Perjalanan Imam Syafii ke Madinah dan Pertemuan dengan Imam Malik
Berikut ini akan dibawakan tentang perjalanan Imam Syafii dalam mencari ilmu.
Sebelum
Imam Syafii mengadakan perjalanan menuju Imam Malik, beliau mengadakan
persiapan untuk pertemuan itu. Beliau menghafal Kitab al-Muwaththa.
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa beliau menghafalnya pada umur sepuluh
tahun, pada sebagian riwayat yang lain dikisahkan bahwa beliau
menghafalnya pada saat umur tiga belas tahun. (Tawali at-Ta’sis hal 54)
Imam asy-Syafii mengisahkan kisah perginya kepada Imam Malik:
“Aku
keluar dari Mekkah, kemudian aku menetap tinggal bersama suku Hudzail
di pedalaman dimana aku mempelajari ucapan mereka dan mengambil bahasa
mereka, suku Hudzail ini adalah bangsa arab yang paling fasih, aku
tinggal bersama mereka selama beberapa masa, dimana aku pergi dan
tinggal bersama mereka.
Ketika
aku kembali ke Mekkah, aku mulai mendendangkan syair dan aku
menyebutkan sejarah orang-orang dulu. Kemudian ada seorang dari orang
Zuhriy melewati aku dan berkata kepadaku: ‘Wahai Abu Abdillah (sebutan
Imam Syafii, pent), sungguh aku rasa berat kefasihanmu dan balaghahmu
ini tidak diletakkan dalam ilmu dan fiqih.’ Maka aku bertanya: ‘Siapakah
orang yang tersisa yang menjadi tujuan (untuk hal itu)?’ Dia menjawab:
‘Malik bin Anas, sayyid kaum muslimin.’ Imam Syafii berkata: Hal itu
menancap dalam hatiku. Kemudian aku meminjam kitab al-Muwaththa’ dari
seseorang di Mekkah dan aku menghafalnya. Kemudian aku menemui Gubernur
Mekkah dan meminta surat (rekomendasi)nya yang ditujukan kepada Gubernur
Madinah dan kepada Malik bin Anas.
Kemudian
aku mendatangi Madinah dan menyampaikan surat kepada Gubernur Madinah.
Ketika dia membaca surat itu dia berkata: ‘Wahai anakku, jika aku
berjalan kaki dari Madinah sampai ke Mekkah tanpa tutup kepala, itu
lebih mudah bagiku daripada aku berjalan ke rumah Imam Malik, sungguh
aku tidak melihat kehinaan sampai aku berdiri di pintu rumahnya.’ Maka
aku berkata: ‘Jika Tuan ingin, bisa mengutus seseorang untuk meminta dia
menghadap.’ Dia menjawab: ‘Sekali-kali tidak. Duhai andainya aku dan
orang yang bersamaku menaiki kendaraan kemudian kita terkena tanah
al-aqiq agar dia memenuhi kebutuhan kita.’ Kemudian aku menjanjikannya
pada waktu ashar.
Kemudian
kami pergi ke rumah Imam Malik, lalu seseorang maju mengetuk pintu
rumahnya, sampai keluar menemui kami seorang budak wanita hitam.
Kemudian Gubernur Madinah berkata kepadanya: ‘Katakan kepada tuanmu, aku
ada di pintu rumahnya.’ Kemudian budak wanita itu masuk. Setelah selang
beberapa waktu budak itu keluar dan berkata: ‘Sesungguhnya tuanku
mengatakan jika ada permasalahan, maka tulislah dalam lembaran, hingga
keluar nanti jawabannya. Jika untuk berbincang, engkau telah mengetahui
kapan waktu majlis, maka pergilah.’
Kemudian
Gubernur Madinah berkata kepada budak wanita itu: ‘Katakan kepadanya
bahwa bersamaku ada surat dari Gubernur Mekkah dalam permasalahan
penting.’ Kemudian budak wanita itu masuk dan keluar dengan membawa
kursi. Kemudian dia meletakkannya. Tiba-tiba keluar Imam Malik, beliau
seorang syaikh berwibawa yang jangkung dengan memakai jubah hijau.
Kemudian Gubernur Madinah menyerahkan surat kepadanya, hingga sampai
perkataan: ‘orang ini mulia urusan dan keadaannya, hendaklah engkau ajak
bicara dia’, maka Imam Malik melempar surat ini dari tangannya dan
berkata: “Ya Subhanallah! Ilmu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sekarang diambil dengan wasilah.’ Imam Syafii berkata: aku melihat
Gubernur Madinah merasa segan untuk berbicara dengannya. Kemudian aku
maju kepada Imam Malik dan berkata: ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu.
Aku ini seorang turunan Mutththalib, dengan keadaan dan kisahku.’
Ketika Imam Malik mendengar ucapanku, dia melihatku sesaat. Dan Imam
Malik memang memiliki firasat, kemudian berkata kepadaku: ‘Siapa
namamu?’ Aku menjawab: ‘Muhammad.’ Dia berkata: ‘Wahai Muhammad,
bertakwalah kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan. Sungguh engkau nanti
akan mempunyai urusan yang besar.’ Aku menjawab: ‘Ya. Dengan penuh
pemuliaan.’ Kemudian Imam Malik berkata: ‘Besok engkau datang dan akan
datang orang yang akan membacakan al-Muwaththa’ kepadamu.’ Aku menjawab:
‘Aku telah menghafalnya luar kepala.’
Kemudian
aku pergi pagi-pagi kepadanya dan aku memulai membacakan al-Muwaththa’
kepadanya. Setiap aku merasa segan kepada Imam Malik dan ingin
memutusnya, dia merasa kagum dengan bacaanku dan i’rabku, dia berkata: ‘Hai, pemuda, teruslah! Agar engkau bisa menyelesaikan bacaannya dalam beberapa hari.’”
(Al-Manaqib
karya al-Baihaqi 1/102-103, dan karya ar-Razi 9-10, dan ringkasannya di
al-Hilyah 9/69, serta Tawali at-Ta’sis 53-56.)
Di
sela-sela beliau tinggal di Madinah belajar kepada Imam Malik, beliau
kadang kembali ke Mekkah mengunjungi ibunya. Dan ketika dia Mekkah
mempelajari syair-syair Kabilah Hudzail dan belajar dari para ulama
Mekkah.
Beliau
mulai belajar di Madinah pada umur 13 tahun sekitar pada tahun 163 H.
Kemudian beliau bolak-balik antara Madinah, Mekkah dan Hudzail, meskipun
yang paling banyak tinggalnya di Madinah di sisi Imam Malik, sampai
Imam Malik rahimahullah meninggal pada tahun 179 H. Setelah itu beliau
kembali setelah mendapat banyak ilmu Imam Malik dan menjadi ulama
terkenal, yaitu ketika beliau berumur kira-kira 29 tahun. Pada masa ini
beliau juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid
az-Zinji, Ibrahim bin Abi Yahya dan lainnya sebagaimana kata Mush’ab
az-Zubairi: “Tidaklah Syafii meninggalkan sesuatupun dari Imam Malik bin
Anas, kecuali sedikit dan dari para syaikh di Madinah kecuali beliau
telah mengumpulkannya.” (Mu’jam al-Adiba’ 17/283)
Disini ada beberapa pelajaran dari kisah dua imam ini:
- Disini ada perbedaan yang jauh antara Imam Syafii seorang imam besar ahlussunnah ahlul hadits, dengan yang diyakini oleh orang-orang sufi
yang mengatakan bahwa mereka bisa mendapat ilmu laduni tanpa belajar.
Para imam yang besar di sejarah Islam, mereka menjadi para imam dan
ulama dengan belajar kepada para ulama sebelumnya, mempelajari
al-Qur’an, sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ilmu-ilmu
lainnya , tidak dengan bersemedi atau bermimpi, tidak dengan sekedar
merenung dan berkhayal.
- Teladan para imam ahlussunnah wal jamaah untuk mempelajari ilmu agama langsung dari seorang guru dan tidak mencukupkan dengan tulisan
baik kitab, laman internet, blog atau yang lainnya, karena banyak
faedah yang akan didapati seseorang dari keteladanan yang tidak didapati
hanya melalui membaca. Karena banyak blog-blog atau laman-lama website
itu menipu, pandai bersilat lidah, ternyata orang-orang di belakangnya
orang-orang bejat yang tidak menaruh pemuliaan terhadap al-Qur’an,
tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan
para imam ahlussunnah. Mereka orang-orang bejat yang tidak punya ilmu
agama dan akhlak, tidak punya ketakwaan, tidak beramal shalih, tidak
menjauhi kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan, tidak wara’, tidak mengajak
orang ke jalan Allah tetapi ke kelompoknya atau pribadinya atau gagasan
atau idenya. Bahkan di antara mereka terbiasa dengan dusta dan rakus
mengambil harta orang lain dengan cara tanpa hak. Kita berlindung kepada
Allah dan perilaku seperti itu.
Imam
Syafii telah menghafal kitab al-Muwaththa Imam Malik, tetapi beliau
tetap mendatangi beliau untuk mempelajari ilmu hadits dan fikih dan
lainnya.
- Teladan mencari ilmu agama walaupun dengan mengorbankan waktu, tenaga dan biaya. Meskipun menempuh jarak yang jauh guna menemui seorang ulama, guru yang bertakwa yang berilmu.
Imam Syafii pergi meninggalkan keluarga di Mekkah ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.
- Pelajaran bagi kita untuk tidak ta’ashshub (fanatik)
pada orang tertentu atau kelompok tertentu, tidak pada madzhab
tertentu. Selama mereka ulama ahlussunnah kita mengambil ilmu dari
mereka. Tidak mengatakan: “Ini madzhab maliki, ini madzhab syafii. Aku
mengikuti pendapat ini karena ini madzhab ini.” Atau “Aku loyal kepada
orang-orang yang mengikuti madzhab ini, dan benci dari orang-orang yang
mengikuti madzhab itu.” Selama mereka semua adalah ulama ahlussunnah.
Kita memilih pendapat para ulama selama sesuai dengan dalil yang shahih.
Di
kisah ini, Imam Syafii sangat dekat dan berguru dengan Imam Malik.
Sedangkan orang sekarang banyak pengikut madzhab merasa tidak suka atau
benci bila mendengar pendapat imam yang selain madzhabnya, bahkan
membenci Imam Malik misalnya karena dia madzhabnya Syafii atau membenci
Imam Syafii karena dia madzhabnya maliki, atau membenci Imam Ahmad bin
Hambal padahal beliau juga merupakan murid mulia Imam Syafii.
Ini adalah musibah, yang menyebabkan kaum muslimin terpecah belah karena perkara yang keliru.
- Setiap bidang itu ada ahlinya. Jika orang berbicara tidak pada keahliannya akan banyak salahnya. Hendaknya seorang mempelajari sesuatu kepada ahlinya. Mempelajari ilmu kedokteran pada ahlinya. Mempelajari ilmu agama kepada ahlinya. Sehingga kita tidak tertipu dengan orang yang belagak pintar dalam masalah agama, padahal dia tidak membidanginya.
Dia bukanlah ulama yang telah mendalami dan mengamalkan ilmu agama yang
diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia juga bukan
seorang thallabul ilmi yang benar-benar mempelajari ilmu agama dan
pengamalannya. Jangan tertipu dengan berbagai gelar kesarjanaan bila dia kosong dari ilmu agama dan tidak punya ketakwaan.
Wallahu a’lam
0 Response to "Biografi Al-Imam Asy-Syafii, Muhammad bin Idris (150-204 H)"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip