Perilaku Ulama Dahulu
Oleh: Hasan Husen Assagaf
DARIPADA
 mikirin dunia melulu, sedikitnya pikiran kita alihkan ke tempo seabad 
yang lalu, ke satu masa, dimana masyarakat dan ulama masih baik-baik 
perilakunya dan bersih jalan pikiranya. Perilaku baik itu dalam bahasa 
arab disebut suluk atau sirah. Yaitu hal baik yang tidak hanya 
menyangkut tindakan atau perbuatan, tetapi juga baik dalam hal pikiran 
dan perasaan. Orang yang alam pikir dan rasanya baik akan melahirkan 
perilaku atau suluk yang baik. Sebaliknya orang yang perilakunya atau 
suluknya buruk, timbul dari alam pikir dan rasa yang rusak. Sudah pasti 
alam pikir dan rasa yang rusak inilah yang mendorong perilaku atau suluk
 menjadi jahat seperti merusak di muka bumi, menipu, mencuri, koropsi, 
mencuci-maki, memfitnah, dst. 
Perilaku
 atau suluk dalam tindakan, perbuatan dan perasaan itu pernah menjadi 
motif cita-cita mufti besar pertama di Indonesia, Habib Utsman bin Yahya
 seabad yang lalu atau lebih, yang hidupnya penuh disegani oleh semua 
lapisan masyarakat. Bukan dari masyarakat Muslim saja, bahkan non Muslim
 juga sangat menyeganinya. Beliau dikatagorikan sebagai ulama dahulu 
yang berda’wah penuh dengan perasaan, penuh dengan ilmu dan perilaku 
baik dalam tindakan dan perbuatan, menghormati sesama, tidak 
berlebih-lebihan atau ikut-ikutan.
Cita-cita
 mufti besar Habib Utsman bin Yahya adalah ingin mengangkat derajat dan 
martabat manusia Muslim Indoneisa menjadi manusia yang berperilaku baik 
dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesamanya, terhormat dalam 
perbuatan, tindakan, serta pikiran dan perasaanya. Orang yang terhormat 
itu adalah orang yang tidak tercela perbuatannya. Ia adalah orang pintar
 dan terpelajar, berani dan jujur serta cinta kasih terhadap sesama. 
Itulah ajaran utama mufti besar Habib Utsman bin Yahya yang ingin 
membebaskan Muslimin Indonesia dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan 
keterbelakangan. Dan mengangkat mereka menjadi manusia terhormat, 
terpelajar, berakhlak dan bersuluk baik.
Adapun
 ulama yang terhimpun dalam wadah Habib Utsman bin Yahya, mereka 
pintar-pintar, terpelajar, dan digembleng di madrasah Rasulallah saw 
puluhan tahun. Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai 
ilmu-ilmu agama secara menyeluruh. Di antara tokoh-tokoh itu adalah 
Habib Ali Al Habsyi (Kwitang), penerus ajaran dan cita-cita Habib Utsman
 bin Yahya. Ribuan umat Islam datang ke majlis Habib Ali semasa hidupnya
 hanya sekedar mendengar nasihat, wejangan dan diakhiri dengan pembacaan
 kalimat tauhid. Tidak pernah kita mendengar di majlis itu caci-maki 
terhadap seseorang atau golongan, melaknat atau mengkufurkan seseorang 
atau golongan. Majlis penuh dengan ilmu dan nasihat, penuh dengan akhlak
 dan suluk yang baik, penuh dengan doa dan rahmat.
Da’wah
 semacam inilah yang telah diwasiatkan Rasulallah saw, lima belas abad 
silam, yang datang sebagi rahmat dan membawa perdamaian bagi alam 
semesta. Bukankah Rasulallah, setelah berhijrah ke Madinah pertama-tama 
yang dilakukannya, setelah mepersaudarakan antara kaum Ansor dan 
Muhajirin, adalah mengadakan perdamaian dengan tiga kelompok Yahudi yang
 berada disana, Bani Qainuqa’, Bani Nadzir dan Bani Quraidzoh. Beliau 
telah membuat hubungan baik dan menggelar perjanjian untuk hidup damai 
dan saling menghormati. Akan tetapi orang-orang Yahudi sendirilah yang 
mengkhianati dan merusak perjanjian trb.
Islam
 adalah agama yang membawa damai dan rahmat lil a’lamin (bagi semesta 
alam). Islam diambil dari kata “salam” yang berarti damai, damai di 
dunia dan damai di akhirat. Damai yang dimaksudkan disini adalah 
berperilaku baik dan berbuat hormat kepada sesame manusia.
Contohnya,
 suatu saat Rasulallah sedang duduk di beranda rumahnya. Tiba-tiba ada 
orang-orang lewat mengusung keranda janazah. Beliau pun berdiri karena 
rasa hormat terhadap jenazah tersebut. Namun salah seorang sahabat 
memberi tahu Nabi saw, serta berkata “Wahai Rasulallah, itu adalah 
jenazah orang Yahudi? “ Nabi menanggapi “Bukankah ia juga jiwa manusia“ (
 HR Imam Bukhari )
Islam
 mengajarkan damai dan berbuat baik bukan hanya terhadap manusia, akan 
tetapi sampai terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bukankah dalam hadist 
Nabi saw telah diriwayatkan bahwa seorang wanita masuk neraka karena 
telah menganiyaya seekor kucing? Begitu pula seorang pelacur masuk sorga
 karna telah memberi minum seekor anjing yang kehausan?.
Rahmat
 Islam rupanya benar-benar lil a’lamin (bagi semesta alam). Tidak hanya 
manusia, tetapi hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup, semua 
memperoleh rahmat Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan, ada seorang lelaki 
yang merebahkan kambingnya sementara dia masih menajamkan pisaunya. Lalu
 Rasulallah bersabda, “Apakah engkau ingin membunuh kambing itu dua 
kali? Jangan lakukan itu. Tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkan 
kambingmu”
Ibnu
 sirin juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah melihat 
seseorang sedang menyeret kaki kambing untuk disembelih. Beliau marah 
dan menegur orang trb, “Jangan lakukan itu! Giringlah hewan itu menuju 
kematiannya dengan baik.” (HR Imam Nasai)
Itulah
 kebesaran agama Islam. Itulah kehebatan agama kita. Rahmat semacam 
inilah yang pernah dirintis rastusan tahun yang lalu oleh ulama 
pendatang dahulu. Mereka datang tidak membawa pendang atau keris, belati
 atau penangkis, akan tetapi berkat ilmu yang luas serta akhlak dan 
perilaku (suluk) yang luhur, Islam menjadi agama terbesar di seluruh 
lapisan masyarakat Indoneisa.
Rasulallah
 tidak mengajarkan kita berda’wah dengan kekerasan, paksaan dan berutal.
 Akan tetapi beliau mengajarkan umatnya berda’wah dengan hikmah dan 
mauidzah hasanah, dengan akhlak dan suluk yang ramah. Ini konci 
kesuksesan da’wah ulama kita masa lalu.
Wallahu’alam
2014@abdkadiralhamid
2014@abdkadiralhamid

0 Response to "Perilaku Ulama Dahulu"
Posting Komentar
Silahkan komentar yg positip