arab. Allah, Allah, jaga dan lindungilah agama Islam. Allah, Allah, lindungilah negeri kami. Siapakah yang akan menjaga Syam dari serangan musuh (Romawi) apabila tentara Syam binasa? Dan siapa pulakah yang akan melindungi Iraq apabila tentaranya musnah?"
Tujuan
dari gerak-tipu itu ialah agar pasukan Kufah mengira, bahwa pasukan Syam
sekarang telah bersedia menerima penyelesaian secara damai berdasarkan hukum
Allah.
Imam Ali r.a. Ditekan
Selain itu ada pula kelompok yang hendak menunggangi situasi itu agar peperangan cepat dihentikan. Mereka sudah jemu dengan peperangan dan sangat merindukan perdamaian.
Tidak selang berapa lama datanglah berduyun-duyun sejumlah orang kepada Imam Ali r.a. Mereka menuntut supaya peperangan segera dihentikan. Tuntutan mereka itu ditolak oleh Imam Ali r.a., karena ia yakin, bahwa apa yang diperbuat oleh orang-orang Syam itu hanya tipu-muslihat. Karena itu kepada mereka yang menuntut dihentikannya peperangan, Imam Ali r.a. menegaskan:
"Itu hanya tipu-daya dan pengelabuan! Aku ini lebih mengenal mereka daripada kalian! Mereka itu bukan pembela-pembela Al-Qur'an dan agama Islam. Aku sudah lama mengenal mereka dan mengetahui soal-soal mereka, mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Aku tahu mereka itu meremehkan agama dan sedang meluncur ke arah kepentingan duniawi. Oleh sebab itu janganlah kalian terpengaruh oleh perbuatan mereka yang mengibarkan lembaran-lembaran Al-Qur'an. Bulatkanlah tekad kalian untuk berperang terus sampai tuntas. Kalian sudah berhasil mematahkan kekuatan mereka. Mereka sekarang sudah loyo dan tidak lama lagi akan hancur!"Mereka tetap tidak mau mengerti, bahwa itu hanya tipu-muslihat. Mereka mendesak terus agar perang dihentikan dan mengancam tidak mau mendukung Imam Ali r.a. lagi bila perang diteruskan. Mereka bukan hanya sekedar menggertak dan mengintimidasi, bahkan mereka sampai berani "memerintahkan" Imam Ali r.a. supaya mengeluarkan instruksi penghentian perang dan menarik semua sahabatnya yang masih berkecimpung di medan tempur.
Benar-benar terlalu! Imam Ali r.a. sampai "diperintah" supaya cepat-cepat menarik .Al-Asytar yang sedang memimpin pertempuran! Lebih dari itu. Mereka juga mengancam akan menangkap dan menyerahkan Imam Ali r.a. kepada Muawiyah, jika ia tidak mau memenuhi tuntutan mereka! Tidak sedikit jumlah pasukan Imam Ali r.a. yang berbuat sejauh itu. Mereka bersumpah tidak akan meninggalkan Imam Ali r.a. dan akan terus mengepungnya, sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan "perintah" mereka.
Kedudukan Imam Ali r.a. benar-benar sulit, bahkan rawan dan gawat. Melanjutkan peperangan berarti membuka lubang perpecahan. Menghentikan peperangan juga berarti membangkitkan perlawanan kelompok yang lain, yang tidak percaya kepada tipumuslihat musuh. Ini juga berarti perpecahan. Imam Ali r.a. benar-benar "tergiring" ke posisi sulit akibat muslihat politik "tahkim" yang dilancarkan Muawiyah dan Amr.
Setelah kaum pembelot tak dapat diyakinkan lagi, Imam Ali r.a. terpaksa memanggil Al Asytar dan memerintahkan supaya menghentikan peperangan. Pada mulanya Al Asytar menolak, karena ia tidak mengerti sebabnya Imam Ali r.a. sampai bertindak sejauh itu. Kepada suruhan Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Bagaimana aku harus kembali dan bagaimana peperangan harus kuhentikan, sedangkan tanda-tanda kemenangan sudah tampak jelas! Katakan saja kepada Imam Ali, supaya ia memberi waktu kepadaku barang satu atau dua jam saja!"
Al Asytar membantah, sebab suruhan Imam Ali r.a. tidak menerangkan sama sekali sebab-sebabnya Imam Ali r.a. mengeluarkan perintah seperti itu dan tidak dijelaskan juga bagaimana keadaan yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. di markas-besarnya.
Waktu suruhan Imam Ali r.a. kembali dan melaporkan jawaban Al Asytar, orang-orang yang sedang mengepungnya marah, gaduh, ribut dan berniat buruk terhadap Imam Ali r.a. Mereka berprasangka jelek. Kemudian mereka bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Apakah engkau memberi perintah rahasia kepada Al Asytar supaya tetap meneruskan peperangan dan melarang dia berhenti? Jika engkau tidak segera dapat mengembalikan Al Asytar, engkau akan kami bunuh seperti dulu kami membunuh Utsman!"
Suruhan itu diperintahkan kembali untuk menemui Al Asytar. Agar ia cepat kembali, suruhan itu melebih-lebihkan keterangan kepada Al Asytar: "Apakah engkau mau menang dalam kedudukanmu ini, sedang Ali sekarang lagi dikepung 50.000 pedang?"
"Apa sebab sampai terjadi seperti itu?" tanya Al Asytar yang ingin mendapat keterangan lebih jauh.
"Karena mereka melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan oleh pasukan Syam," jawab suruhan.
Sambil bersiap-siap untuk kembali menghadap Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Demi Allah, aku sudah menduga akan terjadi perpecahan dan malapetaka pada waktu aku melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan orang!"
Al Asytar segera pulang. Setiba di markas-besar ia melihat Imam Ali r.a. dalam keadaan bahaya. Anggota-anggota pasukan yang mengepung sedang mempertimbangkan apakah Imam Ali r.a. dibunuh saja atau diserahkan kepada Muawiyah. Saat itu tidak ada orang lain yang memberi perlindungan kepada Imam Ali r.a. kecuali dua orang puteranya sendiri Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. serta Abdullah Ibnu Abbas dan beberapa orang lain, yang jumlah kesemuanya tak lebih dari 10 orang.
Ketika melihat situasi yang sangat kritis itu, A1 Asytar segera menerobos kepungan sambil memaki-maki mereka yang sedang mengancam-ancam: "Celaka kalian! Apakah setelah mencapai kemenangan dan keberhasilan lantas kalian mau menghentikan dukungan dan menciptakan perpecahan. Sungguh impian yang sangat kerdil. Kalian itu memang perempuan! Sungguh busuk kalian itu!"
Datanglah Al Asy'ats bin Qeis kepada Imam Ali r.a. lantas berkata : "Ya Amiral Mukminin, aku melihat orang-orang sudah menerima dan menyambut baik ajakan mereka (pasukan Syam) untuk mengadakan penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Kalau engkau setuju, aku akan datang kepada Muawiyah untuk menanyakan apa sesungguhnya yang dimaksud dan apa yang diminta olehnya."
"Pergilah, kalau engkau mau…!" jawab Imam Ali r.a.
Dalam pertemuannya dengan Muawiyah, Al Asy'ats bertanya: "Untuk apa engkau mengangkat lembaran-lembaran Al Qur' an pada ujung-ujung senjata pasukanmu?"
Muawiyah menerangkan: "Supaya kami dan kalian semuanya kembali kepada apa yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur' an. Oleh karena itu utuslah seorang yang kalian percayai, dan dari fihak kami pun akan mengutus seorang juga. Kepada kedua orang itu kita tugaskan supaya bekerja atas dasar Kitab Allah dan jangan sampai melanggarnya. Kemudian, apa yang disepakati oleh dua orang itu kita taati bersama…"
Al Asy'ats menanggapi keterangan Muawiyah itu dengan ucapan: "Itu adalah kebenaran!"
Setelah itu Al Asy'ats dan beberapa orang ulama Al-Qur'an berkata kepada Imam Ali r.a.: "Kita telah menerima baik tahkim berdasar Kitab Allah…, dan kami sepakat untuk memilih Abu Musa Al Asy'ariy sebagai utusan!"
Imam Ali r.a. menolak: "Aku tidak setuju Abu Musa ditetapkan sebagai utusan. Aku tidak mau mengangkat dia!"
Al Asy'ats menyanggah: "Kami tidak bisa menerima orang selain dia. Dialah yang telah mengingatkan kita mengenai kejadian yang sedang kita hadapi sekarang ini, yakni peperangan…"
Imam Ali r.a. masih tetap menolak: "Ya, tetapi aku tidak dapat menyetujui dia. Ia dulu meninggalkan aku dan berusaha mencegah orang supaya tidak membantuku. Kemudian ia lari, tetapi sebulan setelah itu ia kembali dan kujamin keselamatannya. Inilah Ibnu Abbas, orang yang akan kuangkat sebagai utusan!"
Al Asy'ats menolak sambil berdalih: "Demi Allah, kami tidak peduli. Kami menginginkan seorang yang netral, tidak condong kepadamu dan tidak condong kepada Muawiyah!"
Imam Ali r.a. mengajukan usul lain: "Kalau begitu, aku akan mengangkat Al Asytar!"
Dengan sinis Al Asy'ats bertanya: "Apakah bumi ini akan terbakar jika bukan Al Asytar yang kau angkat? Apakah kami hendak kau tempatkan di bawah kekuasaan Al Asytar?"
Imam Ali r.a. ingin mendapat penjelasan, lalu bertanya: "Kekuasaan yang bagaimana?"
Al Asy'ats menyahut: "Kekuasaan dia ialah hendak mendorong kaum muslimin terus menerus mengadu pedang sampai terlaksana apa yang diinginkan olehmu dan olehnya!"
Imam Ali r.a. masih berusaha menyakinkan: "Muawiyah tidak menyerahkan tugas itu kepada siapa pun selain orang yang dipercaya benar-benar olehnya, yaitu Amr bin Al Ash. Bagi orang Qureisy itu (Muawiyah) memang tidak ada yang paling baik baginya kecuali orang seperti Amr…! Kalian akan diwakili oleh Abdullah bin Abbas. Biarlah dia yang menghadapi Amr. Abdullah mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Amr kepadanya, sedangkan Amr tidak akan sanggup mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Abdullah kepadanya. Abdullah mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Amr, sedangkan Amr tidak akan mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Abdullah!"
Al Asy'ats tetap berkeras kepala. Ia berganti dalih: "Demi Allah, tidak…! Sampai kiyamat pun masalah tahkim itu tidak boleh dirundingkan oleh dua orang sama-sama berasal dari Bani Mudhar. Angkatlah orang yang dari Yaman (Abu Musa), sebab mereka sudah mengangkat orang dari Mesir (Amr)…!"
Imam Ali mengingatkan: "Aku khawatir kalu-kalau kalian akan terkelabui. Sebab kalau Amr sudah menuruti hawa nafsunya dalam urusan tahkim itu, ia sama sekali tidak takut kepada Allah!"
Dengan bersitegang leher Al Asy'ats berkata: "Demi Allah, kalau salah seorang dari dua perunding itu berasal dari Yaman, lalu mengambil beberapa keputusan yang tidak menyenangkan kita, itu lebih baik bagi kita daripada kalau dua orang perunding itu sama-sama berasal dari Bani Mudhar, walau mereka ini mengambil beberapa keputusan yang menyenangkan kita!"
Imam Ali r.a. minta ketegasan terakhir: "Jadi…, kalian tidak menghendaki selain Abu Musa?"
"Ya!" jawab Al Asy'ats.
"Kalau begitu, kerjakanlah apa yang kalian inginkan!" kata Imam Ali r.a. dengan hati masgul.
Beberapa orang pengikut Imam Ali r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak. Wakil fihak Kufah (Imam Ali r.a.) menuliskan dalam teks perjanjian sebuah kalimat: "Inilah yang telah disetujui oleh Amirul Mukminin…"
Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: "Betapa jeleknya aku ini, kalau aku mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!"
Amr bin Al Ash menyambung: "Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir (penguasa) kalian dan bukan Amir kami!"
Wakil-wakil fihak Kufah kembali menghadap Imam Ali r.a. untuk minta pendapat mengenai penghapusan sebutan "Amirul Mukminin". Ternyata Imam Ali r.a. memerintahkan supaya sebutan itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-cepat mengingatkan: "Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir pemerintahan (imarah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Jangan..., jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk terus!"
Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. berfikir hendak mempertahankan sebutan "Amirul Mukminin" dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al Asy'ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja.
Dengan perasaan amat kecewa Imam Ali r.a. berucap: "Laa llaaha Illahllaah . . . Allaahu Akbar! Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru. Demi Allah, bukankah persoalan seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan perjanjian Hudaibiyyah?!
"Waktu itu atas perintah Rasul Allah s.a.w. aku menulis dalam teks perjanjian "Inilah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr." Ketika itu Suhail berkata: "Aku tidak mau menerima teks yang berisi tulisan 'Rasul Allah'. Sebab kalau aku percaya bahwa engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan dzalim kalau aku melarangmu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja 'Muhammad bin Abdullah', baru aku mau menerimanya…!"
"Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: 'Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku pun Muhammad bin Abdullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulanku. Oleh karena itu tulis saja Muhammad bin Abdullah !' Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum musyrikin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian dengan anak-anak mereka, pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasul Allah s.a.w.…"
Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi. Sebagai reaksi Al Asytar berkata pada Imam Ali: "Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu. Bukankah anda ini berdiri di atas kebenaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa musuhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepada mereka: "Apakah kalian tidak melihat kemenangan sudah diambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas kasihan kepada musuh?!"
Al Asy'ats menyahut: "Demi Allah, aku tidak melihat kemenangan dan tidak pula meminta belas kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang tertulis dalam teks perjanjian ini!"
Al Asytar menjawab: "Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orang-orang yang menurut penilaianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Apa yang diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya selalu benar dan tepat!"
Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa seorang yang luka parah akibat pukulan pedang. Waktu Imam Ali r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: "Ada orang yang sudah menjalani nasibnya dan ada pula yang sedang menunggu nasib! Dan... engkau termasuk orang-orang yang sedang menunggu nasib seperti orang ini!"
Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perjanjian seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orang-orang supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!"
Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, apakah tidak ada jalan untuk membatalkan perjanjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!"
Imam Ali r.a. menjawab: "Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu tidak boleh terjadi!"
Imam Ali r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian dengan Muawiyah mengenai prinsip penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Banyak di antara pengikutnya yang merasa kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat.
Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja: "Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat kita menyetujui tahkim! Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perjanjian itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan bertaubatlah kepada Allah seperti yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!"
Imam Ali r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanjian, walau perjanjian itu akan mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kedzaliman orang lain. Kepada orang-orang yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertaubat, ia menjawab:
"Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetujui perjanjian itu lantas sekarang harus berbuat cidera? Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan memenuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya):
"Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (S. An Nahl: 91).
Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. berkata:
"Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda perpecahan fikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih memporak-porandakan musuh kalian. Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih memerintah, tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah menjadi orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian kepada apa yang tidak kalian sukai…"
Penyimpangan Abu Musa
Beberapa bulan kemudian, bertemulah dua orang perunding di sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari Shiffin. Amr bin Al Ash mewakili Muawiyah, dan Abu Musa Al Asy'ariy mewakili Imam Ali r.a. Dalam perundingan itu Amr dengan gigih bertahan membela Muawiyah, sedangkan Abu Musa berpendirian "asal damai" dan "asal selamat". Dengan berbagai siasat dan muslihat, akhirnya Amr berhasil menyeret Abu Musa kepada suatu konsepsi yang meniadakan kekhalifahan Imam Ali r.a.
Berdasarkan prinsip "asal damai" dan "asal selamat", Abu Musa mengusulkan supaya fihak Amr bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan menggantikan Imam Ali. Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: "mengapa anda tidak mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdullah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang yang shaleh!"
Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhirnya dua orang itu sepakat untuk memberhentikan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai pemimpin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk memilih Khalifah lain yang disukainya.
Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Imam Ali r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak mempunyai kecurigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan.
Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan mengumumkan hasil perundingan itu di depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih dulu mengumumkan pemberhentian Imam Ali, kemudian barulah Amr akan mengumumkan pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih dulu.
Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat untuk memberhentikan imam Ali dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di antara kaum muslimin. Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata: "Sekarang aku menyatakan pemberhentian Ali sebagai Khalifah!"
Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbicara seperti Abu Musa. Ia tidak mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Imam Ali dan Muawiyah. Amr hanya mengatakan: "Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukannya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak lagi menjadi Khalifah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan kedudukan Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!"
Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sejarah.
Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa dalam perundingan. Surat Abdullah tersebut sebagai berikut:
"Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam persoalan yang engkau sendiri tidak mengetahui bagaimana fikiranku mengenai hal itu. Apakah engkau mengira bahwa aku akan bersedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih terkemuka dibanding Ali bin Abi Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku? Engkau sungguh sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang mengambil sikap permusuhan. Engkau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena ucapanmu mengenai diriku.
"Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau itu seorang pengajar Al Qur'an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk menghadap Rasul Allah s.a.w., seorang yang pernah diberi kepercayaan membagi-bagikan ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat Muawiyah!"
Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab tersebut, Abu Musa
menulis:
"Aku bukannya hendak mendekatimu dengan jalan mendudukkan dirimu atau membai'atmu sebagai Khalifah. Yang kuinginkan hanyalah keridhoan Allah s.w.t. Kesediaanku memikul tugas ummat ini bukan suatu hal yang buruk atau tercela. Sebab ummat ini seolah-olah sedang berada di ujung pedang. Selama hidup sampai mati aku akan tetap mengatakan, bahwa yang kuinginkan ialah agar ummat ini selalu damai. Sebab jika tidak, ummat ini tidak akan dapat kembali kepada kebesaran semula."
Seterusnya Abu Musa mengatakan:
"Adapun mengenai ucapanku tentang dirimu yang dapat membuat marah Ali dan Muawiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku. Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Allah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama, dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan. Adapun mengenai apa yang engkau dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan, engkau akan terpaksa menerimanya!"
Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu
Musa benar-benar fikirannya dicekam rasa rindu perdamaian. Dan demi
perdamaian ia tidak segan-segan menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan
rela menjebloskan pemimpinnya sendiri.
Gerakan Khawarij
Imam Ali r.a. adalah seorang yang tidak pernah berbuat sesuatu yang berlainan antara ucapan dan perbuatan. Ia menolak keras hasil perundingan antara Abu Musa dengan Amr, tetapi karena ia telah menyatakan kesediaan menerima "tahkim" --walaupun hanya karena ia ditekan oleh pengikutnya-- prinsip itu dipertahankan dengan konsekuen, selama fihak lawan benar-benar hendak mencari penyelesaian berdasarkan hukum Al-Qur'an.
Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada beberapa orang pengikutnya yang mengajukan pertanyaan. Dalam penjelasannya itu Imam Ali r.a. mengatakan:
"Kami menerima tahkim. Oleh karena itu tahkim harus didasarkan kepada Kitab Allah, Al-Qur'an. Al Qur'an itu tertulis pada lembaran-lembaran. Al-Qur'an tidak berbicara dengan lisan dan tidak bisa tidak memerlukan penafsiran. Penafsiran itu sudah tentu keluar dari ucapan orang. Setelah mereka minta kepada kami supaya kami mengadakan penyelesaian berdasarkan tahkim Al-Qur'an, kami tidak mau menjadi fihak yang berdiri di luar Al-Qur'an. Sebab Allah 'Azaa wa Jalla telah berfiman, artinya: "Jika kalian bertengkar mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya." (S. An Nisa: 59).
"Mengembalikan persoalan kepada Allah," kata Imam Ali r.a. seterusnya, "berarti kami harus mencari penyelesaian hukum di dalam Kitab Allah. Dan mengembalikan persoalan kepada Rasul-Nya, berarti kami harus mengambil sunnah Rasul Allah. Jika persoalan benar-benar hendak diselesaikan berdasar hukum yang ada dalam Kitab Allah, sesungguhnyalah kami lebih berhak berbuat daripada orang lain. Dan kalau hendak diselesaikan berdasarkan sunnah Rasul Allah, pun kami jugalah yang lebih berhak daripada orang lain."
"Adapun ucapan mereka yang mengatakan: 'mengapa diadakan tenggang waktu (gencatan senjata) dalam menempuh jalan tahkim?' Kata Imam Ali r.a. lebih lanjut, hal itu kami lakukan agar menjadi jelas bagi orang yang tidak mengerti, dan agar menjadi mantap bagi orang yang sudah mengerti. Mudah-mudahan selama gencatan senjata itu Allah akan memperbaiki keadaan ummat, agar menjadi terang, dan awal kesesatan itu dapat segera diluruskan."
"Sesungguhnya yang paling afdhal di sisi Allah," kata Imam Ali r.a. pula, "ialah orang yang lebih menyukai berbuat kebenaran walau kebenaran itu mendatangkan kesukaran dan kerugian baginya. Yaitu orang yang pantang berbuat kebatilan, walau kebatilan itu akan mendatangkan kemudahan dan keuntungan baginya. Jadi, bagaimanakah kalian sampai menjadi bingung, dan dari manakah keraguan yang menghinggapi fikiran kalian?"
Imam Ali r.a. Digugat
Sekarang, setelah ternyata politik tahkim itu benar-benar hanya tipu muslihat
Muawiyah, kelompok kontra tahkim yang terdapat dalam pasukan Imam Ali r.a.
menggugat, mengungkit dan melemparkan segala kesalahan kepada pundak Imam Ali
r.a. Lebih aneh lagi karena banyak yang tadinya pro tahkim, setelah kelompok
kontra tahkim bergerak, mereka ikut-ikutan menentang Imam Ali r.a. dan
bergabung dengan kelompok kontra tahkim.
Kelompok kontra tahkim itu dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij (orang-orang yang keluar meninggalkan barisan Imam Ali r.a.).
Waktu Imam Ali r.a. bersama sejumlah pasukan pengejar berangkat, kaum Khawarij sudah sampai di sebuah pedusunan yang bernama Harura. Walaupun segalanya telah siap untuk menumpas pemberontakan bersenjata, tetapi Imam Ali r.a. masih tetap ingin supaya orang-orang Khawarij itu dapat diajak bersatu kembali dan berjuang bersama-sama melawan pasukan Syam.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Khawarij itu banyak berasal dari prajurit-prajurit berpengalaman. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat teguh dan keras sekali terhadap lawan. Lebih-lebih karena mereka semua adalah bekas pengikut Imam Ali r.a. sendiri. Dengan ketangguhan luar biasa mereka telah menyumbangkan andil besar dalam perjuangan mematahkan pemberontakan Thalhah dan Zubair. Dalam menghadapi pemberontakan Muawiyah mereka pun telah memberikan jasanya, walau belum sepenuhnya.
Sudah menjadi kepribadian Imam Ali r.a., bahwa ia tidak melihat orang hanya dari segi kekurangan dan kesalahannya saja, tetapi juga tidak melupakan kebaikan dan kebenarannya.
Kaum Khawarij bersikeras untuk tetap melancarkan pemberontakan bersenjata dan tidak mau menerima apa yang datang dari Imam Ali r.a. Mereka tetap memandang Imam Ali r.a. sebagai orang yang sudah murtad dan menjadi kafir karena menerima "tahkim". Oleh karena itu mereka memandang Imam Ali sebagai orang yang telah keluar dari rel agama dan harus diperlakukan sebagai musuh Allah! Begitulah pendirian kaum Khawarij yang sudah tidak dapat berubah lagi. Tiap orang yang tidak sependapat dengan mereka dicap "kafir". Setiap orang yang sudah terkena cap itu, oleh mereka dihalalkan darahnya, harta bendanya dan keluarganya.
Pernyataan tertulis Imam Ali r.a. tersebut di atas, secara keseluruhan menggambarkan betapa sulit dan beratnya persoalan yang dihadapinya sepeninggal Rasul Allah s.a.w., terutama setelah dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin.
Kelompok kontra tahkim itu dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij (orang-orang yang keluar meninggalkan barisan Imam Ali r.a.).
Pasukan disiapkan untuk berangkat
mengejar kaum Khawarij. Lalu Imam Ali r.a. mengucapkan amanat yang berisi
petunjuk dan komando:
"Barang siapa meninggalkan perjuangan dan menjauhi perintah Allah, ia berada di tepi jurang bahaya, sampai Allah sendiri menyelamatkan dengan rahmat-Nya. Oleh karena itu, hai para hamba Allah, bertaqwalah kalian semua kepada-Nya. Perangilah orangorang yang bertindak memerangi kaum pengemban Amanat Allah. Perangilah mereka yang mengubah agama Allah, orang-orang yang tidak mau mengerti Kitab Allah, dan tidak mau mengerti isyarat-isyarat Al-Qur'an, yaitu mereka yang tidak mau melihat persoalan dari sudut agama. Mereka itu sesungguhnya orang-orang yang belum begitu lama memeluk agama Islam."
Waktu Imam Ali r.a. bersama sejumlah pasukan pengejar berangkat, kaum Khawarij sudah sampai di sebuah pedusunan yang bernama Harura. Walaupun segalanya telah siap untuk menumpas pemberontakan bersenjata, tetapi Imam Ali r.a. masih tetap ingin supaya orang-orang Khawarij itu dapat diajak bersatu kembali dan berjuang bersama-sama melawan pasukan Syam.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Khawarij itu banyak berasal dari prajurit-prajurit berpengalaman. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat teguh dan keras sekali terhadap lawan. Lebih-lebih karena mereka semua adalah bekas pengikut Imam Ali r.a. sendiri. Dengan ketangguhan luar biasa mereka telah menyumbangkan andil besar dalam perjuangan mematahkan pemberontakan Thalhah dan Zubair. Dalam menghadapi pemberontakan Muawiyah mereka pun telah memberikan jasanya, walau belum sepenuhnya.
Sudah menjadi kepribadian Imam Ali r.a., bahwa ia tidak melihat orang hanya dari segi kekurangan dan kesalahannya saja, tetapi juga tidak melupakan kebaikan dan kebenarannya.
Kaum Khawarij bersikeras untuk tetap melancarkan pemberontakan bersenjata dan tidak mau menerima apa yang datang dari Imam Ali r.a. Mereka tetap memandang Imam Ali r.a. sebagai orang yang sudah murtad dan menjadi kafir karena menerima "tahkim". Oleh karena itu mereka memandang Imam Ali sebagai orang yang telah keluar dari rel agama dan harus diperlakukan sebagai musuh Allah! Begitulah pendirian kaum Khawarij yang sudah tidak dapat berubah lagi. Tiap orang yang tidak sependapat dengan mereka dicap "kafir". Setiap orang yang sudah terkena cap itu, oleh mereka dihalalkan darahnya, harta bendanya dan keluarganya.
Setelah ditinggal oleh banyak
pengikutnya dan hanya tingal para sahabat yang setia saja, melalui Hujur bin
Addiy, Amr bin Al Humuq dan sejumlah sahabat lainnya, Imam Ali r.a.
mengeluarkan sebuah pernyataan tertulis untuk disampaikan kepada kaum muslimin
Kufah, terutama bekas pendukungnya. Dalam pernyataan tertulis itu Imam Ali r.a.
membeberkan semua persoalan dan mengungkapkan latar belakang sejarahnya.
"Bahwasanya Allah s.w.t. telah mengutus Muhammad, Rasul Allah s.a.w. untuk mengingatkan ummat manusia di seluruh dunia. Beliau menerima wahyu dan mengemban amanat yang diturunkan kepadanya, dan menjadi saksi bagi ummat ini. Hai orang-orang Arab, kalian pada masa itu dalam keadaan tidak mempunyai agama. Satu sama lain saling memakan harta secara bathil. Kemudian Allah melimpahkan kurnia-Nya kepada kalian dengan mengutus Muhammad s.a.w. datang ke tengah-tengah kalian dan berbicara dengan bahasa kalian. Kalian mengenal wajah beliau dan mengetahui benar asal-usul keturunannya.
"Beliau telah mengajarkan hikmah, sunnah dan fara'idh kepada kalian. Beliau menyuruh kalian supaya selalu menjaga baik-baik hubungan silaturrahmi, memelihara kerukunan dan saling memperbaiki keadaannya masing-masing. Kalian juga diperintahkan supaya menunaikan amanat kepada fihak yang berhak, memenuhi janji, saling bercinta-kasih dan sayang menyayangi. Beliau pun memerintahkan kalian supaya berlaku jujur, dan jangan sampai mencatut timbangan atau takaran. Beliau datang kepada kalian juga antara lain untuk melarang kalian jangan sampai berbuat zina dan jangan makan harta milik anak yatim secara dzalim."
"Kebajikan akan menghindarkan kalian dari siksa neraka. Dan beliau mendorong kalian supaya senantiasa berbuat kebajikan. Tiap perbuatan buruk dan jahat akan menjauhkan kalian dari sorga, dan beliau mencegah supaya kalian jangan sampai berbuat seperti itu. SetelahAllah s.w.t. memandang masa hidupnya sudah cukup, beliau dipanggil pulang ke sisi-Nya, dalam keadaan beliau patut menerima pujian dan memperoleh keridhoan-Nya. Beliau s.a.w. telah memperoleh pengampunan atas segala kekhilafannya dan benar-benar telah mendapat kedudukan mulia di sisi Allah s.w.t.
"Tetapi alangkah besarnya musibah yang terjadi sepeninggal beliau, terutama yang menimpa kaum kerabatnya dan kaum mukminin pada umumnya. Setelah beliau tidak ada lagi kaum muslimin mempertengkarkan pimpinan dan kekuasaan. Demi Allah, aku tidak pernah merasa khawatir dan tidak pernah membayangkan bahwa orang-orang Arab akan menggeser kepemimpinan dari tanganku. Tetapi waktu itu ternyata orang-orang Arab mengangkat Abu Bakar. Mereka datang berbondong-bondong kepadanya. Aku diam tidak mengulurkan tangan, sebab aku yakin bahwa akulah yang sebenarnya lebih berhak meneruskan kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. daripada orang lain yang akan memimpin aku. Beberapa waktu lamanya aku tetap bersikap seperti itu.
"Kemudian aku melihat banyak orang meninggalkan agama Islam, kembali kepada kepercayaan mereka semula, bahkan berani berseru kepada orang-orang lain supaya menghapuskan agama yang dibawakan oleh Muhammad s.a.w. dan Ibrahim as. Aku menjadi sangat khawatir, kalau aku tidak membela Islam dan kaum muslimin, aku bakal menyaksikan kerusakan dan keruntuhan Islam. Bagiku, itu merupakan bencana yang jauh lebih besar daripada lepasnya kepemimpinan dari tanganku. Sebab masalah kepemimpinan hanyalah suatu hiasan hidup belaka yang tidak kekal dan tidak lama, yang akhirnya akan lenyap seperti fatamorgana."
"Aku lalu pergi menjumpai Abu Bakar. Ia kubai'at, kemudian bersama dia aku bergerak menanggulangi kejadian tersebut di atas tadi, sampai kebathilan itu musnah dan kalimat Allah tetap unggul dan mulia walau orang-orang kafir tidak menyukai. Abu Bakar tetap memegang pimpinan pemerintahan. Ia berlaku adil, baik, benar, rendah hati dan hidup sederhana. Aku mendampingi dia sebagai penasehat. Ia kutaati sungguh-sungguh selama ia taat kepada Allah s.w.t."
"Beberapa saat menjelang wafatnya, Abu Bakar menunjuk Umar Ibnul Khattab untuk meneruskan kepemimpinannya. Itu pun kutaati. Umar kubai'at dan kepadanya kuberikan nasehat-nasehat. Selama memegang pimpinan pemerintahan, Umar bersikap baik dan semasa hidupnya ia berperilaku terpuji. Menjelang wafatnya, aku berkata dalam hatiku: 'Ia tentu tidak akan menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada orang lain. Tetapi ternyata ia minta supaya masalah kekhalifahan itu dimusyawarahkan, dan aku menjadi salah seorang calon sekaligus peserta musyawarah. Namun orang lainnya tidak suka kalau kepemimpinan jatuh ke tanganku, sebab mereka mendengar bahwa aku pernah menentang Abu Bakar'…"
"Dulu aku memang pernah mengatakan: 'Hai orang-orang Qureisy, aku ini lebih berhak daripada kalian untuk memegang pimpinan, sebab tidak ada seorang pun di antara kalian yang terdini mengenal Al Qur'an dan mengerti sunnah Rasul!' Karena aku berkata seperti itu, mereka merasa khawatir kalau sampai aku terbai'at menjadi pemimpin ummat, tidak akan ada kesempatan lagi bagi mereka. Akhirnya mereka membai'at Utsman bin Affan, menyingkirkan diriku dari kepemimpinan dan menyerahkannya kepada Utsman. Aku dijauhkan dari kepemimpinan karena mereka mengharap akan memperoleh giliran."
"Aku terpaksa menyatakan bai'at. Aku menyabarkan diri sambil bertawakkal kepada Allah. Kemudian ada salah seorang berkata kepadaku: 'Hai Ibnu Abu Thalib, mengapa engkau ngotot ingin memegang pimpinan?' Aku menjawab: 'Kalian lebih ngotot. Yang kuminta adalah hak waris putera pamanku! Waktu kalian mencampuri urusanku dengan Utsman, kalian berbuat menampar mukaku dan tidak menampar mukanya!' Aku berdoa memohon perlindungan kepada Allah s.w.t. dalam menghadapi orang-orang Qureiys itu. Mereka memutuskan silaturrahmiku dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka meremehkan kedudukan dan keutamaanku. Mereka bersepakat merebut hak yang sebenarnya aku ini lebih berwenang dibanding mereka. Mereka telah memperkosa hakku."
"Mereka lalu berkata lagi: 'Sabarlah engkau menahan kepedihan itu! Dan sabarlah hidup dalam kekecewaan itu!' Aku melihat-lihat dan ternyata tidak ada teman atau orang lain yang bersedia membantu selain keluargaku sendiri. Tetapi aku tidak mau menjerumus-kan keluargaku ke dalam bahaya. Kupejamkan mataku untuk menahan sakitnya kelilip, dan kutelan ludahku dengan perasaan sedih. Aku sabar menahan kejengkelan, sehingga terasa olehku kepahitan yang melebihi jadam dan kesakitan yang melebihi tusukan pisau."
"Akhirnya kalian dendam terhadap Utsman. Ia kalian datangi, lalu kalian bunuh. Setelah itu kalian datang kepadaku untuk menyatakan bai'at. Aku menolak, tetapi kalian tetap bersikeras menghendaki aku. Kalian mendesak dan mendorong-dorong datang kepadaku untuk mendesak terus, sampai kukira kalian akan saling bunuh-membunuh atau hendak membunuhku. Kepadaku kalian mengatakan: 'Kami tidak menemukan orang selain engkau dan kami tidak menyukai orang lain. Kami seia-sekata dan dengan tekad bulat membai'atmu'…"
"Pembai'atan kalian kemudian kuterima. Lalu kalian mengajak orang-orang lain untuk membai'atku. Orang-orang yang menyatakan bai'at karena taat, kuterima. Sedangkan yang tidak mau menyatakan bai'at, kubiarkan. Orang yang pertama-tama menyatakan bai'at kepadaku ialah Thalhah dan Zubair. Seandainya dua orang itu tidak mau membai'atku, mereka tidak akan kupaksa, sama halnya seperti orang lain yang tidak mau membai'atku. Tidak lama kemudian aku mendengar dua orang itu berangkat ke Bashrah membawa sejumlah orang bersenjata. Tidak seorang pun dari mereka itu yang belum pernah menyatakan bai'at kepadaku. Di Bashrah mereka mengobrak-abrik pegawaiku, menggedor tempat-tempat penyimpanan harta kaum muslimin dan memperkosa penduduk yang taat kepadaku. Mereka memecah belah dan merusak kerukunan, mencerai-beraikan persatuan dan menyerang tiap orang yang mengikuti serta mencintaiku. Beberapa kelompok dari pencintaku dibunuh secara gelap dan dianiaya. Di antara mereka itu ada yang sanggup membela diri, ada yang hanya bersabar, dan ada pula yang dengan gigih terpaksa mengacungkan pedang. Para pencintaku itu bangkit melawan tindakan jahat mereka sampai banyak yang mati terbunuh dalam keadaan bertawakkal kepada Allah s.w.t.
"Demi Allah, seandainya hanya seorang saja dari para pencintaku yang sengaja mereka bunuh, sudah halal bagiku untuk bertindak menumpas habis gerombolan bersenjata itu! Apalagi karena ternyata mereka itu telah membunuh banyak kaum muslimin. Tetapi, Allah s.w.t. sudah membalas perbuatan mereka, dan sekarang binasalah sudah kaum yang dzalim itu."
"Kemudian aku melihat kepada orang-orang Syam. Mereka itu adalah orang-orang Arab yang berperangai kasar, terdiri dari macam-macam golongan yang serakah dan liar, datang dari berbagai pelosok. Mereka itu adalah orang-orang yang masih perlu diajar, dipimpin dan dibimbing. Mereka bukan kaum Muhajirin atau Anshar, dan bukan pula orang-orang yang memasuki agama dengan itikad baik. Mereka kudatangi, kuajak supaya mau bersatu dan bersedia taat, tetapi mereka menolak. Mereka menginginkan perpecahan, permusuhan dan kemunafikan. Mereka bergerak melawan kaum Muhajirin, kaum Ansor dan orang-orang yang masuk agama Islam dengan niat ikhlas dan jujur. Mereka melepaskan anak-panah dan melempar tombak. Di saat itulah aku bangkit dan bergerak melawan mereka. Mereka kuperangi.
"Setelah mereka kekurangan senjata dan merasakan sakitnya luka, mereka kibarkan lembaran-lembaran Al-Qur'an dan berseru kepada kalian supaya berpegang teguh kepadanya. Waktu itu kalian sudah kuberi tahu, bahwa mereka itu bukan orang-orang yang patuh kepada ajaran agama dan Al-Qur'an. Mereka mengibarkan lembaran-lembaran Al-Qur'an hanya sekedar tipu-daya dan muslihat. Kalian sudah kuperintahkan supaya terus memerangi mereka, t"Keinginan kalian itu kusetujui, aku lalu mundur, tidak menyerang mereka lagi. Kemudian terjadilah persetujuan antara kalian dengan mereka untuk mengangkat dua orang perunding guna mencari penyelesaian damai berdasar Kitab Allah. Dua orang itu diharuskan patuh menjunjung tinggi perintah Al Qur'an dan menjauhkan apa yang dilarangnya. Tetapi dua orang itu berselisih pendapat, dan hukum yang diambil ternyata berlain-lainan. Dua orang itu mengabaikan Al Qur'an dan menyalahi isinya. Dua-duanya tanpa hidayat Allah terjerumus mengikuti hawa nafsu sendiri-sendiri
"Setelah semua itu terjadi, ada sekelompok orang meninggalkan kami. Mereka pun kami tinggalkan. Kami bersikap sama seperti mereka. Tetapi kemudian mereka berkeliaran di bumi membuat kerusakan.Orang-orang muslimin mereka bunuh tanpa dosa. Mereka kami datangi, lalu kami katakan kepada mereka: 'Serahkan kepada kami orang-orang yang membunuh saudara-saudara kami'. Mereka menjawab: 'Kami semua inilah yang membunuh. Kami halal menumpahkan darah mereka dan darah kalian'…"
"Mereka lalu pergerak mengerahkan pasukan berkuda dan pejalan kaki untuk menyerang kami. Tetapi akhirnya mereka dihancurkan oleh Allah, nasibnya sama seperti orang-orang dzalim lainnya. Setelah itu kuperintahkan kalian supaya berangkat ke Shiffin untuk menghadapi musuh, tentara Syam. Sebab pendadakan seperti itu akan membuat hati mereka kecut dan akan menggagalkan tipu daya mereka. Waktu itu kalian ternyata menjawab: 'Pedang kita sudah banyak yang patah, kita kehabisan anak panah, dan ujung tombak kita sudah banyak yang tumpul. Izinkanlah kita pulang dulu untuk mempersiapkan perlengkapan dan perbekalan yang lebih baik. Kiranya engkau pun akan menambah perlengkapan kita dengan senjata-senjata yang ditinggalkan teman-teman kita yang telah tewas dan senjata-senjata bekas kepunyaan musuh. Itu akan merupakan tambahan kekuatan bagi kita dalam menghadapi musuh'..."
"Permintaan kalian itu kami terima. Selama beberapa waktu menunggu, kalian kuperintahkan supaya jangan meninggalkan kubu pertahanan, supaya lebih merapatkan barisan, siap siaga menghadapi peperangan, dan jangan terlalu sering menengok anak isteri, sebab itu akan melemahkan hati kalian dan dapat membelokkan fikiran kalian. Pasukan yang sedang menghadapi peperangan tidak semestinya mengeluh, meratap atau jemu bergadang di malam hari. Tidak semestinya pasukan itu mengeluh kehausan atau lapar, sebelum mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan."
"Tetapi kenyataannya, ada sekelompok orang dari kalian yang meminta kelonggaran dengan bermacam-macam alasan. Kelompok lainnya lagi menyelinap masuk ke dalam kota lalu membelot. Mereka ini tidak ada yang datang kembali kepadaku. Setelah kuperiksa, ternyata pasukan yang masih tetap tinggal bersamaku hanya berjumlah 50 orang. Setelah aku melihat perbuatan kalian seperti itu, kalian kudatangi, tetapi sampai hari ini kalian masih tetap tidak sanggup keluar untuk menghadapi musuh bersama-sama kami."
"Ya Allah, kasihan benar orang-orangtua kalian! Apalagi sebenarnya yang kalian fikirkan? Tidakkah kalian menyadari bahwa kekuatan kalian sekarang sudah berkurang? Tidakkah kalian dapat melihat negeri kalian ini sudah diserang? Apa sebab kalian masih berpaling muka? Bukankah musuh-musuh kalian itu sudah bersatu, bekerja keras dan bertukar-fikiran, sedang kalian sekarang bercerai-berai, bertengkar dan saling mengelabui satu sama lain? Jika kalian bersatu, kalian pasti selamat."
"Oleh karena itu bangunkanlah orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian. Yang kalian perangi itu bukan lain adalah kaum thulaqa dan keturunan orang-orang thulaqa, yaitu orang-orang yang memeluk Islam hanya karena terpaksa. Orang-orang yang dahulu memerangi Rasul Allah s.a.w., orang-orang yang memusuhi Al Qur'an dan Sunnah, orang-orang yang dahulu bergabung dan bersekutu dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin, orang-orang ahli bid'ah yang banyak menimbulkan keonaran, orang-orang yang ditakuti karena kejahatannya, orang-orang yang menyeleweng dari agama, pemakan barang yang bathil dan budak-budak dunia!"
"Amr bin Al Ash itu sebenarnya condong kepadaku. Ia berfihak pada Muawiyah hanya setelah menerima janji akan diberi kekuasaan besar atas Mesir. Ia tidak segan-segan menjual agamanya untuk mendapatkan kepentingan dunia! Muawiyah membelinya dengan menghamburkan uang kekayaan kaum muslimin! Di antara orang fasik itu ada yang pernah dihukum cambuk karena meneguk minuman haram. Mereka itulah yang sekarang sedang menjadi pemimpin kaumnya. Orang-orang yang tidak kusebutkan perbuatan buruknya, banyak yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Yaitu orang-orang yang jika sudah berpisah dari kalian, memperlihatkan kebenciannya terhadap kalian. Mereka membangga-banggakan diri, menindas orang lain sewenang-wenang, congkak, dengki dan banyak berbuat kerusakan di bumi. Mereka mengikuti hawa nafsu dan memerintah dengan korup dan jalan suap (rasywah). Sedangkan kalian, walaupun tidak saling bantu dan bertawakkal secara keliru, namun kalian masih jauh lebih benar daripada jalan mereka."
"Di antara kalian terdapat orang-orang arif bijaksana (hukama), alim ulama, fuqaha (para ahli hukum syariat), pengajar-pengajar Al-Qur'an, orang-orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang gemar mengunjungi masjid dan orang-orang ahli membaca Al Qur'an."
"Apakah kalian rela dan tidak marah kalau orang-orang berperangai jahat, bengis dan kerdil seperti mereka itu hendak memaksakan kekuasaan kepada kalian? Dengarkanlah kata-kataku dan taatilah perintahku bila kuperintahkan. Fahamilah nasihatku jika aku beri nasihat. Percayailah ketegasanku bila aku sudah bertindak. Ikutilah kebulatan tekadku bila aku sudah berniat! Bangunlah mengikuti kebangkitanku dan seranglah orang-orang yang kuserang! Jika kalian membangkang, kalian tidak akan mendapatkan petunjuk yang benar dan kalian tidak akan dapat bersatu. Terjunilah peperangan dan siapkan semua perlengkapan. Perang sudah berkobar dan apinya masih menyala-nyala. Orang-orang yang dzalim itu hendak membasmi kalian melalui peperangan dengan tujuan untuk dapat leluasa memadamkan cahaya Allah."
"Demi Allah, seandainya aku seorang diri menjumpai mereka berada di tengah-tengah penghuni bumi ini, lantas aku menaruh perhatian kepada mereka, atau aku lantas lari menjauhi mereka karena takut, itu berarti aku sudah sama sesatnya seperti mereka! Jalan hidayat yang selama ini kupegang teguh, benar-benar kuhayati dengan penuh kesadaran dan keyakinan serta berdasarkan petunjuk Allah Tuhanku. Aku sungguh-sungguh sudah sangat rindu ingin berjumpa dengan Allah, dan aku benar-benar menunggu serta mengharap-harap keindahan pahala dan karunia-Nya."
"Tetapi kerisauan dan kekecewaan meresahkan hatiku dan kekhawatiran menggelisah-kan fikiranku, karena aku takut kalau-kalau ummat ini akan dikuasai oleh manusia-manusia jahat dan durhaka. Kemudian mereka itu akan menggunakan kekayaan Allah sebagai alat kekuasaan, menjadikan hamba-hamba Allah sebagai budak belian, menjadikan orang-orang saleh sebagai umpan peperangan, dan menjadikan orang-orang yang berlaku adil sebagai golongan terpencil."
"Demi Allah, kalau bukan karena semuanya itu, aku tidak akan terus menerus mengajak kalian, mempersatukan kalian dan mendorong kalian supaya berjuang. Kalian pasti sudah kutinggalkan. Demi Allah aku ini berada di atas jalan yang benar, dan aku sungguh-sungguh ingin mati syahid. Insyaa Allah, aku akan berangkat ke medan juang bersama-sama kalian. Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat. Berjuanglah di jalah Allah dengan harta dan nyawa kalian. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar."
Pernyataan tertulis Imam Ali r.a. tersebut di atas, secara keseluruhan menggambarkan betapa sulit dan beratnya persoalan yang dihadapinya sepeninggal Rasul Allah s.a.w., terutama setelah dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin.
Sumber :
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
H.M.H. Al Hamid Al Husaini
0 Response to "Di Perang Shiffin, Imam Ali r.a di Khianati Pengikutnya (Golongan Kontra Vs Pro Tahkim)"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip