Aminah binti Wahab
Aminah binti Wahab (???-577) (Bahasa Arab: آمنة بنت وهب) adalah ibu yang melahirkan Nabi Muhammad.
Seorang wanita berhati mulia, pemimpin para ibu. Seorang ibu yang telah menganugerahkan anak tunggal yang mulia pembawa risalah yang lurus dan kekal, rasul yang bijak, pembawa hidayah. Dialah Aminah binti Wahab. Ibu dari Nabi kita Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam)yang diutus ALLAH sebagai rahmat seluruh alam. Cukuplah baginya kemuliaan dan kebanggaan yang tidak dapat dimungkiri, bahwa ALLAH Azza Wa Jalla memilihnya sebagai ibu seorang rasul mulia dan nabi yang terakhir.
Berkatalah Baginda Nabi Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) tentang nasabnya.
“ALLAH telah memilih aku dari Kinanah, dan memilih Kinanah dari suku Quraisy bangsa Arab. Aku berasal dari keturunan orang-orang yang baik, dari orang-orang yang baik, dari orang-orang yang baik.”
Dengarlah sabdanya lagi, “Allah memindahkan aku dari sulbi-sulbi yang baik ke rahim-rahim yang suci secara terpilih dan terdidik. Tiadalah bercabang dua, melainkan aku di bahagian yang terbaik.”
Bunda Aminah bukan cuma ibu seorang rasul atau nabi, tetapi juga wanita pengukir sejarah. Kerana risalah yang dibawa putera tunggalnya sempurna, benar dan kekal sepanjang zaman. Suatu risalah yang bermaslahat bagi ummat manusia. Berkatalah Ibnu Ishaq tentang Bunda Aminah binti Wahab ini. “Pada waktu itu ia merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.”
Menurut penilaian Dr. Bint Syaati tentang Aminah ibunda Nabi Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) iaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah) memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi (bangsawan) yang sangat membanggakan kemuliaan nenek moyang dan keturunannya.”
Aminah binti Wahab merupakan bunga yang indah di kalangan Quraisy serta menjadi puteri dari pemimpin bani Zuhrah. Pergaulannya senantiasa dalam penjagaan dan tertutup dari pandangan mata. Terlindung dari pergaulan bebas sehingga sukar untuk dapat mengetahui jelas penampilannya atau gambaran fizikalnya. Para sejarawan hampir tidak mengetahui kehidupannya kecuali sebagai gadis Quraisy yang paling mulia nasab dan kedudukannya di kalangan Quraisy.
Meski tersembunyi, baunya yang harum semerbak keluar dari rumah bani Zuhrah dan menyebar ke segala penjuru Makkah. Bau harumnya membangkitkan harapan mulia dalam jiwa para pemudanya yang menjauhi wanita-wanita lain yang terpandang dan dibicarakan orang.
Kelahiran
Kurang lebih enam setengah abad setelah kenabian Isa putra Maryam, di Tanah Hijaz (Mekkah), tepatnya pada qabilah Quraisy, lahirlah bayi perempuan nan cantik, tepatnya dari Bani Zuhrah. Bayi mungil itu kemudian diberi nama Aminah, putri Wahab seorang bangsawan Quraisy yang berkedudukan tinggi di antara kaumnya.Ayah Aminah adalah pemimpin Bani Zuhrah, yang bernama Wahab bin Abdulmanaf bin Zuhrah bin Kilab.
Sedangkan ibu Aminah adalah Barrah binti Abdul-Uzza bin Usman bin Abduddar bin Qushay.
Nenek moyang Aminah adalah orang-orang yang memiliki kemuliaan yang belum pernah dimiliki oleh qabilah lain. Mereka adalah orang-orang suci yang bersih dari perbuatan tercela dan tidak pernah tergoda kehormatannya.
Oleh karena kesucian dan kemulian yang dimiliki nenek moyangnya itulah, maka Rasulullah dengan bangga pernah menyatakan dalam sabdanya :
“… Dan selanjutnya Allah memindahkan aku dari tulang sulbi yang baik kedalam rahim yanng suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku berada di dalam yang terbaik di antara keduanya.” (Hadist Syarif).
Pernikahan Aminah
Setelah menginjak dewasa, Aminah berkembang menjadi gadis yang amat cantik, melebihi kecantikan gadis-gadis Makkah pada saat itu. Melihat anak gadisnya telah beranjak dewasa, ayahnya segera mencarikan jodoh untuknya. Akhirnya yang paling cocok dan dianggap sekufu dengan Aminah adalah keponakannya sendiri, yaitu Abdullah bin Abdul Muthalib. Abdullah adalah anak ke 10 dari Abdul Muthalib hasil perkawinannya dengan Fathimah binti ‘Amr al-Makhzumy dari Bani Makhzum. Bani Makhzum merupakan tulang punggung kekuatan qabilah Quraisy.Abdullāh bin Syaibah atau lebih dikenal dengan Abdullah bin Abdul-Muththalib (Bahasa Arab: عبدالله بن عبد المطلب) (545-570)
Sedangkan Abdul Muthalib adalah seorang tokoh Quraisy yang mendapat kehormatan lebih dari kaumnya, dan keagungannya diakui oleh penduduk Quraisy. Ia sangat disegani oleh semua lapisan masyarakat Makkah pada waktu itu karena sikapnya yang bijaksana.
Banyak orang mengatakan bahwa Aminah dan Abdullah itu sangat sekufu dan serasi bila dijodohkan. Yang wanitanya cantik sedangkan prianya tampan.
Cahaya di dahi
ALLAH memilih Aminah “Si Bunga Quraisy” sebagai isteri Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib di antara gadis lain yang cantik dan suci. Ramai gadis yang meminang Abdullah sebagai suaminya seperti Ruqaiyah binti Naufal, Fatimah binti Murr, Laila al Adawiyah, dan masih ramai wanita lain yang telah meminang Abdullah.Ibnu Ishaq menuturkan tentang Abdul Muthalib yang membimbing tangan Abdullah anaknya setelah menebusnya dari penyembelihan. Lalu membawanya kepada Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah – yang waktu itu sebagai pemimpin bani Zuhrah – untuk dinikahkan dengan Aminah.
Sayyid Abdullah adalah pemuda paling tampan di Makkah. Paling memukau dan paling terkenal di Makkah. Tak hairan, jika ketika ia meminang Aminah, ramai wanita Makkah yang patah hati.”
Cahaya yang semula memancar di dahi Abdullah kini berpindah ke Aminah, padahal cahaya itulah yang membuat wanita-wanita Quraisy rela menawarkan diri sebagai calon isteri Abdullah. Setelah berhasil menikahi Aminah, Abdullah pernah bertanya kepada Ruqaiyah mengapa tidak menawarkan diri lagi sebagai suaminya. Apa jawab Ruqayah, “Cahaya yang ada padamu dulu telah meninggalkanmu, dan kini aku tidak memerlukanmu lagi.”
Fatimah binti Murr yang ditanyai juga berkata, “Hai Abdullah, aku bukan seorang wanita jahat, tetapi kulihat aku melihat cahaya di wajahmu, kerana itu aku ingin memilikimu. Namun ALLAH tak mengizinkan kecuali memberikannya kepada orang yang dikehendakiNya.”
Jawaban serupa juga disampaikan oleh Laila al Adawiyah. “Dulu aku melihat cahaya bersinar di antara kedua matamu kerana itu aku mengharapkanmu. Namun engkau menolak. Kini engkau telah mengahwini Aminah, dan cahaya itu telah lenyap darimu.”
Memang “cahaya” itu telah berpindah dari Abdullah kepada Aminah. Cahaya ini setelah berpindah-pindah dari sulbi-sulbi dan rahim-rahim lalu menetap pada Aminah yang melahirkan Nabi Muhammad SAW. Bagi Nabi Muhammad merupakan hasil dari doa Nabi Ibrahim bapanya. Kelahirannya sebagai khabar gembira dari Nabi Isa saudaranya, dan merupakan hasil mimpi dari Aminah ibunya. Aminah pernah bermimpi seakan-akan sebuah cahaya keluar darinya menyinari istana-istana Syam. Dari suara ghaib ia mendengar, “Engkau sedang mengandung pemimpin ummat.”
Masyarakat di Makkah selalu membicarakan, kedatangan nabi yang ditunggu-tunggu sudah semakin dekat. Para pendita Yahudi dan Nasrani, serta peramal-peramal Arab, selalu membicarakannya. Dan ALLAH telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. seperti disebutkan dalam Surah al Baqarah ayat 129.
“Ya Tuhan kami. Utuslah bagi mereka seorang rasul dari kalangan mereka.”
Dan terwujudlah khabar gembira dari Nabi Isa ‘Alaihissalam. seperti tersebut dalam Surah as-Shaff ayat 6. “Dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, namanya Ahmad (Muhammad)”.
Bermimpi Melahirkan Orang Terkemuka
Beberapa minggu setelah pernikahan suci itu, Aminah bermimpi. Mimpinya itu, seolah-olah ia melihat sinar yang terang benderang mengelilingi dirinya. Ia juga seolah-olah melihat istana-istana di Bashrah dan Syam. Seolah-olah dia juga mendengar suara yang ditujukan kepadanya: “Engkau telah hamil dan akan melahirkan seorang manusia termulia di kalangan umat ini!”Seperti kebanyakan penduduk Quraisy lainnya, pekerjaan Abdullah adalah berdagang. Ia sering mengembara ke negeri Syam atau ke negeri-negeri lainnya. Kegembiraan yang baru saja meluap dengan kehamilan istrinya, kini serta merta menjadi kesedihan yang cukup dalam karena ia harus segera bergabung dengan kafilah Quraisy untuk melakukan perdaganngan ke Gaza dan Syam. Entah kenapa kali ini ia merasa amat berat meninggalkan rumah. Biasanya ia berangkat berdagang dengan semangat yang tinggi. Kali ini sepertinya ia telah mempunyai firasat, pergi bukan untuk kembali. Namun pergi untuk selama-lamanya dari pangkuan istrinya yang tercinta. Namun kegalauan hatinya tidak disampaikannya kepada Aminah. Ia takut kegalaluan hatinya akan merisaukan hati Aminah, sehingga akan mengganggu janin dalam kandungannya.
Akhirnya Abdullah tetap pergi meski dengan hati yang tertambat di rumah. Hatinya begitu sedih, hingga tak terasa air matanya keluar membasahi pipi. Air mata perpisahan, hanya Allah-lah yang mengetahui, apakah suami istri itu akan berjumpa lagi atau tidak. Hanya saja mereka berdua merasakan bahwa saat itu hati keduanya sama-sama tidak menentu.
Sang Suami Meninggal Dunia
Pada suatu hari ketika Aminah sedang berada di muka rumahnya, ia melihat nun jauh di sana titik-titik hitam rombongan Quraisy yang sedang pulang. Saat itu tak terlintas dalam pikirannya kecuali keselamatan suaminya. Ketika rombongan kafilah semakin dekat, hati Aminah bertambah resah karena belum ada suatu tanda pun mengenai suaminya. Hatinya bergejolak karena dirasa iring-iringan kafilah itu berjalan amat lambat bagaikan iring-iringan semut. Karena tidak sabar, ia menyuruh pembantu mertuanya yang bernama Barakah Ummu Aiman untuk mencegah kafilah dan mencari kepastian kabar suaminya.Akhirnya Aminah beranjak ke dalam kamarnya untuk merebahkan diri. Belum lama ia membaringkan badannya, terdengar ketukan pintu. Dengan hati yang berdebar dan tubuh terasa terbang, Aminah segera membukakan pintu. Tak ada pikiran lain saat itu kecuali suaminya. Kekecewaan lagi-lagi menerpa hati Aminah, sebab orang yang datang bukanlah orang yang dirindukannya, melainkan mertuanya dan ayahnya sendiri, Wahab bin Abdi Manaf.
Melihat rona kekecewaan yang tergambar jelas di wajah menantunya ini, Abdul Muthalib merasa amat kasihan. Kemudian dengan hati-hati disampaikannya berita mengenai Abdullah. Maka Aminah mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Kata Abdul Muthalib: “Aminah… tabahkanlah hatimu dalam menghadappi persoalan-persoalan yang mencemaskan. Kafilah yang selama ini kita tunggu-tunggu telah kembali. Dan salah satu anggota kafilah memberitahukan bahwa suamimu, Abdullah mengalami gangguan di tengah perjalanan, hingga saat ini ia belum bisa pulang kembali ke Mekkah. Ia sekarang sedang berada di rumah salah seorang pamannya dari Bani Makhzum. Menurut kabar, suamimu mendadak sakit dan setelah sembuh ia pasti akan segera sampai di rumah dengan selamat..!”
Mendengar berita yang sangat tidak mengenakkan itu, Aminah hanya bisa pasrah dan berdoa. Harapannya seakan pupus untuk segera bertemu dengan suaminya, karena jarak yang memisahkan antara Mekkah (Hijaz) dan Madinah (Yatsrib) tidaklah dekat. Kini yang bisa dilakukan Aminah hanyalah memulai masa penantian.
Setelah dua bulan, datanglah kabar yang membuat hatinya luluh lantak karena Al Harits yang disuruh menyusul kemballi Abdullah, memberitahukan bahwa suaminya telah meninggal dunia, sedangkan jenazahnya dikuburkan di tempat itu juga. Penantian dan kerinduan yang selama ini ia pendam ternyata tidak tertumpahkan. Belum lama ia mengecap kebahagiaan bersama suami yang dicintainya, kini ia telah ditinggalkan untuk selama-lamanya.
Abrahah Datang Saat Kelahiran Nabi
Ketika kelahiran putranya sudah dekat, tiba-tiba mertuanya menyuruhnya berkemas-kemas untuk mengungsi keluar kota Mekkah, menyelamatkan diri bersama-sama orang Quraisy lainnya. Mereka beramai-ramai mengungsi ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kota Mekkah.Mengapa terjadi pengungsian besar-besaran dari kota Mekkah? Ternyata ketika itu telah tersiar kabar bahwa penguasa Habasyah dari Yaman yang bernama raja Abrahah akan mengerahkan pasukannya yang begitu besar dan kuat ke kota Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah. Abdul Muthalib mengetahui hal itu karena sebelumnya ia telah bertemu langsung dengan raja Abrahah untuk meminta kembali 200 ekor untanya yang telah dirampas oleh pasukan dzalim itu.
Aminah cukup heran mendengar seruan mertuanya untuk mengungsi. Bukanlah lebih baik melawan orang dzalim yang hendak menghancurkan rumah suci Ka’bah? Maka keheranan itu ditanyakan kepada mertuanya: “Paman…saya mendengar orang-orang Quraisy, Kinanah, Hudzail dan semua orang yang tinggal di tanah suci ini telah bertekad hendak berperang melawan setiap penyerbu. Apa yang menghalangi mereka sehingga mereka berubah niat, hendak meninggalkan Ka’bah serta tidak mau membelanya?”.
Jawab Abdul Muthalib: “Anakku, kita tidak mempunyai kekuatan yang seimbang dengan kekuatan mereka. Jika kita memaksakan diri untuk melawan mereka dengan senjata, maka kita akan hancur dan menderita kekalahan dengan kerugian yang besar. Rumah suci itu ada yang punya, pemiliknyalah yang akan melindunginya!”
Aminah sebenarnya enggan pergi kemana-mana. Ia ingin melahirkan di rumahnya sendiri, di dekat Ka’bah. Kini hatinya kembali risau, memikirkan nasib anaknya yang mungkin akan lahir di luar kota suci. Namun akhirnya ia berhasil meyakinkan diri sebagaimana keyakinan mertuanya bahwa Baitullah pasti akan memperoleh perlindungan dari pemiliknya. Kini ia justru bertekad hendak meninggalkan rumah untuk mengungsi, demi keselamatan bayinya. Biarlah Allah yang menentukan nasib dirinya, putranya dan rumah suci-Nya.
Ketika petang menjelang, tiba-tiba datang seseorang ke rumahnya, ia memberitahukan bahwa Abrahah telah gagal menyerbu ka’bah. Allah tidak meridhoi mereka yang hendak merusak rumah suci tersebut. Bahkan kemurkaan Allah tergambar jelas dengan adanya adzab yang menimpa Abrahah dan pasukannya. Sebagian besar pasukan Abrahah tewas tertembus batu-batu kecil yang dijatuhkan burung Ababil. Sedangkan sisanya lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri.
Kurang lebih lima puluh hari kemudian, Aminah melahirkan bayi lelaki yang bersinar penuh keagungan. Bayi yang kemudian menjadi Rasul Allah ini dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Mekkah hari Senin pagi, tanggal 12 Rabi’ul Awwal, permulaann tahun dari peristiwa gajah dan 450 tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan , bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April 571 Masehi. Aminah melahirkan hanya ditemani oleh pembantu setianya, Ummu Aiman.
Munculnya keanehan saat Aminah Melahirkan
Berbagai keanehan terjadi mengiringi kelahiran Rasulullah SAW. Di antara keanehan yang bersifat ghaib adalah: tertutupnya pintu langit untuk para jin dan iblis. Sebelum Aminah melahirkan, jin dan iblis bebas naik turun ke langit, untuk mencuri pembicaraan malaikat. Namun sejak lahirnya manusia paling sempurna di dunia ini, pintu langit tertutup untuk setan yang terkutuk.Ada juga sebagian riwayat yang mengemukakakn bahwa Aminah melahirkan bayinya sudah dalam keadaan dikhitan, sedangkan Aminah sama sekali tidak mendapatkan nifas, setelah melahirkan. Keanehan lain juga sempat disaksikan oleh Aminah sendiri. Kata Aminah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad: “Setelah bayiku keluar, aku melihat cahaya yang keluar dari kemaluannya, menyinari istana-istana di Syam!” Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.
Beberapa bukti kerasulan, bertepatan dengan kelahiran beliau, yaitu runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra dan padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar istana Buhairah. Setelah itu, gereja-gereja tersebut ambles ke tanah. Demikian diriwayatkan dari Al-Baihaqy.
Setelah melahirkannya, dia menyuruh orang untuk memberitahukan kepada mertuanya tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muthalib dengan perasaan sukacita kemudian menggendong cucunya yang baru lahir dan membawanya ke Ka’bah seraya bersyukur dan berdoa kepada-Nya. Ia memilihkan nama Muhammad bagi cucunya. Nama yang sama sekali belum dikenal di kalangan Arab.
Disusui Wanita Kampung
Sebagaimana tradisi orang Arab yang memberikan bayinya untuk disusui kepada wanita kampung, maka Aminah harus pula melepaskan anaknya untuk disusui orang lain. Namun, sebelum melepaskan anaknya kepada Halimah binti Abi Dua’ib as Sa’diah, ia tetap menyusui sendiri bayinya itu. Setelah dua tahun, tugas Halimah selesai, Aminah menerima kembali anaknya.Selanjutnya ia membawa Muhammad ke Yatsrib untuk berziarah ke kuburan suaminya, yang telah 7 tahun berbaring di sana. Untuk itu, ia mempersiapkan segala sesuatu agar dia dan anaknya dapat ikut bersama kafilah yang akan membawa dagangan. Setelah tinggal di Yatsrib selama sebulan lamanya, Aminah bersiap-siap untuk pulang bersama kafilah yang akan kembali ke Mekah. Namun di tengah perjalanan, sesampai si Abwa’, sebuah desa antara Madinah dan Mekah (kira-kira 37 km dari Madinah), Aminah, ibunda Rasulullah SAW menderita sakit. Sakitnya itu membawa kematiannya. Ia dikubur di tempat itu juga. Muhammad SAW ketika itu berumur sekitar 6 tahun.
Saat menjelang wafatnya, Aminah berkata: “Setiap yang hidup pasti mati, dan setiap yang baru pasti usang. Setiap orang yang tua akan binasa. Aku pun akan wafat tapi sebutanku akan kekal. Aku telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan seorang bayi yang suci.”
Diriwayatkan oleh Aisyah dengan katanya, “Rasulullah (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) memimpin kami dalam melaksanakan haji wada’. Kemudian baginda lalu mendekat kubur ibunya sambil menangis sedih. Maka aku pun ikut menangis kerana tangisnya.”
Betapa harumnya nama Aminah, dan betapa kekalnya namanya nan abadi. Seorang ibu yang luhur dan agung sebagai ibu Baginda Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) manusia paling utama di dunia, paling sempurna di antara para nabi, dan sebagai rasul yang mulia. Bunda Aminah binti Wahab adalah ibu kandung rasul yang mulia. Semoga ALLAH memberkahinya.
Mari kita kenali nabi kita sampai ke ibu & bapaknya. Yang tak kenal sulit untuk mencintainya.
Semoga ALLAH Ta’ala menjadikan kita sebagai ummat Beliau (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) yang diridloi dunia sampai akhirat. Amiin.
2014@abdkadiralhamid
0 Response to "Aminah binti Wahab, Ibu Rasulullah saw"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip