‘Aisyah Binti Abu Bakar (Wafat 57 H)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika
wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah
adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam
hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril
datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi
Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia
dan akhirat.”
Dialah
yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan
kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
A. Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah
adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad
bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama
Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy
at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama
yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat
orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut
riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain
mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir
bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk
Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang
tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu
Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan
Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti
Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika
masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian
melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang
melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi
diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang
musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat
besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi
Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar
riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan
teman-temannya.
B. Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua
tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi
Shallallahu alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah . Setelah itu
Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga
malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada
selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku
membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,
‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar
itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika
Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah
mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah
pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke
Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan
di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk
menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena cuaca buruk yang
melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga
dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa,
“Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah
sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi.
Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami
dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan
alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah,
dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda
kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari
pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan
izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika
ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang
diberikan Rasulullah:
“Aisyab
menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas
uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak.
Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu
lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri
beliau.“ (HR. Muslim)
C. Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Aisyah
tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar
itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai
tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat
istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Di
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta
pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada
Aisyah .”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa
ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga
Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti
istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain
itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada
Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh
karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari
giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu
kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan
kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal itu
Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang
berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku.
Karena itu, teman-temanku (istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat
Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang
berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di
rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana
yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah
meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada hari
giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah
menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah
berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kernbali
mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika
aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap
berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu
tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika
aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun
perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar,
mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan
ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah
manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah
manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru
bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab,
“Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di
antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami
keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam
bagiannya untuk Aisyah.
Suatu
hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah,
yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu
ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab.
Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau
dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari
bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung
yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum. Setelah
itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah,
menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab
berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang
dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan
Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang
menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau
menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah
satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias
untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada
istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga
wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku
karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”
D. Fitnah Terhadapnya
Aisyah
pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan
sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya.
Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang,
Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata
undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam
Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah
memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik
kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah
beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup
untanya. Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat
pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata,
kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan
mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat,
sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada
di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke
pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia
temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa
penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga
mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur,
lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur.
Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di
depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut
oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika
tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat
dan meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah,
dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali
juga berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau.
Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak yang
memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan
antara Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para sahabat
Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya
perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai
Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika
engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi,
jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan,
niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku
tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau
mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya
hanya Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan
mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan
Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai
perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf,
‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas
apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah
sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya,
namun wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat,
sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang
menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera
menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan
firman-Nya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu
juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan
ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang
mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)abdkadiralhamid@2013
0 Response to "‘Aisyah Binti Abu Bakar (Wafat 57 H)"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip