Telaah Pemikiran Habib Umar Bin Hafidz dalam Menyikapi "Perbedaan Pendapat"Oleh Habib Hamid bin Ja’far Al-Gadri |
Bijak Menyikapi Perbedaan Persatuan ini adalah persatuan yang tulus, tumbuh dari hati yang bersih, dan berakar pada prinsip dan landasan yang kukuh. Sehingga, dialog bisa terbangun, komunikasi bisa berjalan, kerja sama pun dapat terjalin di berbagai bidang. Tokoh-tokoh umat semacam Habib Umar Bin Hafidz, menurut Habib Hamid bin Ja’far Al-Gadri, penulis buku Bijak Menyikapi Perbedaan, benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat dunia sebagai figur yang meneladani sosok rahmatan lil ‘alamin, Rasulullah SAW. Dalam salah satu ceramahnya, misalnya, Habib Umar Bin Hafidz pernah menyatakan, makna "asyidda’u ‘alal kuffar" bukan berarti ketegasan kita dalam menghujat atau menjahati orang-orang kafir, tetapi kita tegas di depan mereka bahwa kita ini punya prinsip. “Kita tunjukkan kepada mereka, inilah akhlaq kita, inilah pemikiran kita, inilah jalan kita. Jangan sampai saat kita berbaur dan bermuamalah dengan mereka kemudian akhlaq kita meniru mereka. Itu yang beliau sampaikan. Di sini, tampak bahwa pemahaman beliau jauh dari pemahaman untuk bersikap frontal terhadap pihak-pihak yang berseberangan,” katanya. Buah Madrasah Hadhramaut Beberapa tahun silam, Habib Umar menggagas sebuah pemikiran yang kemudian diluncurkan secara institusional lewat muridnya, Habib Ali Al-Jufri, tentang kalimatun sawa, kesamaan kata/platform, yaitu antara umat Islam dan Kristen. Saat ide kalimatun sawa tersebut diluncurkan, tak kurang dari 300 tokoh Kristen dunia mendukungnya secara penuh. Bagaimanapun, agama Nasrani, awalnya, diturunkan kepada Nabi Isa AS. Tentu, masih terdapat hal-hal yang sama di antara kedua ajaran agama samawi ini, yang pada hal-hal tersebut kedua umat beragama ini dapat bergandengan tangan. Kalau Habib Umar dapat duduk bersama dengan kalangan non-muslim, bagaimana mungkin beliau tidak dapat bergandengan tangan dengan sesama muslim? Karenanya, pada saat yang bersamaan, Habib Umar Bin Hafidz juga mengusung ide wa’tashimu di setiap tempat yang ia singgahi. Wa’tashimu adalah kelompok kata yang dikutip dari sebuah ayat Al-Qur’an yang maknanya “bersatulah kalian”. Habib Umar pun tak henti berupaya mempererat ukhuwah sesama umat Islam, terutama di kalangan ulamanya, sebagai poros dakwah umat. Jadi, ada keseimbangan dakwah antara wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhajnya, Madrasah Hadhramaut. Di Indonesia, misalnya, kita mengenal Majelis Muwashalah bayna ’Ulama-il Muslimin (Majelis Penghubung antar-Ulama Umat Islam), yang juga digagas Habib Umar. Sebagaimana kita ketahui bersama, institusi tersebut kini mendapat sambutan hangat hampir seluruh ulama Nusantara. Habib Umar memang layak menjadi tokoh umat. Ihwal perbedaan pendapat di dalam tubuh umat ini, Habib Umar selalu berusaha menyikapinya dengan bijak. Sarat nuansa rahmatan lil ‘alamin. Terhadap paham-paham umat yang ekstrem, beliau selalu mengedepankan akhlaqul karimah. Inilah spirit persatuan yang diembuskan Habib Umar bin Hafidz di setiap langkah dakwahnya. Menyeru dan mengajak manusia kembali pada fithrahnya, kembali pada jati dirinya sebagai seorang hamba Tuhan, Yang Mahaperkasa, yang akan meminta pertanggungjawaban atas setiap langkah, perilaku, dan keyakinan hamba-hamba-Nya. Yang dibangun Habib Umar adalah persatuan yang diajarkan Allah SWT, yang dilaksanakan Rasulullah SAW beserta para sahabat dan ahlul bayt beliau, bukan persatuan yang berakar pada pluralisme liar yang mengorbankan keyakinan dan aqidah secara bebas, sehingga menghilangkan pijakan aqidah yang kukuh. Persatuan ini adalah persatuan yang tulus, tumbuh dari hati yang bersih, dan berakar pada prinsip dan landasan yang kukuh. Sehingga, dialog bisa terbangun, komunikasi bisa berjalan, kerja sama pun dapat terjalin di berbagai bidang. Jika gagasan ini dikembangkan dan diterapkan oleh kaum muslimin, perpecahan dan pertumpahan darah, seperti yang terjadi di Irak dan Pakistan, misalnya, tak akan terjadi. Menelaah pemikiran Habib Umar, di tengah gejolak demi gejolak yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini, terasa menjadi penting. Tak ayal, tokoh pemersatu seperti dirinyalah yang amat dibutuhkan umat saat ini. Atas dasar itulah, Habib Hamid bin Ja’far Al-Gadri, baru-baru ini mencoba menuangkan pemikiran gurunya saat ia menimba ilmu di Hadhramaut itu dalam buku yang baru saja diluncurkan tersebut, terkait dengan sikap sang guru dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di tengah umat. Selain menguraikan pemikiran Habib Umar berdasarkan apa yang ia pahami selama menimba ilmu kepadanya, ia juga menerjemahkan secara lengkap sejumlah ceramah Habib Umar, dengan harapan, para pembaca dapat menangkap pesan persatuan yang disampaikan Habib Umar secara utuh. Sebagai pengantar pada pembahasan ini, Habib Hamid terlebih dahulu mendudukkan permasalahan dengan menulis sebuah muqaddimah berisikan pesan-pesan agama antara yang qath’iy (pasti) dan ijtihadi. Harapannya, pembaca bisa memahami kapan seseorang harus toleran dan pada saat yang mana seseorang harus bersikap tegas dalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Meski demikian, dengan kerendahan hati, ia sendiri menyatakan bahwa apa yang ditulisnya di buku tersebut hanyalah, ”…pemahaman penulis pada pemikiran Habib Umar, sebab belum tentu memang seperti ini pemikiran Habib Umar. Jika terjadi pertentangan dengan pemikiran Habib Umar yang sebenarnya, itu murni kesalahan penulis dalam memahami pemikiran beliau. Tulisan ini hanyalah usaha penulis dalam memahami pemikiran beliau.” Berikut ini sebagian cuplikan dari buku karya Habib Hamid tersebut, dengan sedikit penyuntingan kebahasaan yang tidak mengubah makna. Pandangan Moderat Mayoritas penduduk kota Tarim beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i dalam ilmu fiqih. Ini telah terjadi sejak ratusan tahun silam. Namun demikian, mereka sangat menghormati kelompok lain di luar Madzhab Syafi’i. Hal ini tampak dari sikap Habib Umar yang mempunyai murid dari berbagai penjuru dunia, yang tentu mempunyai madzhab yang berbeda-beda. Ketika Habib Umar mengajar ilmu fiqih dengan membaca kitab Al-Yaqut an-Nafis fi Madzhab Ibn Idris, misalnya, beliau mensyarahi kitab tersebut dengan metode yang luar biasa. Beliau menerangkan fiqih madzahib arba’ah (madzhab yang empat). Bahkan kadangkala beliau menceritakan pendapat madzhab lain selain madzhab yang empat. Tidak cukup sampai di situ, dalam kondisi tertentu beliau juga menyuruh sebagian murid beliau untuk taqlid pada madzhab lain selain Madzhab Syafi’i. Habib Umar sangat jarang men-tarjih (membandingakan mana yang lebih kuat) di antara dalil para pengikut madzahib. Mungkin hal ini beliau lakukan untuk menghormati madzhab-madzhab yang ada, demikian hemat Habib Hamid. Dan itu juga menunjukkan bahwa beliau bukan orang yang fanatik pada madzhab yang diikuti, meski beliau sangat kuat dan teguh dalam memegang mabda’ (prinsip). Semua orang bicara tentang persatuan umat Islam. Memang benar, alangkah indah jika persatuan umat Islam terwujud. Dan memang, banyak hal yang akan dicapai umat Islam jika menyadari pentingnya persatuan ini. Begitu pula di negeri ini. Di Indonesia, nilai-nilai ini perlu dikembangkan dan dibudayakan, demi membendung pemikiran radikal dan ekstrem, yang tak bisa bersikap toleran terhadap kelompok lain. Jika paham-paham radikal dan ekstrem tumbuh subur dan berkembang di Bumi Pertiwi ini, dampak yang akan timbul menjadi fatal. Apalagi jika pemikiran radikal sampai menyentuh akar rumput, pergolakan dan kegaduhan tak bisa dihindari, pertikaian di sana-sini dengan sesama kelompok agama tapi saling mengatasnamakan agama akan terjadi. Padahal masalahnya sangat sederhana, yaitu pemahaman agama yang tidak menyeluruh. Sebab seandainya memahami agama dengan menyeluruh, seseorang tentu akan lebih arif dan moderat di dalam bersikap. Namun, moderat bagi Habib Umar bukan bermakna bersikap lunak pada kelompok lain. Moderat yang dimaksud adalah pemahaman terhadap ajaran agama secara benar, utuh, dan sempurna. Hal ini dijelaskan Habib Umar secara mendalam dalam salah satu karyanya yang berjudul Al-Wasathiyah fi al-Islam, yang di sini telah diterbitkan oleh penerbit Nurani Publishing dengan judul Agama Moderat. Bijak Menyikapi Perbedaan Persatuan ini adalah persatuan yang tulus, tumbuh dari hati yang bersih, dan berakar pada prinsip dan landasan yang kukuh. Sehingga, dialog bisa terbangun, komunikasi bisa berjalan, kerja sama pun dapat terjalin di berbagai bidang. Tahan Mulut Menurut Imam Ghazali, masalah aqidah yang ushûl (pokok) hanya ada tiga. Orang yang menentangnya, berarti ia keluar dari agama ini. Sementara itu, perkara-perkara aqidah yang masuk dalam kategori furû’ (cabang) menyebabkan penentangnya sesat, atau berbuat bid’ah, tidak sampai kafir atau keluar dari agama ini. Berikut pernyataan Imam Ghazali mengenai masalah ini sebagaimana tertuang dalam kitabnya, Faishal at-Tafriqah. Ketahuilah, mengenai sesuatu yang dapat membuat kufur dan yang tidak, memerlukan penjelasan yang panjang. Perlu juga untuk menjelaskan setiap pendapat dan setiap madzhab. Perlu juga menjelaskan setiap syubhat (kerancuan) masing-masing, dan dasar-dasarnya, baik dari segi zhahirnya maupun segi penakwilannya. Tidak cukup meski dengan berjilid-jilid kitab, dan waktuku juga tidak cukup untuk menjelaskannya. Untuk itu, sekarang terimalah dengan satu pesan dan satu ketentuan. Pesan: Tahan mulut, agar jangan sampai mengkafirkan ahlul qiblah (muslim), semampumu, selagi mereka masih mengatakan La Ilâha Illallâh Muhammad Rasûlullâh dan mereka tidak menyangkalnya. Maksud menyangkal di sini adalah memperbolehkan pendustaan kepada Rasulullah SAW, baik dengan alasan atau tidak. Mengkafirkan itu berbahaya, sementara diam tidaklah berbahaya. Sedangkan ketentuannya: Engkau harus mengerti bahwa nazhariyât (hal-hal yang membutuhkan penalaran) ada dua macam. Pertama berhubungan dengan ushûl, dan yang kedua berhubungan dengan masalah furû’. Ushûlul-Imân (pokok-pokok iman) itu ada tiga, yaitu iman kepada Allah, iman kepada utusan-Nya, dan iman kepada Hari Akhir. Selain dari yang tiga ini, masuk dalam kategori furû’. Ketahuilah, tidak ada pengkafiran sama sekali dalam masalah furû’, kecuali satu masalah, yaitu mengingkari ajaran agama yang diketahui dari Rasulullah secara mutawatir (mâ ulima fid-dîn bi adh-dharûrah). Akan tetapi, sebagian masalah furû’ itu menyebabkan seseorang melakukan kesalahan, seperti pada masalah-masalah fiqih, dan sebagian yang lain dapat menyebabkannya terjerumus ke dalam bid’ah, seperti kesalahan dalam masalah imamah dan keadaan para sahabat (Majmû’ah Rasâ’il al-Imam al-Ghazali: hlm. 247). Pendapat Al-Ghazali ini tampak cocok dalam konteks upaya-upaya mempersatukan umat. Dengan landasan ini, langkah untuk membangun kerja sama dan dialog antar-madzhab akan lebih mudah. Perpecahan yang mengancam ketenteraman umat Islam pun bisa dihindari sedini mungkin. Pada akhirnya, tak ada kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk mengobok-ngobok umat ini. Memang mempertahankan keyakinan, pendapat, dan pandangan adalah hak setiap manusia, namun bukan berarti harus ada permusuhan, pertikaian, dan perpecahan. Keluasan Syari’at: Hikmah Banyaknya Ijtihad Madzhab-madzhab yang ada di dalam Islam berdiri dengan dasar ijtihad-ijtihad yang benar, berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah serta memperhatikan ijma’ dan qiyas. Semua itu menggambarkan keagungan dan luasnya dasar, rujukan, dan asalnya. Dengan semua itu, dapat dipahami bahwa kita wajib merenungkan hikmah adanya kesempatan bagi yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dan berijtihad. Juga, hikmah dalam merealisasikan universalitas agung ini, yang dapat membantu kemaslahatan hakiki manusia di berbagai belahan dunia dalam kondisi apa pun. Hikmah yang mendidik pribadi muslim agar keluar dari fanatisme dan selalu memegang etika pada Allah SWT, serta membuka cakrawala berpikir, agar bisa leluasa di dalam berargumentasi dengan melihat secara luas susunan dalil dan argumen, asal sudah memahami ketentuan dan batas-batasannya. Dalam arti, tidak kebablasan dan tidak menjadikan pendapatnya laiknya nash yang tak boleh diganggu gugat. Bahasan ini tentu terbatas pada mereka yang memang berhak dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Hal seperti ini dapat kita temukan dalam kandungan sejarah Nabi Muhammad SAW yang diajarkan kepada kita pada berbagai macam ibadah. Dalam shalat, misalnya, umat berlomba-lomba melaksanakannya, bahkan sampai memperbanyak shalat-shalat sunnah. Di antara mereka ada yang banyak shalatnya, ada juga yang sedikit. Dalam hadits dijelaskan, shalat adalah tempat terbaik yang Allah tempatkan agar hamba-hamba-Nya mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam hadits lainnya, ”Barang siapa mau memperbanyak, dipersilakan; dan yang mau sedikit, juga dipersilakan.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim). Diriwayatkan pula, sebagian pembesar sahabat ada yang melakukan shalat sebanyak dua puluh rakaat, ada yang tiga puluh, dan ada yang seratus rakaat dalam satu malam, seperti yang diamalkan Sayyidina Utsman bin Affan RA. Dan sebagian lagi ada yang melakukannya kurang dari semua itu. Ketika shalat didirikan pun, bahkan sebagian dari mereka membaca doa yang beragam. Di antara doa mereka ada yang dibaca dengan keras hingga didengar Rasulullah SAW, sang pemilik syari’at, dan Rasulullah memberi kabar gembira kepada orang yang membaca doa-doa tersebut. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Tatkala kami shalat bersama Rasulullah SAW, ada yang mengucapkan, ‘Allahu akbar kabira wa subhanallahi bukrataw wa ashila’.” Rasulullah bertanya, “Siapa orang yang membaca itu tadi?” Salah satu dari mereka berkata, “Aku, ya Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Aku heran dengan bacaan-bacaan itu. Telah dibuka baginya pintu-pintu langit.” Selanjutnya Ibnu Umar berkata, “Sejak Rasulullah mengatakan itu, aku tak pernah meninggalkan bacaan tersebut.” (HR Muslim). Ibnu Umar begitu mengagungkan dan mementingkan bacaan ini sejak Rasulullah SAW mengakuinya dari orang itu. Ada hadits shahih lainnya yang diriwayatkan Rifa’ah bin Rafi’, ia berkata, “Suatu hari kami shalat bersama Rasulullah SAW. Ketika beliau mengangkat kepala dari ruku’, beliau membaca, ’Sami’allahu liman hamidah’.” Lalu, ada orang membaca, ’Rabbana wa lakal hamdu, hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih.’ Usai salam Rasulullah bertanya, “Siapa orang yang mengatakan itu tadi?” “Aku, ya Rasulullah,” sahut salah seorang sahabat. Rasulullah bersabda, “Aku melihat tiga puluh lebih malaikat berlomba-lomba menulis (ganjaran) bacaan-bacaan itu.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Al-Hakim). Rasulullah memberinya kabar gembira bahwa malaikat bahkan sampai saling berlomba untuk menuliskan (ganjaan) bacaan-bacaan itu. Keberadaan Madzhab-madzhab Begitulah kita temukan para sahabat Rasulullah memanjatkan doa yang berbeda-beda. Kita tidak perlu menghalangi diri dengan menutup pintu doa atau melarang satu jenis doa yang tidak dilarang dalam nash Al-Qur’an maupun hadits. Karena, setiap doa yang bukan permohonan berbuat dosa atau doa memutus tali silaturahim, secara umum termasuk doa yang dianjurkan. Dengan semua ini kita bisa menjaga kekhususan dari hal-hal umum. Kita juga bisa melaksanakan nash serta berjalan sesuai dengan petunjuk sang pemilik syari’at, yaitu Rasulullah SAW. Beliau mengajarkan satu doa kepada seorang sahabat dan mengajarkan doa yang berbeda kepada sahabat yang lain. Walau begitu, beliau tidak pernah membatasi mereka agar hanya membaca doa-doa yang beliau ajarkan, dan meninggalkan doa-doa lain, dalam kondisi apa pun. Jadi, berjalan menuju Allah harus dengan dasar kebersihan hati dan baik di dalam berinteraksi. Itu dapat mengentas seseorang dari cara berpikir yang sempit dan dada yang tidak lapang; dapat membuat seseorang agar tidak mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan, mengingkari sesuatu yang diakui oleh syari’at, atau mengakui sesuatu yang diingkari oleh syari’at. Dan dari semua ini pula kita mengetahui apa yang dilakukan oleh para sahabat di masa hidup Rasulullah, Muhammad SAW. Ada sahabat bercerita, “Kami pergi bersama Rasulullah SAW dari Mina ke Arafah. Di antara kami ada yang membaca talbiyah dan ada yang bertakbir. Adapun Rasulullah SAW sendiri hanya menekuni bacaan talbiyah, hingga beliau melempar jumrah. Rasulullah berada di tengah-tengah para sahabat, dan beliau sama sekali tidak mengingkari sahabat yang bertakbir, yang berdzikir, atau yang membaca salah satu jenis talbiyah yang memang isinya tidak bertentangan dengan syari’at.” Inilah petunjuk Nabawi yang harus kita jalani, tanpa sikap ekstrem dan lalai, tidak melampaui batas namun juga tidak meremehkan, akan tetapi harus dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tentu saja terdapat perbedaan yang jelas antara yang haram, yang makruh, dan yang mubah; beda pula antara yang sunnah dan yang wajib. Semua hukum itu pun (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), berbeda antara yang disepakati (oleh para ulama) dan yang tidak disepakati. Syari’at mengajari kita semua agar bisa berinteraksi dengan sesama secara seimbang, moderat, konsisten, dan lurus. Sehingga, adanya madzhab bukan menjadi dasar untuk saling bertentangan, saling berseberangan, saling mencaci, saling membenci, bukan pula untuk menimbulkan kedengkian. Akan tetapi, keberadaan madzhab yang berbeda-beda harus dijadikan sebagai penyebab fleksibilitas, penguat hubungan, pemahaman argumen, memperluas wawasan, meluruskan jati diri menyebarkan keutamaan, serta sebagai bentuk pengagungan pada asal dan dasar yang menjadi penyebab timbulnya pemikiran-pemikiran yang luas ini (Al-Qur’an dan hadits). Sebagaimana telah dimaklumi, apa yang dibawa oleh nash itu ada qath’iyuts-tsubût (dipastikan kebenaran riwayatnya) dan ada yang qath’iyud-dalâlah (sudah pasti maknanya, tidak bisa diartikan lain). Kalau sudah ada nash yang qath’iyuts-tsubût dan qath’iyud-dalâlah, tidak boleh bagi siapa pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun keluar dari nash itu. Dari sini kita bisa memahami betapa luasnya syari’at agama ini. Hati kita pun akan menyambut para pengikut madzhab-madzhab yang berbeda-beda, dengan catatan tidak menyebarkan kerusakan, tidak mengadakan permusuhan, tidak menciptakan marabahaya, dan tidak keluar dari apa yang telah disepakati para ulama dalam agama Allah SWT. Bijak Menyikapi Perbedaan Persatuan ini adalah persatuan yang tulus, tumbuh dari hati yang bersih, dan berakar pada prinsip dan landasan yang kukuh. Sehingga, dialog bisa terbangun, komunikasi bisa berjalan, kerja sama pun dapat terjalin di berbagai bidang. Jangan Muncul dari Hawa Nafsu Jalan yang benar dalam mengikuti madzhab apa pun dari madzhab-madzhab yang benar, harus mengerti bahwa adanya madzhab lain adalah salah satu bentuk dan identitas kebenaran syari’at, juga merupakan penjelasan akan luas dan agungnya syari’at ini. Perbedaan sama sekali bukanlah alasan untuk saling berjauhan, saling bermusuhan, saling menyimpan kebencian, atau saling menginjak hak-hak dan kehormatan orang lain. Di samping itu, betapa banyak persamaan yang harus diikuti bersama secara benar dan cermat. Perlu cara yang benar di dalam membangun hubungan antar-madzhab guna merekatkan hubungan dan persatuan, bahkan untuk menghilangkan pemisah dan perbedaan. Sehingga, mungkin jika masalah ini ditempatkan sebagaimana mestinya dapat berpengaruh pada tempat yang tadinya banyak berdiri bermacam-macam madzhab menjadi lenyap secara perlahan dan menuju pada arti persatuan. Itu bisa memperkecil jumlah madzhab, sebagaimana yang terjadi di Hadhramaut di masa setelah datangnya Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa. Al-Muhajir tidak bisa lepas dari realitas sejarah yang pernah terjadi di negeri ini, dan beliau juga bagian dari dunia Islam yang datang sejak masa Nubuwah. Tatkala beliau datang, di Hadhramaut sudah terdapat beberapa kelompok dan golongan, juga pemikiran. Hanya saja aliran Ahlussunah wal Jama’ah tidak pernah lepas dari bumi Hadhramaut meski ada beberapa kelompok dari selain Ahlussunnah dan meski yang memegang tampuk kekuasaan dan kekuatan terkadang memang dari kelompok selain Ahlussunnah. Lalu, bagaimana membangun komunikasi? Bagaimana cara bersikap menghadapi berbagai macam aliran hingga pada akhirnya perbedaan itu mengecil, dan masyarakat berubah, menuju pada satu kekuatan yang saling berdekatan dalam pendapat dan pemahaman. Semuanya saling memahami dan memaklumi hingga pada tingkat saling menolong antara satu dan lainnya, bahkan lenyaplah masalah-masalah pribadi dan kepentingan-kepentingan pribadi karena begitu jelasnya cara ini, serta begitu kuat dan indahnya sikap ini. Sikap yang bersih dari kepentingan pribadi, kelompok, dan misi-misi duniawi, jika dipraktekan dengan dasar pemahaman terhadap hikmah dari syari’at Allah dalam masalah ini, disertai kasih sayang, lemah lembut, dan santun, merupakan cara yang dapat menghilangkan bangkitnya emosi dan menjauhkan diri dari kekuatan hawa nafsu. Jika nafsu dan emosi itu bercokol, tidak akan membuahkan apa-apa selain saling menjauh dari permusuhan dan pertikaian. Oleh karena itu kita temukan teguran dari Allah kepada seorang nabi yang ma’shum, Nabi Dawud, untuk berhati-hati. Allah berfirman, “Hai Dawud, sesungguhnya Aku menjadikan engkau khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” – QS Shad (38): 26. Etika Berbeda Pendapat Kita juga menemukan apa yang pernah dialami oleh para fuqaha yang saling menerima dalam permasalahan yang mereka perdebatkan. Selesai berdebat, yang satu mengambil pendapat temannya, dan begitu pula sebaliknya. Debat selesai dengan saling mengadopsi pendapat yang lain. Hal semacam ini bisa terjadi pada umat Nabi Muhammad karena tidak adanya hawa nafsu yang menguasai, dan tidak didasari oleh fanatisme dan kepentingan pribadi. Imam Syafi’i pernah berkata, ”Setiap kali aku berdebat dengan seseorang, aku selalu berharap agar orang itu mendapatkan perhatian dan penjagaan dari Allah, dan aku berharap agar Allah menampakkan kebenaran melalui pendapatnya. Artinya, tujuanku adalah tampaknya kebenaran. Aku senang jika kebenaran itu tampak dari lawan debatku itu.” Oleh karena itu tidaklah beliau mendebat seorang ulama kecuali setelah itu si ulama menerima pendapat Imam Syafi’i. Ya, karena beliau ikhlas, sungguh-sungguh, dan jujur. Tujuan beliau hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT dalam berdebat dan berdiskusi. Seperti itulah sikap beliau kepada orang lain. Masalah ini sangat erat kaitannya satu sama lain, dalam konteks pemikiran dan pandangan dari sudut ini. Dan, sejarah kita, di Hadhramaut secara khusus, banyak contoh-contoh semacam ini. Sejarah umat Islam juga banyak mengandung pelajaran-pelajaran dan teladan-teladan ini. Dengan dilandasi cara bersikap yang benar ini, muncullah ucapan Imam Syafi’i yang sangat termasyhur, ”Kesimpulan yang aku capai melalui ijtihadku aku yakini itu sebagai suatu kebenaran yang mungkin salah; sedangkan kesimpulan orang lain yang berbeda dengan hasil ijtihadku ini aku yakini sebagai suatu kesalahan yang mungkin benar.” Hasil salah yang dicapai melalui ijtihad bukanlah suatu dosa atau cela, asalkan ia memang layak untuk berijtihad, tidak didasarkan hawa nafsu dan fanatisme. Perhatikanlah pandangan yang mendalam ini. “Kesimpulan yang aku hasilkan dari ijtihadku itulah yang aku yakini kebenarannya, namun masih mungkin salah; sedangkan hasil ijtihad orang lain aku yakini salah, namun masih mungkin benar.” Adapun sesuatu yang datang dengan nash yang sharîh (jelas dan tidak ada kemungkinan lain), tidak ada argumen bagi siapa pun, baik itu sahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in, untuk menentangnya. Tidak boleh melakukan sesuatu apa pun yang berlawanan dengan nash tersebut. Di sini banyak contoh dan teladan yang pernah terjadi dalam sejarah umat ini, termasuk dalam sejarah bangsa kita di negeri ini. Hanya saja ketidakpahaman akan apa yang terjadi pada kita saat ini telah membuat kita tidak tahu bagaimana cara membangun dan meluruskan peradaban kita. Bagaimana cara melewati rintangan-rintangan ini. Tentang Penulis Habib Hamid bin Ja’far Al-Gadri lahir pada 6 Desember 1981 M/11 Shafar 1402 H. Ia menjalani pendidikan awalnya di Madrasah Al-Hamidiyah. Tahun 1992, memasuki kelas 3 ibtidaiyah, orangtuanya memasukkannya ke Pesantren Sidogiri, yang ia tempuh selama tujuh tahun. Lulus tsanawiyah, tahun 1999, ia mendapat tugas mengajar di Pesantren Al-Ihsan, Leces, Probolinggo. Setelah itu ia mengajar di pesantren asuhan Habib Haidarah Al-Hinduan, sambil meneruskan pelajarannya kepada sang pengasuh pesantren, hingga 2004. Sewaktu di Sidogiri, ia sudah aktif menulis dan berceramah, yaitu lewat Jam’iyyah Al-Muballighin, semacam lembaga untuk pelatihan para muballigh di Pesantren Sidogiri. Itu dijalaninya sejak kelas 6 ibtidaiyah. Sedang di tengah-tengah masyarakat, yakni sewaktu liburan pondok, ia mulai terjun ceramah sejak usia 16 tahun. Di Madura, saat usia 16 tahun itu, ia juga sempat membentuk Forma, Forum Remaja Madura, yang masih eksis hingga sekarang. Tahun 2004, ia pun berangkat ke Hadhramaut, dan menimba ilmu di lembaga pendidikan Darul Musthafa, di bawah asuhan Habib Umar Bin Hafidz. Selain kepada Habib Umar dan para guru di Darul Musthafa, ia juga memanfaatkan waktunya di Hadhramaut untuk menjumpai sejumlah ulama di sana demi memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya. Sepulangnya di Indonesia, setahun pertama ia banyak bolak-balik Jakarta-Madura. Setelah setahun, akhirnya ia memutuskan tinggal di Jakarta, dan menetap di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan. Di Jakarta, ayah dari dua anak, Muhammad dan Umar, ini kemudian mendirikan semacam institusi penelitian, yang ia namakan “Al-Ghanna Foundation”, yang bergerak di bidang keilmuan, tazkiyah (majelis dzikir), dan dakwah. Aktivitasnya dalam mengajar saat ini antara lain ia membuka majelis mingguan setiap malam Senin, di rumahnya. Di antara kajiannya adalah tentang sirah shahabat, sejarah kehidupan para sahabat Nabi SAW. Di antara kitab yang ia gunakan adalah Tarikh al-Khulafa Ar-Rasyidin, karya As-Suyuthi. Setiap Rabu pagi ia membuka pelajaran bahasa Arab, fiqh, akhlaq, dan tafsir di rumahnya. Dua minggu sekali ia mengajar di Masjid Al-Fudhala’, Tanjung Priok, bergantian setiap pekannya dengan K.H. Saifuddin Amsir. Lewat Al-Ghanna pula ia membuat jaringan satri dan alumni pesantren salaf, misalnya, lewat penulisan buku-buku atau terjemah kitab-kitab, yang kemudian diterbitkan Nurani Publishing, yang juga ia dirikan untuk kebutuhan menerbitkan buku-buku keislaman. Saat ini, ia juga aktif sebagai ketua Bidang Media Massa Majelis Muwashalah bayna al-‘Ulama wa al-Muslimin. Selain itu ia juga menjadi pembina ubudiyah (peribadahan) pada perguruan pencak silat Tiga Serangkai, yang anggotanya kini mencapai puluhan ribu anggota, yang tersebar di seluruh Nusantara. “Kita, yang Ahlussunnah wal Jama’ah, harus tetap memegang teguh prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Kalau pemikiran kita berbenturan di sana-sini, misalnya, sikapilah dengan akhlaq yang dicontohkan para salaf Ahlussunnah wal Jama’ah,” ujarnya ketika mengomentari sikap yang harus diambil bila suatu ketika umat berseberangan pendapat. Pada akhirnya, sebagai penutup dalam pembahasan ini, Habib Hamid mengutip pernyataan Imam Dzahabi, “Aku mendapatkan kalimat yang sangat menarik dari Imam Asy’ari sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Hazim Al-Abdawi dari Zahir bin Ahmad As-Sarkhi, ia berkata, ‘Tatkala menjelang ajal Abul Hasan Al-Asy’ari di rumahku di Baghdad, beliau memanggilku dan berkata: Saksikanlah padaku bahwa aku tidak mengkafirkan siapa pun dari ahlul qiblah, karena semuanya mengarah pada satu sesembahan (Tuhan). Semua ini hanya perbedaan di dalam ungkapan’.” Wallahu a’lam bish shawab. 2013@abdkadiralhamid |