//

Penilaian Aisyah tentang Fathimah : "Dialah yang paling Disayang Nabi SAW"




Penilaian Aisyah tentang Fathimah : "Dialah yang paling Disayang Nabi SAW"

“Fathimah-lah yang paling disayang oleh Nabi,” jawab Aisyah penuh bangga ketika ditanya oleh sebahagian sahabat tentang keluarga Rasulullah SAW.

Tak ada yang memungkiri, kecintaan dan kasih sayang kaum muslimin kepada keluarga Rasulullah SAW begitu tulus. Ketulusan ini murni, tidak memperbandingkan satu sama lain, karena itulah kecintaan yang diajarkan dan ditanamkan Rasulullah SAW ten­tang keluarganya kepada umatnya.
Satu hal yang menarik ialah bagai­mana Rasulullah merawat cinta kasih­nya kepada para wanita yang hidup di sekelilingnya, sehingga melahirkan jiwa-jiwa yang peka terhadap kemuliaan kasih sayang. Maka dari pancaran ca­haya sosok yang mulia ini, berpendaran sosok cahaya lainnya, yakni sosok me­reka yang hidup dalam keseharian ke­hidupan rumah tangga Rasulullah SAW.
Dua dari sekian sosok yang patut disebut di sini ialah putri beliau, Sayyidah Fathimah Az-Zahra RA, dan istri beliau, Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah RA. Keduanya bak dua kuntum mawar nan harum semerbak, laksana kupu-kupu nan indah yang gesit beterbangan di alam raya. Keduanya adalah teladan bagi kehidupan kaum wanita dalam se­gala hal, terutama bagaimana keduanya membangun kemitraan sebagai ibu dan anak, yang menopang dakwah sang suami dan ayah, Rasulullah SAW.
Sayyidah Aisyah terlahir pada dela­pan atau sembilan tahun sebelum hijrah. Ia menikah dengan Rasulullah SAW saat berusia 7 atau 8 tahun. Dan baru hidup se­rumah dengan beliau pada saat usia­nya 10 atau 11 tahun, ketika sudah ber­ada di negeri hijrah Madinah Munaw­warah. Sayyidah Aisyah berusia 18 atau 19 tahun saat Rasulullah SAW wafat. Itu artinya, Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah hidup berumah tangga bersama Rasulullah SAW selama delapan tahun lebih.
Sedangkan Sayyi­dah Fathimah Az-Zahra lahir di Makkah pada tanggal 20 Jumadal Akhi­rah, 16 atau 18 ta­hun se­belum hijrah. Ter­lahir dari rahim ibunya, Sayyidah Khadijah RA, istri Nabi Mu­ham­mad SAW yang pertama. Fathimah adalah putri keempat Nabi. Putri beliau lainnya yakni Zainab, Ruqayyah, dan Ummi Kultsum, sedangkan saudara laki-laki Fathimah yang tertua, Qasim dan Abdullah, wafat saat masih belia.
Perbedaan usia antara Fathimah dan Aisyah sekitar delapan atau sembilan tahun. Itu artinya, tatkala Aisyah lahir, Fathimah masih bocah cilik yang riang ber­main dengan teman-teman sebayanya.
Keduanya ditakdirkan Allah Ta’ala untuk lahir, hidup, dan besar bersama di bawah gemblengan madrasah Rasul­ullah SAW. Mereka beriringan dan ber­gandengan tangan di saat keduanya di­pertemukan dalam kekeluargaan, seba­gai istri dan anak manusia teragung di jagat raya, setelah keduanya melewati masa perkawanan remaja putri.

Apel Surga
Aisyah begitu penasaran dengan putri Rasulullah yang satu ini. Tidak ada hajat suatu apa pun padanya, selain ingin menelisik bagaimana kepribadian seorang putri Rasulullah itu terbangun.
Dalam kitab Nurul Abshar fi Manaqib Al al-Bayt an-Nabiyy al-Mukhtar, karya Asy-Syiblanji, disebutkan suatu riwayat. Ad-Daulabi meriwayatkan dari Aisyah, tatkala Aisyah RA bertanya perihal ba­gaimana pengistimewaan kecintaan Ra­sulullah SAW terhadap Fathimah,  “Du­hai Rasulullah, mengapa, setiap kali ber­jumpa Fathimah, engkau selalu menge­cupkan bibirmu ke pipinya, laksana eng­kau ingin menyendokkan madu ke mu­lutmu?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya tatkala pada malam aku di-isra`-kan, Jibril memasukkan aku ke dalam surga dan menawariku sebutir apel. Lalu aku makan buah itu, sehingga menjadi nuthfah (saripati) dalam diriku.
Ketika aku turun ke bumi (selepas peristiwa Isra-Mi’raj itu), aku berkumpul dengan istriku, Khadijah, maka Fathimah itu berasal dari saripati apel itu. Bilamana aku rindu saat teringat apel surga itu, segera aku mencium Fathimah.”
Dalam riwayat lain, sebagaimana diriwayatkan Abu Sa’id dalam kitab Syaraf an-Nubuwwah, Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Kenapa engkau sering mencium Fathimah, ya Rasulallah?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya tatkala aku di-isra`-kan, Jibril memasuk­kan aku ke dalam surga. Lalu dia mem­beriku makanan berupa berbagai ma­cam buah-buahan. Lalu makanan itu men­jadi saripati dalam tulang sulbiku, hingga kemudian Khadijah mengandung Fathimah. Maka jika aku rindu akan buah-buahan surga itu, aku mencium Fathi­mah, sehingga kurasakan semerbaknya bau buah-buahan surga yang dulu ku­makan itu.”
“Duhai sedemikian indahnya ke­dudukan Fathimah di sisi Allah dan Rasul-Nya, pantaslah kiranya ia menjadi putri kebanggaan beliau,” kata Aisyah. Suatu hal yang tak perlu diirikan apalagi me­nimbulkan hasud di hati Aisyah. Dan itu pun bukan tabiat ahlul bayt Rasulullah SAW. Bahkan Sayyidah Aisyah bangga bisa bersanding akrab dengan Fathimah. Sehingga saking senang dan gembira­nya, sebagaimana disebutkan da­lam kitab Al-‘Itrah an-Nabawiyyah, di­riwayat­kan Aisyah berkata kepada Fa­thimah, “Duhai Fathimah, maukah eng­kau aku kabari berita gembira bahwa ayah­mu, Rasulullah SAW, bersabda, ‘Para pemim­pin wanita di surga itu ada empat: Mar­yam binti ‘Imran, Fathimah binti Muham­mad SAW, Khadijah binti Khuwailid, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” Fathimah pun tersenyum baha­gia atas kabar riwayat dari Aisyah tersebut.
Fathimah pantas digelari Al-Batul (yang memusatkan perhatiannya pada ibadah). Ia juga digelari Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya), Az-Zahra’ (yang cemerlang), Ath-Thahirah (yang suci).
Ia seorang wanita yang tiada banding­nya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab, hasab dan nasab, yang taat ber­ibadah serta menjauhi keduniaan.
Fathimah lebih muda dari Zainab, istri Abi Al-‘Ash bin Rabi‘, lebih muda dari Ruqayyah dan Ummu Kultsum, kedua­nya istri Utsman bin Affan. Ia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW, se­hingga beliau bersabda, “Fathimah ada­lah darah dagingku, apa yang menyu­sahkannya juga menyusahkan aku, dan apa yang mengganggunya juga meng­gangguku.” (Ibnul Abdil Barr dalam kitab Al-Isti’ab).
Fathimah dibesarkan di bawah asuh­an ayahnya, guru terbesar bagi umat manusia. Ajaran dan bimbingan ayahnya telah membawanya menjadi wanita ber­budi luhur, bermartabat mulia, dan salah satu wanita terbaik sepanjang zaman.
Fathimah, yang sangat mirip dengan ayahnya, baik roman muka maupun ke­biasaan yang shalih, adalah seorang anak perempuan yang paling disayang ayahnya dan sangat berbakti kepada ayahnya, apalagi setelah ibunya wafat. Dengan demikian, dialah yang sangat besar jasanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya, sehingga dijuluki Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya).
Sekalipun Rasulullah memiliki bebe­rapa orang istri, Fathimah-lah yang pa­ling digantungkan beliau untuk meng­urus segala keperluannya. Namun hal itu tidaklah menyurutkan kasih sayang beliau kepada istri-istrinya yang lain.
Kedudukan Fathimah memang tak ter­gantikan. Ketika pada suatu waktu Aisyah pernah “mencemburui” sikap Ra­sulullah yang sering menyebut-nyebut ibunda Fathimah, Khadijah, dalam ber­bagai kesempatan keluarga, dengan ber­kata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau masih saja menyebut-nyebut Kha­dijah, sedangkan sudah ada aku di sisimu. Apa yang membuatmu begitu mendalam mencintainya?”
Rasulullah SAW menjawab, “Khadi­jah begitu istimewa di hatiku. Dialah yang sejak mula menyokong dakwahku de­ngan jiwa dan hartanya, menghiburku di saat berat dan bertubi-tubinya ujian men­datangiku, dan darinyalah aku beroleh keturunan.”
Sampai di sini Aisyah sudah maklum dan mafhum. Ia menyadari dan tak mau mensejajarkan dirinya dengan Khadijah dan putra-putrinya. Apalagi dengan Fa­thimah. Sehingga dengan bergembira, ia pun memuji Fathimah dan ibunya da­lam berbagai kesempatan, sebagai­mana telah banyak diriwayatkan.
Apa yang dirasakan Rasulullah men­jadi perasaan Aisyah juga. Sehingga Aisyah berkata dengan penuh ta’zhim, “Aku tidak pernah berjumpa dengan so­sok pribadi yang lebih besar daripada Fathimah, kecuali kepribadian ayahnya.”
Aisyah juga memberi pandangannya tentang Fathimah, ketika ia ditanya oleh sebahagian sahabat tentang keluarga Rasulullah. “Fathimah-lah yang paling di­sayang oleh Nabi,” jawabnya penuh bangga.
“Fathimah-lah yang paling disayang oleh Nabi,” jawab Aisyah penuh bangga ketika ditanya oleh sebahagian sahabat tentang keluarga Rasulullah SAW.

Berbagi Rahasia Rasulullah SAW
Apakah ta’zhimnya Aisyah kepada Fathimah berbeda dengan ta’zhimnya Fathimah kepada Aisyah? Tentu tidak! Sebuah kemuliaan tidak terbangun ke­cuali dengan kemuliaan juga. Fathimah sangat mencintai dan menghormati Aisyah dengan tulus. Bagaimanapun Aisyah adalah putri kesayangan Sayyi­dina Abubakar RA, laki-laki yang paling mencintai dan menyokong ayah Fathi­mah sejak awal hingga kematian memi­sahkan keduanya. Aisyah juga wanita pilihan ayahnya pasca-wafatnya sang ibu, Khadijah, untuk mendampingi beliau di jalan dakwah yang terjal. Aisyah juga sosok yang cerdas, guru bagi banyak sa­habat, dan cekatan dalam membantu, se­bagaimana khid­mah ayahnya bagi Ra­sul dan agama ini. Itulah sebahagian tipikal Aisyah yang menjadi tolok ukur peng­hormatan Fathimah. Keduanya bahu-membahu sedari belia hingga dewasa.
Sebuah cerita terbangun dari satu riwayat, yang menandaskan kecintaan Fathimah kepada Aisyah. Sesaat sete­lah Rasulullah wafat, Fathimah menceri­takan kejadian itu untuk pertama kalinya kepada Aisyah. Sebuah cerita meng­harukan yang hanya patut dibagi kepada orang yang pantas diajak ber­bagi.
Cerita itu adalah bahwa ayahnya, yakni Rasulullah SAW, membisikkan be­rita kematian beliau kepada Fathimah. Itu­lah yang menyebabkan Fathimah me­na­ngis. Tapi waktu beliau mengatakan bahwa Fathimah-lah orang pertama yang akan menyusulnya, Fathimah men­jadi bahagia. Berita ini lebih dulu di­sampaikan Fathimah kepada Aisyah. Artinya, Aisyah-lah orang yang paling di­percaya Fathimah untuk mendengar cu­rahan hatinya. Baru setelah itu, kabar itu sampai kepada para sahabat lainnya, se­telah wafatnya Fathimah.
Imam Muslim meriwayatkan kisah ini kepada kita tentang keutamaan Fathi­mah bersumber riwayat dari Aisyah RA, yang berkata, “Suatu ketika istri-istri Nabi SAW berkumpul di kediaman Nabi SAW. Lalu datang Fathimah RA. Ia berjalan yang cara berjalannya mirip dengan ja­lan Rasulullah  SAW.
Ketika  Nabi  SAW  melihatnya, be­liau menyambutnya seraya berkata, ‘Se­lamat datang, putriku.’ Kemudian beliau me­minta putrinya duduk di sebelah ka­nan atau  kiri sisi beliau.  Lalu  beliau ber­bisik  kepadanya.
Kemudian Fathimah menangis de­ngan  suara  keras.
Ketika  melihat  kesedihannya, Nabi  SAW  berbisik  kepadanya  untuk  kedua  kalinya,  maka Fathimah tersenyum.
Setelah itu aku berkata kepada Fa­thimah, ‘Rasulullah  SAW telah  berbisik  kepadamu  secara  khusus  di antara istri-istrinya, kemudian engkau menangis.’
Ketika Nabi SAW pergi, aku ber­tanya kepadanya, ‘Apa yang dikatakan Rasul­ullah SAW kepadamu?’
Fathimah menjawab, ‘Aku belum akan menyiarkan rahasia Rasulullah  SAW.’
Aisyah  berkata, ‘Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepadanya, ‘Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepada­ku apa  yang dikatakan Rasulullah SAW ke­padamu itu?’
Fathimah  pun  menjawab, ‘Adapun  se­karang, baiklah. Aku ingin berbagi ke­padamu. Ketika berbisik pertama kali ke­padaku, beliau mengabarkan kepadaku: Jibril biasanya memeriksa bacaanku ter­hadap Al-Qur’an sekali dalam setahun, dan sekarang dia memeriksa bacaanku dua kali. Maka, aku lihat ajalku sudah de­kat. Takutlah kepada Allah dan sabar­lah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu.’
Fathimah lalu berkata, ‘Maka aku pun menangis sebagaimana yang eng­kau lihat waktu itu.
Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, dan berkata: Wahai Fathimah, tidakkah engkau se­nang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum beriman umat ini?
Fathimah berkata, ‘Maka aku pun ter­tawa seperti yang engkau lihat’.”
Maksud dari ucapan Rasulullah ini bahwa Fathimah-lah yang kelak menjadi pemimpin wanita di surga yang paling awal menyusul wafatnya beliau, seba­gai­mana disebutkan secara eksplisit dalam riwayat yang lain.
Bersama Aisyah pula, Fathimah bahu-membahu ketika keluar bersama empat belas orang wanita, di antara mereka ter­dapat Ummu Sulaim binti Milhan RA, yang mengangkut air dalam sebuah qirbah atau gentong besar dan bekal di atas punggungnya untuk memberi ma­kan kaum mukminin yang sedang berpe­rang menegakkan agama Allah SWT.
Betapa indah situasi ketika Nabi Mu­hammad SAW menunjukkan cinta dan sa­yang kepada putrinya itu. “Seakan-akan kulihat Az-Zahra’ berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang ayahnya,” demikian kata Aisyah.
Aisyah meyakini betapa keagungan dan kemuliaan bersanding dalam pribadi Fathimah. Dan Fathimah pun meyakini hal yang sama pada diri Aisyah, wanita yang banyak ia timba ilmu dan penga­lam­an hidupnya.
Demikianlah cinta kasih terbangun di antara dua wanita yang mendaras ilmu dan akhlaq di madrasah Rasulullah SAW. Keduanya besar dalam didikan Rasul­ullah SAW dan keduanya memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penilaian Aisyah tentang Fathimah : "Dialah yang paling Disayang Nabi SAW""

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip