ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL
Hakekat Istighatsah dan Tawassul
Para ulama
seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul,
istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang
sama. Mereka mendefinisikan tawassul -dan istilah-istilah lain yang sama- dengan
definisi sebagai berikut:
“Memohon
datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah
dengan menyebut nama seorang nabi atauwali untuk memuliakan (ikram)
keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh al-Qawim, hal. 378).
Sebagian kalangan
memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang nabi
atau wali untuk
mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan
bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya
secara hakiki. Persepsi
yang keliru tentang
tawassul ini kemudian membuat
mereka menuduh orang
yang ber-tawassul kafir
dan musyrik. Padahal
hakekat tawassul di
kalangan para pelakunya
adalah memohon datangnya
manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah
subhanahu wa ta’ala
dengan menyebut nama seorang
nabi atau wali untuk
memuliakan keduanya.
Ide dasar
dari tawassul ini
adalah sebagai berikut. Allah subhanahu
wa ta’ala telah menetapkan
bahwa biasanya urusan-urusan
di dunia ini
terjadi berdasarkan hukum
kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh, Allah subhanahu wa ta’ala
sesungguhnya Maha Kuasa
untuk memberikan pahala
kepada manusia tanpa
beramal sekalipun, namun
kenyataannya tidak demikian. Allah subhanahu wa
ta’ala memerintahkan manusia
untuk beramal dan
mencari halhal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Jadikanlah
sabar dan shalat
sebagai penolongmu, dan
sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang
khusyu’”. (QS. alBaqarah : 45).
Allah subhanahu
wa ta’ala juga berfirman:
“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya(Allah)”. (QS. al-Ma’idah :35).
Ayat ini memerintahkan
untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
subhanahu wa ta’ala.
Artinya, carilah sebab-sebab
tersebut, kerjakanlah
sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkan akibatnya. Allah
subhanahu wa ta’ala
telah menjadikan tawassul
dengan para nabi dan
wali sebagai salah
satu sebab dipenuhinya
permohonan hamba.
Padahal Allah
subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab
tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan
wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala.
Jadi, tawassul
adalah sebab yang
dilegitimasi oleh syara’
sebagai sarana dikabulkannya permohonan
seorang hamba. Tawassul
dengan para nabi
dan wali diperbolehkan
baik di saat
mereka masih hidup
atau mereka sudah meninggal. Karena
seorang mukmin yang
ber-tawassul, tetap berkeyakinan bahwa tidak ada
yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali
Allah subhanahu wa
ta’ala. Para nabi dan
para wali tidak
lain hanyalah sebab
dikabulkannya permohonan hamba
karena kemuliaan dan ketinggian derajat
mereka. Ketika seorang
nabi atau wali masih
hidup, Allah subhanahu wa
ta’ala yang mengabulkan
permohonan hamba. Demikian
pula setelah mereka
meninggal, Allah subhanahu wa ta’alajuga yang mengabulkan permohonan seorang
hamba yang ber-tawassul
dengan mereka, bukan
nabi atau wali
itu sendiri. Sebagaimana
orang yang sakit pergi
ke dokter dan meminum obat
agar diberikan kesembuhan
oleh Allah subhanahu
wa ta’ala, meskipun keyakinannya
pencipta kesembuhan adalah
Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan
obat hanyalah sebab
kesembuhan. Jika obat
adalah contoh sabab ‘âdi
(sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar’i (sebabsebab yang
diperkenankan syara’).
Syaikh Majdi
Ghassan Ma’ruf al-Husaini,
seorang ulama Ahlussunnah
WalJama’ah dari Lebanon
bercerita, “Suatu ketika
seorang Wahhabi dengan beraninya berkata
kepada saya, “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah dengan mengucapkan “Ya
Muhammad”. Ucapkan saja
“Ya Allah”, tanpa perantara!”
Saya bertanya,
“Kalau Anda terserang sakit kepala, apa yang Anda lakukan?” Ia menjawab: “Saya
minum dua tablet obat sakit kepada”.
Saya berkata:
“Mengapa Anda melakukan
itu? Bukankah Allah itu
Maha Penyembuh? Mengapa
Anda tidak langsung
saja berdoa kepada
Allah, “Ya Allah, ya
Syafi isyfini (Ya
Allah, Dzat Yang
Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)”. Mengapa
Anda membuat perantara
dan sebab musabab
untuk kesembuhan antara
anda dengan Allah?
Kalau anda minum
dua tablet obat tersebut sebagai
perantara kesembuhan Anda,
maka kami Ahlussunnah
Wal-Jama’ah
menjadikan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai perantara kami, dan
beliaulah perantara yang paling agung.”
Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak dapat
menjawab.
Debat Publik di Melbourne Australia
Abdurrahman
Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat. Karya-karyanya mulai populer
di kalangan Wahhabi Indonesia.
Bahkan banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui
program software Maktabah
Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi
sendiri tidak banyak
yang tahu siapa
sebenarnya Abdurrahman
Dimasyqiyat.
Masa lalunya
penuh dengan skandal.
Di setiap tempat yang
pernah disinggahinya, ia
selalu bikin ulah.
Lidahnya selalu menghujat
umat Islam, generasi salaf
(terdahulu) maupun generasi
khalaf (terkemudian). Kerjanya, merubah ajaran
agama. Mencela para
kekasih Allah subhanahu
wa ta’ala.
Menyerang
orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela
orang-orang yang baik.
Ia lupa
bahwa Allah subhanahu
wa ta’ala telah
berfirman dalam hadits
qudsi,
“Barangsiapa yang
memusuhi kekasih-Ku, maka
Aku deklarasikan perang terhadapnya.”
Akibat ulahnya,
akhirnya orang-orang banyak
tahu kebusukan masa
lalunya. Petualangannya
dengan wanita-wanita cantik dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi
obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya
ketika di Universitas
al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan
yang suaranya direkam
-rekamannya masih ada sampai sekarang, dan
saksi-saksinya masih hidup-,
di mana dalam
rekaman itu ia mengakui telah
melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang dituduhkan
kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkandari Azhar Lebanon pada tahun 1972.
Kasus itu,
diakuinya sendiri. Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis kejadian itu. Ia tidak
menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia berterus terang telah
melakukannya. Seakan-akan ia
bangga dengan perbuatannya.
Dengan enteng
ia berkata, “Pada
waktu itu aku
masih belum baligh, catatan amal masih belum
berlaku bagiku”.
Tentu saja
pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan dengan
kerabatnya. Menyakiti kedua
orang tuanya. Selalu
gagal mencari pekerjaan
yang mendatangkan hasil
yang halal di
Lebanon dan di Perancis.
Akhirnya, apa
boleh dikata, Abdurrahman
Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya di
belakang uang logam
dan dolar sebagai
penulis bayaran kaum Wahhabi. Ia
memulung sisa-sisa makanan
di bawah meja
orang-orang gendut berperut besar
dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya) dan kaum anti tawassul.
Di antara
mukjizat Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam adalah
sabda beliau yang memperingatkan
umatnya agar berhati-hati
dengan kaum Wahhabi sebelum kemunculan
mereka. Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Kepala kekafiran
muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
menunjuk ke arah
timur, daerah Najd,
dan bersabda: “Fitnah akan muncul dari
sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”. Kedua
hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua
orang tahu siapa
sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat.
Identitasnya terungkap
di Swedia. Ia
melarikan diri dari perdebatan
setelah menyetujui kesepakatan
pada waktu yang
dijanjikan. Kemudian ia
mengira bahwa pengikut
kebenaran melupakannya begitu
saja ketika ia
di Australia.
Ternyata Abdurrahman
Dimasyqiyat menyetujui debat
publik bersama Syaikh Salim Alwan
al-Hasani. Namun kemudian
Dimasyqiyat takut, ragu-ragu
dan berupaya menghindar.
Sementara pengikutnya melakukan
teror dan ancaman.
Akan tetapi
takdir Allah subhanahu wa ta’ala pasti
terjadi. Akhirnya perdebatan terjadi. Kebenaran
tampak dan kebatilan
sirna. Sesungguhnya kebatilan
pasti sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat
telah berkali-kali diminta
melalui radio dan
surat kabar, agar
siap berdebat. Namun
ia selalu melarikan
diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang
karena takut malu.
Ia datang ke
aula Universitas Melbourne pada tanggal 9
November 1994. Di aula itu telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan
dan Syaikh Abdurrahman
al-Harari. Di depannya
ada meja yang disiapkan untuk
Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di tengah meja itu ada
mimbar untuk moderator.
Yang menarik
perhatian, pada waktu
itu Abduraahman Dimasyqiyat
membawa komputer yang
sering digunakannya untuk
mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya
ia memang tidak
hapal teks dan
tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya
hanya mengulang-ulang pernyataan
orang yang menjadi sutradara
di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan
dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat:
“Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di
depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit),
seperti berkata
“Ya Muhammad, atau
ya Rasulallah (wahai
Muhammad atau wahai Rasulullah)”,
itu syirik akbar
(besar) sebagaimana ditetapkan
oleh Ibn Abdil Wahhab
al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam al-Adab al-Mufrad,
bahwa Abdullah bin
Umar pada suatu hari
kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan
orang yang paling
Anda cintai.” Lalu
Ibn Umar berkata,
“Ya Muhammad (Wahai
Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh.
Apakah kalian
kaum Wahhabi akan
mencabut pendapat kalian.
Dan ini yang kami kehendaki.
Atau kalian akan
memutuskan bahwa Abdullah
bin Umar, alImam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari,
dan bahkanIbn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul
Islam, dan al-Albani
pemimpin kalian, mereka
semuanya kafir.
Coba renungkan
inkonsistensi Wahhabi ini.
Pendapat mereka dapat mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka
sendiri, yaitu Ibn
Taimiyah dan alAlbani, bahkan mengkafirkan seluruh umat
Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan
sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan
Syaikh Salim, mulailah
serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat.
Setelah Syaikh Salim
mengajukan pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat
kebingungan. Lalu ia
berkata: “Lafal “Ya Muhammad”,
hanya terdapat
dalam naskah cetakan
kitab al-Adab al-Mufrad
yang di-tahqiq Ustadz Kamal
al-Hut. Dalam naskah-naskah
lain, yang ada hanya
lafal “Muhammad”, tanpa
“Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan
Dimasyqiyat, Syaikh Salim
segera mengeluarkan beberapa naskah
al-Adab al-Mufrad yang
dicetak oleh
percetakan-percetakan lain. Ternyata,
semuanya sepakat memakai redaksi “Ya Muhammad”. Sehingga hal tersebut
membuktikan kebohongan Dimasyqiyat.
Kemudian, Dimasyqiyat
semakin terkejut, ketika
Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab
al-Kalim al-Thayyib karangan
Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, panutan kaum
Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di mana dalam kitab tersebut Ibn
Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan seseorang
ketika kakinya mati
rasa”. Naskah ini
dicetak oleh kaum Wahhabi dan
dikoreksi oleh Nashiruddin
al-Albani, pemimpin mereka
yang kontradiktif, yang
menganggap perbuatan Ibn
Umar itu syirik
dan menentan tauhid.
Dimasyqiyat telah
berusaha mengingkari lafal
“Ya” yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan
redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat
berkata, bahwa ia telah mencari lafal
“Ya”, ternyata tidak menemukannya.
Akhirnya Syaikh
Salim berkata: “Al-Albani,
pemimpin kalian yang kontradiktif, berkata dalam
al-Kalim al-Thayyib hal.
120 dalam mengomentari
hadits “Ya Muhammad” yang
disebutkan dan dianjurkan
oleh Ibn Taimiyah
untuk diamalkan,
sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat yang
baik). Al-Albani berkata:
“Kami memilih menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan
sebagian manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah
gagal wahai Dimasyqiyat.
Kami menuntut Anda
berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda
yang kontradiktif, di
mana al-Albani menemukan manuskrip yang
di dalamnya terdapat
lafal “Ya Muhammad”,
lalu dia anggap menentang tauhid
dan termasuk perbuatan
syirik menurut asumsinya.
Coba Anda lihat
(hal. 16 kitab
al-Kalim al-Thayyib), yang
dicetak di percetakan
alSyawisy al-Wahhabi dengan
nama al-Maktab al-Islami, ta’liq (komentar) Nashiruddin al-Albani,
pemimpin Wahhabi yang
kontradiktif. Pernyataan alAlbani menjadi dalil yang menggugat Anda
dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh
Salim memperlihatkan naskah
tersebut dan berkata
kepada Abdurrahman Dimasyqiyat:
“Aku ulangi pertanyaanku
lagi kepada Anda,
untuk mengingatkan bahwa
Ibn Taimiyah menyebut
atsar (hadits) ini dan menetapkannya. Ia
tidak menjadikannya sebagai
kesyirikan dan kekufuran.
Bagaimana
komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakanbahwa Abdullah bin Umar, al-Bukhari
sampai pimpinanmu, Ibn
Taimiyah adalah orang-orang
sesat dan kafir. Atau Anda
mencabut pendapat Anda.”
Mendengar
pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi
beralih pada tema-tema
lain. Lalu Syaikh
Salim mengingatkan kepada
hadirin, bahwa Dimasyqiyat
menghindar dari jawaban.
Kemudian Syaikh
Salim mengulangi pertanyaannya
yang tadi dengan
pertanyaan
tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam agar
berdoa, “Ya Muhammad,
sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada
Tuhanku dengan perantara dirimu.” Hal
ini agar dilakukan
bukan di hadapan
Rasul shallallahu alaihi wasallam. Hadits
ini shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan lainnya juga
menilainya shahih.
Syaikh Salim
berkata: “Apakah Anda
berasumsi wahai Abdurrahman,
bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat yang
menjadi perawi hadits
tersebut serta al-Imam
al-Thabarani mengajarkan kesyirikan?
Jelas ini tidak
mungkin”. Mendapat pertanyaan tersebut, tampak
sekali Abdurrahman Dimasyqiyat
lemah, di mana
moderator mengingatkan
bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.
Di tengah
dialog tersebut, Abdurrhman
Dimasyqiyat mengakui bahwa
ia telah menulis beberapa
kitab untuk membantah al-Muhadditsal-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya
dengan memakai nama orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya. Di
antaranya kitab al-Radd
‘ala Abdillah al-Habasyi,
karya penulis palsu Abdullah
al-Syami.
Anehnya,
laki-laki ini menghendaki agar orang-orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui
sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa dengan menulis buku yang
dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu,
Syaikh Salim mengulangi
menyebut hadits laki-laki
tuna netra tersebut yang
isinya, “Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dan menghadapkan diriku
kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”,
serta menyebutkan para
hafizh yang menilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga
mengakui bahwahadits tersebut shahih.Lalu
Syaikh Salim berkata:
“Bagaimana kalian melarang
manusia bertawassul dengan Rasul
shallallahu alaihi wasallam bukan di hadapannya, padahal Rasul shallallahu alaihi
wasallam telah mengajarkan
laki-laki tuna netra
tadi untuk bertawassul dengan
beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian.
Atau kalian mengira
bahwa kalian lebih
pandai dari pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Mendengar pertanyaan
tersebut, Wahhabi yang
berperilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara
banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topik pertanyaan.
Kemudian Syaikh
Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat
melarikan diri dari jawaban.
Di sini,
Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan pada kebohongan lain. Ia
bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk
menutupi kegagalannya. Ia berkata kepada
Syaikh Salim: “Bagaimana
Syaikh Abdullah men-tahqiq
kitab, yang di dalamnya terdapat
redaksi bahwa sebagian
auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa
menentang redaksi tersebut, serta mengingatkan rusaknya redaksi
tersebut. Kitab tersebut
telah dicetak dan
saya punya kopiannya.”
Mendengar
pernyataan tersebut, moderator melakukan
intervensi, dan meminta kopian
itu agar isinya
bisa diperlihatkan kepada
hadirin. Ternyata semua
yang hadir terkejut. Karena
sampul kitab tersebut
membuktikan kebohongan
Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab
tersebut justru di-tahqiq dan
dikoreksi oleh orang
lain, bernama Husain
Nazhim alHulwani, dan
diberi kata pengantar
oleh Syaikh Muhammad
al-Hasyimi, bukan Syaikh
al-Harari.
Di sini, untuk
menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata
kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap
mimbar Nabi shallallahu
alaihi wasallam atau
makam Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Kalian mengklaim
mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab
al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap
mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan
pusar yang ada
di mimbar itu.”
Bahkan Ibn Taimiyah
berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath
al-Mustaqim (hal. 367 terbitan Mathabi’ alMajd
al-Tijariyyah), “Ahmad dan
lainnya memberikan keringanan
dalam mengusap mimbar dan
pusar mimbar itu
yang merupakan tempat duduk
dan tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Bagaimana pendapat
kalian? Apakah kalian
mengkafirkan al-Imam Ahmad,
di mana kalian mengklaim
mengikuti madzhabnya? Atau
kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul
Islam? Bukankahini sebuah inkonsistensi?”
Mendengar
pertanyaan ini, Dimasyqiyat yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab.
Ia tampak
sekali kelemahannya. Lebih-lebih
setelah Syaikh Salim
menambah penjelasan dengan menyebut
kutipan al-Mirdawi al-Hanbali
bahwa Ibrahim bin Ishaq
al-Harbi, seorang imam
mujtahid berkata: “Disunnatkan
mencium hujrah (makam) Nabi
shallallahu alaihi wasallam.”
Untuk mengalihkan
persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang tampak sangat pucat sekali,
Dimasyqiyat bertanya kepada
Syaikh Salim tentang
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap
‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan
tersebut, Syaikh Salim
menjelaskan persoalan tersebut
dengan sejelas-jelasnya. Beliau
memaparkan pendapat
Ahlussunnah WalJama’ah mengenai
hal itu, bahwa
istiwa’ Allah subhanahu
wa ta’ala terhadap ‘Arsy bukan
seperti istiwa’-nya makhluk.
Istiwa’ dalam ayat
tersebut, bukan diartikan duduk
dan bukan pula
menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut
adalah suatu makna yang layak bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang tidak
menyerupai makna istiwa’ ketika
disandarkan kepada makhluk,
sebagaimana dalam perkataan al-Imam
Ahmad bin Hanbal,
“Allah ber-istawa sebagaimana
yang diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam
benak manusia.”
Meskipun Mu’tazilah
sama dengan Ahlussunnah
dalam menafsrikan istiwa’ dengan makna menguasai (al-qahr)
dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat alasan
mencela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Bukankah Mu’tazilah juga mengucapkan kalimat
la ilaha illallah
(tiada tuhan selain
Allah). Apakah Ahlussunnah harus
meninggalkan kalimat tersebut
karena Mu’tazilah mengucapkannya?
Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan
berjalan dua jam.
Sementara penjelasan Syaikh
Salim sangat bagus dan
jitu. Sedangkan Dimasyqiyat,
tidak mampu memberikan jawaban.
Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut
dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan yang
anarkis secara kolektif.
Sehingga sebagian hadirin
meminta mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.
Setelah mereka
tidak mengindahkan pengumuman,
akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan
selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan aula Universitas
Melbourne. Padawaktu itu, sebagian kaum Wahhabi
berhasil merusak kamera
yang merekam acara dialog.
Akan tetapi, untung kaset
rekamannya masih utuh
dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.
Bersama Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Dialog ini
adalah pengalaman pribadi
Syaikh Walid al-Sa’id,
seorang ulama Ahlussunnah di
Timur Tengah, dengan
Syaikh Syu’aib al-Arnauth,
seorang ulama Damaskus, yang terpengaruh ajaran Wahhabi.
Syaikh Walid
al-Sa’id bercerita. “Suatu hari saya mendatangi Syu’aib al-Arnauth di kantornya
untuk berdiskusi tentang masalah tawassul dan istighatsah. Setelah saya bertemu
dengannya, saya berbicara kepadanya tentang masalah tawassul dan saya ajukan
hadits riwayat al-Thabarani.
Syu’aib
al-Arnauth berkata, “Hadits ini membolehkanbertawassul dengan Nabi shallallahu
alaihi wasallam ketika masa hidupnya.”
Saya berkata:
“Hadits al-Thabarani membolehkan
bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi
wasallam ketika masa
hidupnya dan sesudah
meninggalnya. Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani yang
mendatangi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertawassul dengannya
sesudah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Ia berkata:
“Hadits ini dha’if.”
Aku berkata:
“Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih
sebagaimana dikatakan oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari.
Demikian pula Ibnu Katsir menilainya shahih.”
Ia berkata:
“Ibnu Hajar berkata,
hadits ini diriwayatkan
oleh al-Baihaqi dengan sanad
yang shahih kepada
Malik al-Dar. Sedangkan
Malik al-Dar ini
seorang perawi yang majhul (tidak diketahui kualitasnya). Jadi Malik
al-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam periwayatan hadits.”
Aku berkata:
“Malik al-Dar ini
diangkat oleh Khalifah
Umar bin al-Khaththab sebagai Bendahara
Baitul Mal kaum
Muslimin. Berarti menurut Anda,
Khalifah Umar mengangkat seorang
laki-laki yang tidak
jelas kualitasnya, apakah
dia dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara negara?”
Mendengar
sanggahan saya ini, ia terdiam dan tidak dapat menjawab. Akhirnya dia berbicara
lagi kepada saya,
“Secara pribadi saya
berpendapat, dalam masalah
tawassul ada perbedaan pendapat di kalanganulama. Jadi saya tidak menentang
terhadap orang yang melakukannya. Adapun ber-istighatsah dengan selain Allah,
hukumnya jelas haram.
Seorang makhluk tidak boleh
beristighatsah dengan sesama makhluknya.”
Aku berkata,
“Kalau Anda berpendapat
bahwa istighatsah terhadap
sesama makhluk dilarang, lalu
bagaimana pendapat Anda
tentang hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
Shahih-nya dari jalur Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Matahari akan mendekat
pada hari Kiamat,
sehingga keringat akan sampai
pada separuh telinga.
Maka ketika manusia
dalam kondisi demikian, mereka
beristighatsah (meminta pertolongan)
dengan Nabi Adam.”
(HR. al-Bukhari
[1475]).
Syu’aib berkata:
“Hadits ini berkaitan
dengan istighatsah ketika
para nabi itu masih hidup, dan memang dibolehkan
ber-istighatsah dengan mereka. Adapun
sesudah mereka meninggal, maka tidak boleh ber-istighatsah dengan mereka.”
Aku berkata:
“Kalau begitu, Anda
berpendapat boleh ber-istighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup?”
Ia menjawab: “Ya.”
Aku berkata:
“Tolong jelaskan dalil
‘aqli atau dalil
syar’i yang melarang
beristighatsah dengan para nabi sesudah mereka meninggal dunia!”
Ia berkata:
“Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya yang sedang
aku tahqiq dan
belum diterbitkan. Hadits
tersebut adalah begini, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
tidak boleh beristighatsah denganku.
Beristighatsah hanya kepada
Allah.”
Aku berkata:
“Kalau bergitu pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika saya sampaikan
hadits Ibnu Umar
(riwayat al-Bukhari), bahwa
ber-istighatsah dengan para nabi
ketika mereka masih
hidup, itu boleh.
Sekarang Anda menyampaikan hadits
kepada saya, bahwa
Nabi shallallahu alaihi
wasallam ketika masa hidupnya
besabda, bahwasanya tidak
boleh ber-istihgatsah denganku.”
Ia berkata,
“Maaf, hadits ini
dha’if. Jadi tidak
dapat dijadikan hujjah.”
Ternyata hadits yang disampaikannya, ia ralat sendiri dan iaakui sebagai
hadits dha’if.
Kemudian ia
berkata kepadaku: “Coba
aku berikan contoh
seorang imam di antara imam madzhab yang empat yang
mendatangi suatu makam atau seorang wali untuk ber-tabarruk atau
ber-istighatsah dengannya.”
Saya berkata:
“Al-Khathib al-Baghdadi telah meri-wayatkan dalam
Tarikh Baghdad dengan sanad
yang shahih, bahwa
al-Imam al-Syafi’i berkata:
“Saya senantiasa bertabarruk dengan
Abu Hanifah. Saya
selalu mendatangi makamnya setiap
hari dengan berziarah.
Apabila saya memiliki hajat,
saya shalat dua raka’at,
lalu saya datangi
makamnya, saya berdoa
kepada Allah tentang hajatku
di sisi makam
itu, sehingga tidak
lama kemudian hajatku terkabul.”
Ia berkata dengan
berteriak, “Riwayat ini tidak shahih. Dari mana Anda dapatkan riwayat ini?”
Kebetulan kitab
Tarikh Baghdad ada di belakang
punggungnya. Saya berkata kepadanya, “Tolong
ambilkan kitab itu.”
Setelah kitab tersebut
diserahkan kepada saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu
dan saya perlihatkan kepadanya.
Setelah ia melihat
riwayat tersebut, ia
merasa heran dan
berkata kepada salah seorang
pembantunya, “Tolong kualitas
para perawi hadits
ini dikaji.”
Dari sikapnya
ini, tampak sekali,
kalau ia telah
mendidik orang-orang di sekitarnya
berani melakukan koreksi
terhadap hadits. Padahal
mereka tidak punya kapasitas untuk
itu. Kemudian pembantu itu datang menghampiri. Setelah beberapa lama
masuk ke dalam,
pembantu itu pun
kembali dan berkata kepadanya dengan
suara agak pelan,
“Semua perawi hadits
ini tsiqah (dapat dipercaya).”
Lalu saya
berkata kepadanya, “Bagaimana
hasil temuan Anda
tentang semua perawi hadits
ini?”
Ia menjawab:
“Semua perawinya dapat dipercaya kecuali seorang perawi yang belum saya temukan
data biografinya. Dengan demikian hadits ini dha’if, karena ada seorang perawi
yang tidak diketahui kualitasnya.”
Saya berkata:
“Bagaimana Anda menghukumi
hadits ini dha’if, berdasarkan alasan, Anda tidak menemukan data
biografi seorang perawinya. Padahal dalam kaedah disebutkan,
“Tidak menemukan data,
tidak menjadi bukti
bahwa data tersebut memang tidak
ada.” Dia berkata: “Apa maksud kaedah ini?”
Saya berkata:
“Apabila Anda tidak menemukan data seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu
dinilai tidak diketahui kualitasnya dan dha’if.”
Ia berkata:
“Kalau Anda bisa
menemukan data perawi
ini, saya kasih
nilai sepuluh.” Lalu ia berkata: “Saya sekarang sibuk, jadi tidak
mungkin meneliti data perawi ini.” Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya
menjawab: “Namaku Walid alSa’id, murid Syaikh al-Harari.”
Demikianlah pandangan
kaum Wahhabi yang
mengkafirkan orang yang bertawassul dengan
nabi atau wali.
Pendapat mereka, selain rapuh,
tidak memiliki dasar dari
al-Qur’an dan hadits,
juga berimplikasi pada
pengkafiran terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para
sahabat, para ulama salaf dan
seluruh umat Islam
selain golongannya. Na’udzu
billah min dzalik.
Pandangan Wahhabi
akan rapuh ketika
dihadapkan dengan fakta,
bahwa tawassul dengan nabi
yang sudah wafat
telah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, generasisalaf,
ahli hadits dan kaum Muslimin. Ihdina al-shirath al-mustaqim.
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"
2014@abdkadiralhamid
0 Response to "Sunni Vs Wahabi : ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL "
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip