Manaqib Sayidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, Kramat Empang, Bogor
Nasab beliau :
Habib Abdurrahman bin
Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar
bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman
As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud
Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih
Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad
Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin
Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam
Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin
Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali
Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam
Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina
Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Ajma’in.
Biografi
Habib
Abdurrahman ahir tahun 1908 di Cimanggu; beliau adalah putra Habib
Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika beliau
masih kecil.tapi kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat
belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami'at Al-Khair, Jakarta,
masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan
anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman "Walid itu orang yang tidak mampu.
Bahkan beliau pernah berkata, "Barangkali dari seluruh anak yatim, yang
termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau
sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu". Tidurnya pun di
bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk
giat belajar."
Ketika masih belajar di Jami'at Al-Khair,
prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama.
Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk
menuntut ilmu kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya
dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. "Walid itu
kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo
meter untuk belajar ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas ( Habib
Empang Bogor ),"
Selain
Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi
bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad
bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas ( Bungur, Jakarta
), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ), K.H.Mahmud (
Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor ).
Semasa
menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, itulah
sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya.
Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu
agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis
dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab,
tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak
sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun
murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai
tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk
memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut "kitab kuning". Para
gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib
Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata
bahasa.
Setelah
menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di
madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin
menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya,
Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama,
tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih
bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling
sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan,
ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal
pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan madrasah sendiri,
Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit
Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyah
tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka
menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini menggunakan
buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib
Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu
bisa loncat kelas.
Dunia
pendidikan memang tak mungkin deipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang
hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan. Beliau
memang seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan
kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun
luas.terutama dengan para ulama dan kaum pendidik Jakarta.
Dalam
keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya
sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak.
Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai
disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab ilmu yang
dimilikinya tidak dapat diwariskan.
"Beliau konsisten dan tegas dalam
mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau
meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya
mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia
pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau
melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah
keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya. Jadi,
sekalipun tidak besar, ya....sedikit banyak putra-putrinya bisa
mengajar," kata Habib Umar merendah.
Habib
Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya Habib
Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin
Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis
Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan
Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar,
memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan
orang.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat
disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya
kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang
kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama,
melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir,
Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga
dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal
sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul
Janan fi Hadyil Qur'an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat
dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah
terbatas dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan
siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga
dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam
hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya
tidak hanya dalam hal mengajar, tapi juga dalam soal makan. "Walid
tidak akan pernah makan sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan
tepat waktu." Kata Habib Ali.
Mengenai
keikhlasa dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja
yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman
menga;lami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan
semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau
menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam
sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib
Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib
Abdurrahman juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau
membuka Majlis Taklim Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun
1990, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih di Parung
Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim itulah, Habib Abdurrahman
bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam, mohon petunjuk
lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan. Maka
Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak
lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa
cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib
Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan
itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar kemudia
dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air
bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk
keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman,
lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
==================================================================
Semuanya Ulama
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang, namun yang ada hingga saat ini sembilan orang; lima putra dan tiga putri. Hebatnya, kesembilan anak tersebut adalah ulama yang disegani dan berpengaruh di masyarakat. Mereka adalah Habib Muhammad, memimpin pesantrennya di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majelis Taklim Zaadul Muslim di Bukitduri; Habib Umar, memimpin Pesantren dan Majelis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukitduri; dan Habib Abu Bakar, memimpin Pesantren Al-Busyo di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang. Sementara tiga putrinya pun mempunyai jamaah tersendiri. Sub-hanallah....
Sebagai ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari tauhid, tafsir, akhlaq, fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab – dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Quran, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bun-yatul Umahat, dan Buah Delima। Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas, dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Sang Walid Telah Berpulang
Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7
Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB,
kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif
Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100
tahun.
Baru sekitar seminggu sebelum kepulangan sang walid, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pihak keluarga Habib Ali mendapat telepon dari Hadramaut, dimana ada seorang ulama yang tinggal di Tarim, Hadhramaut, yakni Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah Syihabuddin dalam sebuah majelis yang di hadiri banyak orang, ia berkata, “Saya bermimpi Rasulullah SAW, wajahnya seperti wajah Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong kasih tahu anak-anaknya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, saya sangat senang dan kasih tahu kabar gembira ini pada orang-orang yang ke Indonesia.”
Mendengar kabar dari Hadhramaut, pihak keluarga Habib Abdurrahman Assegaf seperti mendapat tanda akan kepergian dari sang walid. Seluruh keluarga pun dalam waktu singkat, berusaha untuk dikumpulkan semua. Dan apa yang telah dikhawatirkan jauh-jauh hari itu, akhirnya tiba.
Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun.
Hari itu, berita wafatnya ulama terkemuka yang sangat dicintai warga Jakarta tersebut mendominasi pembicaraan melalui telepon dan SMS. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masjid-masjid pun mengumumkan wafatnya sang walid, seraya membacakan surah Al-Fatihah. Kaum muslimin Jakarta benar-benar berduka dan kehilangan, ditinggal pergi sesepuh dan panutannya.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq, dan istiqamahnya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya, tepat di sisi sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyyah yang terletak di Jl Perkutut no 273, Bukit Duri Puteran, Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Al-Qur’an bergema sepanjang hari Senin sampai jelang pemakamannya pada hari Selasa. Sebuah tenda besar tak mampu menampung jama’ah yang terus berdatangan bergelombang bak air bah, mereka rela duduk dengan beralaskan tikar atau karton bekas di sepanjang jalan menuju kediaman almarhum.
Sejak awal, pihak keluarga telah memperkirakan para penakziah akan terus berdatangan hingga malam hari, bahkan esok harinya. Karena itu diputuskan, pemakaman akan dilakukan ba’da dzuhur di Pemakaman kampung Lalongok, Kramat Empang, Bogor, tiada lain untuk memberi kesempatan kepada semua pelayat yang ingin melepas kepergian sang walid yang terakhir kalinya.
Karena sangat banyaknya pelayat, mencapai puluhan ribu orang yang datang sejak berita kabar sang walid wafat, pihak keluarga hanya mempersilahkan per lima habaib dan jamaah untuk menatap wajah sang walid. Praktis, prosesi ini membuat antrean panjang dan berdesak-desakan di sekitar halaman rumah dari hari Senin siang sampai Selasa siang.
Bisa dibilang, semua habib dan ulama terkemuka se-Jabodetabek hadir untuk bertakziah, bahkan murid-murid sang walid dari berbagai penjuru Indonesia juga hadir. Tidak hanya itu, tamu dari luar negeri juga ikut bertakziah, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Maroko, Mesir, Yaman, Saudi dan lain-lain.
Para pejabat dan mantan negara juga tampak bertakziah di kediaman almarhum, seperti pada Selasa pagi, Drs. H. Surya Darma Ali (menteri usaha koperasi dan menengah), H. Fauzi Bowo (wagub DKI Jakarta), H. Hamzah Haz (mantan Wapres RI) dan lain-lain.
Selasa (27/3) Tepat pukul 10.00, jenazah dimandikan dan selepas itu pihak keluarga melakukan pelepasan terakhir di sisi tengah rumah almarhum secara tertutup. Baru pada pukul 11.45, jenazah sang walid dibawa ke luar untuk dishalatkan.
Acara dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga almarhum, yang diwakili oleh Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majelis Taklim Al-‘Afaf itu mengungkapkan terima kasih atas pelaksanaan pemakaman almarhum. Selanjutnya, Habib Ali mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum. “Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu dalam bentuk syariat-syariat beliau,” katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan itu mulai sesenggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara atas nama keluarga sang walid, tampil dengan nada suara yang sesekali bergetar menahan haru. Habib terkemuka di Jakarta itu kemudian menceritakan tentang tanda-tanda akan kepergian almarhum.
Habib Ali lalu melanjutkan tentang rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian sang walid. “Pada hari ini kita tidak datang pada hari-hari yang lalu, datang pada beliau untuk tidak berbicara. Kita memelihara anak yatim, tapi kali ini kita menjadi anak-anak yatim,” kata Habib Ali. Sebagian hadirin semakin histeris, bahkan ada yang sampai terduduk menangis.
“Kepergian sang walid sudah diramal jauh-jauh hari, ”Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah SWT, setelah itu baru saya,” kata walid. Dan benarlah, Ibunda Hj Barkah (istri sang walid) telah berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. Selain itu, lanjut Habib Ali, al walid juga pernah berkata pada keluarga, ’Saya pulang pada hari Senin, kasih tahu saudara-saudaramu’.”
Tepat pukul duabelas siang, jenazah mulai dishalatkan dengan imam Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Hadad (Al-Hawi, Condet). Kebetulan saat pada hari itu juga, mertua dari Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, yakni Syarifah Syarifah Rugayah binti Habib Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat dan ikut dishalatkan dengan bertindak sebagai imam shalat yakni Habib Syekh bin Abdurrahman Alattas.
Selepas doa oleh Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaff, iringan-iringan jenazah bergerak keluar dari kediaman dan sempat berhenti di masjid Jami Al-Makmur, Bukit Duri, Tebet untuk kemudian jenazah kemudian dishalatkan kembali dengan imam Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan sekaligus shalat Dzuhur berjamaah.
Sekitar pukul 13.00 iring-iringan yang membawa jenazah mulai bergerak menuju ke Bogor melalui Pancoran dan lewat tol menuju Empang. Ribuan kendaraan roda dua dan roda empat tampak mengiringi mobil ambulan yang membawa jenazah, tampak menyemut hingga 10 kilometer memadati jalan raya.
Sekitar pukul 15.30 jenazah kembali disemayamkan di Masjid An-Nur, Kramat Empang, Bogor. Lepas itu baru jenazah diberangkatkan ke makam kampung Lolongok yang terletak sekitar satu kilo di sebelah utara komplek makam Kramat Empang.
Mewakili sahibul bait, Habib Hamid bin Abdullah Assegaf memberikan taushiah, ”Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam, lampu yang sangat besar di kota Jakarta,” katanya.
Beruntung, lanjutnya, bagi murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara Haul, ’Kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marilah dalam pembacaan fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kirimkanlah untuk almarhum.
Sekitar pukul 17.00, prosesi pemakaman sang walid yang diikuti oleh sekitar seratus ribu muhibbin itu berakhir sudah. Sebenarnya masih banyak jamaah yang tertahan di luar komplek makam, karena kendaraannya tak bisa masuk dan mereka rela menunggu jauh di luar komplek makam. Jakarta kembali kehilangan seorang ulama besar.
abdkadiralhamid@2013
Baru sekitar seminggu sebelum kepulangan sang walid, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pihak keluarga Habib Ali mendapat telepon dari Hadramaut, dimana ada seorang ulama yang tinggal di Tarim, Hadhramaut, yakni Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah Syihabuddin dalam sebuah majelis yang di hadiri banyak orang, ia berkata, “Saya bermimpi Rasulullah SAW, wajahnya seperti wajah Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong kasih tahu anak-anaknya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, saya sangat senang dan kasih tahu kabar gembira ini pada orang-orang yang ke Indonesia.”
Mendengar kabar dari Hadhramaut, pihak keluarga Habib Abdurrahman Assegaf seperti mendapat tanda akan kepergian dari sang walid. Seluruh keluarga pun dalam waktu singkat, berusaha untuk dikumpulkan semua. Dan apa yang telah dikhawatirkan jauh-jauh hari itu, akhirnya tiba.
Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun.
Hari itu, berita wafatnya ulama terkemuka yang sangat dicintai warga Jakarta tersebut mendominasi pembicaraan melalui telepon dan SMS. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masjid-masjid pun mengumumkan wafatnya sang walid, seraya membacakan surah Al-Fatihah. Kaum muslimin Jakarta benar-benar berduka dan kehilangan, ditinggal pergi sesepuh dan panutannya.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq, dan istiqamahnya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya, tepat di sisi sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyyah yang terletak di Jl Perkutut no 273, Bukit Duri Puteran, Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Al-Qur’an bergema sepanjang hari Senin sampai jelang pemakamannya pada hari Selasa. Sebuah tenda besar tak mampu menampung jama’ah yang terus berdatangan bergelombang bak air bah, mereka rela duduk dengan beralaskan tikar atau karton bekas di sepanjang jalan menuju kediaman almarhum.
Sejak awal, pihak keluarga telah memperkirakan para penakziah akan terus berdatangan hingga malam hari, bahkan esok harinya. Karena itu diputuskan, pemakaman akan dilakukan ba’da dzuhur di Pemakaman kampung Lalongok, Kramat Empang, Bogor, tiada lain untuk memberi kesempatan kepada semua pelayat yang ingin melepas kepergian sang walid yang terakhir kalinya.
Karena sangat banyaknya pelayat, mencapai puluhan ribu orang yang datang sejak berita kabar sang walid wafat, pihak keluarga hanya mempersilahkan per lima habaib dan jamaah untuk menatap wajah sang walid. Praktis, prosesi ini membuat antrean panjang dan berdesak-desakan di sekitar halaman rumah dari hari Senin siang sampai Selasa siang.
Bisa dibilang, semua habib dan ulama terkemuka se-Jabodetabek hadir untuk bertakziah, bahkan murid-murid sang walid dari berbagai penjuru Indonesia juga hadir. Tidak hanya itu, tamu dari luar negeri juga ikut bertakziah, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Maroko, Mesir, Yaman, Saudi dan lain-lain.
Para pejabat dan mantan negara juga tampak bertakziah di kediaman almarhum, seperti pada Selasa pagi, Drs. H. Surya Darma Ali (menteri usaha koperasi dan menengah), H. Fauzi Bowo (wagub DKI Jakarta), H. Hamzah Haz (mantan Wapres RI) dan lain-lain.
Selasa (27/3) Tepat pukul 10.00, jenazah dimandikan dan selepas itu pihak keluarga melakukan pelepasan terakhir di sisi tengah rumah almarhum secara tertutup. Baru pada pukul 11.45, jenazah sang walid dibawa ke luar untuk dishalatkan.
Acara dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga almarhum, yang diwakili oleh Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majelis Taklim Al-‘Afaf itu mengungkapkan terima kasih atas pelaksanaan pemakaman almarhum. Selanjutnya, Habib Ali mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum. “Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu dalam bentuk syariat-syariat beliau,” katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan itu mulai sesenggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara atas nama keluarga sang walid, tampil dengan nada suara yang sesekali bergetar menahan haru. Habib terkemuka di Jakarta itu kemudian menceritakan tentang tanda-tanda akan kepergian almarhum.
Habib Ali lalu melanjutkan tentang rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian sang walid. “Pada hari ini kita tidak datang pada hari-hari yang lalu, datang pada beliau untuk tidak berbicara. Kita memelihara anak yatim, tapi kali ini kita menjadi anak-anak yatim,” kata Habib Ali. Sebagian hadirin semakin histeris, bahkan ada yang sampai terduduk menangis.
“Kepergian sang walid sudah diramal jauh-jauh hari, ”Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah SWT, setelah itu baru saya,” kata walid. Dan benarlah, Ibunda Hj Barkah (istri sang walid) telah berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. Selain itu, lanjut Habib Ali, al walid juga pernah berkata pada keluarga, ’Saya pulang pada hari Senin, kasih tahu saudara-saudaramu’.”
Tepat pukul duabelas siang, jenazah mulai dishalatkan dengan imam Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Hadad (Al-Hawi, Condet). Kebetulan saat pada hari itu juga, mertua dari Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, yakni Syarifah Syarifah Rugayah binti Habib Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat dan ikut dishalatkan dengan bertindak sebagai imam shalat yakni Habib Syekh bin Abdurrahman Alattas.
Selepas doa oleh Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaff, iringan-iringan jenazah bergerak keluar dari kediaman dan sempat berhenti di masjid Jami Al-Makmur, Bukit Duri, Tebet untuk kemudian jenazah kemudian dishalatkan kembali dengan imam Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan sekaligus shalat Dzuhur berjamaah.
Sekitar pukul 13.00 iring-iringan yang membawa jenazah mulai bergerak menuju ke Bogor melalui Pancoran dan lewat tol menuju Empang. Ribuan kendaraan roda dua dan roda empat tampak mengiringi mobil ambulan yang membawa jenazah, tampak menyemut hingga 10 kilometer memadati jalan raya.
Sekitar pukul 15.30 jenazah kembali disemayamkan di Masjid An-Nur, Kramat Empang, Bogor. Lepas itu baru jenazah diberangkatkan ke makam kampung Lolongok yang terletak sekitar satu kilo di sebelah utara komplek makam Kramat Empang.
Mewakili sahibul bait, Habib Hamid bin Abdullah Assegaf memberikan taushiah, ”Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam, lampu yang sangat besar di kota Jakarta,” katanya.
Beruntung, lanjutnya, bagi murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara Haul, ’Kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marilah dalam pembacaan fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kirimkanlah untuk almarhum.
Sekitar pukul 17.00, prosesi pemakaman sang walid yang diikuti oleh sekitar seratus ribu muhibbin itu berakhir sudah. Sebenarnya masih banyak jamaah yang tertahan di luar komplek makam, karena kendaraannya tak bisa masuk dan mereka rela menunggu jauh di luar komplek makam. Jakarta kembali kehilangan seorang ulama besar.
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Manaqib Sayidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, Kramat Empang, Bogor"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip