//

Larangan Mengucapkan Selamat Atas Hari Raya Orang-orang Kafir Dan Tahun Baru

 Larangan Mengucapkan Selamat Atas Hari Raya Orang-orang Kafir Dan Tahun Baru
Oleh :Al habib Muhammad bin Ahmad Vad,aq.

Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).

Namun seiring dengan semakin lemahnya pemahaman umat Islam terhadap Islam, dan semakin kuatnya tekanan paham-paham kufur kepada kaum Muslim, hukum yang sudah jelas ini justru dikaburkan oleh ulama-ulama jahat yang menghambakan dirinya kepada penguasa fasiq dan dzalim. Dengan berbagai dalih dan alasan, ulama-ulama culas ini memfatwakan fatwa-fatwa yang menyimpang dari aqidah dan syariat Islam. Diantara fatwa itu adalah bolehnya kaum Muslim mengucapkan selamat atas hari raya atau hari suci kaum kafir.

Untuk itu, umat Islam harus dijelaskan kembali hukum syariat tentang mengucapkan selamat atas hari raya dan hari suci kaum kafir dengan penjelasan yang jernih dan mendalam, agar tersingkap mana fatwa yang benar dan mana fatwa rusak yang menyelisihi aqidah dan syariat Islam.

Sesungguhnya, ada dua hukum yang berkaitan erat dengan masalah ini, yakni hukum bertasyabbuh dengan kaum kafir, serta larangan merayakan perayaan kaum kafir. Adapun uraian atas dua hukum tersebut adalah sebagai berikut.

Tasyabbuh dengan Kaum Kafir

Kata "tasyabbuh" (penyerupaan) merupakan bentukan dari kata "tasyabbaha", yang bermakna al-tamtsiil (menyerupai).

[Imam al-Raziy, Mukhtaar al Shihaah,hal.328].

Menurut istilah para fuqaha, tasyabbuh bermakna menyerupai atau meniru-niru perkataan, perilaku, dan kebiasaan orang-orang kafir.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa kata "tasyabbuh" bisa digunakan dalam konteks kebaikan dan dosa. Dalam kitab 'Aun al-Ma'buud diterangkan, bahwa Imam al-Qaariy berkata,
"Barangsiapa bertasyabbuh dengan orang-orang shaleh, maka ia akan dimuliakan sebagaimana orang-orang shaleh itu dimulyakan. Barangsiapa bertasyabbuh dengan orang-orang fasik, maka ia tidak akan dimulyakan. Siapa saja yang memiliki ciri-ciri orang-orang yang mulia, maka ia akan dimuliakan, meskipun kemuliaan itu belum terwujud di dalam dirinya."[Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa kata "tasyabbuh" hanya memiliki "pengertian bahasa" saja (haqiqat al-lughawiyyah), dan tidak memiliki pengertian syar'iy (haqiqat al-syar'iyyah). Sebab, kata tasyabbuh bisa digunakan dalam konteks kebaikan maupun dosa. Untuk itu, pemaknaan kata tasyabbuh harus sejalan dengan pengertian literalnya, yakni al-tamtsiil (penyerupaan).

Hukum Tasyabbuh Menurut Para 'Ulama

Seluruh 'ulama telah bersepakat mengenai keharaman tasyabbuh dengan orang kafir. Larangan ini didasarkan pada nash-nash Al-Quran dan sunnah. Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mohammad) "Raa'ina", tetapi katakan: "Undzurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih."

[QS Al Baqarah (2):104]

Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyatakan, bahwa Allah swt telah melarang kaum mukmin menyerupai perkataan dan perilaku orang-orang kafir.
[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149].

Di dalam sunnah, banyak riwayat yang menuturkan larangan bertasyabbuh dengan orang-orang kafir. Imam Ahmad mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu 'Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

" Aku telah diutus di hadapan waktu dengan membawa pedang, hingga hanya Allah semata yang disembah, dan tidak ada sekutu bagi Allah; dan rizkiku telah diletakkan di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kenistaan akan ditimpakan kepada siapa saja yang menyelisihi perintahku; dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut."[HR. Imam Ahmad]

Masih menurut Imam Ibnu Katsir, hadits ini berisikan larangan yang sangat keras, serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum muslim. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149-150]

Tatkala menafsirkan hadits riwayat Imam Ahmad di atas, Imam al-Manawiy dan al-'Alqamiy, menyatakan,"Hadits di atas berisikan larangan untuk berbusana dengan busana orang-orang kafir, berjalan seperti orang-orang kafir, serta berperilaku seperti orang-orang kafir."[Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]

Al-Qariy berkata, "Barangsiapa bertasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian dan lain sebagainya, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut. Tasyabbuh tidak hanya dengan orang-orang kafir belaka, akan tetapi juga dengan orang-orang fasik, fajir, ahli tasawwuf, dan orang-orang shaleh. Walhasil, tasyabbuh terjadi dalam hal kebaikan dan dosa."[ Mohammad Syams al-Haq,'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]

Ibnu 'Umar ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut."[HR. Imam Ahmad]

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

"Bukanlah termasuk golongan kami, siapa saja yang bertasyabbuh dengan selain kami."[HR. Turmudziy]

Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, "Sanad hadits ini hasan."[al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 6/98; 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no.3512]

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw melarang kaum muslim bertasyabbuh dengan orang-orang kafir dengan larangan yang sangat keras. Bahkan, agar kaum muslim tidak menyerupai orang-orang Yahudi, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk mengecat ubannya. Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ

"Ubahlah warna uban kalian, dan janganlah kalian bertasyabbuh dengan kaum Yahudi."

[HR. Tirmidziy; hadits hasan shahih] Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Imam Ahmad ada tambahan "dan kaum Nashraniy".

Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dinyatakan, "Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashraniy tidak mengecat uban mereka, maka janganlah kalian menyerupai mereka".

[Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, hadits no. 1674]

Imam Syaukani, di dalam kitab Nail al-Authar mengatakan, "Hadits ini menunjukkan, bahwa 'illat syar'iyyah disyariatkannya pengecatan dan mengubah warna uban adalah, agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashraniy." 'Ulama-'ulama salaf sangat memperhatikan sunnah yang satu ini. Oleh karena, Ibnu Jauziy menyatakan, bahwa mayoritas shahabat dan tabi'iin mengecat ubannya. Tidak hanya itu saja, Rasulullah saw juga melarang kaum muslim mengenakan pakaian, model rambut, cawan emas, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa, tasyabbuh merupakan perbuatan yang sangat dibenci oleh Nabi saw.

Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa, seluruh 'ulama telah sepakat, bahwa hukum bertasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian, perkataan, tingkah laku, hari raya, dan lain sebagainya adalah haram secara mutlak.

Walhasil, meniup terompet di hari pergantian tahun (Tahun Baru), sebagaimana tradisi Rosh Hasanah orang Yahudi jelas-jelas termasuk tasyabbuh bil kaafir yang diharamkan di dalam Islam. Tradisi menunggu pergantian tahun pada pukul jam 24.00 wib sebagaimana tradisi kaum kafir Cina untuk menghormati Dewa Toa Pe Khong, tradisi berdansa dan menari-nari untuk merayakan hari Raya orang kafir, mengenakan baju-baju Sinterklas, mengenakan atribut-atribut yang mencitrakan agama kaum kafir, menghiasi toko atau kantor dengan simbol-simbol agama kafir termasuk tasyabbuh yang dilarang oleh Islam.

Hukum Melibatkan Diri Dalam Perayaan Orang-orang Kafir

Sesungguhnya, ajaran Islam telah melarang kaum muslim untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik maupun ahlil kitab. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt;

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

"Dan mereka (mukmin) yang tidak menyaksikan hari raya orang-orang kafir musyrik." [QS Al Furqan (25): 72]

Dalam menafsirkan ayat ini sebagian shahabat, misalnya Ibnu 'Abbas, 'Abdullah bin 'Umar dan para tabi'in, seperti Mujahid, Mohammad Ibnu Sirin, dan sebagainya, menyatakan, "Kaum mukmin dilarang merayakan hari raya orang-orang musyrik."

[Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 13, hal. 79; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 329-330]

Beberapa fuqaha juga berpendapat senada mengenai firman Allah swt al-Furqan: 72. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

"Kaum muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum muslim juga diharamkan memasuki gereja dan tempat-tempat ibadah mereka."

[Imam Baihaqi menyatakan, "Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka."

[Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201]

Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,"Kaum muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik." Al-Qadliy Abu Ya'la al-Fara' berkata, "kaum muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik". Imam Malik menyatakan, "Kaum muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita." Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw --, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Rasulullah saw pernah bersabda mengenai hari raya orang-orang kafir:

"Setiap umat memiliki hari raya sendiri-sendiri. Idul Fithri adalah hari raya kita."

[HR. Bukhari dari 'Aisyah ra]

Tatkala mengomentari hari raya bangsa Persia, Rasulullah saw bersabda:

"Allah swt telah mengganti dua hari yang lebih baik daripada kedua hari itu (nairus dan naharjan: hari raya bangsa Persia), yaitu Idul Fitri dan idul Adha.: [HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasaa'iy, dan Ibnu Majah]

Riwayat-riwayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir.

Pada masa pemerintahan khalifah 'Umar bin al-Khattab, beliau telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari 'Atha' bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, "Janganlah kalian mempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.".

[HR. Baihaqi]

Demikianlah, sejak masa shahabat ra, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).

Meluruskan Anggapan Yang Salah bahwa Islam tidak Toleransi

Kadang-kadang, karena beralasan tidak enak hati, atau takut menyakiti hati kawan yang beragama lain, seorang muslim akhirnya tak kuasa untuk tidak mengucapkan selamat kepada orang kafir atas hari raya mereka, atau peringatan orang suci mereka. Padahal, perasaan semacam ini adalah perasaan aneh yang tidak akan muncul dari seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah swt. Seorang mukmin mesti memahami, bahwa tatkala ia tidak mengucapkan selamat atas perayaan orang-orang kafir, bukan berarti ia telah mengambil sikap permusuhan, menyakiti hati orang kafir, atau tidak mau bersosialisasi dengan mereka. Sebab, tidak mengucapkan selamat kepada orang kafir, tidak berhubungan dengan permusuhan dengan mereka maupun pencideraan terhadap perasaan mereka. Hal ini tak ubahnya ketika kita tidak mengakui prinsip-prinsip agama mereka . Ketika kita tidak mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ini tidak berarti kita mengobarkan permusuhan dengan mereka, menyakiti hati mereka atau tidak mau bersosialisasi dengan mereka. Oleh karena itu, anggapan semacam ini sebenarnya adalah anggapan yang tidak pada tempatnya.

Selain itu, ketika orang kafir tidak diberi ucapan salam atas perayaan mereka, sesungguhnya mereka pun akan memahami penolakan kita, jika hal itu kita jelaskan dengan penjelasan yang benar. Mereka pasti akan menerima penolakan kita dikarenakan ajaran kita memang memerintahkan seperti itu. Mereka juga akan menerima dan mengakui prinsip dan pendirian kita. Sebaliknya, mereka juga akan memandang rendah orang yang tidak memiliki pendirian, dan rela mengorbankan prinsip hanya karena tidak enak hati. Dan ingat bahwa toleransi juga ada batasnya, semoga kita bisa melihat yang benar itu adalah kebenaran hingga kita dapat mengikutinya dan yang salah itu adalah hingga kita pun dapat menjauhinya.

Wallahu 'Alam bi al-Shawab

Al habib Muhammad bin Ahmad Vad,aq.
 
2013@Abdkadir Alhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Larangan Mengucapkan Selamat Atas Hari Raya Orang-orang Kafir Dan Tahun Baru "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip