Yang ada dikalangan Alawiyyin itu adalah mendidik anak-anak sejak dini agar mereka mengetahui dan mengenal apa itu sayyid, dan siapa itu syarifah, apa itu kufu atau kafa’ah dalam perkawinan. Tetapi banyak kasus terjadi adanya pernikahan yang tidak sekufu antara Seorang Syarifah dengan Non Sayyid, penyimpangan itu terjadi biasanya dari kalangan keluarga Ba’alawi antara lain :
1. Orang tua bergaya moderen (over moderat)
2. Tidak mengetahui makna ahlul bait
3. Kurang bergaul dalam lingkungan Habaib.
4. Terlanjur menikahkan puterinya dengan selain sayyid.
5. Mendapat informasi dari sumber yang membenci Ba’alawi. 6. Ingin mendapat pembenaran atas tindakannya yang salah. 7. Keakuannya berlebihan (egoisme).
8. Merasa malu mencarikan jodoh untuk puterinya.
9. Dan lain-lain alasan.
Memang adalah hak individu jika ada orang hendak menikahkan puterinya seorang syarifah dengan kerelaannya sendiri kepada seorang Ajam atau seorang Majusi sekalipun. Tetapi adalah merupakan sebuah kesalahan yang sangat besar apabila kemudian lalu memproklamirkan semua syarifah boleh berbuat seperti itu.
Berbeda pandangan mengenai kafa’ah dan pembelotan yang terjadi pada sekelompok kecil masyarakat Ba’alawi yakni kaum Sayyid dan Syarifah yang sedikit jumlahnya itu, tidak harus berarti mewakili seluruh anggota keluarga kalangan Ba’alawi. Soal hukum Agama semua orang tahu, kita patut memberi nasihat tetapi kita tidak berwewenang untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain.
"Kafaah syarifah merupakan salah satu dari keridhaan Rasulullah saw. Hal ini dijelaskan dengan hadits-haditsnya pada uraian yang terdahulu. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kaum muslimin yang beriman untuk menjaga dan melaksanakan perkawinan syarifah dengan yang sekufu' agar mendapat ridho Rasulullah saw. Sebaliknya jika ada orang yang bukan keturunan Rasulullah saw menikah dengan seorang syarifah, maka mereka dengan terang-terangan telah melecehkan hadits Rasulullah saw, dan orang tersebut dapat digolongan sebagai orang yang tidak menunjukkan akhlaq yang baik kepada Rasulullah saw, bahkan orang tersebut telah termasuk golongan yang menyakiti Siti Fathimah dan seluruh keluarganya."
Berdasarkan pengamatan, pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, dapat disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, orang tua mereka tidak mengetahui tentang keutamaan dan kemuliaan dirinya sebagai keturunan Rasulullah (sebagaimana diceritakan dalam proses penciptaan alam ini pada bab yang terdahulu), karena mereka dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak mengerti tentang keutamaan ahlul bait dan keturunannya, sehingga menyebabkan para orang tua tersebut menikahkan anak perempuannya dengan lelaki yang bukan sayid.
Kedua, orang tua mereka sangat mengerti tentang kafa'ah, akan tetapi mereka membiarkan anak perempuannya bergaul tanpa batas dengan kawannya di lingkungan rumah atau sekolah. Ketika anak gadisnya berpacaran para orang tua tidak mengetahui dan lengah untuk mengawasi tingkah lakunya, sampai anak tersebut menikah dengan lelaki yang bukan sayyid.
Ketiga, orang tua mereka sangat mengerti tentang kafa'ah, tapi karena sesuatu hal (masalah ekonomi atau lainnya), maka orang tua tersebut tidak dapat menghalangi perkawinan anaknya dengan lelaki yang bukan sayyid.
Keempat, orang tua tersebut mempunyai kenangan yang buruk atas perkawinan anak gadisnya dengan seorang sayid. Anaknya tidak diperlakukan dengan baik dan disia-siakan oleh suaminya, sehingga apa yang terjadi pada anaknya itu membawa rasa antipati terhadap menantunya yang berasal dari kalangan sayid, setelah bercerai anaknya dikawinkan dengan lelaki yang bukan dari kalangan sayid, ternyata hidup mereka bahagia, lalu sang ayah mengambil kesimpulan dan berpendapat bahwa tidak ada jaminan kebahagiaan dalam perkawinan yang mensyaratkan kafa'ah syarifah, selanjutnya hal tersebut disebarluaskan melalui pembicaraan dengan kerabat, diskusi, media cetak dan yang lainnya.
Kelima, kafa'ah syarifah adalah milik keturunan Rasulullah saw saja, dan tidak dimiliki oleh orang selain mereka. Hal ini menjadikan mereka sasaran iri hati sebagian kecil ulama, pakar, cendikiawan ataupun orang dari kalangan awam yang bukan sayid dengan memberikan fatwa, analisa, dan pendapatnya mengenai kafa'ah syarifah yang hanya berdasarkan kecemburuan semata. Abdullah bin Nuh berkata tentang rasa iri hati yang ditujukan kepada ahlul bait Rasulullah saw: "Kita harus mengerti, bahwa ahlul bait Rasulullah saw adalah orang-orang yang menjadi sasaran irihati karena mereka memperoleh limpahan karunia Allah swt."
Keenam, yang paling mengkhawatirkan adalah seorang keturunan Rasul yang pada awalnya menganut madzhab yang mensyaratkan kafa'ah perkawinan syarifah berpindah kepada madzhab yang tidak mensyaratkan kafa'ah dalam perkawinan syarifah. Hal tersebut dilakukan karena nafsu dan ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama. Dalam madzhab lama yang dianutnya orang tersebut belum mengetahui benar pokok-pokok ajarannya, karena lingkungan pergaulan dan ashobiyah ia berpindah ke madzhab yang baru, sehingga ia belum dapat membandingkan yang mana madzhab yang benar. Dalam masalah ini ada baiknya kita renungkan perkataan beberapa waliyullah di bawah ini:
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata: 'Adapun orang dari keturunan ahlul bait yang tidak mengikuti jejak para sesepuh mereka yang suci, orang tersebut telah kerasukan angan-angan yang merusak disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama'.
Imam Ahmad bin Zein Al-Habsyi berkata: 'Barangsiapa yang meninggalkan jalan para habaib yang sholeh menuju kepada jalan lain ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah'. Begitu pula perkataan Imam Ali bin Muhammad Al-Habsyi: 'Barangsiapa tidak mengikuti jalan para leluhurnya, pasti ia akan kecewa dan hilang'.
Seperti kita telah ketahui dalam beberapa hadits Rasulullah saw, jika ada seseorang yang tidak memelihara hak keturunan Rasulullah saw (syarifah) tersebut, maka ketahuilah bahwa orang tersebut tidak akan mendapat syafa'at dari Rasulullah saw, sebagaimana hadits beliau yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi'i:
"… maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku."
Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa keturunan nabi saw akan terputus hubungannya dengan Nabi saw, jika terjadi perkawinan antara syarifah dengan lelaki yang nasabnya tidak menyambung kepada nabi saw. Mengapa demikian ? Karena anak dari perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan keturunan Rasulullah saw, adalah bukan seorang sayyid (bukan keturunan Rasulullah saw). Dan jika syarifah tersebut melahirkan anak yang bukan dari hasil perkawinan dengan seorang sayid, maka putuslah hubungan nasab anak tersebut dengan Rasulullah saw, dan nasab anak tersebut berlainan dengan nasab ibunya yang bernasab kepada Rasulullah saw. Dan inilah yang dimaksud dengan pemutusan hubungan dengan Rasulullah saw.
Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu' serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau.
Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam Alquran:
"Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah swt".
Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab, darah dan kefamilian.
Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda:
"Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah SWT".
Begitu pula sabda Rasulullah saw:
"Amat keras murka Allah swt atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku".
2013@AbdkadirAlhamid
http://revealationofthetruth.blogspot.com/2012/08/pernikahan.html talk too much readless..
ReplyDeleteKalo ngomong jgn sembarangan deh,,, hawi ane org oman.. Gw masayekh.. Ane cerita ttg ini dia bener2 terkejut ttg masalah kafaah.. Asal ente mau tau aja yaa fam dia al jailani... Jdi ga usah ngomong asal lah... Ane tantang ente adu argumen dgn historical hadist nya yg ente sebut2 diatas... Mampir lah ke blog ane
ReplyDeleteMaghrum lu pade..
ReplyDelete