//

Sunni Vs Wahabi : CERDAS BERMADZAB


CERDAS BERMADZAB



Selektif dalam Bermadzhab

 

Mayoritas  kaum  Muslimin  mengikuti  pola  bermadzhab  dalam menjalankan kehidupan  beragama  sehari-hari.  Di  Indonesia,  kaum  Muslimin  mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu al-Hasan al-Syadzili  dalam  bidang  tashawuf.  Demikian  seperti dijelaskan  oleh Hadlratusysyaikh  KH.  Hasyim  Asy’ari  dalam  Risalah  Ahl  al-Sunnah  wa  alJama’ah.
Namun  demikian  pola  bermadzhab  ini  tidak  jarang  disalahpahami  oleh mereka yang  anti  madzhab. Menurut  mereka,  ketika  seseorang itu  mengikuti  madzhab suatu  imam,  maka  ia  harus  mengikutinya  100  %  dari  A sampai  Z.  Tentu  saja langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada dalamlogika beragama.Dalam  sebuah  dialog  terbuka  di  Masjid al-Mujahidin, Denpasar,  seorang Wahhabi  mengatakan  kepada  kami,  “Kalau  Anda memang  mengikuti  madzhab al-Imam al-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan selama 7 hari  kematian.  Karena  al-Imam  al-Syafi’i  sendiri  berpendapat  bahwa  pahala bacaan  al-Qur’an  tidak  akan  sampai  kepada  mayit.”  Demikian  gugatan  orang Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti madzhab al-Syafi’i, tidak berarti kita menyembah al-Imam al-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau 100 % mulai dari A sampai Z.
Para  ulama  kita,  yang  menuntun  kita  mengikuti  madzhab  al-Imam  al-Syafi’i mengajarkan agar kita bermadzhab secara selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid  terbaik dan penyebar madzhab  al-Imam  Abu  Hanifah,  menyelisihi  gurunya  (Abu  Hanifah)  dalam  2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai pengikut dan penyebar madzhab Hanafi. Para ulama pengikut madzhab Maliki,dalam banyak masalah menyelisihi  pendapat  Imam  Malik  bin  Anas,  sang  pendiri  madzhab  sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki. 
Dalam  madzhab  al-Syafi’i  sendiri,  para  ulama  sepakat  bahwa  ketika  terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim (pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih tinggal di Iraq, dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad beliau  setelah  tinggal  di  Mesir  di  akhir  hayatnya,  harus  mengikuti  qaul  jadid sesuai  dengan  pesan  al-Imam  al-Syafi’i  sendiri.  Akan  tetapi  sekitar  dalam  12 masalah  para  ulama  kita  mengharuskan  mengikuti  qaul qadim,  karena  setelah dikaji dan diteliti, qaul qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut.
Hal ini bukan berarti kita keluar dari madzhab al-Imam al-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat populer dari al-Imam al-Syafi’i, bahwa beliau berpendapat, hadiah  pahala  bacaan  al-Qur’an  tidak  sampai  kepada  mayit.  Namun  sebagian besar  pengikut  madzhabnya,  berpendapat  bahwa  hadiah pahala  bacaan  alQur’an  sampai  kepada  mayit.  Pendapat  ini  sesuai  dengan  pendapat  al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena itu, siapapun tidak bisa menggugat pengikut  madzhab  al-Syafi’i  yang  melakukan  tradisi  pengiriman  hadiah  pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit, selamamereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu  diketahui  bahwa  al-Imam  al-Syafi’i  hanya  berpendapat  bahwa  hadiah pahala  bacaan  al-Qur’an  saja  yang  tidak  sampai  kepada  mayit.  Sedangkan hadiah  pahala  selainnya,  seperti  selamatan  (sedekah),  shalawat,  tahlil,  tasbih, tahmid,  shalat,  haji  dan  lainnya,  al-Imam  al-Syafi’i  berpendapat  sampai.  Oleh karena  itu,  hadiah  pahala  selamatan  selama  tujuh  hari,  menurut  al-Syafi’i pahalanya bisa sampai kepada mayit.

Kitab al-Ibanah Karya al-Asy’ari

Gugatan serupa juga saya terima dalam sebuah diskusi di Surabaya. Seorang tokoh  Salafi  dari  Malang  berkata:  “Anda  mengikuti  madzhab  al-Asy’ari,  tetapi mengapa Anda tidak mengikuti pendapat al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab alIbanah ‘an Ushul al-Diyanah?”
Pada  waktu  itu  saya  jawab:  “Bahwa  kitab  al-Ibanah  yang  ada  sekarang  tidak memiliki  sanad  yang  shahih  kepada  al-Imam  al-Asy’ari.  Bahkan  dari  beberapa edisi  kitab  al-Ibanah  yang  ada,  misalnya  al-Ibanah  yang  diterbitkan  oleh  kaum Wahhabi di Saudi Arabia, edisi yang diterbitkan Dr.Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafizh Ibn ‘Asakir al-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari, terjadi perbedaan yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah yang  Anda  jadikan  dasar  gugatan  kepada  kami  para  pengikut  madzhabnya, adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu hampir mirip Bibel, semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama, pasti terjadi perbedaan.
Dan seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanad-nya kepada al-Imam al-Asy’ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban mengikutinya. Bukankah para ulama Asya’irah telah memilih pendapat lain yang berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai dengan  logika  yang  berlaku  dalam  ilmu  hadits.  Menurut  al-Hafizh  al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’ (juz 16, hal. 405), jika terdapat suatu hadits, sanadnya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya, maka  kita  tidak  boleh  mengamalkan  hadits  tersebut.  Jadi,  hadits  shahih  saja, posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid  tidak mengamalkannya  dalam  ijtihad  mereka. Apalagi  hasil  ijtihad seorang ulama seperti al-Imam al-Asy’ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak memakai, kita juga tidak memakai.”
Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm al-Salaf ‘ala ‘Ilm al-Khalaf (hal. 57):
“Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits shahih di mana  pun  berada,  apabila  hadits  tersebut  diamalkan  oleh  para  sahabat  dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompokmereka. Adapun hadits shahih  yang  disepakati  ditinggalkan  oleh  kaum  salaf,  maka  tidak  boleh diamalkan.  Karena  mereka  tidak  meninggalkan  hadits  tersebut,  melainkan setelah mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin Abdul  Aziz  berkata:  “Ikutilah  pendapat  yang  sesuai  dengan  pendapat  orangorang sebelum kalian, karena mereka lebih tahu daripada kalian.”


Meninggalkan Hadits Shahih

Setelah  saya  menyampaikan  pernyataan  di  atas,  bahwa hadits  yang  shahih sekalipun,  ketika  tidak  seorang  pun  dari  kalangan  ulama  mujtahid mengamalkannya,  maka  kita  tidak  boleh  mengamalkan.  Ada  salah  seorang Salafi bertanya, “Mengapa kita harus memilih pendapat seluruh ulama yang tidak mengamalkan hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”.
Syaikh  Ibn  Taimiyah,  menulis  sebuah  kitab  berjudul  Raf’u  al-Malam  ‘an  alAimmah  al-A’lam.  Dalam  kitab  tersebut  Ibn  Taimiyah  mengemukakan  sepuluh alasan,  mengapa  seorang  mujtahid  terkadang  menolak  mengamalkan  suatu hadits dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn Taimiyah berkata begini:
“Dalam  sekian  banyak  hadits  yang  ditinggalkan,  boleh  jadi  seorang  ulama meninggalkan  suatu  hadits  karena  ia  memiliki  hujjah (alasan)  yang  kita  tidak mengetahui hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para ulama. Seorang ulama terkadang  menyampaikan  alasannya,  dan  terkadang  pula  tidak menyampaikannya.  Ketika  ia  menyampaikan  alasannya,  terkadang  sampai kepada kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketikaalasan itu sampai kepada kita, terkadang kita tidak dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’ ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Raf’u alMalam ‘an al-Aimmah al-A’lam, hal. 35).


Hadits Shahih Pasti Madzhabku

Dalam sebuah diskusi di Denpasar, ketika membicarakan pendapat al-Imam alSyafi’i tentang bid’ah, di mana beliau membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah  dan  bid’ah  sayyi’ah,  Ustadz  Husni  Abadi,  seorang  tokoh  Wahhabi menggugat kepada kami: “Kita harus mengikuti haditsshahih. Bukan mengikuti ulama.  Al-Imam  al-Syafi’i  sendiri  berkata,  “Idza  shahha  al-hadits  fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”.
Maksud  pernyataan  Ustadz  Husni  tersebut,  hadits  shahih  menyatakan  bahwa bid’ah  itu  tidak  terbagi  menjadi  dua.  Sementara  pendapat  al-Syafi’i  yang membagi bid’ah menjadi dua bertentangan dengan hadits shahih tersebut. Oleh karena  itu,  sesuai  dengan  pesan  al-Syafi’i  sendiri  yang  mengatakan,  “apabila suatu  hadits  itu  shahih,  maka  hadits  itulah  madzhabku”,  Husni  mengajak  kami meninggalkan  pembagian  bid’ah  menjadi  dua  dan  mengikuti  pendapat  yang mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi.
Tentu  saja  asumsi  Ustadz  Husni  tersebut  tidak  dapat dibenarkan.  Tidak  ada korelasi  antara  pernyataan  al-Imam  al-Syafi’i  di  atas  dengan  pendapat  beliau yang membagi bid’ah menjadi dua.
Para  ulama  menjelaskan,  bahwa  maksud  perkataan  al-Imam  al-Syafi’i,  “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah  madzhabku)”,  adalah  bahwa  apabila  ada  suatu  hadits  bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi’i, sedangkan  al-Syafi’i tidak tahu terhadap hadits  tersebut,  maka  dapat  diasumsikan,  bahwa  kita harus  mengikuti  hadits tersebut,  dan  meninggalkan  hasil  ijtihad  al-Imam  al-Syafi’i.  Akan  tetapi  apabila hadits  tersebut  telah  diketahui  oleh  al-Imam  al-Syafi’i,  sementara  hasil  ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang  bukan  madzhab  beliau.  Hal  ini  seperti  ditegaskan  oleh  al-Imam  alNawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 1/64.

Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab al-Syafi’i, dimana setiap ia menemukan hadits  shahih  bertentangan  dengan  hasil  ijtihad  al-Imam  al-Syafi’i,  Ibn  al-Jarud langsung  mengklaim  bahwa  hadits  tersebut  sebenarnya madzhab  al-Syafi’i, berdasarkan pesan al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh al-Imam al-Syafi’i. Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah al-Naisaburi,  seorang  ulama  salaf  yang  menyandang  gelar  Imam  al-Aimmah (penghulu  para  imam)  dan  penyusun  kitab  Shahih  Ibn  Khuzaimah,  ketika ditanya,  apakah  ada  hadits  yang  belum  diketahui  oleh  al-Syafi’i  dalam  ijtihad beliau? Ibn Khuzaimah menjawab, “Tidak ada”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa alNihayah (juz 10, hal. 253).

Dialog Syaikh al-Nabhani dengan Rasyid Ridha

Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kitadengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang  kita ikuti, seakan-akan mereka  lebih  konsisten  dari  kita  dalam  bermadzhab.  Kaum  Wahhabi  ketika menggugat  kita  agar  meninggalkan  tahlilan  dan  selamatan  tujuh  hari  selalu beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah  al-Thalibin  yang  melarang  acara  selamatan  tahlilan  selama  tujuh  hari. Padahal selain al-Imam al-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah.  Dan  terkadang  mereka  menggugat  kita  dengan  pendapat  imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab.
Pada  dasarnya  kelompok  anti  madzhab  itu bermadzhab. Hanya  saja  madzhab mereka  berbeda  dengan  madzhab  mayoritas  kaum  Muslimin.  Ketika  mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn Taimiyah  dan  Ibn  Abdil  Wahhab  al-Najdi.  Sedangkan  kaum  Muslimin  yang bertawassul,  mengikuti  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wasallam,  para  sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti  pendapat  Nashiruddin  al-Albani,  seorang  tukang  jam  yang  beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak  di  perpustakaan.  Sedangkan  kaum  Muslimin  yang  tarawih  23  raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid  Ridha,  Muhammad  Abduh  dan  Ibn  Abdil  Wahhab.  Sedangkan  kaum Muslimin  yang  bermadzhab,  mengikuti  ulama  salaf  dan seluruh  ahli  hadits.
Demikian  pula  ketika  mereka  menyuarakan  anti  bid’ah hasanah,  maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab alNajdi.  Sedangkan  kaum  Muslimin  yang  berpendapat  adanya  bid’ah  hasanah, mengikuti  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wasallam,  Khulafaur  Rasyidin,  para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits.
Syaikh  Muhammad  Rasyid  Ridha,  termasuk  orang  pertama  yang  sangat kencang  menyuarakan  anti  madzhab,  dengan  menulis  karyanya  al-Wahdat  alIslamiyyah  fi  al-Madzahib  al-Fiqhiyyah.  Akan  tetapi,  secara  terus  terang,  ia mengikuti  pemikiran  Syaikh  Muhammad  Abduh  al-Gharabili.  Kedua  nama  ini, Rasyid  Ridha  dan  Muhammad  Abduh,  serta  Syaikh  Muhammad  bin  Abdul Wahhab  al-Najdi,  pendiri  aliran  Wahhabi,  sebenarnya yang  menjadi  imam madzhab  beberapa  aliran  dan  kelompok  keagamaan  yang anti  madzhab  di Indonesia.
Ada  dialog  menarik  untuk  dikutip  di  sini,  berkaitan dengan  bermadzhab.  Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid  Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam  mukaddimah  kitab  al-’Uqud  al-Lu’luiyyah  fi  al-Madaih  al-Nabawiyyah, Syaikh  Yusuf  bin  Ismail  al-Nabhani  berkata:  “Ketika saya  berkumpul  dengan Syaikh  Rasyid  Ridha,  saya  berdialog  dengannya  tentang  pribadi  Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata:
“Kalian  menjadikan  Syaikh  Muhammad  Abduh  sebagai  panutan  dalam  agama kalian,  dan  kalian  mengajak  manusia  untuk  mengikuti kalian.  Ini  jelas  tidak benar.  Syaikh  Muhammad  Abduh  itu  bukan  orang  yang  konsisten  memelihara kewajiban-kewajiban  agama.  Ia  tidak  sah  menjadi  panutan  dalam  agama.
Sebagaimana  dimaklumi  dan  diakui  oleh  semua  orang,  Abduh  seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari  pagi  hari  sampai  menjelang  maghrib,  di  rumah  seorang  laki-laki  yang mengundang  kami  di  Jabal  Lebanon.  Abduh  tidak  shalat  zhuhur  dan  ashar, tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia tidak melakukannya.”
Mendengar  pernyataan  saya,  Syaikh  Rasyid  Ridha  mengakui  bahwa  Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha  masih  membelanya  dengan  memberikan  jawaban:  “Barangkali  madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karenajama’ shalat itu hanya dibolehkan  dalam  bepergian,  ketika  turun  hujan  dan  sedang  sakit  menurut sebagian  imam  mujtahid,  antara  zhuhur  dan  ashar,  serta  antara  maghrib  dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pulaSyaikh Muhammad Abduh tidak  pernah  menunaikan  ibadah  haji  ke  baitullah  di tanah  suci,  padahal  ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan  finansial,  ia  seringkali  pergi  ke  Paris,  London dan  negara-negara  Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal  negaranya  dekat  dengan  Makkah.  Jadi  tidak  diragukan  lagi,  bahwa  ia telah  memikul  dosa  yang  sangat  besar  dan  meninggalkan  salah  satu  rukun Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh  Muhammad  Abduh  dan  gurunya,  Syaikh  Jamaluddin  al-Afghani,  masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama  Islam.  Bahkan  organisasi  ini  menolak  semua  agama,  anti  semua pemerintahan,  baik  keagamaan  maupun  yang  bukan.  Bagaimana  mungkin Syaikh  Muhammad  Abduh  menjadi  panutan  dalam  agama  Islam,  padahal  ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang  filosof  Islam,  seperti  halnya  Ibn  Sina  dan  al-Farabi,  tentu  kami  dapat menerima,  meskipun  kenyataannya  tidak  demikian.  Karena  hal  itu  tidak berdampak  negatif  pada  kami  dan  agama  kami.  Adapun  ketika  ia  termasuk orang  yang  paling  fasiq  sebab  meninggalkan  rukun-rukun  Islam,  lalu  kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima olehorang yang berakal.”
Mendengar  pernyataan  saya,  Syaikh  Rasyid  Ridha  berkata:  “Kami  tidak menganggap  Syaikh  Muhammad  Abduh  seperti  Ibn  Sina.  Akan  tetapi  kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad  Abduh  itu  meninggalkan  shalat  dan  haji  serta  menjadi  anggota Masoni.  Tetapi,  ia  masih  menyamakannya  dengan  al-Imam  al-Ghazali.
Sebenarnya,  setiap  orang  dari  kelompok  Wahhabi  atau anti  madzhab  ini, meyakini  bahwa  dirinya  lebih  hebat  dari  pada  al-Imam  al-Ghazali.  Karena kelompok  mereka,  baik  yang  besar  maupun  yang  kecil, semuanya  mengklaim sebagai  mujtahid  muthlaq.  Sedangkan  al-Ghazali  sendiri  tidak  mengklaim sebagai  mujtahid  muthlaq,  sebagaimana  beliau  jelaskan  dalam  Ihya’  ‘Ulum  alDin.
Orang-orang  Wahhabi  atau  anti  madzhab  itu,  masing-masing  menganggap dirinya  selevel  imam  madzhab  yang  empat  radhiyallahu  anhum.  Perasaan  ini begitu  menancap  dalam  benak  mereka.  Nasehat  tidak  akan  mempan  bagi mereka.  Mereka  selalu  berusaha  agar  orang  lain  mengikuti  mereka,  menjadi mujtahid  muthlaq.  Demikian  komentar  Syaikh  Yusuf  bin  Ismail  al-Nabhani dengan disederhanakan. 


Sumber  :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"
2014@abdkadiralhamid
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sunni Vs Wahabi : CERDAS BERMADZAB "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip