//

Sunni Vs Wahabi : Allah Ada tanpa Tempat ?



Allah Ada tanpa Tempat

 

Keyakinan  yang  paling  mendasar  setiap  Muslim  adalah meyakini  bahwa  Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  Maha  Suci  dari  menyerupai makhluk-Nya.  Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa ta‘ala  ada  tanpa  tempat.  Demikian  keyakinan  yang  paling  mendasar  setiap Muslim  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah.  Dalam  ilmu  akidah  atau  teologi,  keyakinan semacam  ini  dibahasakan,  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  memiliki  sifat Mukhalafatuhu  lil-Hawaditsi,  yaitu  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  wajib  tidak menyerupai makhluk-Nya.

Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu  wa  ta‘ala  ada  tanpa  tempat,  dengan  seorang  Wahhabi  yang berkeyakinan  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  bertempat.   

Wahhabi  berkata:
“Kamu  ada  pada  suatu  tempat.  Aku  ada  pada  suatu  tempat.  Berarti  setiap sesuatu  yang  ada,  pasti  ada  tempatnya.  Kalau  kamu  berkata,  Allah  ada  tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.”   

Sunni menjawab; 
“Sekarang saya  akan  bertanya  kepada  Anda:  “Bukankah  Allah  telah  ada  tanpa  tempat sebelum  diciptakannya  tempat?”  Wahhabi  menjawab:  “Betul,  Allah  ada  tanpa tempat  sebelum  terciptanya  tempat.”  Sunni  berkata:  “Kalau  memang  wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”

Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?” 
Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung dua  kemungkinan.  Pertama,  Anda  mengatakan  bahwa  tempat  itu  bersifat  azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk  makhluk  Allah.  Demikian  ini  berarti  Anda  mendustakan  firman  Allah subhanahu wa ta‘ala:

 “Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).

Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:

“Dialah  (Allah)  Yang  Maha  Awal  (wujudnya  tanpa  permulaan)  dan  Yang  Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid : 3).


Demikianlah  dialog  seorang  Muslim  Sunni  dengan  orang  Wahhabi.  Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu wa  ta‘ala  ada  dengan  tempat  dapat  menjerumuskan  seseorang  keluar  dari keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.Tidak  jarang,  kaum  Wahhabi  menggunakan  ayat-ayat  al-Qur’an  untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahuwa ta‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama.


Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra

Al-Hafizh  Ahmad  bin  Muhammad  bin  al-Shiddiq  al-Ghumari  al-Hasani  adalah ulama  ahli  hadits  yang  terakhir  menyandang  gelar  al-hafizh  (gelar  kesarjanaan tertinggi  dalam  bidang  ilmu  hadits).  Ia  memiliki  kisah  perdebatan  yang  sangat menarik  dengan  kaum  Wahhabi.  Dalam  kitabnya,  Ju’nat al-’Aththar,  sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini. 


“Pada  tahun  1356  H  ketika  saya  menunaikan  ibadah  haji,  saya  berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang  juga  ulama  Wahhabi  dari  Najd.  Dalam  pembicaraan  itu,  mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan  anti  taklid.  Tanpa  terasa,  pembicaraan  pun  masuk  pada  soal  penetapan ketinggian  tempat  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  dan  bahwa  Allah  subhanahu  wa ta‘ala  itu  ada  di  atas  ‘Arasy  sesuai  dengan  ideologi  Wahhabi.  Mereka menyebutkan  beberapa  ayat  al-Qur’an  yang  secara  literal  (zhahir)  mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ituada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka. Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat  yang  Anda  sebutkan  tadi  termasuk  bagian  dari  al-Qur’an?”  Wahhabi menjawab:  “Ya.”  Saya  berkata:  “Apakah  meyakini  apa  yang  menjadi  maksud ayat-ayat  tersebut  dihukumi  wajib?”  Wahhabi  menjawab:  “Ya.”  Saya  berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
 “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” 
(QS. al-Hadid : 4).
Apakah ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk alQur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
 “Tiada  pembicaraan  rahasia  antara  tiga  orang,  melainkan  Dia-lah keempatnya….”
(QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.” Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya
sebutkan  yang  menunjukkan  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  tidak  ada  di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid  kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu  jawaban mereka, bahwa ayat-ayat  yang  saya  sebutkan  tadi  harus  dita’wil,  sementara  ayat-ayat  yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka,  siapa  yang  mewajibkan  menta’wil  ayat-ayat  yang  saya  sebutkan  dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya  mereka  mengklaim  adanya  ijma’  ulama  yang  mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada  mereka  informasi  beberapa  ulama  seperti  al-Hafizh  Ibn  Hajar  tentang ijma’  ulama  salaf  untuk  tidak  menta’wil  semua  ayat-ayat  sifat  dalam  al-Qur’an, bahkan  yang  wajib  harus  mengikuti  pendekatan  tafwidh  (menyerahkan
pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam alHafizh  Ahmad  bin  al-Shiddiq  al-Ghumari  dengan  tiga  ulama  terhebat  kaum Wahhabi.


Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar

Pada  tahun  2009,  saya  pernah  terlibat  perdebatan  sengit  dengan  seorang Ustadz  Salafi  berinisial  AH  di  Surabaya.  Beberapa  bulan  berikutnya  saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi  lain  orang.  Dalam  perdebatan  tersebut  saya  bertanya  kepada  AH:

“Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”

Menanggapi  pertanyaan  saya,  AH  menyebutkan  ayat-ayat  al-Qur’an  yang menurut  asumsinya  menunjukkan  bahwa  Allah  subhanahu wa  ta‘ala  ada  di langit.  Lalu  saya  berkata:  “Ayat-ayat  yang  Anda  sebutkan  tidak  secara  tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang  menunjukkan  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  tidak  ada  di  langit.
Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja  kamu  berada.”  (QS.  al-Hadid  :  4).  Ayat  ini  menegaskan  bahwa  Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan adadi langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
 “Dan  Ibrahim  berkata,  “Sesungguhnya  aku  pergi  menuju  Tuhanku  (Palestina),
yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal  ayat  ini  menunjukkan  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  bukan  ada  di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab  akan  tetapi  mengajukan  dalil  lain  dan  berkata:  “Keyakinan  bahwa Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  ada  di  langit  telah  dijelaskan  oleh  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
 “Rasulullah  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  bertanya  kepada  seorang  budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?”Lalu budak itu menjawab:
“Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini.Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”

Setelah  AH  berkata  demikian,  saya  menjawab  begini:  “Ada  tiga  tinjauan berkaitan  dengan  hadits  yang  Anda  sebutkan. 

Pertama,  dari  aspek  kritisisme ilmu  hadits  (naqd  al-hadits).  Hadits  yang  Anda  sebutkan  menurut  para  ulama tergolong  hadits  mudhtharib  (hadits  yang  simpang  siur periwayatannya), sehingga  kedudukannya  menjadi  lemah  dan  tidak  dapat dijadikan  hujjah.
Kesimpangsiuran  periwayatan  hadits  tersebut,  dapat  dilihat  dari  perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wilterhadap hadits tersebut dengan  mengatakan,  bahwa  yang  ditanyakan  oleh  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa sallam  sebenarnya  adalah  bukan  tempat,  tetapi  kedudukan  atau  derajat  Allah subhanahu  wa  ta‘ala.  Lalu  orang  tersebut  menjawab  kedudukan  Allah subhanahu  wa  ta‘ala  ada  di  langit,  maksudnya  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.

Ketiga,  apabila  Anda  berargumen  dengan  hadits  tersebut  tentang  keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
 “Anas  bin  Malik  radhiyallahu  ‘anhu  berkata,  “Bahwa  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa sallam  melihat  dahak  di  arah  kiblat,  lalu  beliau  menggosoknya  dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya  apabila  salah  seorang  kalian  berdiri  dalam  shalat,  maka  ia sesungguhnya  berbincang-bincang  dengan  Tuhannya,  atau  Tuhannya  ada  di antara  dirinya  dan  kiblatnya.  Oleh  karena  itu,  janganlah  ia  meludah  ke  arah kiblatnya,  akan  tetapi  meludahlah  ke  arah  kiri  atau di  bawah  telapak  kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).

Hadits  ini  menegaskan  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  ada  di  depan  orang yang  sedang  shalat,  bukan  ada  di  langit.  Hadits  ini jelas  lebih  kuat  dari  hadits riwayat  Muslim,  karena  hadits  ini  riwayat  al-Bukhari.  Setelah  saya  menjawab demikian,  AH  juga  tidak  mampu  menanggapi  jawaban  saya.  Sepertinya  dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain
dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah  ayat  al-Qur’an.  Kemudian  setelah  argumen  Anda  kami  patahkan,  Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang  berdalil  dengan  ijma’.  Padahal  ijma’  ulama salaf  sejak  generasi
sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
 “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa  Allah  tidak  bertempat  dan  tidak  dilalui  oleh  waktu.”  (al-Farq  bayna  alFiraq, 256).

Al-Imam  Abu  Ja’far  al-Thahawi  juga  berkata  dalam  al-’Aqidah  al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
 “Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arahyang enam.”
Setelah  saya  menjawab  demikian  kepada  AH,  saya  bertanya  kepada  AH:
“Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh,dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkantawa para hadirin dari semua  kalangan  pada  waktu  itu.  Kebetulan  pada  acara tersebut,  mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.

Demikianlah,  cara  dialog  orang-orang  Wahhabi.  Ketika  mereka  tidak  dapat menjawab  pertanyaan,  mereka  tidak  akan  menjawab,  aku  tidak  tahu, sebagaimana  tradisi  ulama  salaf  dulu.  Akan  tetapi  mereka  akan  menjawab,
“Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah  ditanyakan  oleh  para  sahabat  kepada  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam, dan  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  tidak  berkata  kepada  mereka,  bahwa pertanyaan  tersebut  bid’ah  atau  tidak  boleh.  Al-Imam  al-Bukhari  meriwayatkan dalam Shahih-nya:
 “Imran  bin  Hushain  radhiyallahu  ‘anhu  berkata:  “Aku berada  bersama  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan  berkata:  “Kami  datang  untuk  belajar  agama  dan  menanyakan  tentang permulaan  yang  ada  ini,  bagaimana  sesungguhnya?”  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi  wa  sallam  menjawab:  “Allah  telah  ada  dan  tidak  ada  sesuatu  apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
 “Abi  Razin  radhiyallahu  ‘anhu  berkata:  “Aku  berkata,  wahai  Rasulullah,  di manakah  Tuhan  kita  sebelum  menciptakan  makhluk-Nya?”  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada  tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu  Allah  menciptakan  Arasy  di  atas  air.”  Ahmad  bin  Mani’  berkata,  bahwa Yazid  bin  Harun  berkata,  maksud  hadits  tersebut,  Allah  ada  tanpa  sesuatu apapun  yang  menyertai  (termasuk  tempat).  Al-Tirmidzi  berkata:  “hadits  ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Dalam  setiap  dialog  yang  terjadi  antara  Muslim  Sunni  dengan  kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka denganmudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam,  pasti  kaum  Sunni  dengan  mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen  dengan  dalil  rasional,  pasti  Wahhabi  tidak  dapat  membantah  dan menjawabnya.  Keyakinan  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  ada  tanpa  tempat adalah  keyakinan  kaum  Muslimin  sejak  generasi  salaf,  kalangan  sahabat  dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
 “Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang,  sama  seperti  sebelum  adanya  tempat  (maksudnya  Allah  tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
 


Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra


Ketika  orang-orang  Wahhabi  memasuki  Hijaz  dan  membantai  kaum  Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.

Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab alSyafi’i,  sebagaimana  layaknya  menyembelih  kambing.  Padahal  usia  beliau sudah  di  atas  90  tahun.  Mertua  Syaikh  al-Zawawi  yang  juga  sudah  memasuki usia senja juga mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat  tentang  tauhid,  Asma  Allah  subhanahu  wa  ta‘ala  dan  sifat-sifat-Nya. Ulama  yang  setuju  dengan  pendapat  mereka  akan  dibebaskan.  Sedangkan ulama  yang  membantah  pendapat  mereka  akan  dibunuh  atau  dideportasi  dari Hijaz.

Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah alSyanqithi,  salah  seorang  ulama  kharismatik  yang  dikenal  hafal  Sirah  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihakWahhabi yang mendebatnya, di  antaranya  seorang  ulama  mereka  yang  buta  mata  dan  buta  hati.  Kebetulan perdebatan  berkisar  tentang  teks-teks  al-Qur’an  dan hadits  yang  berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut  harus  diartikan  secara  literal  dan  tekstual,  dan  tidak  boleh  diartikan secara kontekstual dan majazi.

Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh  lagi,  ia  menafikan  majaz  dalam  bahasa  Arab,  karena  taklid  buta  kepada pendapat  Ibn  Taimiyah  dan  Ibn  al-Qayyim.  Lalu  Syaikh  Abdullah  al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:
“Apabila  Anda  berpendapat  bahwa  majaz  itu  tidak  ada dalam  al-Qur’an,  maka
sesungguhnya Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an:
 “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya diakhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).

Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna  netra  di  dunia,  maka  di  akhirat  nanti  akan  menjadi  lebih  buta  dan  lebih tersesat,  sesuai  dengan  pendapat  Anda  bahwa  dalam  al-Qur’an  tidak  ada majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun  tidak  mampu  menjawab.  Ia  hanya  berteriak  dan  memerintahkan  anak buahnya agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz.  Akhirnya  ia  pun  dideportasi  ke  Mesir.  Kisah  ini  dituturkan  oleh  al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
 


Sumber  :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhab"

2014@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sunni Vs Wahabi : Allah Ada tanpa Tempat ?"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip