MENURUT AL-SYATHIBI
Tanda-Tanda Aliran Sesat
Pada beberapa
waktu yang lalu,
Majlis Ulama Indonesia
(MUI) mengeluarkan fatwa tentang
sesatnya aliran Ahmadiyah.
Terdapat sekian banyak
dalil yang diajukan oleh
MUI sebagai bukti-bukti
kesesatan Ahmadiyah. Dalam
sebuah pertemuan di
Surabaya saya mengemukakan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi juga termasuk
aliran sesat. Mendengar
pernyataan ini salah
seorang peserta diskusi mengajukan
pertanyaan, apa bukti-bukti
atau dalil-dalil kesesatan Wahhabi?
Menjawab pertanyaan
tersebut, saya menjelaskan,
bahwa al-Imam Abu
Ishaq Asy-Syathibi
telah menguraikan dalam kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau
aliran sesat. Menurut beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat. (1)
tanda-tanda terperinci, yang
telah diuraikan oleh
para ulama dalam kitab-kitab yang
menerangkan tentang sekte-sekte
dalam Islam seperti
al-Milal wa al-Nihal,
al-Farq bayna al-Firaq dan lain-lain. (2) tanda-tanda umum. Menurut Asy-Syathibi,
secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga.
Perpecahan dan Perceraiberaian
Pertama, terjadinya
perpecahan di antara
mereka. Hal tersebut
seperti telah diingatkan dalam
firman Allah subhanahu
wa ta’ala: “Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang
yang bercerai berai
dan berselisih sesudah
datang keterangan yang
jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105). “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan
kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits
shahih, melalui Abu
Hurairah radhiyallahu anhu,
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “SesungguhnyaAllah ridha pada kamu tiga perkara dan
membenci tiga perkara.
Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu
mempersekutukannya, kamu berpegang
dengan tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai berai...”
Kemudian Asy-Syathibi
mengutip pernyataan sebagian
ulama, bahwa para sahabat banyak
yang berbeda pendapat
sepeninggal Nabi shallallahu
alaihiwasallam, tetapi
mereka tidak bercerai
berai. Karena perbedaan
mereka berkaitan dengan
hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari alQur’an dan Sunnah
dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap
persoalan yang timbul
dalam Islam, lalu
orang-orang berbeda pendapat mengenai
hal tersebut dan
perbedaan itu tidak
menimbulkan permusuhan,
kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk
dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan
yang timbul dalam Islam,
lalu menyebabkan permusuhan,
kebencian, saling membelakangi dan memutus
hubungan, maka hal itu kami
yakini bukan termasuk
urusan agama. Persoalan
tersebut berarti termasuk
yang dimaksud oleh
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam menafsirkan
ayat berikut ini.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam
ayat, “Sesungguhnya orang-orang
yang memecah belah agamanya dan
mereka menjadi bergolongan,
tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu terhadap
mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih
mengetahui.” Nabi shallallahu alaihiwasallam bersabda: “Mereka adalah golongan
yang mengikuti hawa
nafsu, ahli bid’ah
dan aliran sesat
dari umat ini.”
Demikian uraian Asy-Syathibi.
Setelah menguraikan
demikian, kemudian Asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij.
Di mana Khawarij
memecah belah umat
Islam, dan bahkan sesama mereka
juga terjadi perpecahan.
Mereka sebenarnya yang
dimaksud dengan sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam: “Mereka akan membunuh orangorang Islam, tetapi
membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan
aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahhabi dengan Khawarij,
yaitu menjadi pemecah belah umat Islam dan bahkan sesama mereka juga
terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh Syaikh
Abdul Muhsin bin
Hamad al-‘Abbad al-Badr,
dosen di Jami’ah Islamiyah,
Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.
Ada kisah
menarik berkaitan dengan
perpecahan di kalangan
Wahhabi. AD, salah seorang
teman saya bercerita pengalaman pribadinya kepada saya. “Pada April 2010
saya mengikuti daurah
(pelatihan) tentang aliran
Syi’ah di Jakarta yang diadakan
oleh salah satu
ormas Islam di
Indonesia. Daurah itu dilaksanakan di
Gedung LPMP Jakarta
Selatan dengan peserta
dari berbagai daerah di
seluruh Indonesia. Dalam
daurah tersebut, salah seorang
pemateri yang beraliran
Salafi berkata, “Aliran Syi’ah itu pecah belah menjadi 300 aliran lebih. Antara
yang satu dengan
yang lain, saling
membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah
tanda-tanda ahli bid’ah,
sesama kelompoknya saja saling
membid’ahkan dan saling
mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah
WalJama’ah tidak demikian.
Tidak saling membid’ahkan,
apalagi saling mengkafirkan.”
Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi
dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya,“Ustadz, Anda
tadi mengatakan bahwa
tanda-tanda ahli bid’ah
itu, sesama kelompoknya
terjadi perpecahan, saling membid’ahkandan saling mengkafirkan.
Sedangkan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah tidak demikian.
Ustadz, saya sekarang bertanya, siapa
yang dimaksud Ahlussunnah
Wal-Jama’ah menurut Ustadz?
Bukankah sesama
ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jama’ah, juga
terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan.
Misalnya Abdul
Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud
al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat).
Al-Albani juga
memvonis tokoh Wahhabi
di Saudi Arabia
yang mengkritiknya, sebagai musuh
tauhid dan sunnah.
Komisi fatwa Saudi Arabia
yang beranggotakan al-Fauzan
dan al-Ghudyan, serta
ketuanya Abdul Aziz
AlusSyaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama
Wahhabi yang tinggal di
Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij.
Kemudian Husain
Alus-Syaikh yang tinggal di
Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa
yang membid’ahkan al-Halabi adalahahli-bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah
berbohong dalam fatwanya
tentang al-Halabi. Al-Halabi
pun membalas juga
dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia,
beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya al-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia,
memvonis al-Huwaini dan
al-Mighrawi yang tinggal
di Mesir mengikuti faham
Khawarij. Falih al-Harbi
dan Fauzi al-Atsari
dari Bahrain menuduh Rabi’
al-Madkhali dan Wahhabi Saudi
lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan
Banyak pula ulama Wahhabi yang hampirsaja menganggap Bakar Abu Zaid,
ulama Wahhabi yang
tinggal di Riyadh,
keluar dari mainstream Wahhabi karena
karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin.
Dengan kenyataan
terjadinya perpecahan di
kalangan ulama Salafi
seperti ini,menurut Ustadz,
layakkah para ulama
Salafi tadi disebut
Ahlussunnah WalJama’ah?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab:
“Wah, kalau
begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu
yang tampaknya
kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan
sebelumnya, ketika data-data
perpecahan di kalangan
ulama Salafi di
Timur Tengah tersebut
disampaikan kepada Ustadz
Ali Musri, tokoh Wahhabi dari
Sumatera yang sekarang
tinggal di Jember,
Ustadz Ali Musri langsung mengatakan:
“Data ini fitnah.
Di kalangan ulama
Salafi tidak ada perpecehan.”
Demikian jawaban Ustadz Ali Musri padawaktu itu.
Namun tanpa
diduga sebelumnya, beberapa
hari kemudian, Ustadz
Ali Musri membagi-bagikan
beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember.
Ketika saya
mengajar di STAIN
Jember, sebagian mahasiswa
yang menerima buku-buku tersebut,
meminjamkannya kepada saya.
Dan ternyata, di antara buku tersebut
ada yang berjudul,
Rifqan Ahl al-Sunnah
bi-Ahl al-Sunnah, karangan Dr.
Abdul Muhsin bin
Hamad al-‘Abbad al-Badar,
dosen Ustadz Ali Musri ketika
kuliah di Jami’ah
Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh. Ternyata dalam kitab
Rifqan Ahl al-Sunnah
bi-Ahl al-Sunnah, Dr.
Abdul Muhsin membeberkan
terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks,
sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus hubungan
dan sebagainya. Subhanallah,
kesesatan suatu golongan dibeberkan oleh
orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan
kesaksiannya”, (QS. 12 : 26).
Mengikuti Teks Mutasyabihat
Kedua, mengikuti
teks mutasyabihat, seperti yang diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa
ta’ala: “Adapun orang-orang yang dalamhatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya”. (QS. 3 :
7). Ayat ini
menegaskan bahwa orang-orang sesat
selalu mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat dalam al-Qur’an.
Mereka suka
mengikuti teks yang mutasyabih, bukan yang muhkam.
Menurut
Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks yang samar maknanya dan
belum dijelaskan maksudnya.
Menurutnya, mutasyabih itu
ada dua; (1)
mutasyabih haqiqi seperti lafal-lafal yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara
literal menunjukkan keserupaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk. Dan (2)
mutasyabih relatif (idhafi), yaituayat yang membutuhkan dalil eksternal untuk
menjelaskan makna yang
sebenarnya, meskipun secarasepintas, teks
tersebut memiliki kejelasan
makna, seperti ketika
orang-orang Khawarij berupaya
membatalkan arbitrase mengambil
dalil dari ayat,
“ini alhukmu illa
lillah (hukum hanya
milik Allah)”. Secara
literal, ayat tersebut
dapat dibenarkan menjadi
dalil mereka. Tetapi
apabila dikaji lebih
mendalam, ayat tersebut masih
membutuhkan penjelasan. Berkaitan dengan
hal ini Ibn
Abbas memberikan
penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu terkadang terjadi tanpa
proses arbitrase, karena
ketika Allah subhanahu wa
ta’ala memerintahkan kita
melakukan arbitrase, maka
hukum yang menjadi keputusannya juga
dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula
pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali radhiyallahu anhu. Menurut
Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.” Di
sini kaum Khawarij
membatasi logika mereka
pada satu sisi saja, yaitu kalau
memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa mereka
tidak dijadikan tawanan
oleh Ali sebagaimana
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam menawan musuh-musuhnya dalam
peperangan?
Dalam logika
berpikir ini, Khawarij
telah meninggalkan sisi
lain, yaitu sisi
yang dijelaskan oleh
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan jika
ada dua golongan
dari orang-orang mu’min
berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain,
maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. 49 : 9).
Ayat tersebut
menjelaskan tentang peperangan
tanpa operasi penawanan
sesudahnya terhadap
pihak yang kalah.
Hal ini yang
tidak disadari oleh
kaum Khawarij. Akan
tetapi dalam perdebatan
dengan Khawarij, Ibn
Abbas mengingatkan mereka
pada aspek yang
lebih mematahkan, yaitu
bahwa jika dalam peperangan
Ali radhiyallahu anhu
terjadi operasi penawanan,
maka sebagian mereka
akan mendapat bagian
Ummul Mu’minin ‘Aisyah sebagai tawanannya. Dengan
demikian, pada akhirnya
mereka akan menyalahi
alQur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.
Berkaitan dengan
aliran Wahhabi, kita
dapati mereka selalu berpegangan
dengan ayat-ayat
mutasyabihat. Misalnya ketika kaumWahhabi membaca ayat al-Qur’an, “Kami
tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”, (QS. 39 : 3), maka mereka mengatakan
bahwa orang yang
berdoa kepada Allah
subhanahu wa ta’ala
melalui perantara (tawassul)
orang yang sudah
wafat, berarti telah syirik dan kafir.
Kaum Wahhabi lupa,
bahwa di samping
mereka tidak memahami makna ibadah
secara benar, mereka
juga tidak menyadari
bahwa bertawassul dengan para nabi
dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,
para sahabat, tabi’in
dan generasi penerusnya. Sehingga dengan pemahaman
yang dangkal terhadap
ayat tersebut, Wahhabi
akhirnya terjerumus pada
pengkafiran terhadap kaum Muslimin.Dan jika diamati dengan seksama, dalam
setiap pendapat yang keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum Wahhabi
biasanya mengikuti teks-teks
literal yang tidak
dipahami maknanya secara
benar. Al-Imam Asy-Syathibi
berkata dalam kitabnya alI’tisham yang sangat populer:
“Renungkanlah, logika
berpikir mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat, dapat membawa seseorang
pada kesesatan dan keluar dari jamaah. Oleh karena itu
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat orangorang yang
mengikuti ayat-ayat mutasyabihat,
maka merekalah orang-orang yang disebutkan
oleh Allah (sebagai
orang-orang yang sesat).
Hati-hatilah
dengan mereka”.
Mengikuti Hawa Nafsu
Ketiga, mengikuti hawa
nafsu sebagaimana diingatkan oleh firman
Allah
subhanahu wa
ta’ala, “Adapun orang-orang yang dalamhatinya condong pada
kesesatan (zaigh)”,
(QS. 3 : 3). Kesesatan
(zaigh) adalah lari
dari kebenaran karena mengikuti
hawa nafsu. Dalam
ayat lain, “Dan
siapakah yang lebih sesat dari pada
orang yang mengikuti
hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikitpun.” (QS. 28 : 50).
Ada kisah
menarik berkaitan dengan
mengikuti hawa nafsu
ini. Ketika orangorang
Khawarij mengasingkan diri
dan menjadi kekuatan
oposisi terhadap Khalifah Ali
bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu, Ali
selalu didatangi orang-orang yang memberinya
saran: “Wahai Amirul
Mu’minin, mereka melakukan
gerakan melawan Anda.”
Ali radhiyallahu anhu hanya menjawab: “Biarkan saja mereka.
Aku tidak akan
memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti melakukannya.” Sampai
akhirnya pada suatu
hari, Ibn Abbas mendatanginya
sebelum waktu zhuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon shalat
zhuhur agak diakhirkan,
aku hendak mendatangi
mereka (Khawarij) untuk
berdialog dengan mereka.”
Ali radhiyallahu anhu
menjawab:
“Aku khawatir
mereka mengapa-apakanmu.” Ibn
Abbas berkata: “Tidak
perlu khawatir. Aku
laki-laki yang baik
budi pekertinya dan
tidak pernah menyakiti orang.” Akhirnya
Ali radhiyallahu anhu
merestuinya. Lalu Ibn Abbas
memakai pakaian yang
paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas
berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu
terik matahari. Setelah
aku mendatangi mereka,
aku tidak pernah melihat orang
yang lebih bersungguh-sungguh dari
pada mereka. Pada
dahi mereka tampak
sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka,
tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah.
Lalu aku
mengucapkan salam kepada
mereka. Mereka menjawab:
“Selamat datang Ibn Abbas.
Apa keperluanmu?”
Aku menjawab:
“Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka.
Mereka lebih
mengetahui maksud al-Qur’an
dari pada kalian.
Lalu sebagian mereka berkata,
“Jangan berdebat dengan
kaum Quraisy, karena
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman: “Sebenarnya
mereka adalah kaum
yang suka bertengkar”. (QS.
43 : 58). Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan
Ibn Abbas.” Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka. Setelah
Ibn Abbas berhasil
mematahkan argumentasi mereka,
maka 2000 orang
Khawarij kembali kepada barisan
Sayidina Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu
anhu. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya.
2000 orang
tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan hawa
nafsu mereka. Sementara
yang lainnya, telah
dikalahkan oleh hawa
nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Kita seringkali
melihat atau mendengar
kisah perdebatan para
ulama
Ahlussunnah Wal-Jama’ah
dengan tokoh-tokoh ahli
bid’ah, misalnya orang Syi’ah, Wahhabi,
atau lainnya. Akan
tetapi meskipun mereka berulangkali dikalahkan dalam
perdebatan, dengan dalil-dalil
al-Qur’an, Sunnah dan pandangan ulama
salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu telah
mengalahkan mereka.
Tidak Mengetahui Posisi Sunnah
Al-Imam Asy-Syathibi
dalam kitabnya al-I’tisham
membuat sebuah pertanyaan yang dijawabnya
sendiri, mengapa seseorang
itu mengikuti hawa
nafsu dan kemudian
pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuksebuah aliran sesat?
Hal tersebut
ada kaitanya dengan
latar belakang lahirnya
aliran-aliran sesat, yang sebagian
besar berangkat dari
ketidaktahuan terhadap Sunnah.
Hal ini seperti
diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai
pemimpin”.
Menurut Asy-Syathibi,
setiap orang itu
mengetahui terhadap dirinya
apakah ilmunya sampai
pada derajat menjadi
mufti atau tidak.
Ia juga mengetahui apabila melakukan
introspeksi diri ketika
ditanya tentang sesuatu,
apakah ia berpendapat dengan
ilmu pengetahuan yang
terang tanpa kekaburan
atau bahkan sebaliknya.
Ia juga mengetahui
ketika dirinya meragukan
ilmu yang dimilikinya. Oleh
karena itu, menurut
Asy-Syathibi, seorang alim apabila keilmuannya belum
diakui oleh para
ulama, maka kealimannya
dianggap tidak ada, sampai
akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.
Kaitannya dengan
aliran Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sang pendiri aliran
Wahhabi sendiri, termasuk
orang yang tidak jelas
kealimannya.
Tidak seorang
pun dari kalangan
ulama yang semasa
dengan Syaikh
Muhammad, yang
mengakui kealimannya. Bahkan menurutSyaikh Ibn Humaid dalam al-Suhub
al-Wabilah, kitab yang
menghimpun biografi para
ulama madzhab Hanbali,
Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena ia tidak rajin mempelajari
ilmu fiqih seperti
para pendahulu dan orang-orang
di
daerahnya.
Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh Sulaiman bin
Abdul Wahhab, kakak
kandung Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab al-Najdi,
yang mengatakan dalam kitabnya al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi alRadd ‘ala
al-Wahhabiyyah:
“Hari
ini manusia mendapat
ujian dengan tampilnya
seseorang yang
menisbatkan
dirinya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
dan menggali hukum dari ilmu-ilmu al-Qur’an
dan Sunnah. Ia
tidak peduli dengan
orang yang berbeda dengannya. Apabila
ia diminta membandingkan
pendapatnya terhadap para ulama, ia
tidak mau. Bahkan
ia mewajibkan manusia mengikuti
pendapat dan konsepnya. Orang
yang menyelisihinya, dianggap
kafir. Padahal tak
satu pun dari syarat-syarat
ijtihad ia penuhi,
bahkan demi Allah,
1 % pun
ia tidak memiliknya. Meski
demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam.
Inna lillah wa
inna ilayhi raji’un.”
(Syaikh Sulaiman, al-Shawaiq al-’Ilahiyyah, hal.5).
Dewasa ini, para
pengikut aliran Wahhabi atau Salafi, sebagian besar memang orang-orang yang
tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai. Ada kisah menarik
berkaitan hal ini.
Bahrul Ulum, teman saya
yang tinggal di Surabaya,
bercerita kepada saya.
“Suatu hari
saya mendatangi Ustadz
Mahrus Ali yang
populer dengan mantan kiai NU,
di rumahnya, Waru
Sidoarjo. Ternyata Ustadz
Mahrus Ali sedang menulis buku
yang isinya mengharamkan
ayam. Melihat tulisan tersebut,
saya segera membuka
Shahih al-Bukhari, dan di situ
ada sebuah hadits
yang menerangkan bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam pernah makan ayam. Saya
tunjukkan kepada Ustadz
Mahrus Ali, hadits
dalam Shahih alBukhari
itu sambil menyerahkan
kitabnya. Ternyata, di
luar dugaan, Ustadz Mahrus Ali
bilang, “Hadits ini
hanya diriwayatkan oleh
seorang sahabat saja.”
Mendengar jawaban
tersebut, saya terkejut.
Ternyata Ustadz Mahrus Ali
mengikuti logika
orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.
Menurut saya,
sebenarnya Mahrus Ali
itu bukan bermaksud
mengikuti logika orientalis. Ia
hanya bermaksud menutupi
rasa malunya saja
dengan alasan bahwa hadits
tersebut hanya diriwayatkan
oleh seorang sahabat
saja. Sebab dalam logika
Wahhabi, kedudukan hadits
ahad (kebalikan hadits
mutawatir) sama dengan
hadits mutawatir, sama-sama menjadi pedoman dalam akidah danhukum.
Sekitar dua tahun
yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan, mengapa LBM
NU Jember tidak
menulis bantahan terhadap buku-bukuMahrus Ali yang baru.
LBM hanya
membantah buku Mahrus Ali yang pertama. Kami dari tim LBM NU Jember memang
tidak menulis bantahan
terhadap buku-buku Mahrus
Ali yang baru, karena
disamping buku-buku yang
baru, dalil dan
argumentasinya sama dengan buku
yang pertama, juga
dalam buku-buku yang baru,
pendapatpendapatnya banyak yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap
hadits-hadits Nabi shallallahu
alaihi wasallam yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Misalnya dalam
buku kedua, Mahrus Ali mengatakan, “Kini, saya tidak mau lagi mencium tangan
guru-guru saya, karena saya tidak pernah melihat para sahabat mencium tangan Nabi
shallallahu alaihi wasallam.”
Pernyataan ini jelas menyingkap siapa
sebenarnya Mahrus Ali.
Bukankah hadits-hadits yang menerangkan bahwa
para sahabat mencium
tangan Nabi shallallahu
alaihi wasallam terdapat
dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli hadits dari
generasi salaf, yaitu
al-Imam al-Hafizh Abu Bakr
Ibn al-Muqri’ alAshbihani, menulis kitab khusus tentang
mencium tangan berjudul Juz’ fi Taqbil al-Yad. Tetapi
Ustadz Mahrus Ali,
seperti kebiasaan kaum Wahhabi,
memang sangat mudah
mendistribusikan vonis bid’ah
dan syirik terhadap
hal-hal yang tidak
disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.
Menghujat Generasi Salaf
Menurut al-Imam
Asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat di atas, tanda yang pertama
diterangkan dalam hadits-hadits
iftiraq (yang menerangkan tentang perpecahan
umat Islam). Sedangkan
tanda-tanda kedua dan
ketiga, yaitu mengikuti
teks mutasyabihat dan
hawa nafsu, tidak
diterangkan dalam hadits-hadits
iftiraq, akan tetapi disebutkan dalamayat al-Qur’an (QS. 3 : 7).
Selain hal
tersebut, Asy-Syathibi juga menerangkan
bahwa ciri khas ahli bid’ah dapat diketahui
dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu orang lain, ia akan membeberkan kejelekan
orang-orang terdahulu yang
dikenal alim, saleh
dan menjadi panutan
umat. Sebaliknya ia
akan menyanjung setinggi langit,
orangorang yang berbeda dengan para tokoh panutan tersebut.
Dalam hal
ini Asy-Syathibi memberikan
contoh bagi kita,
bagaimana kaum Khawarij mengkafirkan
para sahabat Nabi
shallallahualaihi wasallam. Padahal para sahabat
telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam hadits-hadits
shahih. Sebaliknya, kaum Khawarij justru
memuji Abdurrahman bin
Muljam al-Muradi karena
telah membunuh Sayidina
Ali radhiyallahu anhu.
Perbuatan serupa
juga dilakukan oleh
orang-orang Syi’ah. Syi’ah
telah menghujat dan
mengkafirkan para sahabat.
Menurut Syiah, seperti
dalam riwayat
al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, sesudah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, semua
sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman alFarisi, Abu
Dzarr al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.
Sementara kaum
Wahhabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para sahabat dan generasi salaf.
Namun dari pandangan
mereka yang membid’ahkan
dan mengkafirkan
beberapa amaliah generasi salaf sejak
masa sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya,
seperti amaliah tawassul,
istighatsah, tabarruk dan
lainlain, sebagian ulama
menganggap kaum Wahhabi
telah membid’ahkan dan mengkafirkan generasi
salaf secara implisit.
Bukankah amaliah tawassul, tabarruk,
istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni dengan
Wahhabi, telah diajarkan
oleh kaum salaf,
generasi sahabat, tabi’in dan
generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum W ahhabi justru menganggap orang-orang Musyrik
seperti Abu Jahal,
Abu Lahab dan
lain-lain lebih mantap tauhidnya dari
pada kaum Muslimin yang bertawassul.
Belakangan, dari
kaum Wahhabi kontemporer tidak sedikit terlontar pernyataan tokoh-tokoh
mereka yang menistakan generasi salaf secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin
Baz, misalnya menganggap
sahabat Bilal bin
alHarits al-Muzani radhiyallahu anhu telah musyrik, dalam komentarnya
terhadap kitab Fath
al-Bari Syarh Shahih
al-Bukhari karena melakukan
istighatsah di makam Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pada masa Khalifah Umar bin alKhaththab radhiyallahu
anhu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya,
menganggap al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani bukan pengikut
Ahlussunnah.
Syaikh Nashir
al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari karena melakukan ta’wil
terhadap ayat mutasyabihat
dalam al-Qur’an. Dalam
kitab alTawassul Ahkamuhu
wa Anwa’uhu, al-Albani
juga mencela Sayyidah
‘Aisyah, dan menganggapnya
tidak mengetahui kesyirikan. Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan
al-Ghamidi, menganggap al-Imam al-Hafizh al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh Ushul
I’tiqad Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah, tidak
bersih dari kesyirikan.
Demikian sekelumit
contoh penistaan tokoh-tokoh
Wahhabi terhadap generasi salaf dan para
ulama terkemuka secara parsial.
Sulit Diajak Dialog Terbuka
Pada bulan
Maret 2008, tim
LBM NU Jember
mengajak Mahrus Ali
untuk berdialog dan
berdebat secara terbuka di IAIN SunanAmpel Surabaya. Hasilnya, dengan berbagai
alasan Mahrus Ali tidak siap datang. Sesudah itu, beberapa kali ia diajak
dialog di Universitas
Diponegoro Semarang, kemudian
di Universitas Brawijaya Malang,
ia juga tidak siap. Dan terakhir dia
diajak dialog di masjid di sebelah rumah
tempat tinggalnya, ternyata
ia tidak datang. Sepertinya
ia tidak berani berdialog
terbuka dengan para
ulama, karena ia
merasa yakin bahwa dalil-dalil yang
dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena
perdebatan ilmiah.
Al-Imam Asy-Syathibi
menjelaskan dalam al-I’tisham, bahwa sebagian
besar kaum ahli
bid’ah dan pengikut
aliran sesat tidak
suka berdialog dan
berdebat dengan pihak
lain. Menurut Asy-Syathibi,
mereka tidak akan
membicarakan pendapatnya dengan
orang yang alim,
khawatir kelihatan kalau
pendapat mereka tidak
memiliki landasan dalil
syar’i yang otoritatif.
Sikap yang mereka tampakkan ketika
bertemu dengan orang
alim adalah sikap
pura-pura. Tetapi ketika mereka
bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak kritik
dan sanggahan terhadap
ajaran dan amaliah
umat Islam yang sesuai dengan
syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada kalangan
awam.
Dalam beberapa
kali diskusi dengan kaum Wahhabi, seperti awal Agustus 2010 di Sampang,
beberapa bulan sebelumnya
di Yogyakarta dan Juli 2010 di Denpasar, tidak
sedikit dari kalangan
Wahhabi yang melontarkan
pernyataan kepada saya,
“Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi. Ini sama
sekali tidak penting. Musuh kita
orang-orang kafir, Amerika, Zionis dan
lainnya yang dengan
rapi berupaya menghancurkan
umat Islam.”
Begitulah
kira-kira ucapan mereka.
Tentu saja
ucapan itu mereka
lontarkan ketika posisi
mereka terdesak dalam arena perdebatan
dan diskusi ilmiah
yang disaksikan oleh publik.
Mereka merasa khawatir,
pandangan-pandangan mereka yang
keluar dari mainstream kaum Muslimin
akan terbongkar kelemahan dan kerapuhannya. Terbukti, mereka sendiri ketika
berbicara di hadapan
orang awam, tidak
pernah berhenti membid’ahkan dan
mengkafirkan umat Islam di luar golongan mereka. Bahkan selama ini,
kelompok mereka sangat
agresif membicarakan dan
menyebarkanisu-isu khilafiyah
antara Sunni dengan
Wahhabi, maupun dengan
lainnya. AlImam Asy-Syathibi
berkata dalam al-I’tisham:
“Jangan berharap
mereka (ahli bid’ah) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar dalam
ilmunya.”
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"
2014@abdkadiralhamid
0 Response to "Sunni Vs Wahabi : Tanda-Tanda Aliran Sesat Menurut Al-Syathibi"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip