Hizib dan Wirid |
Sebagai kata, hizib berarti kelompok, golongan, partai, dan bagian. Namun, jika disandingkan dengan istilah tradisi dzikir, hizib adalah kumpulan bacaan dalam dzikir. Menurut Abu As-Sa’adah Al-Jazari dalam An-Nihayah fi Gharib al-Atsar, arti harfiah kata hizib adalah giliran dalam antrean pengambilan air di sumur. Arti harfiah tersebut mengalami beberapa pengembangan sehingga menjadi istilah tersendiri. Sebagai istilah, hizib memiliki makna lebih khusus lagi, yakni kumpulan doa yang ditalqinkan (diajarkan) seorang syaikh atau mursyid kepada murid-muridnya untuk dibaca secara mudawamah (rutin) dan istiqamah (terus-menerus). Hizib pun semakna dengan wirid. Dalam beberapa kamus, seperti Lisan al-‘Arab, disebutkan, selain bermakna “sekutu”, kata hizib juga berarti bacaan dzikir atau shalat yang ditekankan seseorang kepada dirinya sendiri. Hizib dalam arti ini di antaranya disebutkan dalam sebuah hadits, “Telah tiba kepadaku hizibku dari Al-Qur’an, maka aku ingin diriku tidak keluar sebelum menyelesaikannya.” (HR Ibnu Majah). Dalam istilah yang dikenal kalangan sufi, arti kata hizib tidak jauh dari arti tersebut, hanya saja agak lebih khusus. Syaikh Ahmad bin ‘Abbad menyatakan bahwa hizib adalah kumpulan dzikir, doa, dan bimbingan yang dibuat untuk mengingat Allah, berlindung dari keburukan dan kejahatan, memohon kebaikan, memohon tumbuhnya berbagai ilmu dan pengetahuan, dengan menyatukan hati kepada Allah. Syaikh Sulaiman ‘Alamuddin, seorang pemerhati tasawuf, menyatakan, hizib sebagai sebuah istilah di dunia tasawuf adalah kumpulan doa yang diwajibkan oleh seorang syaikh kepada para pengikutnya, sebagai sarana dzikir dan istighfar pada tingkat pemula, yaitu maqam taubah. Barangkali karena itulah, hizib dalam tradisi sufi sangat lekat dengan ijazah, izin yang diberikan oleh seorang syaikh kepada muridnya untuk membaca hizib tersebut secara rutin sebagai salah satu tahap dalam suluknya. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman Al-Fasi, penulis syarah terhadap Hizb al-Barr Imam Asy-Syadzili, menyatakan, fungsi hizib dan wirid bisa dikelompokkan menjadi tiga macam: pengajaran, pendidikan, dan peningkatan maqam (tadrij al-maqam). Ijazah Dzikiran Dalam beberapa referensi tasawuf, terdapat beberapa ungkapan ijazah hizib, semisal qara‘tuhu ‘ala (aku membacakan hizib ini di hadapan…) atau ajazani bihi (aku mendapat ijazah hizib ini dari…). Juga, ada yang menggunakan sighat (lafaz) sanad, semisal “aku meriwayatkan hizib ini dari Syaikh Fulan (dan seterusnya hingga sampai pada penyusun pertama hizib tersebut). Atau, “aku mendapatkan hizib ini melalui jalur sanad Syaikh Fulan (dan seterusnya)”. Mata rantai pewarisan hizib ini mirip dengan ijazah kitab, yang biasa diberikan oleh seorang syaikh kepada muridnya sebagai pengakuan terhadap kualifikasi keilmuannya. Bahkan, dalam beberapa hal juga ada kemiripan dengan periwayatan hadits, terutama dari segi adanya perhatian besar terhadap ijazah dan sanad. Dalam transmisi keilmuan melalui kitab, perhatian terhadap ijazah dan sanad tidak terlalu menjadi perhatian. Setiap pelajar bisa mempelajari sebuah kitab tanpa harus mendapat ijazah dan sanad dari siapa pun. Sangat berbeda dengan hizib, seorang murid tidak akan berani mengamalkan hizib itu tanpa ada ijazah dari gurunya. Bahwa hizib merupakan bagian dari amaliyah suluk, itu sudah sangat jelas, karena hizib umumnya memang dibuat oleh seorang mursyid lalu diijazahkan kepada murid-muridnya. Ada beberapa tarekat yang terkenal dengan hizibnya. Antara lain Asy-Syadziliyah, dengan Hizb al-Bahr (al-Hizbu as-Shaghir), Hizb al-Barr (al-Hizb al-Kabir), Hizb al-Hamd, Hizb al-Hifzh wa ash-Shawn, Hizb an-Nur. Semua hizib ini disusun oleh pendiri Tarekat Syadziliyah, Imam Abul Hasan Asy-Syadzili. Hizib-hizib itu merupakan doa dan wirid yang dibaca secara rutin oleh Imam Asy-Syadzili dalam waktu-waktu tertentu. Selain hizib Imam Asy-Syadzali, ada juga beberapa hizib lain di tarekat ini, yang disusun oleh para khalifah beliau. Sebut saja, yang paling terkenal, Dalail al-Khairat, Hizb al-Falah, dan Hizb al-Jazuli, karya Imam Al-Jazuli. Selain Syadziliyah, Tarekat Rifaiyah juga punya kekhususan dengan hizib-hizibnya. Dalam tarekat ini, misalnya ada Hizb al-Faraj, Hizb ar-Rifa’i ash-Shaghir, Hizb ar-Rifa’i al-Kabir, Hizb al-Wasilah, Hizb as-Sirr al-Mashun. Semuanya disusun oleh Imam Ar-Rifa’i, pendiri Tarekat Rifa’iyah, serta menjadi bacaan rutin beliau yang diijazahkan kepada para muridnya. Memang, pada mulanya, hizib lebih sering menjadi amalan pribadi seorang syaikh. Jika syaikh itu memiliki murid atau pengikut, amalan itu diturunkan kepada mereka. Dan jika syaikh itu mendirikan tarekat, secara otomatis hizibnya juga menjadi amalan tarekat tersebut. Namun demikian, ada beberapa hizib yang tidak menjadi amalan tarekat tertentu, misalnya Hizb an-Nawawi, karya Imam An-Nawawi, Hizb an-Nashr, karya Syaikh Ahmad Al-Buni. Baik Imam An-Nawawi maupun Syaikh Ahmad Al-Buni memang tidak mendirikan tarekat. Meskipun demikian, kedua hizib tersebut tetap tersebar secara luas di tengah-tengah umat Islam di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah, karena kedua ulama tersebut memang memiliki banyak murid yang menjadi perantara transmisi pada generasi setelahnya. Jalur penyebaran hizib-hizib para syaikh itu melalui cara dan motif yang beragam. Sebagian melalui jalur tarekat ataupun ajaran suluk para syaikh, dan sebagian yang lain melalui jalur mujarrabat, yakni bacaan yang teruji manfaatnya dan menjadi kepercayaan akan kemujaraban doa-doa tersebut untuk mencapai hajat tertentu. Namun sayangnya, setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang, hizib-hizib itu mulai mengalami pergeseran makna, yakni tertukarnya tujuan utama dengan tujuan sampingan. Sebab, kalangan pengamal hizib sering kali lebih suka memahami hizib sebagai sebuah doa mujarrabat daripada memahaminya sebagai bekal penting dalam suluk. Tapi, bagaimanapun, yang terpenting, hizib tetap harus dipahami sebagai sebuah doa, bukan sebuah mantra. Wirid Sebagai kata, wirid artinya haus, dahaga, mendatangi air untuk meminumnya dan menghilangkan dahaga. Sedang sebagai istilah, wirid adalah kumpulan doa yang dibaca rutin tiap hari. Wirid adalah seruan atau doa yang mengandung permohonan tertentu kepada Allah SWT. Wirid diartikan juga sebagai doa-doa yang diucapkan berulang-ulang setiap hari dengan bilangan tertentu dan waktu tertentu. Bacaan wirid yang disusun para ulama sangat beragam, dengan unsur bacaan ma’tsurat (yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits) dan ghair ma’tsurat (bacaan doa yang disusun oleh ulama-ulama salaf dan para awliya‘), dan lainnya. Al-Imam Al-Quthb Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah sosok yang paling termasyhur dalam hal ini. Ia memiliki sejumlah wirid susunannya, yang banyak dibaca kaum muslimin. Karya-karya wiridnya yaitu Miftah as-Sa’adah wa al-Falah fi Adzkar al-Masa‘ wa ash-Shabah, An-Nubdzah ash-Shughra fi Adzkar ash-Shabah wa al-Masa‘, dan Ratib al-Haddad. Wirid biasanya berhubungan dengan istilah warid. Warid adalah hidayah yang diturunkan dalam hati seseorang tanpa diminta. Orang yang melalaikan wirid tidak akan mendapat warid. Pengarang kitab Al-Qirthas Syarh Ratib al-‘Aththas, Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas, mendefinisikan warid sebagai sesuatu yang datang kepada bathin seorang hamba yang terdiri dari perasaan yang amat halus, cahaya, sirr (rahasia), dan kasyaf (penguakan akan tabir-tabir), hingga hatinya merasa lapang, tenang, bermandikan cahaya Ilahiyah dan rahasia-Nya. 2013@abdkadiralhamid |
0 Response to "Hizib dan Wirid"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip