Mu'adz bin Jabal r.a. adalah seorang sahabat Nabi saw. yang terkenal cerdas. Otaknya cemerlang, manis tutur katanya, dan ia termasuk salah satu dari enam sahabat Nabi yang hafal Al-Qur'an saat itu. Dalam majelis, ia tidak memulai pembicaraan, kecuali ada yang bertanya.Ketika berbicara, dari lisannya seolah muncul cahaya dan mutiara.
Rasulullah saw pernah mengutusnya ke Yaman sebagai hakim dan guru bagi penduduk setempat. Beliau mengatakan dalam sepucuk surat yang dibawa Mu'adz r.a.,
"Aku utus kepada kalian orang terbaik dari
keluargaku."
Sebelum Mu'adz r.a. berangkat ke Yaman dalam rangka melaksanakan tugas hakim di sana, Rasulullah saw. bertanya:,
"Dengan dasar apa kamu memutuskan perkara, wahai
Mu'adz?"
Mu'adz r.a. menjawab,
"Dengan KITAB ALLAH (Al-Qur'an)."
"Jika tidak kamu jumpai dalam KITAB ALLAH?" tanya
Rasulullah saw.
"Aku putuskan berdasarkan SUNNAH Rasulullah," jawab Mu'adz.
Beliau bertanya lagi, "Jika tidak kamu jumpai dalam SUNNAH Rasulullah?"
Mu'adz r.a. menjawab, "Aku akan BERIJTIHAD mengoptimalkan akal pikiranku."
"Aku putuskan berdasarkan SUNNAH Rasulullah," jawab Mu'adz.
Beliau bertanya lagi, "Jika tidak kamu jumpai dalam SUNNAH Rasulullah?"
Mu'adz r.a. menjawab, "Aku akan BERIJTIHAD mengoptimalkan akal pikiranku."
Rasulullah saw. pun membenarkan ucapan Mu'adz seraya berkata: "Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya."
Tentang Mu'adz bin Jabal r.a., Rasulullah saw. mengatakan, "Orang yang paling mengerti tentang perkara halal haram di antara umatku adalah Mu'adz bin Jabal."
Beliau juga pernah mengatakan, "Mu'adz bin Jabal adalah pemimpin para ULAMA di hari kiamat nanti."
Di antara petuah Mu'adz bin Jabal r.a. adalah, "Pelajarilah Ilmu apa saja yang kalian inginkan karena Allah tidak akan memberi manfaat dari ilmu kalian hingga kalian mengamalkannya."
Bid'ah yang diamalkan oleh Salafus Sholeh antara lain :
1- Hadits dari Abu Hurairah, “Rasulallah
saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh, 'Hai Bilal,
katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah
engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu di dalam
surga'. Bilal menjawab, 'Bagiku amal
yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu
dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat'
“. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab
Al-Fath mengatakan, "Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian,
bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan
oleh Bilal kepada Rasulallah saw. adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya
sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw.". (Fathul Bari 11/276).
2- Hadits lain berasal dari Khabbab
dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat
sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim
yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dari dua hadits tersebut kita dapat
mengetahui dengan jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan
waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah
saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau
hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah.
Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan
prakarsa dua orang sahabat itu.
3- Hadits riwayat Imam Bukhori dalam
shohihnya II: 284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ al-Zuraqi yang
menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku shalat di belakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ Beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’
(Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas
limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya, ‘Siapa
tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab, 'Aku, ya
Rasulallah'. Rasulallah saw. berkata, ‘Aku melihat lebih dari 30
malaikat berebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan,
"Hadits tersebut dijadikan dalil untuk memperbolehkan membaca suatu
dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma'tsur)
jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan
dengan dzikir yang ma'tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw.
Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan
suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada di
dekatnya...'.
4- Hadits serupa dengan hadits di atas
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra., “Seorang
dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk ke dalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi
(segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan
penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau
bersabda, ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat)
(tadi)?'. Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi, ‘Siapakah di
antaramu yang mengatakannya? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu
yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata, ‘Aku datang sambil
terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah
saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat duabelas malaikat memburunya dengan
cepat, siapakah di antara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya
(amalannya ke Hadhirat Allah) “.
5- Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori
mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan, “Pada
suatu saat Rasulallah saw. menugaskan seorang dengan beberapa temannya
ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat
berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat al-Ikhlas di samping
Surah lainnya sesudah al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah,
seorang di antaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw.
Beliau saw. menjawab, ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas
pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab, ‘Karena Surat
al-Ikhlas itu menerangkan sifat al-Rahman, dan aku suka sekali
membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw.
beliau berpesan, ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak
pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw..
Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu
Rasulullah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan
memuji dan meridhoinya dengan ucapan, “Allah menyukainya”.
7- Al-Bukhori menyebutkan sebuah hadits
tentang Fadha’il (keutamaan) Surah al-Ikhlas, "Berasal dari Sa’id
al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang
mengulang-ulang bacaan 'Qul huwallahu ahad…'. Keesokan harinya
ia ( Sa’id al-Khudriy ra.) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah
saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus
mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.
berkata, ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditangan-Nya, itu sama dengan
membaca sepertiga Qur’an’".
8- Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal
dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal
dari ayah Abu Buraidah yang menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai
berikut, "Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk ke dalam
masjid Nabawi (masjid Madinah). Di dalamnya terdapat seorang sedang
menunaikan sholat sambil berdo’a, 'Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah al-Ahad, al-Shamad,
Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakun lahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a
itu Rasulallah saw. bersabda, ‘Demi Allah yang nyawaku berada di
tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, Yang
bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan
menjawab’".
Tidak diragukan lagi, bahwa do'a yang
mendapat tanggapan sangat menggembirakan Rasulullah saw. itu disusun
atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang
diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena
susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan
tauhid, maka Beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan
meridhoinya.
9- Hadits dari Ibnu Umar, beliau
berkata, “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada
seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran
Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’.
Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya, ‘Siapakah yang
mengucapkan kalimat-kalimat tadi?' Jawab sese- orang dari kaum, 'Wahai
Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi'. Sabda beliau
saw., ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit
telah dibuka pintu-pintunya karenanya'. Kata Ibnu Umar, 'Sejak aku
mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan
untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi'”. (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Al-Shan’ani ‘Abdul Razzaq juga mengutipnya dalamaAl-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan
pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru
yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau
saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian
Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah
saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Pada hadits-hadits tadi Rasulallah saw.
juga tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan
lafadz-lafadz do’a yang tidak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh
Beliau saw. dan membaca surah Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu
sholat maupun di luar sholat, malah beliau memberi kabar gembira bagi
orang yang mengamalkannya. Mengapa justru golongan pengingkar berani
mengharamkan, membid’ahkan, mungkar orang membaca tahlilan/yasinan
berulang-ulang yang mana di majlis itu bukan hanya satu surat saja yang
dibaca tetapi bermacam-macam surah dari Al-Qur’an dan do’a-do’a yang
baik? Kalau mereka mengatakan sebagai pengikut para Salaf, mengapa tidak
mencontoh bagaimana cara Rasulallah saw. Raja dan Guru terbesarnya para
Salaf menanggapi amalan-amalan bid’ah (baru) yang telah dikemukakan
tadi?
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada
golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut
waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari
hadits Rasulallah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib
ra. juga oleh Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya
untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan
hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik, Awam bin Hamzah,
Abdullah bin Ma’qil, Barra’ ra. yang diriwayatkan oleh sekolompok
huffaz dan mereka juga ikut menshahihkannya serta para ulama lainnya
diantaranya: Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu
Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan
lain lain.
Bagaimana mungkin do’a qunut yang
berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan
tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut di atas atas
prakarsanya para sahabat sendiri tidak disalahkan oleh Nabi saw. malah
diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya?
10- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri
tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah
swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an,
"Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku
arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka
minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka.
Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu
disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada
orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka
mendekati sahabat Nabi seraya berkata, 'Siapa di antara kalian yang bisa
mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa?'. Salah
seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui
mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui
tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu
membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan
langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat
beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum
berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah saw.. Setiba di
hadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa yang telah mereka
lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya, ‘Bagaimana
engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah
saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing
tersebut“. (HR.Bukhori)
11- Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i
mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin
Shilt yang mengatakan, “Pada suatu hari ia melihat banyak orang
bergerombol dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam
keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka
berkata, ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang
dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman
Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan
ternyata orang gila itu menjadi sembuh”.
Masih banyak hadits yang meriwayatkan
amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri
yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw. Semuanya itu
diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada
mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan
oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan
baik, tidak melanggar syari'at maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka
diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan
syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian
hadits-hadits di atas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaikan
selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari'at Islam itu
mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi
masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Dari sini kita bisa ambil kesimpulan
bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada
masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang
tidak melanggar syari'at serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan
diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk mengingatkan (dzikir)
kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan
dapat diterima.
Kesimpulan
Tidak semua yang tidak dilakukan pada
zaman Nabi adalah bid'ah/sesat dan tidak pula sunnah, karena harus
disaring dan dihadapkan pada dalil umum dan khusus sebagai garis-garis
besar yang menjadi batasan sunnah dan bid'ah.
2013@abdkadiralhamid
0 Response to "BOLEHNYA BERIJTIHAD JIKA TIDAK DALIL/SUMBER DARI ALQURAN DAN HADITS UNTUK PARA MUJTAHID ,IMAM MADZHAB DAN ULAMA"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip