Mengenal Lebih Dekat M. Quraish Shihab
Dituding Syiah, Ini Jawaban Quraish Shihab
Quraish Shihab Prof Quraish Shihab dituding sebagian kalangan sebagai Syiah. Ulama penulis Tafsir Al Misbah ini pun merespons tudingan tersebut.
Dia menjelaskan, prinsip syiah sangat jelas seperti percaya kepada imamah. Tak hanya itu, terdapat ritual khas yang kerap dijalankan penganut syiah seperti shalat di batu karbala dan menangguhkan puasa.
Meski demikian, Quraish mengaku mempelajari beberapa pendapat dari ulama syiah, bahkan muktazilah. Menurutnya, semua itu dilakukan demi mempelajari keragaman yang merupakan kekayaan intelektual umat Islam.
"Jika pendapat ulama Syiah, ada yang saya ambil, bahkan Muktazilah, karena keragaman itu kita pelajari," jelasnya. Quraish pun menegaskan penghormatannya kepada para sahabat Rasulullah SAW, termasuk Abu Hurairah.
Saya kira tuduhan mereka salah," ujar Direktur Pakar Pusat Studi Quran tersebut.
Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Beliau adalah putra keempat dari seorang ulama besar almarhum Prof. H. Abd. Rahman Shihab, guru besar ilmu tafsir dan mantan Rektor UMI dan IAIN Alaudin Ujung Pandang, bahkan sebagai pendiri kedua Perguruan Tinggi tersebut. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Makassar (dulu Ujung Pandang), Quraish melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah.
Melihat bakat bahasa arab yang dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislaman, Quraish beserta adiknya (Alwi Shihab) dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar Cairo. Mereka berangkat ke Kairo pada 1958, saat usianya baru 14 tahun, dan diterima di kelas dua I’dadiyah Al Azhar (setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia).
Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin JurusanTafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i Al-Qur’an Al-Karim (Kemukjizatan Al-Qur’an Al-Karim dari Segi Hukum)”.
Sekembalinya ke Makassar, Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin. Ia juga terpilih sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur).
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan disertasi berjudul “Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keotentikan Kitab Nazm ad-Durar Karya al-Biqa’i)”, ia berhasil meraih gelar doktor dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma’a martabat al-syaraf al-’ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998.
Quraish Shihab bahkan dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Republik Djibouti yang berkedudukan di Kairo.
Ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan lain, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, anggota Lajnah PentashihAl-Quran Departemen Agama, dan anggota Badan Pertimbangan PendidikanNasional. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur ‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat.
Di sela-sela segala kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal, termasuk di media televisi. Ia diterima oleh semua lapisan masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas, rasional, serta moderat.
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Al-Qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Al-Qur’an lainnya.
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Al-Qur’an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan Al-Qur’an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku.
Menurutnya, penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat Al-Qur’an.
Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama Al-Qur’an.
2. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat
3. Membumikan Al-Qur’an
4. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan
5. Lentera Al-Qur’an
6. Filsafat Hukum Islam
7. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an
8. Pengantin Al-Qur’an
9. Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya
10. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam
Muhammad Quraish Shihab adalah ulama Indonesia yang kecenderungan berpikirnya pada bidang tafsir dan ilmu al-Qur’an. Namun dalam perkembangannya, Quraish mulai memasuki ranah hukum Islam dengan menjawab permasalahan hukum Islam dan kemudian dibukukan oleh penerbit dengan karakter al-as`ilah wa al-jawâb (tanya-jawab). Di dalam buku-buku tersebut, Quraish mencoba untuk mengkontektualisasikan pemikiran madzhab (baik qauli maupun manhaji) dengan karakter dominan mendukung dan dalam batas-batas tertentu ikut menggerakkan proses modernisasi pembangunan dengan pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila Islamic law as a tool of social engineering, dengan negara sebagai aktor pengelolanya.
Key Words : Pemahaman Hukum Islam, Muhammad Quraish Shihab
A. Pendahuluan.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab adalah seorang mufassir terkemuka bersekala internasional asal Indonesia setelah Buya HAMKA, Mahmud Yunus, dan lain-lain. Karya monumetalnya dibidang tafsir yang dipublikasikan dan menjadi rujukan para pengkaji al-Qur’an adalah Tafsir al-Mishbah. Buku ini ditulis Quraish di Kairo pada 18 Juni 1999. Dari segi kemasannya, buku ini ditulis secara berseri, terdiri dari 15 volume dan telah rampung penulisannya hingga 30 juz. Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, buku tersebut berusaha menghidangkan suatu bahasan pada setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah.[1]
Corak metode penafsiran Muhammad Quraish Shihab pada intinya adalah, sebuah tawaran tentang metode penafsiran modern secara tematik dengan corak penafsiran sastra dengan sistematika penyusunan menggunakan metode taĥlîlî. Selain kedua metode tersebut, tampaknya Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah juga menggunakan satu lagi metode tafsir yaitu metode tafsir muqarran. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan ayat-ayat dengan mengutip atau menukil pendapat beberapa mufassir lain dalam kitab-kitab mereka kemudian berusaha menemukan formulasi penafsiran yang paling tepat.
Akan tetapi kali ini Quraish Shihab tidak saja mengkaji isi-isi al-Qur’an dengan diselaraskan pada fenomena kekinian, ia mulai memasuki lapangan hukum Islam dengan cara menjawab persoalan-persoalan hukum Islam tersebut, khususnya yang ada di Indonesia. Karyanya yang penulis anggap sebagai bagian dari pengkajiannya di dalam hukum Islam yang kini juga menjadi buku paling laris dan dipublikasikan oleh Lentera Hati adalah “M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui”. Buku ini berjumlah 929 halaman, dan penulis klasifikasikan ke dalam kajian hukum Islam karena isinya yang merupakan hasil dari tanya jawab antara sipenanya baik muslim maupun non-muslim dengan M. Quraish Shihab, atau hasil fatwa beliau seputar permasalahan ibadah, al-Qur’an dan Hasits, mu’amalah, dan wawasan agama.[2] Selain buku di atas, kajian hukum Islam yang dilakukan oleh Quraish Shihab dengan metode tanya jawab pula adalah “Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab” yang dipublikasikan oleh penerbit Republika setebal 176 halaman.
Secara eksplisit, tulisan beliau ini mencoba untuk masuk ke dalam ruang berpikir kaum awam, tidak seperti tulisan-tulisan beliau dibidang ilmu al-Qur’an yang hanya merupakan kajian intelektual Islam saja. Akan tetapi, setelah penulis membaca tulisan beliau dibidang hukum Islam ini, penulis dapatkan jawaban-jawaban yang terasa sekali tidak tegas bahkan seolah-olah mengajak kepada sipenanya untuk melakukan talfîq secara qauli. Sebagai contoh adalah pertanyaan tentang bermakmum pada ķatîb yang tak faşiĥ membaca al-Qur’an. Dalam hal ini, beliau memaparkan pendapat para imam, seperti Imâm al-Śâfi’î dan Imâm Abû Ĥanîfah tentang syarat-syarat bagi sahnya ķuţbah jum’at. Namun, pada akhir jawabannya ia tidak menguatkan salah satu dari tiga pendapat di atas, akan tetapi ia mengatakan :
“Jika anda membenarkan paham Imâm Abû Ĥanîfah, maka ķuţbah jum’at tetap dinilai sah, walau Ķâtibnya salah atau tersendat-sendat dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an. Sebab bacaan ayat-ayat bagi imam bukanlah rukun ķuţbah. Tetapi, jika anda menilai bahwa pendapat Imâm al-Śâfi’î lebih tepat atau lebih benar, maka tentu saja ķuţbah yang disampaikan oleh ķâtib yang salah bacaan ayat al-Qur’annya menjadi tidak sah. Dengan demikian, upacara Jum’at dinilai tidak memenuhi syarat.”[3]
Keanehan juga terlihat ketika beliau menjawab tentang permasalahan perbedaan dalam merayakan hari lebaran. Ia menyebutkan :
“Kalau terjadi perbedaan pendapat tentang ‘Îdul Fiţri, pilihlah salah satunya yang relatif menenangkan hati anda. Kalau anda bingung, ikuti pemerintah. ‘fatwa hakim (pemerintah) menyelesaikan ķilaf,’ begitu rumusnya. Jika memilih hari pertama, maka haram bagi anda berpuasa. Jika memilih hari kedua, maka berpuasalah ketika itu.”[4]
Berdasarkan pemaparan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah mendasar di dalamnya adalah, tentang metode pemahaman hukum Islam yang digunakan oleh Muhammad Qurasih Shihab dalam menjawab permasalahan hukum Islam di Indonesia. Melalui permasalahan tersebut, maka penulis akan mengkajinya secara komprehensif dengan rumusan masalah, bagaimana pemahaman hukum Islam yang diterapkan oleh Muhammad Qurasih Shihab dalam menjawab problematika hukum Islam di Indonesia ? Hal ini akan dilihat dari beberapa penekanan yaitu, penjelasan tentang fatwâ dan pemahaman hukum Islam dalam kerangka berpikirnya, serta apa saja kelamahan dan kelebihan dalam nalar pikir Quraish Shihab tersebut.
B. Metode Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan cara mengadakan penelusuran atas buku dan karya-karya ilmiah Muhammad Quraish Shihab, terutama hasil karya-karya ilmiahnya yang berkenaan dengan permasalahan hukum Islam. Dengan kata lain, jenis penelitian ini adalah “library research”. Adapun penjenisan sumber data dilihat dari sumber asalnya, maka datanya adalah data literer, yakni data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis seperti dari kitab-kitab uşûl al-fiqh, fiqh, peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan sebagainya. Dan jika dilihat dari derajat sumbernya maka jenisnya adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut, seperti Tafsir al-Mishbah, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, dan M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, dll. Adapun data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data tersebut, seperti buku-buku yang membahas pemikiran Muhammad Quraish Shihab, kitab-kitab uşûl al-fiqh, fiqh, dll.
Selanjutnya, dalam proses pengolahan data adalah, dengan cara mengadakan klasifikasi data, yakni dengan cara menyusun data dalam beberapa kategori menurut kriteria yang timbul secara logis dari masalah yang akan dipecahkan. Adapun langkah-langkahnya adalah, (a) menyeleksi data yang valid dan invalid, (b) memilih data valid yang relevan dengan pembaharuan, (c) menyusun data secara sistematis dan runtut. Dan setelah semua data diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya penulis melakukan analisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
C. Pembahasan.
1. Biografi dan Karya Tulis Muhammad Quraish Shihab.
Nama lengkapnya Prof. Dr. Hi. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab, guru besar tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Muhammad Quraish Shihab.[5] Lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sidrap Sulawesi Selatan wilayah sebelah barat Kota Daeng Makassar dan tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat,[6] meskipun memiliki sikap dan pandangan hidup yang sederhana sebagai keturunan Arab yang terpelajar.
Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an, dan setelah itu ia kembali meneruskan untuk mendapatkan gelar doktornya. Sekembalinya ke Indonesia, ia menjadi sosok sarjana muslim kontemporer yang menjalani karir akademik dan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan, cukup sukses. Ia juga aktif menulis karya-karya ilmiah dan telah melahirkan lebih dari 60 buah buku dan ratusan artikel di surat kabar dan majalah meliputi berbagai bidang kajian yang digeluti, baik sebagai guru besar di perguruan tinggi maupun dalam kapasitasnya sebagai editor surat kabar. Secara detil sebahagian karya-karya beliau yang dipublikasikan adalah; Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987). Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992). Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996). Hidangan Ilahi; Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 1997). Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, (Jakarta: Republika, 2003). Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), dan lain sebagainya.
2. Fatwa Dalam Kerangka Berpikir Muhammad Quraish Shihab.
Fatwa atau iftâ’ bersal dari kata aftâ yang artinya memberi penjelasan. Secara sederhana fatwa memiliki arti, usaha untuk memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Adapun perbedaan antara iftâ’ dengan ijtihâd adalah, bahwa iftâ’ itu lebih khusus dari ijtihâd. Iftâ’ itu dilakukan setelah orang bertanya, sedangkan ijtihâd dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak manapun.
Sebenarnya antara keduanya tidak dapat dibandingkan karena subjeknya berbeda. Ijtihâd adalah usaha menggali hukum dari sumber dan dalilnya, sedangkan iftâ’ adalah usaha menyampaikan hasil penggalian melalui ijtihâd, taqlîd atau talfîq tersebut kepada orang lain yang bertanya. Iftâ’ itu adalah salah satu cara untuk menyampaikan hasil ijtihâd, taqlîd atau talfîq kepada orang lain melakukan ucapan. Cara penyampaian lain adalah melalui perbuatan seperti ketukan palu seorang hakim pada pengadilan yang disebut qadâ’.
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan, betapa para ulamâ’ di dunia (termasuk Indonesia) saat ini berlomba-lomba untuk memformulasikan bentuk pembaharuan hukum Islam dengan jalan fatwa ini. Karena belum ada satu karyapun yang secara sistematis menulis kajian hukum Islam dalam bentuk fiqh dengan gaya bahasa dan pemikirannya sendiri, dan yang berkembang saat ini adalah, bahwa para pemikir hukum Islam sering kali berafiliasi dengan satu madzhab tertentu atau menukil semua ungkapan madzhab baik secara qaulî maupun manhajî. Dengan demikian, maka menurut hemat penulis bentuk pembaharuan era ini hanyalah pada tataran re-interpretasi atau yang paling ekstrim adalah dengan melakukan re-ijtihad. Hal ini menurut hemat penulis karena keterbatasan cara pandang pembaca terhadap apa yang dibacanya, sehingga dengan mudah membuat kesimpulan, yang penting beda dengan madzhab tertentu, agar terlihat independen dan dikatakan modern.
Model seperti ini pernah dijelaskan oleh Suratmaputra, di mana pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai suatu upaya dan perbuatan melalui proses tertentu (dengan penuh kesungguhan) yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara tertentu (berdasarkan kaidah-kaidah istinbâţ atau ijtihâd yang dibenarkan) untuk menjadikan hukum Islam dapat tampil lebih segar dan tampak modern (tidak ketinggalan zaman) atau menjadikan hukum Islam senantiasa þâliĥun likulli zamân wa makân.[7]
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam bukan saja dibenarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya bagi umat Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur Tengah, seperti Indonesia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan :
a. Banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang diterapkan di Indonesia merupakan produk ijtihâd yang didasarkan pada kondisi dan kultur Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam Timur Tengah, belum tentu cocok dan baik bagi umat Islam Indonesia.
b. Kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini jauh lebih besar dan beragam dibandingkan dengan zaman sebelumnya, karena terjadi perubahan luar biasa dalam kehidupan sosial yang disebabkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, dalam upaya mereaktualisasi hukum Islam agar mampu memberikan jawaban-jawaban atas kebutuhan dan permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat Indonesia, maka perlu dilakukan ijtihâd yang didasarkan pada kepribadian dan karakter bangsa Indonesia.[8]
Adapun pemikiran fatwa Muhammad Quraish Shihab sama dengan pemikiran yang berkembang tentang fatwâ dalam Islam, di mana fatwâ bukanlah keputusan hukum yang dengan gampang den sekehandak orang, yang disebut membuat-buat hukum tanpa dasar (al-taĥakkum). Fatwâ senantisa terkait dengan siapa yang berwewenang memberi fatwâ (ijâzah al-iftâ’), kode etik fatwâ (adâb al-iftâ’), dan metode pembuatan fatwâ (al-istinbâţ). Pemberi fatwa (muftî’) bukanlah hak setiap orang. Bagi Quraish, seorang secara moral dan ilmiah, harus memenuhi sejumlah persyaratan agar dapat disebut muftî’. Salah satu yang terpenting tentu saja bahwa ia harus memahami pelbagai aspek hukum Islam dan dalil-dalil yang menopangnya. Akan tetapi, itu saja belum cukup, sebab hanya menunjukan kemampuan individual dari dalam. Di samping itu, perlu ada pengakuan secara sosial (moral) bahwa ia layak didengar kata-katanya. Ini biasanya ditandai oleh adanya permintaan fatwa (istiftâ’) kepada sang muftî’.[9] Karena begitu sulitnya memperoleh kewenagan memberi fatwâ, tradisi pemberian fatwa di Indonesia, (seperti yang telah penulis jelaskan di bab sebelumnya) terutama akhir-akhir ini, lazim diberikan oleh lembaga khusus dalam organisasi, seperti Dewan Syuriah NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, atau Komisi Fatwa MUI. Ini tentu berbeda dengan yang terjadi di sebagian negara Muslim lain, seperti Mesir dan Iran yang didalam masih ada orang yang diyakini memilki kemampuan individu untuk menjadi muftî’ atau imâm.
Dengan demikian, menurut Quraish, fatwâ muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial yang diahadapi oleh umat. Karena itu, fatwâ mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Dengan demikian, fatwâ tidak sama dengan tanya jawab keagamaan seperti dalam pengajian-pengajian. Bukan juga sekedar ceramah-ceramah seputar suatu ajaran agama. Fatwâ, senantisa sangat sosiologis. Ia mengandaikan adanya perkembangan baru, persoalan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan hukumnya, atau belum jelas duduk masalahnya.[10]
Berdasarkan penjelasan di atas, Quraish membuat rumusan baru tentang agenda fatwâ dimasa yang akan datang. Perlu segera ditegaskan disini bahwa loncatan umat Islam dari melinium silam ke melinium baru ini jelas-jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwâ. Oleh karena itu, Quraish menganggap ada beberapa agenda fatwâ yang dimasa depan mungkin harus diwujudkan. Pertama, Quraish berkeyakinan bahwa sekalipun fatwâ dan penetapan hukum senantiasa dibatasi, namun bukan saatnya lagi pelbagai (lembaga) pemberi fatwa hanya bersikap reaktif terhadap persoalan yang dosodorkan umat. Fatwâ sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, bahkan, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dsb. Dengan dmeikian, lembaga pemberi fatwâ dituntut lebih jeli dan produktif dlam memahami kebutuhan riel masyarakat muslim.[11]
Kedua, untuk dapat proaktif dan produktif, agenda terbesar umat Islam saat ini adalah bagaimana merumuskan suatu metodologi baru, atau paling tidak penegasan kembali suatu mekanisme pemberian fatwa yang relatif dapat diperpegangi bersama (mu’tamad). Sebab pelabagai perkembangan isu dalam kehidupan kaum muslim dan pertumbuhan kelompok-kelompok baru dalam tubuh umat tidak tidak dapat membatasi para intelektual muslim dari sekedar membaca buku-buku produksi Timur Tengah, cetakan-cetakan terjemahan, maupun literatur dari Barat sebagai panduan. Bukan saja ada perbedaan latar belakang kemunculan karya-karya tersebut dengan situasi masyarakat kita, tapi kadang-kadang semua itu hanya menyajikan pandanag-pandangan, global, teoritis, dan kadang-kadang sangat politis tentang apa itu Islam dan kehidupan Islami. Sebaliknya, kurang menyajikan suatu keputusan hukum yang sifatnya peraktis dalam kehidupan umat sebagaimana yang menjadi ciri fatwâ-fatwâ yang berkembang di Indonesia sejak melinium silam.[12]
Ketiga, perlunya merumuskan pengertian al-maşlaĥah atau al-darûriyyat al-ķams dalam konteks ekonomi-politik global kontemporer, maupun dalam lingkup sosio-kultural umat Islam di Indonesia. Maksudnya, sudah saatnya fatwâ-fatwâ kita memiliki perhatian lebih besar kepada masalah-masalah hukum yang bersifat publik (fiqih/teologi sosial), ketimbang mengurus aspek-aspek teknis ibadah yang bersifat personal. Menyangkut agenda sosial ini, implikasi dan jangkauan politik suatu fatwâ menjadi sangat besar. Tidak mengherankan jika pemerintah biasanya sangat berkepetingan terhadap fatwa jenis ini. Fatwâ-fatwâ seputar mendiang SDSB, UMR, program KB, bunga bank, dan sebagainya senatiasa melibatkan campur tangan pemerintah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, merupakan tugas terbesar dan terberat para pemberi fatwa saat ini untuk membangun kemandiriannya diantara tarik-menarik kekuatan pemerintah, partai-partai politik, organisasi keagamaan, dan kepentingan umat yang lebih luas. Dengan membangun prinsip dan agenda sosial yang lebih serius, diharapkan produk fatwâ yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan pembumian ajaran-ajaran Islam, tanpa mengurangi bobot kebenaran yang dikandungnya.[13]
Berdasarkan gerak fikir Muhammad Quraish Shihab tentang fatwâ di atas, ada hal penting yang perlu digaris bawahi, di mana Quraish mencoba untuk menyamakan antara fatwâ dan ijtihâd dalam pengaplikasiannya. Padahal pada sisi penggunaannya, fatwâ hanya timbul ketika ada yang menanyakan, sedang ijtihâd harus terus digali dan dicarikan jawabannya meskipun tidak ada yang menanyakannya, baik munculnya saat ini ataupun yang akan datang, dan tentunya sudah diprediksi kemunculan masalah tersebut. Sedangkan Quraish menginginkan adanya sikap proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, karena bagi Quraish syarat fatwâ selain adanya orang yang meminta juga karena adanya kondisi yang memerlukan pandangan atau keputusan hukum. Inilah pemikiran yang menurut penulis relevan untuk diterapkan di Indonesia yang sangat plural. Apalagi secara geografis, Indonesia berbeda dan jauh dari pusat Islam yakni al-Haramain (Mekah dan Madinah), dan tetunya begitu banyak permasalahan di dalamnya, seperti adanya yang mencoba untuk membenturkan antara agama dengan keadaan sosial, budaya, politik, dll.
3. Hasil Fatwa Hukum Islam Muhammad Quraish Shihab.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran M. Quraish Shihab tidak terfokus pada pendekatan hukum Islam, melainkan dengan pendekatan kajian tafsir atas naś-naś al-Qur’an. Namun, melalui tafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut, ia kemudian juga memasuki ranah hukum Islam dengan pendekatannya sendiri melalui fatwa-fatwanya yang ia tulis dan kumpulkan berdasarkan pertanyaan umat Islam kepadanya. Sebagai contoh adalah tentang interpretasinya tentang poligami yang dituangkan dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, di mana Allâh swt berfirman :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوْا {النساء : 3}
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’ : 3)[14]
Menurut Quraish, pada hakikatnya ayat ini hanya memberikan wadah bagi yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti terputusnya kehendak biologis laki-laki karena wanita telah mengalami manopouse, wanita yang tidak dapat memberikan keturunan, penyakit akut yang ada pada diri seorang wanita, peperangan yang berkepanjangan, dan lain sebagainya. Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.[15]
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat difahami bahwa pendapat Quraish tersebut menunjukkan bahwa poligami dapat dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan (dalam hal cinta) hampir mustahil dapat terpenuhi, maka kebolehan tersebut tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara tentang poligami ini bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim. Ayat ini turun ketika ada wali yang mengawini anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak memberikan hak-hak anak-anak yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras larangannya. Karena sebelum menyatakan, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat, dinyatakan-Nya, dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah, dan seterusnya.[16]
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa penetapan syarat-syarat poligami sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (bukan melaranganya sama sekali) bertentangan dengan syari’at Islam. Namun demikian, ia dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa persyaratan yang sangat berat (seperti harus seizin istri pertama, yang hampir mustahil ada yang mengizinkannya) dapat mengantar kepada tertutupnya sama sekali pintu poligami yang telah dibukan oleh syari’at Islam. Atau mengantar kepada maraknya perkawinan sirri (yang dirahasiakan), hadirnya wanita-wanita simpanan, atau bahkan mengantar kepada berkembangnya prostitusi. Bukan saja disebabkan oleh jumlah wanita yang lebih banyak, tetapi lebih-lebih oleh era “keterbukaan” aurat dewasa ini. Paling tidak, walau tanpa harus merevisi Undang-undang Perkawinan, para hakim dengan kebijaksanaan dan ijtihadnya dapat berperan mengurangi kekhawatiran masyarakat.[17]
Dalam hal poligami ini, pemikiran Muhammad Quraish Shihab terlihat sekali perbedaannya dengan pemerintah, di mana secara tersirat sesungguhnya ia mengingkan adanya revisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akan tetapi revisi yang ia canangkan berbeda dengan kelompok feminisme yang sangat mengedepankan kesetaraan gender. Jika kelompok feminis memiliki pemikiran untuk menutup akses poligami karena merupakan kekerasana terhadap wanita dari segi psikis, Muhammad Qurasih Shihab justru mendukung dibukanya akses poligami ini agar tidak terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun janda.
Adapun menurut hemat penulis, (sebagai bahan perbandingan) pemikiran yang pro-poligami namun tetap mengedepankan nilai-nilai feminisme[18] adalah sebagaimana yang dituangkan oleh Muĥammad Śaĥrûr di dalam kitabnya “al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah” yakni, ayat ini sesungguhnya telah memberikan petunjuk tentang adanya batas minimal perempuan yang boleh dinikahi yakni satu orang istri, sedangkan batas maksimalnya adalah empat orang istri. Dan ia menyebutnya dengan sebutan al-ĥudûd.[19] Lebih jelas ia mengungkapkan ;
أَنَّ آ يَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِ…مِنْ آ يَاتِ اْلحُدُوْدِ…فَاْلحَدُّ اْلأَدْنىَ هُـنَا هُوَ الْوَاحِدَةُ وَاْلحَدُّ اْلأَعْلىَ هُوَ اْلأَرْبَعَةُ.[20]
Artinya : “Sesungguhnya ayat tentang poligami…merupakan (bagian) dari ayat-ayat tentang al-ĥudûd (ketentuan Allâh)…dan batasan minimal di sini adalah satu (istri) sedangkan batasan maksimal adalah empat (istri).”
فَقَدْ رَجَحُوْا بِأَنَّ أَسَاسَ اْلعَدَدِ فِى الزِّوَاجِ هُوَ الْوَاحِدَةُ وَقَالُوْا إِنَّ تَعَدُّدَ الزَّوْجَاتِ هُوَ ظُرُوْفٌ اِضْطِرَارِيَّةٌ.[21]
Artinya : “Dan telah dijelaskan bahwa asas perkawinan adalah (hanya untuk) satu orang (istri), dan mereka berkata bahwa poligami boleh dilakukan karena kondisi yang mendesak.”
Persyaratan mendesak yang paling ditekankan oleh beliau dan sangat berbeda dengan terjemahan al-Qur’an Departemen Agama adalah, (فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ) “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” maksud dari firman Allâh swt ini adalah ( أنه يتكلم عن أمهات اليتامى ) “sesungguhnya ia membicarakan tentang ibu-ibu dari anak-anak yatim”. Ayat selanjutnya menyebutkan ( فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً ) memliki penjelasan ( أي تعدلوا بين الأولاد يعنى أولاده وأولاد زوجاته الأرامل ) “bersikap adil kepada anak-anak, yakni kepada anak-anaknya dan anak-anak dari istri-istrinya yang janda”. Penafsiran seperti ini ia tuangkan karena ayat ini diawali dengan ungkapan Allâh swt ( وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى ) “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak-anak yatim”, maksudnya adalah ( فإذا خاف ألا يعدل بين الأولاد فواحدة ) “maka jika kamu takut tidak dapat berlaku adil kepada anak-anaknya maka kawinilah satu istri saja”.[22] Terjemahan Śaĥrur di atas sungguh berbeda dengan terjemahan al-Qur’an oleh Departemen Agama dan juga Quraish Shihab yang menerjemahkannya menjadi “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”. Dalam hal ini, Śaĥrûr menekankan hak anak-anak yatim sebagai syarat, sedangkan Quraish tidak.
Contoh lain adalah dari bukunya “Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab”, di mana ia banyak menjawab permasalahan dengan tidak ada kesimpulan akhir yang kongkrit darinya, seperti pada ungkapan beliau tentang hukum bersentuhan kulit antara pria dan wanita, apakah membatalkan wudû’. Quraish menjawab, menurut madzhab Śâfi’î, menyentuh lawan seks (jenis) membatalkan wudû’, sedang madzhab lain menganggap batal jika seuntuhannya menimbulkan birahi.[23] Bahkan ada pula jawaban yang pelu untuk dikaji kembali secara mendalam, yakni tentang dibolehkannya hubungan suami-istri yang sedang dalam perjalanan (musâfir) disiang hari bulan puasa asalkan dalam perjalanan yang dibenarkan oleh agama.[24]
Contoh lain adalah, pada pemahamannya tentang hukum onani yang ia tuangkan dalam bukunya “M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui”. Dalam hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani dengan mendasarkan pada firman Allâh swt dalam surat al-Mu’minûn ; “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya [5] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela [6] barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas [7].”[25]
Namun dalam hal ini, Quraish mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan dengan keadan saat ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani pada dasarnya terlarang, tetapi ia dapat dibenarkan bila memenuhi tiga syarat. Pertama, yang bersangkutan tidak mampu kawin. Kedua, khawatir terjerumus dalam perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan. Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak sering dilakukan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan.[26] Dalam hal ini, ‘illah hukum yang ditekankan oleh Quraish adalah dalam hal “terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jika ‘illah itu kemudian ada pada diri seseorang, seperti terbengkalainya pekerjaan, terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani tersemat pada dirinya.
4. Tipe Pemikiran Hukum Islam Muhammad Quraish Shihab.
Dalam hal ini, penulis menemukan tipologi yang tepat tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia sebagai sebuah pendekatan, untuk dinisbatkan kepada Muhammad Quraish Shihab. Tipologi ini penulis ambil dari hasil penelitian Mahsun Fuad dalam bukunya Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Menurut Mahsun, ada tiga kategorisasi pemikiran hukum Islam di Indonesia, yakni :
a. Dari segi metode penemuan hukum terdapat dua pola :[27]
1) Kontekstualisi-Madzhabi ; upaya penemuan dan perluasan bagi berlakunya ketentuan hukum yang diusahakan melalui frame atau pola fiqh madzhab, baik prosedur qaulî (tekstual) maupun manhajî (metodologis). Bagi kelompok ini, akurasi analisis dan kerangka dasar keilmuan klasik, walaupun tidak semuanya dapat diterapkan di era modern, akan tetapi masih menyimpan kekayaan epistemologis, yang dapat diukur validitasnya sebagai bangunan keilmuan, lalu dikemas menjadi paket yang sesuai dengan tuntutan kehidupan modern.
2) Rekonstruksi-Interpretatif ; model berpikir yang mengupayakan penemuan dan perluasan bagi berlakunya ketentuan hukum yang diusahakan melalui metode-metode alternatif yang dikembangkan sendiri oleh penggagasnya dengan mengarah pada penataan ulang metode penafsiran naşş-naşş hukum.
b. Dari segi responsi pemikiran hukum Islam atas modernisasi-pembangunan terdapat dua pola :[28]
1) Responsi-Simpatis ; respons pemikiran hukum Islam dengan karakter dominan mendukung dan dalam batas-batas tertentu ikut menggerakkan proses modernisasi-pembangunan. Dalam hal ini, pola ketetapan hukum Islam paling tidak (secara implisit) harus tampak selaras-simpati dengan pola-pola dan nilai-nilai yang terkandung dalam modernisme.
2) Responsi-Kritis ; respons pemikiran hukum Islam dengan karakter utama mengkritisi dan menggugat substansi nilai-nilai dasar, proses dan segala akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi-pembangunan. Dalam hal ini, pola ketetapan hukum Islam setidaknya harus tampak kritis, dan dalam batas-batas tertentu tampil sebagai counter discourse atas niali-nilai yang dianut modernisme.
c. Dari segi strategi implementasi pemikiran hukum Islam di Indonesia modern, ada dua pola :[29]
1) Partisipatoris ; satu model pemikiran yang berangkat dari pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila ia dijalankan sebagai alat rekaya sosial (Islamic law as a tool of social engineering), dengan negara sebagai aktor pengelolanya. Hukum Islam dalam konteks ini, dilegislasi dan diformulasikan sehingga statusnya menempati posisi dan peran yang setara dengan undang-undang negara.
2) Emansipatoris ; satu model pemikiran yang berangkat dari pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila ia dijalankan sebagai alat kontrol sosial (Islamic law as a tool of social control), emansipasi sebagai sarana pembebasan dalam masyarakat. Pandangan ini mengidealkan masyarakat sebagai aktor penemu, pengembang dan pengelola hukum Islam.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka dapat disimpulkan dan dirumuskan bahwa tipologi dari pemikiran hukum Islam di Indonesia mengarah kuat pada empat pola, yakni (1) Kontekstualisasi-Madzhabi Responsi-Simpatis Partisipatoris, (2) Rekonstruksi-Interpretasi Responsi-Simpatis Partisipatoris, (3) Rekonstruksi-Interpretasi Responsi-Kritis Emansipatoris, (4) Kontekstualisasi-Madzhabi Responsi-Kritis Emansipatoris.[30]
Adapun mengenai Muhammad Quraish Shihab, menurut Islah Gusmian karyanya Tafsir al-Mishbah di golongkan sebagai salah satu literatur tafsir Indonesia yang secara umum menggunakan perspektif tekstual-reflektif, geraknya berangkat dari refleksi ke praksis. Namun tegas Islah, karya tafsir ini belum menampilkan problem ke-Indonesiaan dalam arah epistemologis yang dihadapi umat Islam di Indonesia pada saat tafsir ini ditulis.[31] Adapun dari segi fatwa yang ia telah keluarkan, maka pola jawaban M. Quraish Shihab begitu pariatif dengan lebih banyak menghadirkan kembali apa yang telah tertuang di dalam kitab-kitab klasik maupun kontemporer yang Quraish anggap wajar untuk dikemukakan atau dipilih dan dianut oleh beliau.[32] Lebih tegas ia menyebutkan “maka seorang mufti bukanlah orang yang harus melepaskan diri dari tradisi Islam”.[33]
Secara sepintas, jawaban-jawaban Quraish yang pariatif tersebut, jika dipaparkan dihadapan ummat Islam Indonesia yang masih memegang niali-nilai madzhab (ortodok) maka akan menimbulkan polemik, dan menganggap jawaban-jawaban seperti itu sebagai jawaban yang tidak pasti apalagi jika tidak didisertai dengan bayân atau penjelasan dan penegasan mana yang layak untuk dipilih di dalamnya.
Adapun menurut hemat penulis, ada dua alasan yang menyebabkan Quraish berlaku demikian, (1) sesungguhnya ia ingin mencoba untuk terus membuka wawasan berpikir umat Islam Indonesia yang sudah terbiasa dengan satu jawaban dan menafikan jawaban yang lain, menuju pemahaman yang modern dengan pilihan jawaban alternatif, karena kebenaran hanyalah milik Allâh semata, (2) dengan jawaban demikian sesungguhnya ia mencoba untuk mencitrakan dirinya sebagai bagian dari ulamâ’ yang moderat dan dapat menerima perubahan zaman. Hal ini dapat dilihat dari alasan Quraish yang menjelaskan bahwa jawaban-jawaban para imâm dan ulamâ’ klasik maupun kontemporer walaupun berbeda, pada hakekatnya tetap bersumber dari pemahaman yang bertanggung jawab terhadap teks-teks al-Qur’an dan al-sunnah maka semua dapat dibenarkan.[34] Menurut Quraish, pesat dan beragamnya informasi dalam era yang sangat cepat berubah ini membuat kita perlu menghidangkan aneka alternatif kepada masyarakat yang awam sekalipun. Apalagi dalam perincian ajaran agama, substansi pertanyaan bukannya eksak, seperti pertanyaan “lima tambah lima, berapa?” tetapi seperti “sepuluh adalah berapa tambah berapa?”. Jelas bahwa pertanyaan pertama hanya mengandung satu jawaban yang benar, sedangkan pertanyaan kedua dapat mengandung sekian banyak jawaban yang benar.[35]
Inilah nalar hukum Islam Quraish Shihab dalam menjawab permasahalan-permasalahan hukum Islam yang sering ditanyakan kepadanya. Model talfîq (kemudian lebih dikenal dengan sebutan model eklektif[36]) seperti ini dalam perkembangannya oleh para ulamâ’ modern termasuk M. Quraish Shihab dijadikan sebagai pola pembaharuan era ini. Pembaruan model eklektif ini memang lebih praktis, tidak filosofis, namun tidak mendasar dan esensial, sehingga sulit untuk merespon banyak isu aktual, yang sering bermunculan pada era modern. Pandangan atau gagasan-gagasan baru tetap diakomodir oleh model ini namun tetap dalam kerangka persfektif lama. Oleh karena pembaruan yang di lakukan tidak total, maka teori lama masih tetap dipertahankan sebagiannya dan meninggalkan sebagian yang lain yang dianggap tidak relevan. Bagi kalangan ini, peninggalan fiqh klasik kaya dengan berbagai solusi sehingga tinggal memilih mana yang dianggap paling relevan dan tepat untuk diterapakan. Dalam suasana demikian, maka tidak mengherankan jika metode pembaruan yang di pilih adalah talfiq. Contohnya fatwanya yang bersifat eklektif ini terdapat pada masalah poligami yang tertuang dalam Tafsir al-Mishbah. Meskipun M. Quraish Shihab menggunakan gerak eklektif dalam melakukan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, dengan menerapkan dua pendekatan madzhabî, yakni qaulî (literal) manhajî (metodelogis). Hal ini terlihat sekali ketika ia menjawab permasalahan-permasalahan hukum Islam yang ditanyakan kepadanya, ia lebih banyak menyebutkan ungkapan produk-produk hukum dari imâm atau ulamâ’ A, B, atau C klasik maupun kontemporer, meskipun ungkapan ulamâ’ klasik lebih banyak mewarnai jawaban hukumnya, bahkan dengan tidak menyimpulkan hasil hukum yang layak bagi masyarakat muslim Indonesia.
Penjelasan lain dari Quraish yang diwarnai oleh ungkapan ulamâ’ klasik, meskipun tidak dituangkan seluruhnya, memberikan penegasan betapa pentingnya tradisi klasik bagi seorang Quraish Shihab. Hal ini karena Quraish memang tidak dapat lepas dari tradisi kalsik yang selalu dipengaruhi oleh ayahnya kepada dirinya disetiap mengkaji ilmu ke-Islaman. Hal ini sejalan dengan garis pikir ulamâ’-ulamâ’ tradisional di Indonesia yang tetap “menjaga tradisi lama yang baik akan tetapi juga dapat mengadaptasikan hal-hal baru yang juga baik” (al-muĥâfažah ‘alâ al-qadîm al-şâliĥ wa al-aķdzu bi al-jadîd al-aşlâĥ).
Adapun pendekatan berpikir yang diterapkan olehnya adalah dengan pendekatan kontekstual, di mana pemahamannya lebih berorientasi pada konteks pembaca teks dalil-dalil hukum. Dalam pemahaman ini, latar belakang sosial historis di mana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semuanya itu harus ditarik ke dalam konteks pembaca di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah, dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, sifat geraknya adalah dari bawah ke atas, yakni dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks). Lebih lanjut penulis dapatkan bahwa ungkapan dirinya menggunakan pendekatan kontekstual, didasarkan pada pelbagai perkembangan isu dalam kehidupan kaum muslim dan pertumbuhan kelompok-kelompok baru dalam tubuh umat tidak dapat membatasi para intelektual muslim dari sekedar membaca buku produk-produk Timur Tengah, cetakan-cetakan terjemah, maupun literatur dari Barat sebagai panduan. Bukan saja ada perbedaan latar belakang kemunculan karya-karya tersebut dengan situasi masyarakat Indonesia, tapi terkadang semua itu hanya menyajikan pandanga-pandangan global, teoritis, dan kadang-kadang sangat politis tentang apa itu Islam dan kehidupan Islami.[37]
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat penulis simpulkan (meminjam pendekatan Mahsun Fuad) bahwa pola pemikiran Muhammad Qurasih Shihab adalah “kontekstualisasi-madzhabi responsi-simpatis partisipatoris”. Dengan artian, Quraish mencoba untuk mengkontektualisasikan pemikiran madzhab (baik qauli maupun manhaji) di Indonesia dengan karakter dominan mendukung dan dalam batas-batas tertentu ikut menggerakkan proses modernisasi pembangunan dengan pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila ia dijalankan sebagai alat rekaya sosial (Islamic law as a tool of social engineering), dengan negara sebagai aktor pengelolanya.
D. Kesimpulan.
Berdasarkan pemaparan pembahasan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa pemahaman hukum Islam yang lebih mewarnai pemikiran Muhammad Qurasih Shihab dalam menjawab problematika hukum Islam di Indonesia adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip uşûl al-fiqh yang telah dirumuskan dan dikodifikasi oleh para uşûliyyîn. Namun pola ysng lebih mewarnai hasil fatwanya (pemikiran hukum Islamnya) adalah dengan pola eklektif secara qaulî bukan manhajî, dan pendekatannya adalah kontekstual.
2014@abdkadiralhamid
Dituding Syiah, Ini Jawaban Quraish Shihab
Quraish Shihab Prof Quraish Shihab dituding sebagian kalangan sebagai Syiah. Ulama penulis Tafsir Al Misbah ini pun merespons tudingan tersebut.
"Nabi SAW saja difitnah, apalagi cuma Quraish Shihab," ujarnya sambil tertawa ringan. Quraish pun menantang orang-orang yang menyebutnya berpaham syiah untuk membuktikan apakah prinsip-prinsip paham yang berkembang di Iran tersebut ada dalam karyanya, lansir Republika Online, Senin (17/2).
Dia menjelaskan, prinsip syiah sangat jelas seperti percaya kepada imamah. Tak hanya itu, terdapat ritual khas yang kerap dijalankan penganut syiah seperti shalat di batu karbala dan menangguhkan puasa.
"Orang-orang yang menuding saya Syiah, apakah pernah melihat saya shalat di atas batu Karbala? Apakah, ketika Ramadhan, pernah melihat saya tangguhkan buka puasa 10 hingga 15 menit, sebagaimana kayakinan Syiah."
Meski demikian, Quraish mengaku mempelajari beberapa pendapat dari ulama syiah, bahkan muktazilah. Menurutnya, semua itu dilakukan demi mempelajari keragaman yang merupakan kekayaan intelektual umat Islam.
"Jika pendapat ulama Syiah, ada yang saya ambil, bahkan Muktazilah, karena keragaman itu kita pelajari," jelasnya. Quraish pun menegaskan penghormatannya kepada para sahabat Rasulullah SAW, termasuk Abu Hurairah.
"Tanya semua mahasiswa saya bagaimana sikap saya kepada sahabat, terhadap Abu Hurairah."
Saya kira tuduhan mereka salah," ujar Direktur Pakar Pusat Studi Quran tersebut.
Biografi M. Quraish Shihab
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang (Sulawesi Selatan) pada 16 Februari 1944. Ia seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al Qur’an dan pernah menjabat Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998).Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Beliau adalah putra keempat dari seorang ulama besar almarhum Prof. H. Abd. Rahman Shihab, guru besar ilmu tafsir dan mantan Rektor UMI dan IAIN Alaudin Ujung Pandang, bahkan sebagai pendiri kedua Perguruan Tinggi tersebut. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Makassar (dulu Ujung Pandang), Quraish melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah.
Melihat bakat bahasa arab yang dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislaman, Quraish beserta adiknya (Alwi Shihab) dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar Cairo. Mereka berangkat ke Kairo pada 1958, saat usianya baru 14 tahun, dan diterima di kelas dua I’dadiyah Al Azhar (setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia).
Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin JurusanTafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i Al-Qur’an Al-Karim (Kemukjizatan Al-Qur’an Al-Karim dari Segi Hukum)”.
Sekembalinya ke Makassar, Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin. Ia juga terpilih sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur).
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan disertasi berjudul “Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keotentikan Kitab Nazm ad-Durar Karya al-Biqa’i)”, ia berhasil meraih gelar doktor dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma’a martabat al-syaraf al-’ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998.
Quraish Shihab bahkan dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Republik Djibouti yang berkedudukan di Kairo.
Ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan lain, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, anggota Lajnah PentashihAl-Quran Departemen Agama, dan anggota Badan Pertimbangan PendidikanNasional. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur ‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat.
Di sela-sela segala kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal, termasuk di media televisi. Ia diterima oleh semua lapisan masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas, rasional, serta moderat.
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Al-Qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Al-Qur’an lainnya.
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Al-Qur’an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan Al-Qur’an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku.
Menurutnya, penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat Al-Qur’an.
Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama Al-Qur’an.
Beberapa buku karya M. Quraish Shihab:
1. Tafsir Al-Mishbah
2. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat
3. Membumikan Al-Qur’an
4. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan
5. Lentera Al-Qur’an
6. Filsafat Hukum Islam
7. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an
8. Pengantin Al-Qur’an
9. Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya
10. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam
NALAR FIQH MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
Muhammad Quraish Shihab adalah ulama Indonesia yang kecenderungan berpikirnya pada bidang tafsir dan ilmu al-Qur’an. Namun dalam perkembangannya, Quraish mulai memasuki ranah hukum Islam dengan menjawab permasalahan hukum Islam dan kemudian dibukukan oleh penerbit dengan karakter al-as`ilah wa al-jawâb (tanya-jawab). Di dalam buku-buku tersebut, Quraish mencoba untuk mengkontektualisasikan pemikiran madzhab (baik qauli maupun manhaji) dengan karakter dominan mendukung dan dalam batas-batas tertentu ikut menggerakkan proses modernisasi pembangunan dengan pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila Islamic law as a tool of social engineering, dengan negara sebagai aktor pengelolanya.
Key Words : Pemahaman Hukum Islam, Muhammad Quraish Shihab
A. Pendahuluan.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab adalah seorang mufassir terkemuka bersekala internasional asal Indonesia setelah Buya HAMKA, Mahmud Yunus, dan lain-lain. Karya monumetalnya dibidang tafsir yang dipublikasikan dan menjadi rujukan para pengkaji al-Qur’an adalah Tafsir al-Mishbah. Buku ini ditulis Quraish di Kairo pada 18 Juni 1999. Dari segi kemasannya, buku ini ditulis secara berseri, terdiri dari 15 volume dan telah rampung penulisannya hingga 30 juz. Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, buku tersebut berusaha menghidangkan suatu bahasan pada setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah.[1]
Corak metode penafsiran Muhammad Quraish Shihab pada intinya adalah, sebuah tawaran tentang metode penafsiran modern secara tematik dengan corak penafsiran sastra dengan sistematika penyusunan menggunakan metode taĥlîlî. Selain kedua metode tersebut, tampaknya Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah juga menggunakan satu lagi metode tafsir yaitu metode tafsir muqarran. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan ayat-ayat dengan mengutip atau menukil pendapat beberapa mufassir lain dalam kitab-kitab mereka kemudian berusaha menemukan formulasi penafsiran yang paling tepat.
Akan tetapi kali ini Quraish Shihab tidak saja mengkaji isi-isi al-Qur’an dengan diselaraskan pada fenomena kekinian, ia mulai memasuki lapangan hukum Islam dengan cara menjawab persoalan-persoalan hukum Islam tersebut, khususnya yang ada di Indonesia. Karyanya yang penulis anggap sebagai bagian dari pengkajiannya di dalam hukum Islam yang kini juga menjadi buku paling laris dan dipublikasikan oleh Lentera Hati adalah “M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui”. Buku ini berjumlah 929 halaman, dan penulis klasifikasikan ke dalam kajian hukum Islam karena isinya yang merupakan hasil dari tanya jawab antara sipenanya baik muslim maupun non-muslim dengan M. Quraish Shihab, atau hasil fatwa beliau seputar permasalahan ibadah, al-Qur’an dan Hasits, mu’amalah, dan wawasan agama.[2] Selain buku di atas, kajian hukum Islam yang dilakukan oleh Quraish Shihab dengan metode tanya jawab pula adalah “Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab” yang dipublikasikan oleh penerbit Republika setebal 176 halaman.
Secara eksplisit, tulisan beliau ini mencoba untuk masuk ke dalam ruang berpikir kaum awam, tidak seperti tulisan-tulisan beliau dibidang ilmu al-Qur’an yang hanya merupakan kajian intelektual Islam saja. Akan tetapi, setelah penulis membaca tulisan beliau dibidang hukum Islam ini, penulis dapatkan jawaban-jawaban yang terasa sekali tidak tegas bahkan seolah-olah mengajak kepada sipenanya untuk melakukan talfîq secara qauli. Sebagai contoh adalah pertanyaan tentang bermakmum pada ķatîb yang tak faşiĥ membaca al-Qur’an. Dalam hal ini, beliau memaparkan pendapat para imam, seperti Imâm al-Śâfi’î dan Imâm Abû Ĥanîfah tentang syarat-syarat bagi sahnya ķuţbah jum’at. Namun, pada akhir jawabannya ia tidak menguatkan salah satu dari tiga pendapat di atas, akan tetapi ia mengatakan :
“Jika anda membenarkan paham Imâm Abû Ĥanîfah, maka ķuţbah jum’at tetap dinilai sah, walau Ķâtibnya salah atau tersendat-sendat dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an. Sebab bacaan ayat-ayat bagi imam bukanlah rukun ķuţbah. Tetapi, jika anda menilai bahwa pendapat Imâm al-Śâfi’î lebih tepat atau lebih benar, maka tentu saja ķuţbah yang disampaikan oleh ķâtib yang salah bacaan ayat al-Qur’annya menjadi tidak sah. Dengan demikian, upacara Jum’at dinilai tidak memenuhi syarat.”[3]
Keanehan juga terlihat ketika beliau menjawab tentang permasalahan perbedaan dalam merayakan hari lebaran. Ia menyebutkan :
“Kalau terjadi perbedaan pendapat tentang ‘Îdul Fiţri, pilihlah salah satunya yang relatif menenangkan hati anda. Kalau anda bingung, ikuti pemerintah. ‘fatwa hakim (pemerintah) menyelesaikan ķilaf,’ begitu rumusnya. Jika memilih hari pertama, maka haram bagi anda berpuasa. Jika memilih hari kedua, maka berpuasalah ketika itu.”[4]
Berdasarkan pemaparan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah mendasar di dalamnya adalah, tentang metode pemahaman hukum Islam yang digunakan oleh Muhammad Qurasih Shihab dalam menjawab permasalahan hukum Islam di Indonesia. Melalui permasalahan tersebut, maka penulis akan mengkajinya secara komprehensif dengan rumusan masalah, bagaimana pemahaman hukum Islam yang diterapkan oleh Muhammad Qurasih Shihab dalam menjawab problematika hukum Islam di Indonesia ? Hal ini akan dilihat dari beberapa penekanan yaitu, penjelasan tentang fatwâ dan pemahaman hukum Islam dalam kerangka berpikirnya, serta apa saja kelamahan dan kelebihan dalam nalar pikir Quraish Shihab tersebut.
B. Metode Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan cara mengadakan penelusuran atas buku dan karya-karya ilmiah Muhammad Quraish Shihab, terutama hasil karya-karya ilmiahnya yang berkenaan dengan permasalahan hukum Islam. Dengan kata lain, jenis penelitian ini adalah “library research”. Adapun penjenisan sumber data dilihat dari sumber asalnya, maka datanya adalah data literer, yakni data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis seperti dari kitab-kitab uşûl al-fiqh, fiqh, peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan sebagainya. Dan jika dilihat dari derajat sumbernya maka jenisnya adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut, seperti Tafsir al-Mishbah, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, dan M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, dll. Adapun data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data tersebut, seperti buku-buku yang membahas pemikiran Muhammad Quraish Shihab, kitab-kitab uşûl al-fiqh, fiqh, dll.
Selanjutnya, dalam proses pengolahan data adalah, dengan cara mengadakan klasifikasi data, yakni dengan cara menyusun data dalam beberapa kategori menurut kriteria yang timbul secara logis dari masalah yang akan dipecahkan. Adapun langkah-langkahnya adalah, (a) menyeleksi data yang valid dan invalid, (b) memilih data valid yang relevan dengan pembaharuan, (c) menyusun data secara sistematis dan runtut. Dan setelah semua data diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya penulis melakukan analisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
C. Pembahasan.
1. Biografi dan Karya Tulis Muhammad Quraish Shihab.
Nama lengkapnya Prof. Dr. Hi. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab, guru besar tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Muhammad Quraish Shihab.[5] Lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sidrap Sulawesi Selatan wilayah sebelah barat Kota Daeng Makassar dan tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat,[6] meskipun memiliki sikap dan pandangan hidup yang sederhana sebagai keturunan Arab yang terpelajar.
Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an, dan setelah itu ia kembali meneruskan untuk mendapatkan gelar doktornya. Sekembalinya ke Indonesia, ia menjadi sosok sarjana muslim kontemporer yang menjalani karir akademik dan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan, cukup sukses. Ia juga aktif menulis karya-karya ilmiah dan telah melahirkan lebih dari 60 buah buku dan ratusan artikel di surat kabar dan majalah meliputi berbagai bidang kajian yang digeluti, baik sebagai guru besar di perguruan tinggi maupun dalam kapasitasnya sebagai editor surat kabar. Secara detil sebahagian karya-karya beliau yang dipublikasikan adalah; Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987). Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992). Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996). Hidangan Ilahi; Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 1997). Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, (Jakarta: Republika, 2003). Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), dan lain sebagainya.
2. Fatwa Dalam Kerangka Berpikir Muhammad Quraish Shihab.
Fatwa atau iftâ’ bersal dari kata aftâ yang artinya memberi penjelasan. Secara sederhana fatwa memiliki arti, usaha untuk memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Adapun perbedaan antara iftâ’ dengan ijtihâd adalah, bahwa iftâ’ itu lebih khusus dari ijtihâd. Iftâ’ itu dilakukan setelah orang bertanya, sedangkan ijtihâd dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak manapun.
Sebenarnya antara keduanya tidak dapat dibandingkan karena subjeknya berbeda. Ijtihâd adalah usaha menggali hukum dari sumber dan dalilnya, sedangkan iftâ’ adalah usaha menyampaikan hasil penggalian melalui ijtihâd, taqlîd atau talfîq tersebut kepada orang lain yang bertanya. Iftâ’ itu adalah salah satu cara untuk menyampaikan hasil ijtihâd, taqlîd atau talfîq kepada orang lain melakukan ucapan. Cara penyampaian lain adalah melalui perbuatan seperti ketukan palu seorang hakim pada pengadilan yang disebut qadâ’.
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan, betapa para ulamâ’ di dunia (termasuk Indonesia) saat ini berlomba-lomba untuk memformulasikan bentuk pembaharuan hukum Islam dengan jalan fatwa ini. Karena belum ada satu karyapun yang secara sistematis menulis kajian hukum Islam dalam bentuk fiqh dengan gaya bahasa dan pemikirannya sendiri, dan yang berkembang saat ini adalah, bahwa para pemikir hukum Islam sering kali berafiliasi dengan satu madzhab tertentu atau menukil semua ungkapan madzhab baik secara qaulî maupun manhajî. Dengan demikian, maka menurut hemat penulis bentuk pembaharuan era ini hanyalah pada tataran re-interpretasi atau yang paling ekstrim adalah dengan melakukan re-ijtihad. Hal ini menurut hemat penulis karena keterbatasan cara pandang pembaca terhadap apa yang dibacanya, sehingga dengan mudah membuat kesimpulan, yang penting beda dengan madzhab tertentu, agar terlihat independen dan dikatakan modern.
Model seperti ini pernah dijelaskan oleh Suratmaputra, di mana pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai suatu upaya dan perbuatan melalui proses tertentu (dengan penuh kesungguhan) yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara tertentu (berdasarkan kaidah-kaidah istinbâţ atau ijtihâd yang dibenarkan) untuk menjadikan hukum Islam dapat tampil lebih segar dan tampak modern (tidak ketinggalan zaman) atau menjadikan hukum Islam senantiasa þâliĥun likulli zamân wa makân.[7]
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam bukan saja dibenarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya bagi umat Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur Tengah, seperti Indonesia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan :
a. Banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang diterapkan di Indonesia merupakan produk ijtihâd yang didasarkan pada kondisi dan kultur Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam Timur Tengah, belum tentu cocok dan baik bagi umat Islam Indonesia.
b. Kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini jauh lebih besar dan beragam dibandingkan dengan zaman sebelumnya, karena terjadi perubahan luar biasa dalam kehidupan sosial yang disebabkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, dalam upaya mereaktualisasi hukum Islam agar mampu memberikan jawaban-jawaban atas kebutuhan dan permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat Indonesia, maka perlu dilakukan ijtihâd yang didasarkan pada kepribadian dan karakter bangsa Indonesia.[8]
Adapun pemikiran fatwa Muhammad Quraish Shihab sama dengan pemikiran yang berkembang tentang fatwâ dalam Islam, di mana fatwâ bukanlah keputusan hukum yang dengan gampang den sekehandak orang, yang disebut membuat-buat hukum tanpa dasar (al-taĥakkum). Fatwâ senantisa terkait dengan siapa yang berwewenang memberi fatwâ (ijâzah al-iftâ’), kode etik fatwâ (adâb al-iftâ’), dan metode pembuatan fatwâ (al-istinbâţ). Pemberi fatwa (muftî’) bukanlah hak setiap orang. Bagi Quraish, seorang secara moral dan ilmiah, harus memenuhi sejumlah persyaratan agar dapat disebut muftî’. Salah satu yang terpenting tentu saja bahwa ia harus memahami pelbagai aspek hukum Islam dan dalil-dalil yang menopangnya. Akan tetapi, itu saja belum cukup, sebab hanya menunjukan kemampuan individual dari dalam. Di samping itu, perlu ada pengakuan secara sosial (moral) bahwa ia layak didengar kata-katanya. Ini biasanya ditandai oleh adanya permintaan fatwa (istiftâ’) kepada sang muftî’.[9] Karena begitu sulitnya memperoleh kewenagan memberi fatwâ, tradisi pemberian fatwa di Indonesia, (seperti yang telah penulis jelaskan di bab sebelumnya) terutama akhir-akhir ini, lazim diberikan oleh lembaga khusus dalam organisasi, seperti Dewan Syuriah NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, atau Komisi Fatwa MUI. Ini tentu berbeda dengan yang terjadi di sebagian negara Muslim lain, seperti Mesir dan Iran yang didalam masih ada orang yang diyakini memilki kemampuan individu untuk menjadi muftî’ atau imâm.
Dengan demikian, menurut Quraish, fatwâ muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial yang diahadapi oleh umat. Karena itu, fatwâ mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Dengan demikian, fatwâ tidak sama dengan tanya jawab keagamaan seperti dalam pengajian-pengajian. Bukan juga sekedar ceramah-ceramah seputar suatu ajaran agama. Fatwâ, senantisa sangat sosiologis. Ia mengandaikan adanya perkembangan baru, persoalan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan hukumnya, atau belum jelas duduk masalahnya.[10]
Berdasarkan penjelasan di atas, Quraish membuat rumusan baru tentang agenda fatwâ dimasa yang akan datang. Perlu segera ditegaskan disini bahwa loncatan umat Islam dari melinium silam ke melinium baru ini jelas-jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwâ. Oleh karena itu, Quraish menganggap ada beberapa agenda fatwâ yang dimasa depan mungkin harus diwujudkan. Pertama, Quraish berkeyakinan bahwa sekalipun fatwâ dan penetapan hukum senantiasa dibatasi, namun bukan saatnya lagi pelbagai (lembaga) pemberi fatwa hanya bersikap reaktif terhadap persoalan yang dosodorkan umat. Fatwâ sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, bahkan, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dsb. Dengan dmeikian, lembaga pemberi fatwâ dituntut lebih jeli dan produktif dlam memahami kebutuhan riel masyarakat muslim.[11]
Kedua, untuk dapat proaktif dan produktif, agenda terbesar umat Islam saat ini adalah bagaimana merumuskan suatu metodologi baru, atau paling tidak penegasan kembali suatu mekanisme pemberian fatwa yang relatif dapat diperpegangi bersama (mu’tamad). Sebab pelabagai perkembangan isu dalam kehidupan kaum muslim dan pertumbuhan kelompok-kelompok baru dalam tubuh umat tidak tidak dapat membatasi para intelektual muslim dari sekedar membaca buku-buku produksi Timur Tengah, cetakan-cetakan terjemahan, maupun literatur dari Barat sebagai panduan. Bukan saja ada perbedaan latar belakang kemunculan karya-karya tersebut dengan situasi masyarakat kita, tapi kadang-kadang semua itu hanya menyajikan pandanag-pandangan, global, teoritis, dan kadang-kadang sangat politis tentang apa itu Islam dan kehidupan Islami. Sebaliknya, kurang menyajikan suatu keputusan hukum yang sifatnya peraktis dalam kehidupan umat sebagaimana yang menjadi ciri fatwâ-fatwâ yang berkembang di Indonesia sejak melinium silam.[12]
Ketiga, perlunya merumuskan pengertian al-maşlaĥah atau al-darûriyyat al-ķams dalam konteks ekonomi-politik global kontemporer, maupun dalam lingkup sosio-kultural umat Islam di Indonesia. Maksudnya, sudah saatnya fatwâ-fatwâ kita memiliki perhatian lebih besar kepada masalah-masalah hukum yang bersifat publik (fiqih/teologi sosial), ketimbang mengurus aspek-aspek teknis ibadah yang bersifat personal. Menyangkut agenda sosial ini, implikasi dan jangkauan politik suatu fatwâ menjadi sangat besar. Tidak mengherankan jika pemerintah biasanya sangat berkepetingan terhadap fatwa jenis ini. Fatwâ-fatwâ seputar mendiang SDSB, UMR, program KB, bunga bank, dan sebagainya senatiasa melibatkan campur tangan pemerintah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, merupakan tugas terbesar dan terberat para pemberi fatwa saat ini untuk membangun kemandiriannya diantara tarik-menarik kekuatan pemerintah, partai-partai politik, organisasi keagamaan, dan kepentingan umat yang lebih luas. Dengan membangun prinsip dan agenda sosial yang lebih serius, diharapkan produk fatwâ yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan pembumian ajaran-ajaran Islam, tanpa mengurangi bobot kebenaran yang dikandungnya.[13]
Berdasarkan gerak fikir Muhammad Quraish Shihab tentang fatwâ di atas, ada hal penting yang perlu digaris bawahi, di mana Quraish mencoba untuk menyamakan antara fatwâ dan ijtihâd dalam pengaplikasiannya. Padahal pada sisi penggunaannya, fatwâ hanya timbul ketika ada yang menanyakan, sedang ijtihâd harus terus digali dan dicarikan jawabannya meskipun tidak ada yang menanyakannya, baik munculnya saat ini ataupun yang akan datang, dan tentunya sudah diprediksi kemunculan masalah tersebut. Sedangkan Quraish menginginkan adanya sikap proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, karena bagi Quraish syarat fatwâ selain adanya orang yang meminta juga karena adanya kondisi yang memerlukan pandangan atau keputusan hukum. Inilah pemikiran yang menurut penulis relevan untuk diterapkan di Indonesia yang sangat plural. Apalagi secara geografis, Indonesia berbeda dan jauh dari pusat Islam yakni al-Haramain (Mekah dan Madinah), dan tetunya begitu banyak permasalahan di dalamnya, seperti adanya yang mencoba untuk membenturkan antara agama dengan keadaan sosial, budaya, politik, dll.
3. Hasil Fatwa Hukum Islam Muhammad Quraish Shihab.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran M. Quraish Shihab tidak terfokus pada pendekatan hukum Islam, melainkan dengan pendekatan kajian tafsir atas naś-naś al-Qur’an. Namun, melalui tafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut, ia kemudian juga memasuki ranah hukum Islam dengan pendekatannya sendiri melalui fatwa-fatwanya yang ia tulis dan kumpulkan berdasarkan pertanyaan umat Islam kepadanya. Sebagai contoh adalah tentang interpretasinya tentang poligami yang dituangkan dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, di mana Allâh swt berfirman :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوْا {النساء : 3}
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’ : 3)[14]
Menurut Quraish, pada hakikatnya ayat ini hanya memberikan wadah bagi yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti terputusnya kehendak biologis laki-laki karena wanita telah mengalami manopouse, wanita yang tidak dapat memberikan keturunan, penyakit akut yang ada pada diri seorang wanita, peperangan yang berkepanjangan, dan lain sebagainya. Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.[15]
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat difahami bahwa pendapat Quraish tersebut menunjukkan bahwa poligami dapat dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan (dalam hal cinta) hampir mustahil dapat terpenuhi, maka kebolehan tersebut tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara tentang poligami ini bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim. Ayat ini turun ketika ada wali yang mengawini anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak memberikan hak-hak anak-anak yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras larangannya. Karena sebelum menyatakan, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat, dinyatakan-Nya, dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah, dan seterusnya.[16]
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa penetapan syarat-syarat poligami sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (bukan melaranganya sama sekali) bertentangan dengan syari’at Islam. Namun demikian, ia dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa persyaratan yang sangat berat (seperti harus seizin istri pertama, yang hampir mustahil ada yang mengizinkannya) dapat mengantar kepada tertutupnya sama sekali pintu poligami yang telah dibukan oleh syari’at Islam. Atau mengantar kepada maraknya perkawinan sirri (yang dirahasiakan), hadirnya wanita-wanita simpanan, atau bahkan mengantar kepada berkembangnya prostitusi. Bukan saja disebabkan oleh jumlah wanita yang lebih banyak, tetapi lebih-lebih oleh era “keterbukaan” aurat dewasa ini. Paling tidak, walau tanpa harus merevisi Undang-undang Perkawinan, para hakim dengan kebijaksanaan dan ijtihadnya dapat berperan mengurangi kekhawatiran masyarakat.[17]
Dalam hal poligami ini, pemikiran Muhammad Quraish Shihab terlihat sekali perbedaannya dengan pemerintah, di mana secara tersirat sesungguhnya ia mengingkan adanya revisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akan tetapi revisi yang ia canangkan berbeda dengan kelompok feminisme yang sangat mengedepankan kesetaraan gender. Jika kelompok feminis memiliki pemikiran untuk menutup akses poligami karena merupakan kekerasana terhadap wanita dari segi psikis, Muhammad Qurasih Shihab justru mendukung dibukanya akses poligami ini agar tidak terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun janda.
Adapun menurut hemat penulis, (sebagai bahan perbandingan) pemikiran yang pro-poligami namun tetap mengedepankan nilai-nilai feminisme[18] adalah sebagaimana yang dituangkan oleh Muĥammad Śaĥrûr di dalam kitabnya “al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah” yakni, ayat ini sesungguhnya telah memberikan petunjuk tentang adanya batas minimal perempuan yang boleh dinikahi yakni satu orang istri, sedangkan batas maksimalnya adalah empat orang istri. Dan ia menyebutnya dengan sebutan al-ĥudûd.[19] Lebih jelas ia mengungkapkan ;
أَنَّ آ يَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِ…مِنْ آ يَاتِ اْلحُدُوْدِ…فَاْلحَدُّ اْلأَدْنىَ هُـنَا هُوَ الْوَاحِدَةُ وَاْلحَدُّ اْلأَعْلىَ هُوَ اْلأَرْبَعَةُ.[20]
Artinya : “Sesungguhnya ayat tentang poligami…merupakan (bagian) dari ayat-ayat tentang al-ĥudûd (ketentuan Allâh)…dan batasan minimal di sini adalah satu (istri) sedangkan batasan maksimal adalah empat (istri).”
فَقَدْ رَجَحُوْا بِأَنَّ أَسَاسَ اْلعَدَدِ فِى الزِّوَاجِ هُوَ الْوَاحِدَةُ وَقَالُوْا إِنَّ تَعَدُّدَ الزَّوْجَاتِ هُوَ ظُرُوْفٌ اِضْطِرَارِيَّةٌ.[21]
Artinya : “Dan telah dijelaskan bahwa asas perkawinan adalah (hanya untuk) satu orang (istri), dan mereka berkata bahwa poligami boleh dilakukan karena kondisi yang mendesak.”
Persyaratan mendesak yang paling ditekankan oleh beliau dan sangat berbeda dengan terjemahan al-Qur’an Departemen Agama adalah, (فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ) “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” maksud dari firman Allâh swt ini adalah ( أنه يتكلم عن أمهات اليتامى ) “sesungguhnya ia membicarakan tentang ibu-ibu dari anak-anak yatim”. Ayat selanjutnya menyebutkan ( فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً ) memliki penjelasan ( أي تعدلوا بين الأولاد يعنى أولاده وأولاد زوجاته الأرامل ) “bersikap adil kepada anak-anak, yakni kepada anak-anaknya dan anak-anak dari istri-istrinya yang janda”. Penafsiran seperti ini ia tuangkan karena ayat ini diawali dengan ungkapan Allâh swt ( وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى ) “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak-anak yatim”, maksudnya adalah ( فإذا خاف ألا يعدل بين الأولاد فواحدة ) “maka jika kamu takut tidak dapat berlaku adil kepada anak-anaknya maka kawinilah satu istri saja”.[22] Terjemahan Śaĥrur di atas sungguh berbeda dengan terjemahan al-Qur’an oleh Departemen Agama dan juga Quraish Shihab yang menerjemahkannya menjadi “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”. Dalam hal ini, Śaĥrûr menekankan hak anak-anak yatim sebagai syarat, sedangkan Quraish tidak.
Contoh lain adalah dari bukunya “Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab”, di mana ia banyak menjawab permasalahan dengan tidak ada kesimpulan akhir yang kongkrit darinya, seperti pada ungkapan beliau tentang hukum bersentuhan kulit antara pria dan wanita, apakah membatalkan wudû’. Quraish menjawab, menurut madzhab Śâfi’î, menyentuh lawan seks (jenis) membatalkan wudû’, sedang madzhab lain menganggap batal jika seuntuhannya menimbulkan birahi.[23] Bahkan ada pula jawaban yang pelu untuk dikaji kembali secara mendalam, yakni tentang dibolehkannya hubungan suami-istri yang sedang dalam perjalanan (musâfir) disiang hari bulan puasa asalkan dalam perjalanan yang dibenarkan oleh agama.[24]
Contoh lain adalah, pada pemahamannya tentang hukum onani yang ia tuangkan dalam bukunya “M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui”. Dalam hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani dengan mendasarkan pada firman Allâh swt dalam surat al-Mu’minûn ; “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya [5] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela [6] barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas [7].”[25]
Namun dalam hal ini, Quraish mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan dengan keadan saat ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani pada dasarnya terlarang, tetapi ia dapat dibenarkan bila memenuhi tiga syarat. Pertama, yang bersangkutan tidak mampu kawin. Kedua, khawatir terjerumus dalam perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan. Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak sering dilakukan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan.[26] Dalam hal ini, ‘illah hukum yang ditekankan oleh Quraish adalah dalam hal “terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jika ‘illah itu kemudian ada pada diri seseorang, seperti terbengkalainya pekerjaan, terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani tersemat pada dirinya.
4. Tipe Pemikiran Hukum Islam Muhammad Quraish Shihab.
Dalam hal ini, penulis menemukan tipologi yang tepat tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia sebagai sebuah pendekatan, untuk dinisbatkan kepada Muhammad Quraish Shihab. Tipologi ini penulis ambil dari hasil penelitian Mahsun Fuad dalam bukunya Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Menurut Mahsun, ada tiga kategorisasi pemikiran hukum Islam di Indonesia, yakni :
a. Dari segi metode penemuan hukum terdapat dua pola :[27]
1) Kontekstualisi-Madzhabi ; upaya penemuan dan perluasan bagi berlakunya ketentuan hukum yang diusahakan melalui frame atau pola fiqh madzhab, baik prosedur qaulî (tekstual) maupun manhajî (metodologis). Bagi kelompok ini, akurasi analisis dan kerangka dasar keilmuan klasik, walaupun tidak semuanya dapat diterapkan di era modern, akan tetapi masih menyimpan kekayaan epistemologis, yang dapat diukur validitasnya sebagai bangunan keilmuan, lalu dikemas menjadi paket yang sesuai dengan tuntutan kehidupan modern.
2) Rekonstruksi-Interpretatif ; model berpikir yang mengupayakan penemuan dan perluasan bagi berlakunya ketentuan hukum yang diusahakan melalui metode-metode alternatif yang dikembangkan sendiri oleh penggagasnya dengan mengarah pada penataan ulang metode penafsiran naşş-naşş hukum.
b. Dari segi responsi pemikiran hukum Islam atas modernisasi-pembangunan terdapat dua pola :[28]
1) Responsi-Simpatis ; respons pemikiran hukum Islam dengan karakter dominan mendukung dan dalam batas-batas tertentu ikut menggerakkan proses modernisasi-pembangunan. Dalam hal ini, pola ketetapan hukum Islam paling tidak (secara implisit) harus tampak selaras-simpati dengan pola-pola dan nilai-nilai yang terkandung dalam modernisme.
2) Responsi-Kritis ; respons pemikiran hukum Islam dengan karakter utama mengkritisi dan menggugat substansi nilai-nilai dasar, proses dan segala akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi-pembangunan. Dalam hal ini, pola ketetapan hukum Islam setidaknya harus tampak kritis, dan dalam batas-batas tertentu tampil sebagai counter discourse atas niali-nilai yang dianut modernisme.
c. Dari segi strategi implementasi pemikiran hukum Islam di Indonesia modern, ada dua pola :[29]
1) Partisipatoris ; satu model pemikiran yang berangkat dari pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila ia dijalankan sebagai alat rekaya sosial (Islamic law as a tool of social engineering), dengan negara sebagai aktor pengelolanya. Hukum Islam dalam konteks ini, dilegislasi dan diformulasikan sehingga statusnya menempati posisi dan peran yang setara dengan undang-undang negara.
2) Emansipatoris ; satu model pemikiran yang berangkat dari pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila ia dijalankan sebagai alat kontrol sosial (Islamic law as a tool of social control), emansipasi sebagai sarana pembebasan dalam masyarakat. Pandangan ini mengidealkan masyarakat sebagai aktor penemu, pengembang dan pengelola hukum Islam.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka dapat disimpulkan dan dirumuskan bahwa tipologi dari pemikiran hukum Islam di Indonesia mengarah kuat pada empat pola, yakni (1) Kontekstualisasi-Madzhabi Responsi-Simpatis Partisipatoris, (2) Rekonstruksi-Interpretasi Responsi-Simpatis Partisipatoris, (3) Rekonstruksi-Interpretasi Responsi-Kritis Emansipatoris, (4) Kontekstualisasi-Madzhabi Responsi-Kritis Emansipatoris.[30]
Adapun mengenai Muhammad Quraish Shihab, menurut Islah Gusmian karyanya Tafsir al-Mishbah di golongkan sebagai salah satu literatur tafsir Indonesia yang secara umum menggunakan perspektif tekstual-reflektif, geraknya berangkat dari refleksi ke praksis. Namun tegas Islah, karya tafsir ini belum menampilkan problem ke-Indonesiaan dalam arah epistemologis yang dihadapi umat Islam di Indonesia pada saat tafsir ini ditulis.[31] Adapun dari segi fatwa yang ia telah keluarkan, maka pola jawaban M. Quraish Shihab begitu pariatif dengan lebih banyak menghadirkan kembali apa yang telah tertuang di dalam kitab-kitab klasik maupun kontemporer yang Quraish anggap wajar untuk dikemukakan atau dipilih dan dianut oleh beliau.[32] Lebih tegas ia menyebutkan “maka seorang mufti bukanlah orang yang harus melepaskan diri dari tradisi Islam”.[33]
Secara sepintas, jawaban-jawaban Quraish yang pariatif tersebut, jika dipaparkan dihadapan ummat Islam Indonesia yang masih memegang niali-nilai madzhab (ortodok) maka akan menimbulkan polemik, dan menganggap jawaban-jawaban seperti itu sebagai jawaban yang tidak pasti apalagi jika tidak didisertai dengan bayân atau penjelasan dan penegasan mana yang layak untuk dipilih di dalamnya.
Adapun menurut hemat penulis, ada dua alasan yang menyebabkan Quraish berlaku demikian, (1) sesungguhnya ia ingin mencoba untuk terus membuka wawasan berpikir umat Islam Indonesia yang sudah terbiasa dengan satu jawaban dan menafikan jawaban yang lain, menuju pemahaman yang modern dengan pilihan jawaban alternatif, karena kebenaran hanyalah milik Allâh semata, (2) dengan jawaban demikian sesungguhnya ia mencoba untuk mencitrakan dirinya sebagai bagian dari ulamâ’ yang moderat dan dapat menerima perubahan zaman. Hal ini dapat dilihat dari alasan Quraish yang menjelaskan bahwa jawaban-jawaban para imâm dan ulamâ’ klasik maupun kontemporer walaupun berbeda, pada hakekatnya tetap bersumber dari pemahaman yang bertanggung jawab terhadap teks-teks al-Qur’an dan al-sunnah maka semua dapat dibenarkan.[34] Menurut Quraish, pesat dan beragamnya informasi dalam era yang sangat cepat berubah ini membuat kita perlu menghidangkan aneka alternatif kepada masyarakat yang awam sekalipun. Apalagi dalam perincian ajaran agama, substansi pertanyaan bukannya eksak, seperti pertanyaan “lima tambah lima, berapa?” tetapi seperti “sepuluh adalah berapa tambah berapa?”. Jelas bahwa pertanyaan pertama hanya mengandung satu jawaban yang benar, sedangkan pertanyaan kedua dapat mengandung sekian banyak jawaban yang benar.[35]
Inilah nalar hukum Islam Quraish Shihab dalam menjawab permasahalan-permasalahan hukum Islam yang sering ditanyakan kepadanya. Model talfîq (kemudian lebih dikenal dengan sebutan model eklektif[36]) seperti ini dalam perkembangannya oleh para ulamâ’ modern termasuk M. Quraish Shihab dijadikan sebagai pola pembaharuan era ini. Pembaruan model eklektif ini memang lebih praktis, tidak filosofis, namun tidak mendasar dan esensial, sehingga sulit untuk merespon banyak isu aktual, yang sering bermunculan pada era modern. Pandangan atau gagasan-gagasan baru tetap diakomodir oleh model ini namun tetap dalam kerangka persfektif lama. Oleh karena pembaruan yang di lakukan tidak total, maka teori lama masih tetap dipertahankan sebagiannya dan meninggalkan sebagian yang lain yang dianggap tidak relevan. Bagi kalangan ini, peninggalan fiqh klasik kaya dengan berbagai solusi sehingga tinggal memilih mana yang dianggap paling relevan dan tepat untuk diterapakan. Dalam suasana demikian, maka tidak mengherankan jika metode pembaruan yang di pilih adalah talfiq. Contohnya fatwanya yang bersifat eklektif ini terdapat pada masalah poligami yang tertuang dalam Tafsir al-Mishbah. Meskipun M. Quraish Shihab menggunakan gerak eklektif dalam melakukan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, dengan menerapkan dua pendekatan madzhabî, yakni qaulî (literal) manhajî (metodelogis). Hal ini terlihat sekali ketika ia menjawab permasalahan-permasalahan hukum Islam yang ditanyakan kepadanya, ia lebih banyak menyebutkan ungkapan produk-produk hukum dari imâm atau ulamâ’ A, B, atau C klasik maupun kontemporer, meskipun ungkapan ulamâ’ klasik lebih banyak mewarnai jawaban hukumnya, bahkan dengan tidak menyimpulkan hasil hukum yang layak bagi masyarakat muslim Indonesia.
Penjelasan lain dari Quraish yang diwarnai oleh ungkapan ulamâ’ klasik, meskipun tidak dituangkan seluruhnya, memberikan penegasan betapa pentingnya tradisi klasik bagi seorang Quraish Shihab. Hal ini karena Quraish memang tidak dapat lepas dari tradisi kalsik yang selalu dipengaruhi oleh ayahnya kepada dirinya disetiap mengkaji ilmu ke-Islaman. Hal ini sejalan dengan garis pikir ulamâ’-ulamâ’ tradisional di Indonesia yang tetap “menjaga tradisi lama yang baik akan tetapi juga dapat mengadaptasikan hal-hal baru yang juga baik” (al-muĥâfažah ‘alâ al-qadîm al-şâliĥ wa al-aķdzu bi al-jadîd al-aşlâĥ).
Adapun pendekatan berpikir yang diterapkan olehnya adalah dengan pendekatan kontekstual, di mana pemahamannya lebih berorientasi pada konteks pembaca teks dalil-dalil hukum. Dalam pemahaman ini, latar belakang sosial historis di mana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semuanya itu harus ditarik ke dalam konteks pembaca di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah, dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, sifat geraknya adalah dari bawah ke atas, yakni dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks). Lebih lanjut penulis dapatkan bahwa ungkapan dirinya menggunakan pendekatan kontekstual, didasarkan pada pelbagai perkembangan isu dalam kehidupan kaum muslim dan pertumbuhan kelompok-kelompok baru dalam tubuh umat tidak dapat membatasi para intelektual muslim dari sekedar membaca buku produk-produk Timur Tengah, cetakan-cetakan terjemah, maupun literatur dari Barat sebagai panduan. Bukan saja ada perbedaan latar belakang kemunculan karya-karya tersebut dengan situasi masyarakat Indonesia, tapi terkadang semua itu hanya menyajikan pandanga-pandangan global, teoritis, dan kadang-kadang sangat politis tentang apa itu Islam dan kehidupan Islami.[37]
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat penulis simpulkan (meminjam pendekatan Mahsun Fuad) bahwa pola pemikiran Muhammad Qurasih Shihab adalah “kontekstualisasi-madzhabi responsi-simpatis partisipatoris”. Dengan artian, Quraish mencoba untuk mengkontektualisasikan pemikiran madzhab (baik qauli maupun manhaji) di Indonesia dengan karakter dominan mendukung dan dalam batas-batas tertentu ikut menggerakkan proses modernisasi pembangunan dengan pandangan bahwa hukum Islam akan berarti guna, apabila ia dijalankan sebagai alat rekaya sosial (Islamic law as a tool of social engineering), dengan negara sebagai aktor pengelolanya.
D. Kesimpulan.
Berdasarkan pemaparan pembahasan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa pemahaman hukum Islam yang lebih mewarnai pemikiran Muhammad Qurasih Shihab dalam menjawab problematika hukum Islam di Indonesia adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip uşûl al-fiqh yang telah dirumuskan dan dikodifikasi oleh para uşûliyyîn. Namun pola ysng lebih mewarnai hasil fatwanya (pemikiran hukum Islamnya) adalah dengan pola eklektif secara qaulî bukan manhajî, dan pendekatannya adalah kontekstual.
Faktor yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih Spesialisasi di Bidang Tafsir al-Qur’an dan Pemikiran Tafsirnya
1. Kondisi Sosial yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih Spesialisasi di Bidang Tafsir al-Qur’an
Kondisi yang mempengaruhi Quraish Shihab sehingga beliau memilih
spesialisasi di bidang tafsir al-Qur’an antara lain adalah: Pertama,
kedudukan orang tuanya yang menyertai masa-masa awal kehidupannya, sehingga
menumbuhkan kecintaan sang anak pada kajian al-Qur’an. Kedua,
faktor yang mempengaruhi pemikirannya adalah faktor pendidikan. Disamping orang
tuanya yang ahli tafsir, sebagaimana disebutkan
di atas, faktor pendidikan Shihab juga banyak mempengaruhi terhadap
pemikirannya di bidang tafsir. Setelah beliau mempelajari dasar-dasar agama
dari orang tuanya, Shihab dikirim untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di
Malang sambil “nyantri” di pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah, selanjutnya
beliau melanjutkan pendidikan tingginya di Mesir. Ketika di Mesir tepatnya di
Universitas al-Azhar Shihab memasuki fakultas Ushuluddin Strata satu (S1)
Jurusan Tafsir Hadits, selanjutnya Strata dua (S2) dan Strata tiga (S3) juga
beliau selesaikan di Mesir pada Jurusan yang sama.
2. Pemikiran Quraish Shihab di Bidang Tafsir
Dalam Diskursus
‘Ulum al-Qur’an’, tafsir menurut Quraish Shihab berfungsi sebagai anak kunci
untuk membuka khazanah al-Qur’an, yang berarrti sebuah pintu tertutup dan sulit
untuk dibuka tanpa kuncinya. Dengan demikian, alangkah penting dan tingginya
kedudukan tafsir tersebut. Setidaknya ada tiga alas an yang ia kemukakan yang
membuat dan menentukan tingginya (signifikasi) tafsir, yaitu: (1) Bahwa bidang yang
menjadi kajiannya adalah kalam Ilahi yang merupakan sumber segala ilmu
keagamaan dan keutamaan. (2) Tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang
teguh dengan al-Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati, (3) Dilihat
dari kebutuhan pun sangat nampak bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam
persoalan kehidupan ini ilmu syari’at
dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal ini sangat tergantung pada ilmu
pengetahuan tentang al-Qur’an.
Menyadari begitu
luas makna yang terkandung di dalam al-Qur’an, baik menyangkut makna-makna yang
tersirat di balik yang tersurat, Shihab dengan mengutip pendapat Arqoun pemikir
kontemporer al-Jazair “Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tidak
terbatas. Kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasannya berada
pada wujud mutlak. Dengan demikian ayat-ayat al-Qur’an selalu terbuka untuk
interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.
Itulah sebabnya, tafsir ulang yang baru dan kontekstual dengan perkembangan zaman
dan masyarakat, menjadi sebuah keniscayaan kalau al-Qur’an ini tak ingin
ditinggalkan ummat Islam atau terkubur oleh proses sejarah yang bergerak cepat.
Sejalan dengan
pendapat Arqoun di atas Shihab mengemukakan empat prinsip di mana ulama-ulama
atau pemikir Islam (mufasir) ketika berhadapan dengan ayat-ayat al-Qur’an tidak
bias dilepaskan dari empat prinsip pokok, yaitu:
Ø Al-Qur’an al-Karim yang pertama kali dikenal oleh masyarakat
manusia 15 abad yang lalu, adalah salah satu dari kitab-kitab suci diturunkan Tuhan
sebagai petunjuk bagi manusia guna member jawaban terhadap
persoalan/perbedaan-perbedaan yang dihadapi mereka, sehingga walaupun terdapat
diantara sekian banyak ayat-ayatnya yang menggambarkan situasi dan kondisi
masyarakat tertentu, atau tidak menghalangi fungsi pokok seperti yang
dinyatakan di atas.
Ø Al-Qur’an baik secara implisit maupun aksplisit, mengakui tentang
kenyataan perubahan sosial, perubahan yang mutlak harus terjadi, cepat atau
lambat, disadari atau tidak, bahkan al-Qur’an menggambarkan bagaimana perubahan
tersebut dapat terjadi, disamping mengisyaratkan bahwa suatu perubahan pada
hakikatnya mengikuti satu pola yang telah menjadi sunnatullah sehingga berlaku
umum.
Ø Al-Qur’an al-Karim dalam sekian banyak ayat-ayatnya mengecam
orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan juga mengecam
orang-orang yang hanya mengikuti tradisi lama tanpa suatu alas an yang logis,
disamping menganjurkan agar pemeluknya berpikir, mengamati, sambil mengambil
pelajaran dari pengalaman generasi-generasi terdahulu.
Ø Perbedaan hasil pemikiran manusia merupakan suatu kenyataan yang
tidak bisa dihindari, bukan hanya disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan
atau latar belakang pendidikan seseorang, tapi juga karena pemikiran
dipengaruhi secara sadar atau tidak oleh peristiwa-peristiwa sejarah, politik,
pemikiran orang lain yang berkembang serta kondisi masyarakatnya.
Sejalan dengan empat pemikiran di atas ada tiga masalah penting
yang disebabkan oleh akibat perubahan sosial yang harus menjadi perhatian
mufasir, yaitu bahasa, ilmu pengetahuan dan metode. Sudah menjadi kesepakatan
mufasir bahwa bahasa Arab merupakan faktor penting untuk bisa memahami
kandungan al-Qur’an, namun penting juga memperhatikan perkembangan bahasa itu
sendiri, karena disadari bila kita mendengar suatu kata yang tergambar dalam
benak kita adalah gambaran material menyangkut kata tersebut, namun di lain segi
bentuk material tersebut dapat mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan
masyarakat. Misalnya dapat kita ambil contoh, kata الذرة pada masa turunnya al-Qur’an maknanya
berkisar pada semut/kepala semut, debu-debu yang beterbangan dan lain-lain, sedang
kini ia memiliki arti tambahan yang tadinya belum dikenal yaitu atom.
Kedua adalah ilmu pengetahuan. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang
tidak lepas dari keaneka ragaman corak, metode dan hasil penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an juga tidak dapat dihindari antara lain karena kemajuan ilmu
pengetahuan, dari sini dapat dipahami bahwa penafsiran para ulama terdahulu
tidak mengikat penafsir-penafsir masa kini atau masa yang akan datang.
Ketiga adalah metode. Setiap mufasir mempunyai metode masing-masing
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan mufasir lainnya.
Selama ini sebagaiman disebutkan oleh al-Farmawi metode tafsir yang berkembang
ada empat macam: Tahlili, Ijmali, Muqarin dan Maudlh’i. Dari masing
–masing metode tersebut terdapat kekurangan dan keistimewaan masing-masing.
Metode Maudlu’i dan Corak Tafsir Quraish Shihab dalam Buku Wawasan al-Qur’an
Menurut Jurnal
yang ditulis oleh H. Endad Musyaddad tentang Metode dan Corak Tafsir Quraish
Shihab, yang beliau tulis setelah menganalisa buku Wawasan Al-Qur’an. Beliau
menyimpulkan bahwa buku tersebut menggunakan metode tafsir maudlu’i. Bila kita
berbicara metode maudlu’i, setidaknya ada dua macam bentuk, yaitu: Bentuk
pertama menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada
ayat-ayat al-Qur’an yang terangkum pada satu surat saja. Missalnya pesan-pesan
yang terdapat pada surat al-Baqarah, Ali Imran, Yasin dan sebagainya. Bentuk
penyajian kedua dari metode ini aadalah penafsiran sejumlah ayat al-Qur’an
al-Karim, yang membicarakan satu judul/topik yang sama diletakkan di bawah
suatu judul yang satu denga dijelaskan tafsirnya dari segala segi secara topikal/sektoral.
Kaitannya dengan pembahasan buku Wawasan Al-Qur’an, nampak jelas bahwa Quraish
Shihab sebagaimana dikatakannya sendiri beliau menggunakan metode maudlu’i
dengan bentuk yang kedua (tidak terpaku pada satu surat).
Disamping itu
penulis dalam mengemukakan uraian-uraiannya, amat memperhatikan arti kosa kata
atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar-pakar bahasa,
kemudian memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu digunakan
al-Qur’an, lalu memahami arti ayat atas dasar penggunaan kata tersebut oleh
al-Qur’an.
Selanjutnya
beralih pada sistematika tafsir dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Karena tafsir ini
bertolak dari metode maudlu’i, maka sistematika penafsirannya pun harus
mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh mereka yang menggunakan
metode ini, antara lain adalah:
- Mencari maudlu/judul/topik al-Qur’an yang hendak dibahas.
- Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan judul/topik tersebut.
- Menertibkan urutan-urutan ayat tersebut sesuai dengan tertib turunnya, makiyah dan madaniyahnya sesuai dengan sebab turunnya.
- Menjelaskan munasabah (persesuaian) antara ayat yang satu dengan ayat lainnya dan antara surat yang satu dengan surat lainnya.
- Berusaha menyempurnakan perubahan judul/topik tersebut dengan dibagi dalam beberapa bagian yang berhubungan bagian satu dengan bagian lainnya.
- Melengkapi penjelasan ayat dengan hadits-hadits Nabi, riwayat sahabat, dan lain-lain sehingga menjadi jelas dan gamblang.
- Mempelajari ayat-ayat yang satu judul/topik itu secara sektoral dengan menyesuaikan antara yang umum dan yang khusus, yang mutlak dengan yang muqayyad, yang global dengan yang terperinci dan memadukan antara ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan satu sama lain serta menentukan mana yang naskh dan mansukh, sehingga nash-nash mengenai yang satu judul/topik dengan yang lainnya. Demikian dikemukakan al-Farmawi sebagaimana dikutip Abdul Djalal.
Berdasarkan telaah dari buku Wawasan Al-Qur’an, maka ketujuh
langkah tersebut secara apik dilakukan Quraish Shihab ketika menjelaskan
persoalan-persoalan yang menjadi pokok bahasan tafsirnya.
Sebagai contoh, ketika ia berbicara tentang Ahlu Kitab.
Sebelum menguraikan tentang persoalan Ahlu Kitab, Shihab terlebih dahulu
memberikan pengantar tentang penggunaan metode maudlu’i. Contoh soal
misalnya untuk Yahudi dan Nashrani dua kelompok yang disepakati oleh seluruh
ulama sebagai Ahlu Kitab. Selain istilah Ahlu Kitab al-Qur’an
juga menggunakan istilah Utu al-Kitab, Utu Nasiban minal Kitab, Al-Yahudi,
Alladzina Hadu, Bani Israil, Al-Nashara, dan istilah lainnya. Dari
beberapa istilah tersebut sekanjutnya Shihab menganalisis satu persatu istilah
tersebut, tentu saja melalui kajian al-Qur’an. Misalnya untuk kata Ahlu
Kitab, al-Qur’an menyebutnya sebanyak 31 kali, Utu al-Kitab sebanyak
18 kali, Alladzina Hadu sebanyak 10 kali, Al-Nashara sebanyak 14
kali dan Bani Israil sebanyak 41 kali. Dari istilah-istilah tersebut
nampaknya mempunyai kesan yang berbeda-beda, misalnya ketika al-Qur’an
menggunakan kata Al-Yahud, maka isinya adalah kecaman atau gambaran
negatife tentang mereka. Ini bisa dilihat pada QS. Al-Maidah: 82, Al-Maidah:
18. Sebaliknya bila al-Qur’an menggunakan kata Alladzina Hadu, maka
kandungannya ada yang berupa kecaman, misal terlihat pada QS. Al-Nisa: 46. Juga
ada yang bersifat netral, missal pada QS. Al-Baqarah: 62.
Selesai mengannalisa persoalan istilah menyangkut Yahudi dan
Nashrani, Shihab berpindah pada kajian tafsir dan sikap Ahli Kitab, apakah Ahli
Kitab semua sama, bagaimana harusnya sikap terhadap Ahlu Kitab, Ahlu Kitab pada
masa turunnya al-Qur’an, mengapa ada kecaman terhadap Ahlu Kitab, siapa yang
disebut Ahlu Kitab. Dari ayat-ayat yang sama dalam satu tema kemudian Shihab
mengambil intisarinya. Di akhir uraian Shihab tak lupa memberikan kesimpulan
terhadap ayat-ayat yang menjadi pokok bahasan.
Selanjutnya beralih pada corak penafsiran Shihab dalam buku Wawasan
Al-Qur’an. Bila kita perhatikan alur pemikiran Shihab dalam bukunya, maka
secara sekilas sudah Nampak bahwa aspek bahasa lebih menonjol dalam
penafsirannya. Selain itu mengompromikan penafsirannya dengan temuan-temuan
ilmu pengetahuan/hasil-hasil penemuan yang telah mapan. Hal itu terlihat
misalnya ketika membicarakan masalah “lailatul qadr”. Dari segi bahasa
misalnya menjelaskan makna ayat mayyudrika dengan kalimat ma adraka
juga analisis bahasa dari kata qadr itu sendiri. Analisis bahasa bagi
penafsir dengan metode maudlu’i adalah suatu keharusan. Mufasir dituntut untuk
menjelaskan kalimat yang sama pada ayat-ayat yang berbeda sesuai dengan konteks
masing-masing. Sehingga kata qadr sendiri antara lain mencakup tiga makna di
dalamnya: Penetapan, Kemuliaan, dan Sempit.
Menurut
penulis Jurnal ini, disamping corak bahasa (linguistik) juga terdapat
kecenderungan (corak) teologis yang begitu kuat yang ditekankan Shihab.
Sebagaimana uraian tentang takdir, Shihab berusaha memahami masalah taqdir
berdasarkan al-Qur’an, karenanya ia tidak mempersoalkan apakah taqdir itu
termasuk rukun iman (sebagaimana dipahami kaum Sunni), atau tidak termasuk
rukun iman (menurut sebagian kalangan). Demikian beberapa bahasan berkaitan
dengan metode, dan corak tafsir Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudlu’i atas berbagai Persoalan Ummat.
2014@abdkadiralhamid
Infonya sangat menarik dan bermanfaat untuk di simak,,,sukses selalu untuk info and websitenya be the best to the next info..
ReplyDeleteikut nyimak infonya gan. senang berkunjung ke website anda, terimakasih atas informasinya.
ReplyDelete