Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)
Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?
Allah
tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika
mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak
sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam
kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa:
Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan
Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya
sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori
perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu
Sufyan.
A. Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu
Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb
bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan.
Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams,
yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a..
Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat,
kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.
B. Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika
usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy
mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah
terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia
berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi
agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan
seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang
membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit
keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.
Sementara
itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama
baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada
umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian
menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya,
Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar
misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan
perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum
muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah
dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka
menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan
pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada
agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang
pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi
nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi
Ummu Habibah.
Selama
mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin
kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali
ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih
untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin
yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih
gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot
terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke
Habasyah.
Beberapa
tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan
akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun
kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah
memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya
dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong
pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu
Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku
berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan
berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah
berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih
baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk
memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama
Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku
ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak
mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras
sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah,
Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan
hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung
halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun
berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya
sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya
hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum
muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada
pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu
Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan
seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya,
sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena
telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah
dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari
Allah.
C. Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak
saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah.
Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah
yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama
ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.
Ummu
Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata,
“Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan
sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa
Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah
masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi
mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita
yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia
berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku
mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar
gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu
menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid
bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang
perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di
jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu
Habibah kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan
membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita
pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi
Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu
musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
D. Hidup bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
Rasululullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah
dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali
ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta
untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan
kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin
atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di
Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah. Rasulullah
menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan
kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah,
yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi
Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan
menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu
Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka
terhadap Shafiyyah.
Perjalanan
hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak
menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain
itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah
yang menunjukkan rasa cemburu.
E. Posisi yang Sulit
Telah
kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di
antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum
musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi
kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang
Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di
Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani
Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin.
Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah
yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah.
Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan
menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang
mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin
sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal
dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai
dengan Rasulullah.
Sesampainya
di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi
terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya
itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat
ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena
dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu
Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan
kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan
masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera
melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu
Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah
kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau
rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas
duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku
tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang
dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia
merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke
Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi.
Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di
dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah.
Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
Allah
mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama
ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah
terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum
muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas
mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu
Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan
kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu
Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata,
“Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di
sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab,
“Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang
siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang
siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah
Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi
jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan
keislaman ayahnya.
F. Akhir sebuah Perjalanan
Setelah
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup
menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian
Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika
saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak
berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga
tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika
bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits
Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara
hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang
siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya
Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata,
“Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu
Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun.
Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain.
Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di
tempat yang layak penuh berkah. Amin.
abdkadiralhamid@2013
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip