Allah Ada tanpa Tempat
Keyakinan yang
paling mendasar setiap
Muslim adalah meyakini bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan.
Allah subhanahu wa
ta‘ala Maha Suci
dari menyerupai makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari
tempat dan arah. Allah subhanahu wa ta‘ala
ada tanpa tempat.
Demikian keyakinan yang
paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah
Wal-Jama’ah. Dalam ilmu
akidah atau teologi,
keyakinan semacam ini dibahasakan,
bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala memiliki
sifat Mukhalafatuhu
lil-Hawaditsi, yaitu Allah
subhanahu wa ta‘ala
wajib tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ada sebuah dialog
yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wa
ta‘ala ada tanpa
tempat, dengan seorang
Wahhabi yang berkeyakinan bahwa
Allah subhanahu wa
ta‘ala bertempat.
Wahhabi
berkata:
“Kamu ada
pada suatu tempat.
Aku ada pada
suatu tempat. Berarti
setiap sesuatu yang ada,
pasti ada tempatnya.
Kalau kamu berkata,
Allah ada tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah
tidak ada.”
Sunni menjawab;
“Sekarang
saya akan bertanya
kepada Anda: “Bukankah
Allah telah ada
tanpa tempat sebelum diciptakannya
tempat?” Wahhabi menjawab:
“Betul, Allah ada
tanpa tempat sebelum
terciptanya tempat.” Sunni
berkata: “Kalau memang
wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional,
berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya
tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya
Allah.”
Wahhabi berkata:
“Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya
tempat?”
Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan.
Pertama, Anda mengatakan
bahwa tempat itu
bersifat azali (tidak ada
permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk
Allah. Demikian ini
berarti Anda mendustakan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).
Kemungkinan
kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi
setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah
subhanahu wa ta‘ala:
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid : 3).
Demikianlah dialog
seorang Muslim Sunni
dengan orang Wahhabi.
Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah
subhanahu wa ta‘ala ada
dengan tempat dapat
menjerumuskan seseorang keluar
dari keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu
wa ta‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.Tidak jarang,
kaum Wahhabi menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa
Allah subhanahuwa ta‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka
dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama.
Ulama Maroko dan
Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafizh Ahmad
bin Muhammad bin
al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani
adalah ulama ahli hadits
yang terakhir menyandang
gelar al-hafizh (gelar
kesarjanaan tertinggi dalam bidang
ilmu hadits). Ia
memiliki kisah perdebatan
yang sangat menarik dengan
kaum Wahhabi. Dalam
kitabnya, Ju’nat
al-’Aththar, sebuah autobiografi yang
melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini.
“Pada tahun
1356 H ketika
saya menunaikan ibadah
haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di
rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang
juga ulama Wahhabi
dari Najd. Dalam
pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli
hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan
anti taklid. Tanpa
terasa, pembicaraan pun
masuk pada soal
penetapan ketinggian tempat Allah
subhanahu wa ta‘ala
dan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala itu
ada di atas
‘Arasy sesuai dengan
ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa
ayat al-Qur’an yang
secara literal (zhahir)
mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ituada di atas
‘Arasy sesuai keyakinan mereka. Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada
mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda
sebutkan tadi termasuk
bagian dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya
berkata: “Apakah meyakini
apa yang menjadi
maksud ayat-ayat tersebut dihukumi
wajib?” Wahhabi menjawab:
“Ya.” Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah
subhanahu wa ta‘ala:
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada.”
(QS. al-Hadid : 4).
Apakah ini
termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk alQur’an.”
Saya berkata:
“Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
“Tiada
pembicaraan rahasia antara
tiga orang, melainkan
Dia-lah keempatnya….”
(QS. al-Mujadilah
: 7).
Apakah ayat ini
termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.” Saya
berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada
di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang
menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit
lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya
sebutkan yang menunjukkan
bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak
ada di langit? Padahal kesemuanya
juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad
mengatakan demikian.”
Saya berkata
kepada mereka: “Mengapa kalian taklid
kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun
terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya
menunggu jawaban mereka, bahwa
ayat-ayat yang saya
sebutkan tadi harus
dita’wil, sementara ayat-ayat
yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak
boleh dita’wil.
Seandainya mereka
menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa
yang mewajibkan menta’wil
ayat-ayat yang saya
sebutkan dan melarang menta’wil
ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka
mengklaim adanya ijma’
ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya
sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka
informasi beberapa ulama
seperti al-Hafizh Ibn
Hajar tentang ijma’ ulama
salaf untuk tidak
menta’wil semua ayat-ayat
sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang
wajib harus mengikuti
pendekatan tafwidh (menyerahkan
pengertiannya
kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam alHafizh Ahmad bin al-Shiddiq
al-Ghumari dengan tiga
ulama terhebat kaum Wahhabi.
Dialog Terbuka di
Surabaya dan Blitar
Pada tahun
2009, saya pernah
terlibat perdebatan sengit
dengan seorang Ustadz Salafi
berinisial AH di
Surabaya. Beberapa bulan
berikutnya saya berdebat lagi
dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain
orang. Dalam perdebatan
tersebut saya bertanya
kepada AH:
“Mengapa Anda
meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan
saya, AH menyebutkan
ayat-ayat al-Qur’an yang menurut
asumsinya menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala
ada di langit. Lalu
saya berkata: “Ayat-ayat
yang Anda sebutkan
tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit.
Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu,
apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat
dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala
tidak ada di
langit.
Misalnya Allah
subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada.” (QS. al-Hadid
: 4). Ayat
ini menegaskan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan adadi langit. Dalam
ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
“Dan
Ibrahim berkata, “Sesungguhnya
aku pergi menuju
Tuhanku (Palestina),
yang akan
memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam ayat ini,
Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi
Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat
ini menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wa
ta‘ala bukan ada di
langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu
menjawab akan tetapi
mengajukan dalil lain
dan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala ada di
langit telah dijelaskan
oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah
ada di mana?”Lalu budak itu menjawab:
“Allah ada di
langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia
menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini.Karena ia seorang budak yang
mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH
berkata demikian, saya
menjawab begini: “Ada
tiga tinjauan berkaitan dengan
hadits yang Anda
sebutkan.
Pertama, dari
aspek kritisisme ilmu hadits
(naqd al-hadits). Hadits
yang Anda sebutkan
menurut para ulama tergolong hadits
mudhtharib (hadits yang
simpang siur periwayatannya),
sehingga kedudukannya menjadi
lemah dan tidak
dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan
hadits tersebut, dapat
dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan
hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi
makna, para ulama melakukan ta’wilterhadap hadits tersebut dengan mengatakan,
bahwa yang ditanyakan
oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebenarnya
adalah bukan tempat,
tetapi kedudukan atau
derajat Allah subhanahu wa
ta‘ala. Lalu orang
tersebut menjawab kedudukan
Allah subhanahu wa ta‘ala
ada di langit,
maksudnya Allah subhanahu
wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila
Anda berargumen dengan
hadits tersebut tentang
keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda
dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari
meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Anas
bin Malik radhiyallahu
‘anhu berkata, “Bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melihat dahak di arah
kiblat, lalu beliau
menggosoknya dengan tangannya,
dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya apabila
salah seorang kalian
berdiri dalam shalat,
maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan
Tuhannya, atau Tuhannya
ada di antara dirinya
dan kiblatnya. Oleh
karena itu, janganlah
ia meludah ke
arah kiblatnya, akan tetapi
meludahlah ke arah
kiri atau di bawah
telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari
[405]).
Hadits ini
menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala
ada di depan
orang yang sedang shalat,
bukan ada di
langit. Hadits ini jelas
lebih kuat dari
hadits riwayat Muslim, karena
hadits ini riwayat
al-Bukhari. Setelah saya
menjawab demikian, AH juga
tidak mampu menanggapi
jawaban saya. Sepertinya
dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil
lain
dengan berkata:
“Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab,
“Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat
al-Qur’an. Kemudian setelah
argumen Anda kami
patahkan, Anda beragumen dengan
hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil
dengan ijma’. Padahal
ijma’ ulama salaf sejak
generasi
sahabat justru
meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur
al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para
sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa
Allah tidak bertempat
dan tidak dilalui
oleh waktu.” (al-Farq
bayna alFiraq, 256).
Al-Imam Abu
Ja’far al-Thahawi juga
berkata dalam al-’Aqidah
al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan
Wahhabi:
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh
arahyang enam.”
Setelah saya
menjawab demikian kepada
AH, saya bertanya
kepada AH:
“Menurut Anda,
tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau
tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH
menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh,dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.”
Demikian jawaban AH, yang menimbulkantawa para hadirin dari semua kalangan
pada waktu itu.
Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan
Salafi, anggota jamaah AH.
Demikianlah, cara
dialog orang-orang Wahhabi.
Ketika mereka tidak
dapat menjawab pertanyaan, mereka
tidak akan menjawab,
aku tidak tahu, sebagaimana tradisi
ulama salaf dulu.
Akan tetapi mereka
akan menjawab,
“Pertanyaanmu
bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan
oleh para sahabat
kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak
berkata kepada mereka,
bahwa pertanyaan tersebut bid’ah
atau tidak boleh.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Imran
bin Hushain radhiyallahu
‘anhu berkata: “Aku berada
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata:
“Kami datang untuk
belajar agama dan
menanyakan tentang permulaan yang
ada ini, bagaimana
sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Allah
telah ada dan
tidak ada sesuatu
apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).
Hadits ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa
ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi
meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
“Abi
Razin radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Aku berkata,
wahai Rasulullah, di manakah
Tuhan kita sebelum
menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu
apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak
ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan
Arasy di atas
air.” Ahmad bin
Mani’ berkata, bahwa Yazid
bin Harun berkata,
maksud hadits tersebut,
Allah ada tanpa
sesuatu apapun yang menyertai
(termasuk tempat). Al-Tirmidzi
berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi,
[3109]).
Dalam setiap
dialog yang terjadi
antara Muslim Sunni
dengan kaum Wahhabi, pasti kaum
Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan
argumen dari ayat al-Qur’an, maka denganmudahnya dipatahkan dengan ayat
al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pasti kaum
Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan
hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan
dalil rasional, pasti
Wahhabi tidak dapat
membantah dan menjawabnya. Keyakinan
bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada
tanpa tempat adalah keyakinan
kaum Muslimin sejak
generasi salaf, kalangan
sahabat dan tabi’in. Sayyidina
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya
tempat. Dan keberadaan Allah sekarang,
sama seperti sebelum
adanya tempat (maksudnya
Allah tidak bertempat).” (al-Farq
bayna al-Firaq, 256).
Syaikh
al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
Ketika orang-orang
Wahhabi memasuki Hijaz
dan membantai kaum
Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah
dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang
Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah
berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.
Mereka
menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi,
guru para ulama madzhab alSyafi’i,
sebagaimana layaknya menyembelih
kambing. Padahal usia
beliau sudah di atas
90 tahun. Mertua
Syaikh al-Zawawi yang
juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih.
Kemudian mereka
memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang
tauhid, Asma Allah
subhanahu wa ta‘ala
dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang
setuju dengan pendapat
mereka akan dibebaskan.
Sedangkan ulama yang membantah
pendapat mereka akan
dibunuh atau dideportasi
dari Hijaz.
Di antara ulama
yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah alSyanqithi, salah
seorang ulama kharismatik
yang dikenal hafal
Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sedangkan dari pihakWahhabi yang mendebatnya, di antaranya
seorang ulama mereka
yang buta mata
dan buta hati.
Kebetulan perdebatan
berkisar tentang teks-teks
al-Qur’an dan hadits yang berkenaan
dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks
tersebut harus diartikan
secara literal dan
tekstual, dan tidak
boleh diartikan secara
kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu
juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi,
ia menafikan majaz
dalam bahasa Arab,
karena taklid buta
kepada pendapat Ibn Taimiyah
dan Ibn al-Qayyim.
Lalu Syaikh Abdullah
al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:
“Apabila Anda
berpendapat bahwa majaz
itu tidak ada dalam
al-Qur’an, maka
sesungguhnya
Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an:
“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini,
niscaya diakhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat
di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra
di dunia, maka
di akhirat nanti
akan menjadi lebih
buta dan lebih tersesat, sesuai
dengan pendapat Anda
bahwa dalam al-Qur’an
tidak ada majaz?”
Mendengar
sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak
mampu menjawab. Ia
hanya berteriak dan
memerintahkan anak buahnya agar
Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra
itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya
ia pun dideportasi
ke Mesir. Kisah
ini dituturkan oleh
al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Sumber :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar
Berdebat Dengan Wahhab"
2014@abdkadiralhamid
0 Response to "Sunni Vs Wahabi : Allah Ada tanpa Tempat ?"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip