//

Sikap Habib Muhammad Rizieq Shihab terhadap Syiah

Sikap Habib Muhammad Rizieq Shihab terhadap Syiah

Pandangan Anda tentang Syiah di Indonesia?


Kalau yang saya lihat selama ini, hubungan saya baik dengan kawan-kawan Syiah di Indonesia. Apa yang saya sampaikan ke Anda sekarang ini juga sudah saya sampaikan kepada mereka. Contohnya kepada Ustad Hassan Daliel, saya katakan, “Bib (habib—red), kenapa kita bisa jalan bareng? Karena saya belum pernah mendengar Anda mencaci-maki sahabat. Nah, ini perlu dijaga. Yang saya dengar kritik antum juga sopan. Tapi kalau suatu saat saya mengkafirkan Anda dan Anda maki-maki sahabat, kita bisa musuhan.” Ini sebagai gambaran umum dari apa yang saya terima dari Ustadz Hassan Daliel, Ustadz Othman Shihab, Ustadz Agus Abubakar, Ustadz Husein Shahab, Ustadz Zein Alhadi, dan banyak lagi ustadz-ustadz Syiah yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu. Saya belum pernah mendengar ungkapan jelek dari mulut-mulut mereka. Yang saya tahu mereka adil, berilmu, berakal, dan beradab. Mudah-mudahan hubungan ini bisa dipertahankan. Bahkan bukan hanya itu, saya berharap orang-orang seperti mereka mampu tampil ke depan mendorong orang-orang Syiah yang di bawah atau junior-junior mereka agar tidak mencaci-maki sahabat nabi. Sebab, ada satu saja Syiah yang mencaci-maki sahabat, nanti orang-orang Sunni yang tidak paham akan menggeneralisasi bahwa Syiah memang seperti itu. Orang awam kan mudah menggeneralisasi. Iran dikenal sebagai negara yang paling banyak membantu perjuangan Hamas dan rakyat Palestina yang notabene Sunni.

Apakah kenyataan ini tidak bisa dijadikan momentum persatuan Sunni-Syiah?

Iya, betul itu. Itu hal yang saya sangat catat. Waktu saya ke Iran kemarin, Khaled Mishal (Ketua Depatemen Politik Hamas—red) baru saja pulang dari Iran, tempat yang sama dengan yang kita datangi.
Jadi, hubungan Hamas dan Hizbullah yang saling topang dan bantu seharusnya menjadi potret bagi persatuan umat. Mereka tetap pada pendapatnya masing-masing. Tapi pada saat mempunyai musuh bersama yang bernama Israel dan Amerika, kekafiran dan kezaliman, Hamas-Hizbullah bisa duduk dan jalan bersama. Kita juga bisa melihat hubungan erat antara Hasan Nasrullah (Sekjen Hizbullah—red) yang Syiah dengan Fathi Yakan (tokoh Ikhwanul Muslimin di Lebanon) yang Sunni. Bahkan Nasrullah ngomong secara terbuka bahwa Fathi Yakan-lah yang pantas menggantikan Siniora. Inilah potret positif yang luar biasa di zaman modern ini.
Di sisi lain, kita juga sedih bagaimana Syiah dan Sunni di Irak begitu gampang diadu domba. Ini jelas permainan pihak ketiga. Dia (pihak ketiga—red) meledakkan mesjid Syiah dan menuding Sunni, dan kemudian meledakkan mesjid Sunni dan menuding Syiah.
Saya berharap kita bisa mengembangkan potret Sunni-Syiah yang pertama. Potret yang kedua harus dihentikan segera. Sekarang di mana-mana semakin transparan adu dombanya, seperti di Irak dan Pakistan. Karena Syiah di Indonesia tidak besar, maka (adu domba itu—red) belum terasa. Tapi di beberapa tempat adu-domba ini jelas berhasil.
Syiah bukan barang baru di Indonesia. Menurut Sejarahwan, Syiah datang dari Gujarat dan Persia. Setidaknya budaya Persia cukup dikenal dalam tradisi keberagamaan di Indonesia. 

Apakah ini bisa jadi salah satu faktor pemersatu Sunni-Syiah?

Iya, itu bisa jadi faktor. Tapi, tetap faktor utamanya adalah masalah jiwa besar dan akhlak yang baik. Orang Syiah yang berilmu dan berakhlak tidak akan mungkin dari mulutnya keluar caci-maki kepada umat lain. Tidak ada. Saya kenal ulama-ulama Syiah yang berakhlak dan berilmu. Tidak ada keluar kata-kata kotor dari mulut mereka. Jadi, bila ada aktivis-aktivis Syiah yang mengeluarkan kata-kata kotor tentang sahabat, saya jadi heran, mereka itu ngikutin siapa?
Jadi, semua kembali ke hati, yang gambarannya bisa dilihat dari mulut. Bila mulutnya sudah penuh umpatan dan caci-maki, pasti hatinya sudah jelek. Kalau hatinya baik, dia bisa menghargai orang. Dia bisa mengetahui dan menahan ucapannya yang bisa menyinggung saudaranya. Bila ingin menyampaikan kebenaran, ia menyampaikannya dengan santun. Bahkan bila kita berhadapan dengan orang kafir, meski mungkin hatinya mencaci-maki Islam, yang menyampaikan kritiknya dengan sopan, kita mesti menjawabnya. Nabi dulu juga berdialog dengan orang musyrik, kafir, Nasrani, dan Yahudi. Itu contoh bagi kita.
Bagaimana dengan fatwa MUI yang menyesatkan Syiah?
Begini, kita tidak bisa menggeneralisasi semua Syiah sesat atau semua Syiah tidak sesat. Sebab orang Syiah pun mengakui bahwa di internal Syiah pun terdapat macam-macam golongan, dan di dalamnya ada pula yang sesat, yakni yang menuhankan Ali, meyakini Jibril salah menyampaikan risalah, dan al-Quran yang seharusnya lebih tebal daripada sekarang. Itu ada dan diakui oleh Syiah mainstream. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan fatwa MUI tadi adalah Syiah yang semacam itu.
Yang perlu disadari betul oleh Syiah adalah bahwa Ahlusunah punya sikap tegas soal sahabat. Bagi Sunni, siapa pun yang mencaci-maki dan apalagi mengkafirkan sahabat akan dikatakan sesat. Ini kunci.
Oleh karena itu, untuk mengambil jalan tengah, Syiah harus menahan diri dari mencaci-maki dan mengkafirkan sahabat. Ajaklah Sunni berdialog, seperti yang dilakukan kelompok Zaidiyah yang masih bagian dari Syiah. Kenapa Sunni dan Zaidiyah bisa akrab? Bahkan, kitab-kitab Zaidiyah, seperti Subulus Salâm dan Naylul Awthâr, dipakai di pondok-pondok (pesantren—red) Sunni.
Jadi, yang dikafirkan MUI tanpa ragu-ragu adalah Syiah yang mengkafirkan sahabat, yang meyakini al-Quran berubah, atau yang menganggap Ali lebih afdhal daripada Muhammad. Sekarang tinggal Syiah Indonesia introspeksi diri, apakah mereka masuk ke dalam ciri-ciri yang disesatkan MUI? Kalau tidak masuk dalam kelompok tersebut, tidak perlu gerah dengan fatwa itu. Saya sendiri lebih suka MUI membuka dialog. Hendaknya MUI mengundang tokoh-tokoh Syiah Indonesia untuk klarifikasi seperti apakah Syiah mereka itu.
Sekali lagi, saya berpendapat, kita tidak bisa mengeneralisasi Syiah. Sebab, Syiah itu macam-macam: ada yang moderat, konservatif, ekstrem, dan bahkan ada yang kafir. Bahkan, Muhammad Jawad Mughniyah (ulama Syiah Lebanon—red) dalam al-Fiqhu ‘ala al-Mazhâhib al-Khamsah mengatakan bahwa Syiah ghulat adalah kafir. Katanya, gara-gara ghulat, kami, Syiah Ja’fariyah, yang moderat jadi tertuduh. Waktu di Qum, saya melihat aparat menggerebek majelis Syiah Alawiyah, yang menuhankan Ali. Artinya, yang mengkafirkan Syiah ghulat bukan hanya MUI, bahkan ulama Syiah pun mengkafirkannya. Jadi kita perlu memahami konteks fatwa MUI tersebut.

Bagaimana relasi dengan kelompok Islam lain yang anti-tradisi?

Saya bergaul dengan berbagai macam kelompok. Dengan Ustad Abubakar Baasyir, saya sudah seperti keluarga. Saya anggap dia itu orang tua dan kawan. Meskipun orang tahu bahwa kita berdua punya pandangan yang berbeda tentang tradisi. Beliau orang yang arif. Beliau tetap punya pendapat dan dalil tetapi tidak menyerang kita. Saya bisa duduk dan diskusi bersama. Ada urusan umat yang lebih besar daripada sekedar kebolehan dan keharaman tahlil. Ada prioritas.
Kadang-kadang kita juga bicara tentang persoalan furu’, tetapi sifatnya ringan saja. Misalnya, waktu sama-sama di Lapas Salemba, kita sempat bicara tentang qunut subuh. Saya qunut karena ikut mazhab Syafi’i. Beliau tidak pakai qunut. Suatu kali beliau bilang dapat dalil bahwa Ibnu Abbas juga pakai qunut. Artinya, beliau juga mengkaji tetapi pembicaraannya ringan dan tetap saling menghormati.
Kenapa bisa demikian? Karena kita bisa berjiwa besar dan berlapang dada. Kalau mereka tidak menyerang kita, kita juga tidak boleh menyerang mereka. Kalau sekedar kritik dengan ilmu dan adab, ya…boleh saja dan itu juga perlu dijawab dengan cara yang serupa.
Tidak bisa kita identikkan tegas dengan ekstrem sehingga membenci segala macam tradisi. Kalau Salafi mengkritik dengan baik-baik, kita juga akan menjawabnya dengan baik-baik. Tapi, kalau ada orang-orang yang mudah memusyrikkan dan mengkafirkan orang-orang yang tawasul dan tabaruk, maka sesungguhnya mereka tidak bisa membedakan antara kemungkaran yang disepakati, yang memang harus dilawan dengan tegas, dan bagian-bagian yang tidak disepakati perihal mungkar tidaknya. Ini adalah persoalan khilafiyah. Sikap terhadapnya berbeda.

Semoga bermanfaat
2014@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sikap Habib Muhammad Rizieq Shihab terhadap Syiah"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip