Ja’far bin Abu Thalib ra,
Si Burung Surga
- Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw. sekaligus sebagai saudara sesusuannya.
- Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw.
- Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim, kakek Imam Syafi'i r.a.
- Ja'far bin Abi Thalib, yaitu saudara Ali bin Abi Thalib.
- Hasan bin Ali Bin Abi Thalib, cucu Rasulullah saw.
Beliau ini paling mirip dengan Nabi saw. di antara mereka berlima.
Marilah sekarang kita melihat sisi kehidupan Ja'far bin Abi Thalib. Abi Thalib termasuk bangsawan Quraisy dan mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat. Namun, kehidupannya susah dan tanggungannya banyak. Ia pernah mengalami keadaan sangat kritis saat kemarau panjang. Tanaman mati karena kekeringan dan banyak orang terpaksa memakan bangkai. Di saat paceklik seperti ini, biasanya tidak ada yang menaruh perhatian untuk meringankan beban Abu Thalib di kalangan Bani Hasyim selain Abbas dan Muhammad bin Abdullah.
Muhammad berkata kepada Abbas, "Wahai paman, saudara paman (yaitu Abu Thalib) memiliki tanggungan yang sangat banyak. Sebagaimana yang paman saksikan, seluruh masyarakat kini sedang ditimpa musibah berupa kemarau panjang dan paceklik yang mengakibatkan banyak orang kelaparan. Marilah kita pergi ke rumah Abu Thalib, saudara paman. Kita ambil alih sebagian tanggungannya untuk meringankan beban keluarganya. Aku mengambil anaknya seorang, dan paman mengambil pula anaknya yang lain. Agaknya dengan begitu, cukup besar artinya untuk meringankan bebannya."
Abbas berkata, "Usulmu sangat bagus. Engkau betul-betul membangunkanku untuk kebajikan. Marilah kita pergi."
Mereka pun pergi ke rumah Abu Thalib. Lalu berkata, "Kami datang hendak meringankan beban Anda yang berat. Izinkanlah kami membawa sebagaian anak-anakmu tinggal bersama kami sampai masa sulit yang mencekam seluruh masyarakat ini reda kembali."
Abu Thalib berkata, "Boleh saja, asal kalian tidak membawa Aqil." Aqil adalah anak laki-laki Abu Thalib yang tertua.
Muhammad bin Abdullah mengambil Ali bin Abi Thalib lalu digabungkannya dalam keluarganya. Sedangkan Abbas membawa Ja'far bin Abi Thalib dan digabungkannya pula dalam keluarganya. Ali tetap tinggal bersama Muhammad bin Abdullah sampai Allah mengutusnya menjadi rasul dengan agama yang hak. Dan, Ali tercatat sebagai pemuda yang pertama-tama masuk Islam.
Sementara Ja'far tinggal bersama paman Abbas hingga ia dewasa, lalu dia masuk Islam, dan tidak memerlukan bantuan Abbas lagi. Ja'far dan istrinya, Asma' bin Umais, menerjunkan dirinya dalam kendaraan Islam sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Shiddiq r.a. sebelum Rasulullah saw. masuk ke rumah Al-Arqam. Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam.
Ketika orang Quraisy mendengar berita tentang masuk Islamnya, mulailah mereka membuat makar dan gangguan-gangguan dalam rangka melemahkan iman kaum muslimin. Mereka tidak ingin melihat kaum muslimin bisa tenang beribadah.
Namun yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Maka Ja’far bin Abu Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun mengizinkan.
Dengan sedih hati Rasulullah saw. mengizinkannya. Sebaliknya, mereka dengan amat berat meninggalkan kampung halaman tempat mereka bermain pada waktu kecil dan waktu muda, tanpa suatu dosa yang mencemarkan, kecuali karena mereka mengucapkan kata-kata "Rabbunallaah" (Rab kami hanyalah Allah). Namun, mereka tidak berdaya untuk menangkis siksaan dan tekanan kaum Quraisy.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin untuk hijrah ke Habasyah, tanpa pikir panjang beliau bersama istrinya ikut serta dalam rombongan tersebut. Sungguh hal ini sangat berat bagi Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya yang ia cintai. Biar pun demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari 83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah.
Penguasa Habasyah adalah Najasyi. Seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, serta suka melindungi orang-orang yang lemah. Sesampainya di Habasyah, mereka mendapatkan perlindungan dari Najasyi, sehingga bisa leluasa dan lebih tenang dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, ketenangan ini terusik. Yaitu tatkala orang-orang Quraisy mengetahui perlindungan keamanan yang kami dapatkan di Habasyah.
Ummu Salamah menceritakan:
Ketika orang-orang Quraisy mengetahui keadaan kami di Habasyah, mereka tidak ridha dan mengirimkan dua utusan untuk menemui Najasyi. Mereka adalah Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, serta membawah hadiah-hadiah yang mereka berikan kepada para menterinya, dengan maksud agar tujuan serta niat mereka mendapat dukungan.
Ketika telah sampai di Habasyah, mereka segera menemui para menterinya serta menyerahkan hadiah tersebut seraya berkata, “Sungguh telah datang di negerimu orang-orang yang bodoh dari kaum kami yang keluar dari agama nenek moyang, serta memecah-belah persatuan. Maka, kalau kami berbicara kepada raja, dukunglah kami. Karena tokoh-tokoh kaum mereka lebih tahu akan mereka.”
Maka para menteri itu mengatakan, “Ya, kami akan mendukung kalian berdua.”
Setelah itu, masuklah mereka berdua menemui Najasyi dengan membawa hadiah yang banyak dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya telah datang di dalam kerajaanmu orang-orang yang rendah dari kaum kami. Mereka datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau ketahui. Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk kepada agamamu. Dan orang-orang yang mulia di antara kami telah mengutus kami, agar engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan mereka lebih mengetahui akan apa yang telah mereka perbuat,” maka Najasyi menoleh kepada para menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang tiu kepada mereka.”
Mendengar hal itu, Raja Najasyi marah, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengembalikan mereka kepada kaumnya sampai aku menemui mereka. Sehingga aku bisa mengetahui, apakah yang telah dikatakan oleh dua orang ini benar? Kalau memang benar, maka akan aku kembalikan, mereka. Akan tetapi, kalau tidak, aku akan melindungi dan berbuat baik kepada mereka.”
Kemudian Raja Najasyi mengutus orang agar memanggil kami. Sebelum berangkat untuk menemuinya, kami berkumpul dan saling mengatakan, “Sesungguhnya Najasyi akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Maka terangkanlah dengan apa yang telah kalian imani.” Dan kami bersepakat mengangkat Ja’far sebagai juru bicaranya.
Berangkatlah kami untuk menemuinya. Kami mendapatkan Raja Najasyi tengah duduk di antara para menterinya yang memakai pakaian kebesaran mereka. Kami juga mendapatkan Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah telah ada di hadapan mereka. Ketika semuanya telah siap, Najasyi menoleh kepada kami dan berkata, “Apakah agama yang kalian peluk, sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak pula kalian masuk ke dalam agamaku atau agama yang lainnya?”
Maka berkatalah Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”
Raja Najasyi kembali bertanya kepada Ja’afar, “Apakah engkau memiliki apa yang dibawa oleh Nabimu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Raja Najasyi memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Ja’far pun membaca surat maryam.
Ketika mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga basah buku-buku mereka. Dan Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak akan aku serahkan kepada kalian!”
Ketika kami keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam kami dan berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”
Maka keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya orang yang engkau lindungi itu mengatakan tentang Isa, suatu perkataan yang besar!”
Raja Najasyi kembali memanggil kami, hingga kami merasa khawatir dan takut. Sebagian kami bertanya-tanya, “Apa yang akan kita katakan kepadanya tentang Isa bin Maryam?” Akhirnya kami bersepakat untuk mengatakan tentang Isa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kembali menunjuk Ja’far sebagai juru bicara. Kemudian kami datang untuk menemui Najasyi. Kami dapatkan Amru bin Ash telah berada di sana bersama temannya.
Bertanyalah Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi kami.”
Najsyi berkata, “Apa yang dia katakan?”
Ja’far menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang Dia berikan kepada Maryam yang suci.”
Mendengar hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakannya sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian, dia adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan disiksa.” Kemudian Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh kepadanya.” Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil melaksanakan apa yang mereka niatkan.
Ja’far bersama istrinya tinggal beberapa saat di Habasyah; bisa merasakan ketenangan serta lindungan dari Najasyi.
Pada tahun ketujuh hijriah, pergilah Ja’far bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah untuk menuju ke Yatsrib. Sesampainya di Yatsirb, ia disambut hangat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baru saja kembali dari perang Khaibar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ja’far dan bersabda, “Sungguh aku tidak tahu, dengan yang mana aku merasa bahagia. Apakah dengan kemenangan Khaibar ataukah dengan kadatanganmu?!”
Begitu pula kaum Muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ia adalah sosok yang sangat penyantun dan banyak membela golongan dhuafa, sehingga digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).
Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abu Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya."
Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun ke-8 Hijriyah, Rasululalh SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.
Rasulullah berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka."
Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordania, mereka mendapati tentara Romawi telah siap menyambut dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3.000 tentara.
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.
Begitu melihat Zaid jatuh tersungkur, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya., dan menyusup ke barisan musuh sambil melantunkan syair:
Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya apabila menemuinya.Mulailah ia berputar-putar memporak-porandakan barisan musuh sehingga terputus tangan kanannya. Segera ia ambil bendera itu dengan tangan kirinya, kemudian terputus pula tangan kirinya
Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya.
Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid.
Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.
Rasulullah SAW sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.
Asma’ bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”
Asma' kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja'far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.
Asma' bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?"
Beliau menjawab, "Ya, mereka telah syahid hari ini."
Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka.
Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya, "Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya... Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya."
Kemudian beliau bersabda, "Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya."
2013@abdkadiralhamid
0 Response to "Ja’far bin Abu Thalib ra, Si Burung Surga"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip