Al Imam Ali Al-Uraidhi AS
Beliau
adalah Al-Imam Ali bin Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi
mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Al-’Uraidhi, karena beliau
tinggal di suatu daerah yang bernama ‘Uraidh (sekitar 4 mil dari kota
Madinah). Beliau juga dipanggil dengan Abu Hasan.
Beliau
dilahirkan di kota Madinah dan dibesarkan disana. Kemudian beliau
memilih untuk tinggal di daerah ‘Uraidh. Beliau adalah seorang tekun
dalam beribadah, dermawan dan seorang ulama besar. Beliau, diantara
saudara-saudaranya, adalah anak yang paling bungsu, yang paling panjang
umurnya dan paling menonjol keutamaan. Ayah beliau (yaitu Al-Imam Ja’far
Ash-Shodiq) meninggal ketika beliau masih kecil.
Beliau
mengambil ilmu dari ayah dan teman ayahnya. Beliau juga mengambil ilmu
dari saudaranya, yaitu Musa Al-Kadzim. Beliau juga mengambil ilmu dari
Hasan bin Zeid bin Ali Zainal Abidin. Banyak orang yang meriwayatkan
hadits melalui jalur beliau, diantaranya 2 putranya (yaitu Ahmad dan
Muhammad), cucunya (yaitu Abdullah bin Hasan bin Ali Al-’Uraidhi), putra
keponakannya (yaitu Ismail bin Muhammad bin Ishaq bin Ja’far
Ash-Shodiq1), dan juga Al-Imam Al-Buzzi.
Berkata
Al-Imam Adz-Dzahabi di dalam kitabnya Al-Miizaan, “Ali bin Ja’far
Ash-Shodiq meriwayatkan hadits dari ayahnya, juga dari saudaranya (yaitu
Musa Al-Kadzim), dan juga dari Ats-Tsauri. Adapun yang meriwayatkan
hadits dari beliau di antaranya Al-Jahdhami, Al-Buzzi, Al-Ausi, dan ada
beberapa lagi. At-Turmudzi juga meriwayatkan hadits dari beliau di dalam
kitabnya.” Adz-Dzahabi juga berkata di dalam kitabnya Al-Kaasyif, “Ali
bin Ja’far bin Muhammad meriwayatkan hadits dari ayahnya, dan juga dari
saudaranya (yaitu Musa Al-Kadzim). Adapun yang meriwayatkan hadits dari
beliau adalah dua putranya (yaitu Muhammad dan Ahmad) dan juga ada
beberapa orang. Beliau meninggal pada tahun 112 H…” Adz-Dzahabi juga
meriwayatkan suatu hadits dengan mengambil sanad dari beliau, dari
ayahnya terus sampai kepada Al-Imam Ali bin Abi Thalib, “Sesungguhnya
Nabi SAW memegang tangan Hasan dan Husain, sambil berkata, ‘Barangsiapa
yang mencintaiku dan mencintai kedua orang ini dan ayah dari keduanya,
maka ia akan bersamaku di dalam kedudukanku (surga) ada hari kiamat.’ ”
Asy-Syeikh Ibnu Hajar juga berkata di dalam kitabnya At-Taqrib, “Ali bin
Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain adalah salah seorang tokoh besar
pada abad ke-10 H…” Al-Imam Al-Yaafi’i memujinya di dalam kitab
Tarikh-nya. Demikian juga Al-Imam Al-Qadhi menyebutkannya di dalam
kitabnya Asy-Syifa’, dan juga mensanadkan hadits dari beliau, serta
meriwayatkan hadits yang panjang tentang sifat-sifat Nabi SAW. Al-Imam
Ahmad di dalam Musnad-nya juga meriwayatkan hadits dari jalur beliau.
Demikian juga beberapa orang menyebutkan nama beliau, di antaranya
As-Sayyid Ibnu ‘Unbah, Al-’Amri, dan As-Sayyid As-Samhudi.
Beliau,
Al-Imam Ali Al-’Uraidhi, lebih mengutamakan menghindari ketenaran dan
takut dari hal-hal yang dapat menyebabkan dikenal. Beliau dikaruniai
umur panjang, sampai dapat menjumpai cucu dari cucunya. Beliau meninggal
pada tahun 112H di kota ‘Uraidh dan disemayamkan di kota tersebut.
Makam beliau sempat tak diketahui, lalu As-Sayyid Zain bin Abdullah
Bahasan menampakkannya, sehingga terkenal hingga sekarang. Beliau
meninggalkan beberapa putra, yang hidup diantaranya 4 orang, yaitu Ahmad
Asy-Sya’rani, Hasan, Ja’far Al-Asghar dan Muhammad (datuk Bani Alawy).
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan
dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin
Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain
Alhabsyi Ba'alawy]
1. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq mempunyai 8 orang
putra dan 2 orang putri (Nafaais Al-’Uquud fii Syajarah Aal Ba’abud,
Ustadz Muhammad bin Husin bin Ali Ba’abud, hal. 10, manuskrip).
Kemungkinan Ishaq disitu adalah salah seorang dari 8 orang putra beliau
yang belum disebutkan dalam manaqib Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq kemarin
Guru dan muridnya
Imam
Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Husein bin Ali bin Abi Thalib mempunyai gelar Abu Hasan[1],
beliau adalah mataharinya ahlul-bait dan bulannya keturunan Rasulullah
saw. Nama lain beliau adalah Ali al-Uraidhi yaitu nama tempat yang
terletak empat mil dari kota Madinah al-Munawwarah. Dalam kitab Taj al-Arus, al-Zubaidi menyebutkan bahwa Uraidh adalah suatu wadi di Madinah sebagaimana daerah wadi Jubeir di Hadramaut.[2]
Imam Ali al-Uraidhi adalah anak
bungsu dari anak-anak Imam Ja’far al-Shodiq, ia masih kecil ketika
ayahnya wafat. Semasa hidupnya ia menuntut ilmu kepada ayahnya dan
saudaranya Imam Musa al-Kadzim serta Husin bin Zaid bin Ali Zainal
Abidin. Sedangkan murid beliau adalah anaknya sendiri Muhammad dan Ahmad
serta cucu beliau Abdullah bin Hasan bin Ali al-Uraidhi dan cucu
saudaranya Ismail bin Muhammad bin Ishaq bin Ja’far al-Shodiq serta ahli
qiroat Imam al-Bazi. Imam Ali al-Uraidhi dikaruniai umur panjang,
sehingga dapat memberikan cucu kepada ayahnya.
Perawi hadits yang tsiqat
Imam
Ali al-Uraidhi adalah seorang pemimpin kaum syarif dan syaikhnya Bani
Hasyim di kota Uraidh, beliau tempat bertanya berbagai masalah agama.
Beliau hidup sampai masa al-Hadi Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa
al-Kadzim. Menurut syekh al-Thusi, Imam al-Uraidhi sangat dekat dengan
ayahnya al-Shadiq, saudaranya Musa al-Kadzim dan anak saudaranya Ali
al-Ridho. Di samping itu, Imam al-Uraidhi juga merupakan sahabat bagi
Muhammad al-Jawab bin Ali al-Ridho. Berkata al-Razi dalam kitabnya
al-Rijal yang menceritakan tentang para perawi. Dalam bab tentang Imam
Musa al-Kadzim bin Ja’far, kakek Imam al-Jawad, dia mengatakan, ‘Musa
bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Abli bin Abi Thalib
meriwayatkan hadits dari ayahnya, dan anaknya Ali bin Musa serta
saudaranya Ali bin Ja’far meriwayatkan darinya. Dalam kitab al-Fihrisat, berkata al-Hafidz al-Razi mengenai Imam al-Uraidhi, ‘Dia adalah seorang perawi terpercaya (tsiqat) dan ulama abrar,
seorang imam di antara imam-imam kaum muslimin yang telah dipersaksikan
oleh para tokoh ilmu dan riwayat dari berbagai madzhab tentang kesucian
dan ke-tsiqat-annya’. Hal itu dikuatkan oleh al-Dzahabi dalam kitabnya al-Mizan dan al-Kasyif. Salah satu sanad hadits yang dinukil dalam kitab al-Mizan, berbunyi [3]:
Sesungguhnya
Nabi saw memegang tangan al-Hasan dan al-Husein, beliau berkata, ‘Siapa
yang mencintai aku, kedua anak ini dan kedua orang tuanya, maka ia
bersama aku berada pada tempatku pada hari kiamat’.
Berkata al-Hafidz Ahmad bin Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Taqrib, bahwa Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali ibnu Husein termasuk sepuluh ulama besar.[4] Imam al-Yafi’ dalam Tarikhnya dan al-Qadhi Iyadh dalam kitabnya al-Syifa’, juga merawikan hadits yang cukup panjang dari Imam al-Uraidhi tentang keistimewaan Nabi saw. Begitu pula Imam Ahmad dalam Musnadnya dan al-Turmudzi dalam kitab Sunannya yang meriwayatkan hadits mengenai kecintaan kepada keluarga Nabi Muhamad saw.[5]
Beliau memiliki kemampuan besar, terpercaya menyusun sebuah kitab
manasik dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saudaranya, Musa
al-Kadzim.[6] Syaikh al-Mufid mengatakan dalam kitabnya al-Irsyad,
Dia termasuk orang yang memiliki keutamaan, wara’, sebagaimana
disepakati oleh semua orang. Beliau seorang yang tidak menyukai dirinya
tersohor dan lebih banyak menghindari sifat-sifat yang membawa kepada
hal-hal tersebut.
Imam al-Uraidhi Dan Muhammad al-Jawad.
Diriwayatkan
dari al-Husain bin Muhammad, dari Muhammad bin Ahmad al-Nahdi, dari
Muhammad bin Khalad al-Shaiqal, dari Muhammad bin al-Hasan bin Ammar, ia
berkata, ‘Aku sedang duduk-duduk di Madinah bersama Ali bin Ja’far bin
Muhammad. Aku telah tinggal bersamanya selama dua tahun. Aku sedang
menuliskan darinya apa yang didengarnya dari saudaranya, yakni Abu
al-Hasan, ketika tiba-tiba Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Ridha masuk
menemuinya di masjid, yaitu masjid Rasulullah. Maka Ali bin Ja’far lalu
berdiri bangkit menyambutnya tanpa sepatu ataupun selendang, lalu
mencium tangannya[7],
menghormatinya. Abu Ja’far berkata kepadanya ; Wahai paman, duduklah,
semoga Allah merahmatimu. Ali bin Ja’far menjawab : Wahai junjunganku,
bagaimana aku bisa duduk sedangkan engkau berdiri?. Maka ketika Ali bin
Ja’far telah duduk kembali di tempatnya, sahabat-sahabatnya bertanya,
engkau adalah paman dari ayahnya, mengapa engkau berbuat begitu
terhadapnya? Ali bin Ja’far menjawab : Jika Allah swt tidak memberikan
hak kepada orang tua ini, katanya sambil memegang jenggotnya, tapi
memberikannya kepada pemuda itu dan menempatkannya pada kedudukan di
mana Dia telah menempatkannya, apakah aku harus mengingkari
keutamaannya?[8]
Anak keturunannya.
Anak-anak Imam Ali dikenal dengan al-Uraidhiyun yang banyak mendiami daerah Uraidh, Kuffah dan Qum. Diantara anak-anaknya[9] :
a. Ja’far, mendapat keturunan dari anaknya Ali.
b. Hasan, mendapat keturunan dari anaknya Abdullah yang terdapat di Madinah, Mesir, Iraq dan negeri lainnya.
c. Ahmad
al-Sya’roni, mendapat keturunan dari anaknya Muhammad yang terdapat di
Iraq yang dikenal dengan Bani Jiddah, Basiron dan Thobariyah.
d. Muhammad al-Naqib.
Imam al-Uraidhi hidup kurang lebih seratus tahun[10]. Beliau meninggal pada tahun 210 hijriyah dan dikuburkan di Uraidh, Madinah al-Munawaroh.
[1] Ibnu Anbah, Umdah al-Tholib, hal. 332.
[2] Yusuf bin Abdullah Jamalullail, Sajarah al-Zakiyah, hal. 436.
[3] Ahmad bin Zein al-Habsyi, Syarah al-Ainiyah, hal. 127.
[4] Dalam
fikih atau hokum, terdapat empat ulama madzhab besar, yakni Hanafi,
Maliki, Syafii, Hanbali. Selain empat ulama tersebut, terdapat pula
ulama-ulama madzhab lainnya yang dalam perkembangan selanjutnya tidak
sebesar kempat ulama madzhab terdahulu seperti al-Tsauri, al-Nakha’i,
al-Thabari, al-Auza’i, al-Zahiri.
[5] Salah satu hadits itu adalah yang ditulis oleh al-Dzahabi dalam kitabnya al-Mizan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan redaksi bahasa yang sedikit berbeda.
[6]Ibnu Anbah, loc cit.
[7] Dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin halaman 296,karangan Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, mencium tangan seorang yang masih kecil adalah sebagai tabarruk, apalagi yang dicium tangan keturunan Rasulullah saw. Imam al-Uraidhi mencium tangan Imam Muhammad al-Jawad karena saat itu beliau masih kanak-kanak yang belum mencapai masa pubertas.
[8] Ali Muhammad Ali. Imam Muhammad al-Jawad Dan Imam Ali al-Hadi, hal. 53. Muhammad bin Abubakar al-Syilli dalam kitabnya al-Masra’ al-Rawi halaman 80, dengan redaksi yang berbeda.
[9] Al-Masyhur, Op Cit, Jilid 1, hal.45.
[10] Muhammad bin Ali al-Khirrid, al-Ghuror, hal. 332.
abdkadiralhamid@2013
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Al Imam Ali Al-Uraidhi AS"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip