CERDAS BERMADZAB
Selektif dalam Bermadzhab
Mayoritas kaum
Muslimin mengikuti pola
bermadzhab dalam menjalankan kehidupan beragama
sehari-hari. Di Indonesia,
kaum Muslimin mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi’i dalam
bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah dan madzhab
Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu al-Hasan al-Syadzili dalam
bidang tashawuf. Demikian
seperti dijelaskan oleh
Hadlratusysyaikh KH. Hasyim
Asy’ari dalam Risalah
Ahl al-Sunnah wa
alJama’ah.
Namun demikian
pola bermadzhab ini
tidak jarang disalahpahami
oleh mereka yang anti madzhab. Menurut mereka,
ketika seseorang itu mengikuti
madzhab suatu imam, maka
ia harus mengikutinya
100 % dari A
sampai Z. Tentu
saja langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada dalamlogika
beragama.Dalam sebuah dialog
terbuka di Masjid al-Mujahidin, Denpasar, seorang
Wahhabi mengatakan kepada
kami, “Kalau Anda memang
mengikuti madzhab al-Imam
al-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan selama 7
hari kematian. Karena
al-Imam al-Syafi’i sendiri
berpendapat bahwa pahala bacaan
al-Qur’an tidak akan
sampai kepada mayit.”
Demikian gugatan orang Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti
pola bermadzhab dengan mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya
mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti madzhab al-Syafi’i, tidak berarti kita
menyembah al-Imam al-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau
100 % mulai dari A sampai Z.
Para ulama
kita, yang menuntun
kita mengikuti madzhab
al-Imam al-Syafi’i mengajarkan
agar kita bermadzhab secara selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan
dengan madzhab secara manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.Al-Imam Abu Yusuf
dan Muhammad bin al-Hasan, murid terbaik
dan penyebar madzhab al-Imam Abu
Hanifah, menyelisihi gurunya
(Abu Hanifah) dalam
2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai pengikut dan
penyebar madzhab Hanafi. Para ulama pengikut madzhab Maliki,dalam banyak
masalah menyelisihi pendapat Imam
Malik bin Anas,
sang pendiri madzhab
sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.
Dalam madzhab
al-Syafi’i sendiri, para
ulama sepakat bahwa
ketika terjadi perbedaan pendapat
antara qaul qadim (pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih
tinggal di Iraq, dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad
beliau setelah tinggal
di Mesir di
akhir hayatnya, harus
mengikuti qaul jadid sesuai
dengan pesan al-Imam
al-Syafi’i sendiri. Akan
tetapi sekitar dalam
12 masalah para ulama
kita mengharuskan mengikuti
qaul qadim, karena setelah dikaji dan diteliti, qaul qadim itu
lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut.
Hal ini bukan
berarti kita keluar dari madzhab al-Imam al-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab
beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan
pengiriman hadiah pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat
populer dari al-Imam al-Syafi’i, bahwa beliau berpendapat, hadiah pahala
bacaan al-Qur’an tidak
sampai kepada mayit.
Namun sebagian besar pengikut
madzhabnya, berpendapat bahwa
hadiah pahala bacaan alQur’an
sampai kepada mayit.
Pendapat ini sesuai
dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh
karena itu, siapapun tidak bisa menggugat pengikut madzhab
al-Syafi’i yang melakukan
tradisi pengiriman hadiah
pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit, selamamereka
mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu diketahui
bahwa al-Imam al-Syafi’i
hanya berpendapat bahwa
hadiah pahala bacaan al-Qur’an
saja yang tidak
sampai kepada mayit.
Sedangkan hadiah pahala selainnya,
seperti selamatan (sedekah),
shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat,
haji dan lainnya,
al-Imam al-Syafi’i berpendapat
sampai. Oleh karena itu,
hadiah pahala selamatan
selama tujuh hari,
menurut al-Syafi’i pahalanya bisa
sampai kepada mayit.
Kitab al-Ibanah Karya al-Asy’ari
Gugatan serupa
juga saya terima dalam sebuah diskusi di Surabaya. Seorang tokoh Salafi
dari Malang berkata:
“Anda mengikuti madzhab
al-Asy’ari, tetapi mengapa Anda
tidak mengikuti pendapat al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab alIbanah ‘an
Ushul al-Diyanah?”
Pada waktu
itu saya jawab:
“Bahwa kitab al-Ibanah
yang ada sekarang
tidak memiliki sanad yang
shahih kepada al-Imam
al-Asy’ari. Bahkan dari
beberapa edisi kitab al-Ibanah
yang ada, misalnya
al-Ibanah yang diterbitkan
oleh kaum Wahhabi di Saudi
Arabia, edisi yang diterbitkan Dr.Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang
dikutip oleh al-Hafizh Ibn ‘Asakir al-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari,
terjadi perbedaan yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah yang Anda
jadikan dasar gugatan
kepada kami para
pengikut madzhabnya, adalah kitab
al-Ibanah edisi terbitan kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu
hampir mirip Bibel, semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama, pasti
terjadi perbedaan.
Dan seandainya,
kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanad-nya kepada al-Imam
al-Asy’ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban mengikutinya.
Bukankah para ulama Asya’irah telah memilih pendapat lain yang berbeda dengan
al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai dengan logika
yang berlaku dalam
ilmu hadits. Menurut
al-Hafizh al-Dzahabi dalam Siyar
A’lam al-Nubala’ (juz 16, hal. 405), jika terdapat suatu hadits, sanadnya
shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya,
maka kita tidak
boleh mengamalkan hadits
tersebut. Jadi, hadits
shahih saja, posisinya harus
tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad
mereka. Apalagi hasil ijtihad seorang ulama seperti al-Imam
al-Asy’ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak memakai, kita juga tidak
memakai.”
Al-Imam al-Hafizh
Ibn Rajab al-Hanbali berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm al-Salaf ‘ala
‘Ilm al-Khalaf (hal. 57):
“Adapun para imam
dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits shahih di mana pun
berada, apabila hadits
tersebut diamalkan oleh
para sahabat dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompokmereka.
Adapun hadits shahih yang disepakati
ditinggalkan oleh kaum
salaf, maka tidak
boleh diamalkan. Karena mereka
tidak meninggalkan hadits
tersebut, melainkan setelah
mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin Abdul Aziz
berkata: “Ikutilah pendapat
yang sesuai dengan
pendapat orangorang sebelum
kalian, karena mereka lebih tahu daripada kalian.”
Meninggalkan Hadits Shahih
Setelah saya
menyampaikan pernyataan di
atas, bahwa hadits yang
shahih sekalipun, ketika tidak
seorang pun dari
kalangan ulama mujtahid mengamalkannya, maka
kita tidak boleh
mengamalkan. Ada salah
seorang Salafi bertanya, “Mengapa kita harus memilih pendapat seluruh
ulama yang tidak mengamalkan hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”.
Syaikh Ibn
Taimiyah, menulis sebuah
kitab berjudul Raf’u
al-Malam ‘an alAimmah
al-A’lam. Dalam kitab
tersebut Ibn Taimiyah
mengemukakan sepuluh alasan, mengapa
seorang mujtahid terkadang
menolak mengamalkan suatu hadits dan memilih berijtihad sendiri.
Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah memaparkan sepuluh alasan tersebut,
Syaikh Ibn Taimiyah berkata begini:
“Dalam sekian
banyak hadits yang
ditinggalkan, boleh jadi
seorang ulama meninggalkan suatu
hadits karena ia
memiliki hujjah (alasan) yang
kita tidak mengetahui hujjah itu,
karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua
ilmu yang ada dalam hati para ulama. Seorang ulama terkadang menyampaikan
alasannya, dan terkadang
pula tidak menyampaikannya. Ketika
ia menyampaikan alasannya,
terkadang sampai kepada kita, dan
terkadang tidak sampai. Dan ketikaalasan itu sampai kepada kita, terkadang kita
tidak dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’ ihtijajihi), dan
terkadang dapat menangkapnya.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Raf’u alMalam ‘an
al-Aimmah al-A’lam, hal. 35).
Hadits Shahih Pasti Madzhabku
Dalam sebuah
diskusi di Denpasar, ketika membicarakan pendapat al-Imam alSyafi’i tentang
bid’ah, di mana beliau membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah, Ustadz
Husni Abadi, seorang
tokoh Wahhabi menggugat kepada kami:
“Kita harus mengikuti haditsshahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam
al-Syafi’i sendiri berkata,
“Idza shahha al-hadits
fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah
madzhabku)”.
Maksud pernyataan
Ustadz Husni tersebut,
hadits shahih menyatakan
bahwa bid’ah itu tidak
terbagi menjadi dua.
Sementara pendapat al-Syafi’i
yang membagi bid’ah menjadi dua bertentangan dengan hadits shahih
tersebut. Oleh karena itu, sesuai
dengan pesan al-Syafi’i
sendiri yang mengatakan,
“apabila suatu hadits itu
shahih, maka hadits
itulah madzhabku”, Husni
mengajak kami meninggalkan pembagian
bid’ah menjadi dua
dan mengikuti pendapat
yang mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi.
Tentu saja
asumsi Ustadz Husni
tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak
ada korelasi antara pernyataan
al-Imam al-Syafi’i di
atas dengan pendapat
beliau yang membagi bid’ah menjadi dua.
Para ulama
menjelaskan, bahwa maksud
perkataan al-Imam al-Syafi’i,
“Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih,
maka hadits itulah madzhabku)”, adalah
bahwa apabila ada
suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam
al-Syafi’i, sedangkan al-Syafi’i tidak
tahu terhadap hadits tersebut, maka
dapat diasumsikan, bahwa
kita harus mengikuti hadits tersebut, dan
meninggalkan hasil ijtihad
al-Imam al-Syafi’i. Akan
tetapi apabila hadits tersebut
telah diketahui oleh
al-Imam al-Syafi’i, sementara
hasil ijtihad beliau berbeda
dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan
madzhab beliau. Hal
ini seperti ditegaskan
oleh al-Imam alNawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab 1/64.
Oleh karena
demikian, para ulama menyalahkan al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jarud, seorang ulama
ahli hadits bermadzhab al-Syafi’i, dimana setiap ia menemukan hadits shahih
bertentangan dengan hasil
ijtihad al-Imam al-Syafi’i,
Ibn al-Jarud langsung mengklaim
bahwa hadits tersebut
sebenarnya madzhab al-Syafi’i,
berdasarkan pesan al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut
telah diketahui atau belum oleh al-Imam al-Syafi’i. Al-Imam al-Hafizh Ibn
Khuzaimah al-Naisaburi, seorang ulama
salaf yang menyandang
gelar Imam al-Aimmah (penghulu para
imam) dan penyusun
kitab Shahih Ibn
Khuzaimah, ketika ditanya, apakah
ada hadits yang
belum diketahui oleh
al-Syafi’i dalam ijtihad beliau? Ibn Khuzaimah menjawab,
“Tidak ada”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam
kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa alNihayah (juz 10, hal. 253).
Dialog Syaikh al-Nabhani dengan Rasyid Ridha
Terkadang
kelompok yang anti madzhab menggugat kitadengan pendapat sang pendiri madzhab
atau para ulama dalam madzhab yang kita
ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten
dari kita dalam
bermadzhab. Kaum Wahhabi
ketika menggugat kita agar
meninggalkan tahlilan dan
selamatan tujuh hari
selalu beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan
bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau
pendapat kitab I’anah al-Thalibin yang
melarang acara selamatan
tahlilan selama tujuh
hari. Padahal selain al-Imam al-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang
menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena
bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan
terkadang mereka menggugat
kita dengan pendapat
imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan
anti madzhab.
Pada dasarnya
kelompok anti madzhab
itu bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda
dengan madzhab mayoritas
kaum Muslimin. Ketika
mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti
pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn
Abdil Wahhab al-Najdi.
Sedangkan kaum Muslimin
yang bertawassul, mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam,
para sahabat, seluruh ulama salaf
dan ahli hadits.
Ketika mereka
menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat
Nashiruddin al-Albani, seorang
tukang jam yang
beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan
belajar secara otodidak di perpustakaan.
Sedangkan kaum Muslimin
yang tarawih 23
raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf
yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka
menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha,
Muhammad Abduh dan
Ibn Abdil Wahhab.
Sedangkan kaum Muslimin yang
bermadzhab, mengikuti ulama
salaf dan seluruh ahli
hadits.
Demikian pula
ketika mereka menyuarakan
anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab
Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab alNajdi.
Sedangkan kaum Muslimin
yang berpendapat adanya
bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam,
Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits.
Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha, termasuk
orang pertama yang
sangat kencang menyuarakan anti
madzhab, dengan menulis
karyanya al-Wahdat alIslamiyyah
fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah.
Akan tetapi, secara
terus terang, ia mengikuti
pemikiran Syaikh Muhammad
Abduh al-Gharabili. Kedua
nama ini, Rasyid Ridha
dan Muhammad Abduh,
serta Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab al-Najdi,
pendiri aliran Wahhabi,
sebenarnya yang menjadi imam madzhab
beberapa aliran dan
kelompok keagamaan yang anti
madzhab di Indonesia.
Ada dialog
menarik untuk dikutip
di sini, berkaitan dengan bermadzhab.
Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i,
seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan
anti madzhab.
Dalam mukaddimah
kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah
fi al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf
bin Ismail al-Nabhani
berkata: “Ketika saya berkumpul
dengan Syaikh Rasyid Ridha,
saya berdialog dengannya
tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata:
“Kalian menjadikan
Syaikh Muhammad Abduh
sebagai panutan dalam
agama kalian, dan kalian
mengajak manusia untuk
mengikuti kalian. Ini jelas
tidak benar. Syaikh Muhammad
Abduh itu bukan
orang yang konsisten
memelihara kewajiban-kewajiban
agama. Ia tidak
sah menjadi panutan
dalam agama.
Sebagaimana dimaklumi
dan diakui oleh
semua orang, Abduh
seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri
pernah menemaninya dari pagi hari
sampai menjelang maghrib,
di rumah seorang
laki-laki yang mengundang kami
di Jabal Lebanon.
Abduh tidak shalat
zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat
sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia tidak
melakukannya.”
Mendengar pernyataan
saya, Syaikh Rasyid
Ridha mengakui bahwa
Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan
tetapi Rasyid Ridha masih membelanya
dengan memberikan jawaban:
“Barangkali madzhab beliau
membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”
Saya merasa heran
dengan jawaban Rasyid ini. Karenajama’ shalat itu hanya dibolehkan dalam
bepergian, ketika turun
hujan dan sedang
sakit menurut sebagian imam
mujtahid, antara zhuhur
dan ashar, serta
antara maghrib dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari
Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama
berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh
karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata
kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pulaSyaikh Muhammad Abduh tidak pernah
menunaikan ibadah haji
ke baitullah di tanah
suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang
ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia
seringkali pergi ke
Paris, London dan negara-negara
Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan
ibadah haji, padahal negaranya dekat
dengan Makkah. Jadi
tidak diragukan lagi,
bahwa ia telah memikul
dosa yang sangat
besar dan meninggalkan
salah satu rukun Islam”.
Lalu saya berkata
kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad
Abduh dan gurunya,
Syaikh Jamaluddin al-Afghani,
masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama
sekali dengan agama Islam. Bahkan
organisasi ini menolak
semua agama, anti
semua pemerintahan, baik keagamaan
maupun yang bukan.
Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad
Abduh menjadi panutan
dalam agama Islam,
padahal ia seorang Masoni.
Demikian pula gurunya.”
Mendengar
pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi
Masoni.”
Saya berkata:
“Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof
Islam, seperti halnya
Ibn Sina dan
al-Farabi, tentu kami
dapat menerima, meskipun kenyataannya
tidak demikian. Karena
hal itu tidak berdampak negatif
pada kami dan
agama kami. Adapun
ketika ia termasuk orang yang
paling fasiq sebab
meninggalkan rukun-rukun Islam,
lalu kalian berpendapat bahwa ia
seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran
yang tidak akan diterima olehorang yang berakal.”
Mendengar pernyataan
saya, Syaikh Rasyid
Ridha berkata: “Kami
tidak menganggap Syaikh Muhammad
Abduh seperti Ibn
Sina. Akan tetapi
kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini
memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh
itu meninggalkan shalat
dan haji serta
menjadi anggota Masoni. Tetapi,
ia masih menyamakannya
dengan al-Imam al-Ghazali.
Sebenarnya, setiap
orang dari kelompok
Wahhabi atau anti madzhab
ini, meyakini bahwa dirinya
lebih hebat dari
pada al-Imam al-Ghazali.
Karena kelompok mereka, baik
yang besar maupun
yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid
muthlaq. Sedangkan al-Ghazali
sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid
muthlaq, sebagaimana beliau
jelaskan dalam Ihya’
‘Ulum alDin.
Orang-orang Wahhabi
atau anti madzhab
itu, masing-masing menganggap dirinya selevel
imam madzhab yang
empat radhiyallahu anhum.
Perasaan ini begitu menancap
dalam benak mereka.
Nasehat tidak akan
mempan bagi mereka. Mereka
selalu berusaha agar
orang lain mengikuti
mereka, menjadi mujtahid muthlaq.
Demikian komentar Syaikh
Yusuf bin Ismail
al-Nabhani dengan disederhanakan.
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"
2014@abdkadiralhamid
0 Response to "Sunni Vs Wahabi : CERDAS BERMADZAB "
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip