//

Penjelasan Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki tentang Maulid Nabi

Penjelasan Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki tentang Maulid Nabi

 
Kitab : Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif

Karangan ulama' besar, Imam AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH ABAD 21 : 
SAYYID MUHAMMAD ALAWI AL-MALIKI.
Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.

Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.

Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. 
Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.

Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.

Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW
, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, 
“Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .

Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)

Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?

Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “

Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.

Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut

semoga artikel ini bermanfaat didalam mendalami arti Maulid, dan semoga bsa mnjadikan tambahan ilmu yg bermanfaat.
dan semoga kita digolongkan kedalam golongan yang cinta akan Rosulullah sehingga kelak kita dikumpulkan dengan Beliau kelak disurga

Pada hakikatnya Maulid tidak lain dan tidak bukan adalah perhimpunan untuk mendengar sirah Nabi صلى الله عليه وسلم, serta memperingati kurniaan Allah Ta’ala ke atas umat ini dengan kelahiran Nabi Yang Mulia Lagi Penyantun dan Penyayang صلى الله عليه وسلم.

Namun demikian terdapat beberapa serangan liar serta bantahan yang sangat lemah, yang dipegang kuat oleh mereka yang mengingkari maulid. Malah mereka saban tahun akan membuat serangan-serangan ini demi menegakkan benang basah mereka.

Antara tuduhan mereka adalah, orang yang menyambut Maulid beriktiqad bahawa ia adalah hari raya yang ketiga. Dakwaan ini telah ditolak dan telah diterangkan sebelum ini.


Selain itu mereka juga mendakwa bahawa sambutan Maulid merupakan tambahan kepada syariat dan seolah-olah menokok tambah dalam agama. Ini karena, kata mereka, jika ia merupakan suatu perkara yang baik, tentu sekali Nabi صلى الله عليه وسلم akan membuatnya. Dakwaan ini merupakan suatu dakwaan liar yang lemah sama-sekali. Ini karena, tiada seorang pun sama ada orang awam di kalangan Muslimin, jauh sekali para ulama, yang akan beriktiqad atau menyangka sedemikian. Tambahan pula, bukanlah semua yang tidak dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم atau salaf, dan dilakukan oleh golongan selepas mereka dikira sebagai cubaan menyempurnakan agama atau menokok tambah dalam syariah. Amat jauh sekali fahaman ini. Kalaulah demikian di manakah pintu ijtihad?

Apakah yang mereka katakan pada ribuan masa’il ijtihadiah (permasalahan yang diselesaikan dengan ijtihad para mujtahidin) yang diselesaikan selepas kurun-kurun yang utama tersebut? Adakah ia menyempurnakan agama juga? Dan bolehkah kita katakan semua permasalahan ini, terlepas pandang dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan para Salaf? Atau mereka melupakannya atau tercuai dari menyelesaikannya?. سبحانك هذا بهتان عظيم (Maha Suci Engkau, ya Allah. Ini adalah satu pembohongan yang besar!) Ini merupakan satu sangkaan yang jelas sesat.

Seterusnya kita persoalkan, siapakah yang mendakwa bahawa amalan maulid ini mempunyai cara dan teknik yang berbentuk ta’abbudiyyah yang mempunyai nash secara langsung ke atasnya? Dakwaan ini merupakan sebesar-besar tipu daya dan sebathil-bathil perkara yang cuba diserapkan oleh mereka. Dakwaan ini juga telah kita jawab sebelum ini.

Selain itu mereka mengatakan bahawa sambutan maulid ini merupakan bid’ah dari kelompok Rafidhah, karena yang pertama menciptakan sambutan ini adalah kerajaan Fatimiyyah yang mereka katakan zindiq, rafidhah dan keturunan Abdullah bin Saba’. Begitulah apa yang mereka dakwa.(12)

Jawaban kepada tuduhan ini telah kita sebutkan sebelum ini, yang mana sesungguhnya yang pertama sekali menyambut maulid adalah shohib kepada Maulid ini sendiri, iaitu Saiyiduna Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kita telah sebutkan dalil-dalil shahih padanya yang mana tiada khilaf padanya.

Adapun perselisihan pada kaifiat dan jalannya (tekniknya) yang sentiasa berkembang dan berubah, ia bukanlah suatu perkara yang mesti mempunyai nash secara langsung. Malah sebenarnya umat Islam telahpun menyambutnya sebelum zaman Fatimiyyah lagi. Dan para ulama telah menyusun perihal maulid ini dalam kitab-kitab yang khas baginya.

Penipuan dan Pemalsuan Terhadap Ibn Katsir

Kita juga ada membaca dan mendengar ucapan mereka yang anti-maulid, untuk menyebarkan kebathilan mereka dengan apa jua cara, walau dengan pemalsuan (seperti mana kebiasaan mereka bagi mengaburi orang awam di kalangan Muslimin, terutamanya yang kurang ilmu), apabila mereka mengatakan begini (dengan lafaz mereka sendiri):(13 )

“Sesungguhnya al-Hafiz Ibnu Katsir menyebutkan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (Jilid 11 mukasurat 172), bahawa Daulah Fatimiyah al-Ubaidiyyah (yang dinisbahkan kepada Ubaidullah bin Maimun al-Qadaah berbangsa Yahudi), yang memerintah Mesir dari tahun 357H hingga 567H, telah mengadakan pelbagai sambutan pada hari-hari yang tertentu, dan antaranya ialah sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم.” – Tamat petikan

Beginilah yang mereka naqalkan dari al-Hafiz Ibnu Katsir. Dan apabila kita merujuk kepada apa yang mereka sebutkan, kita katakan kepada mereka: Wallahi, Kamu semua telah berdusta!!! Sesungguhnya kami dapati daripada apa yang kamu dakwa daripada al-Hafiz Ibnu Katsir merupakan satu dustaan, tipudaya, pemalsuan dan pengkhianatan dalam mengambil kata-kata ulama.

Nah, bagaimanakah kita boleh mempercayai dan berasa aman dengan mereka yang sanggup berbuat demikian kepada ulama? Mereka amat taksub dan mengikut hawa nafsu mereka sehingga sanggup berbuat apa sahaja dan enggan bermunaqasyah dengan adil, insaf dan jauh dari hawa nafsu.

Berikut pendapat sebenar al-Hafiz Ibn Katsir pada amalan maulid dan perkembangannnya, dan yang telah disembunyikan oleh mereka yang mendakwa kononnya mereka bermunaqasyah dengan penuh keadilan dan keinsafan. Al-Hafiz Ibn Katsir berkata dalam al-Bidayah wa an-Nihayah Juzuk 13, Halaman 136, Terbitan Maktabah al-Ma’arif seperti berikut:

“… al-Malik al-Mudzaffar Abu Sa’id al-Kukabri, salah seorang dari pemimpin besar yang cemerlang serta raja-raja yang mulia, baginya kesan-kesan yang baik14 (lihat kata Ibn Katsir “kesan-kesan yang baik”), beliau telah mengadakan maulid yang mulia pada bulan Rabiulawwal, dan mengadakan sambutan yang besar. Selain itu, beliau seorang yang amat berani, berakal, alim lagi adil. Semoga Allah merahmati beliau dan memperbaikkan kesudahannya…” dan beliau berkata seterusnya : “dan beliau (Sultan Muzaffar) berbelanja untuk menyambut maulid 300,000 dinar”

Maka lihatlah sidang pembaca sekalian, kepada puji-pujian kepadanya oleh Ibn Katsir, yang menyifatkan beliau sebagai seorang yang alim, adil lagi berani, dan tidak pernah mengatakan, zindiq, pembuat dosa, fasiq, melakukan dosa besar, sepertimana yang didakwa oleh mereka yang menentang sambutan ini. Sidang pembaca boleh merujuk sendiri kepada rujukan yang diberi, dan akan menemui kata-kata yang lebih hebat lagi dari ini, yang tidak disebutkan di sini bagi tidak memanjangkan perbahasan ini.

Lihatlah juga kata-kata al-Imam al-Hafiz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’, Juzuk 22, halaman 336, ketika menerangkan perihal al-Malik al-Mudzaffar apabila disebutkan: “Beliau merupakan seorang yang tawadhu’, baik, ahli sunnah, dan menyintai para fuqaha’ dan muhadditsin.”

Selain itu bagi menjawab bantahan mereka kononnya ulamak silam mencerca sambutan ini, kita bawakan kata-kata yang jelas dari tiga ulamak yang kehebatan mereka diakui semua.

1) Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi: Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak?

Dan jawapannya di sisiku: Bahawasanya asal kepada perbuatan maulid, iaitu mengadakan perhimpunan orangramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya karena padanya mengagungkan kemuliaan Nabi صلى الله عليه وسلم dan menzahirkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.

2) Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”

Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”

Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”

3) Syeikhul Islam wa Imamussyurraah al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani: Berkata al-Hafiz as-Suyuthi dalam kitab yang disebutkan tadi: Syeikhul Islam Hafizul ‘Asr Abulfadhl Ibn Hajar telah ditanya tentang amal maulid, dan telah dijawab begini: “Asal amal maulid (mengikut cara yang dilakukan pada zaman ini) adalah bid’ah yang tidak dinaqalkan dari salafussoleh dari 3 kurun (yang awal), walaubagaimanapun ia mengandungi kebaikan serta sebaliknya. Maka sesiapa yang melakukan padanya kebaikan dan menjauhi yang buruk, ia merupakan bid’ah yang hasanah.

Telah jelas bagiku pengeluaran hukum ini dari asal yang tsabit iaitu apa yang tsabit dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم ketika tiba di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura’, lalu baginda bertanya kepada mereka (sebabnya). Mereka menjawab: Ia merupakan hari ditenggelamkan Allah Fir’aun dan diselamatkan Musa, maka kami berpuasa karena bersyukur kepada Allah. Maka diambil pengajaran darinya melakukan kesyukuran kepada Allah atas apa yang Dia kurniakan pada hari tertentu, samada cucuran nikmat atau mengangkat kesusahan.”

Seterusnya beliau berkata lagi: Dan apakah nikmat yang lebih agung dari nikmat diutuskan Nabi ini صلى الله عليه وسلم, Nabi Yang Membawa Rahmat, pada hari tersebut? Dan ini adalah asal kepada amalan tersebut. Manakala apa yang dilakukan padanya, maka seharusnya berlegar pada apa yang difahami sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala samada tilawah, memberi makan, sedekah, membacakan puji-pujian kepada Nabi, penggerak hati atau apa sahaja bentuk kebaikan dan amal untuk akhirat.”

Inilah istinbat-istinbat yang dikatakan oleh mereka yang menentang sambutan maulid (anti-maulid) sebagai istidlal yang bathil serta qias yang fasid, lalu mereka mengingkarinya. Cukuplah bagi kita memerhatikan siapakah yang mengingkari dan siapa pula yang mereka ingkari!!!

Golongan yang anti-maulid juga mengatakan bahawa Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah melakukannya, begitu juga khulafa’ ar-rasyidun serta tidak juga dari mereka dikalangan para sahabat yang lain.

Maka Kita katakan kepada mereka bahawa sekadar meninggalkan sesuatu perkara tanpa diiringi nash bahawa apa yang ditinggalkan adalah perkara yang dilarang, bukanlah merupakan satu nash padanya. Malah ada menunjukkan bahawa apa yang ditinggalkan itu suatu yang disyariatkan. Manakala suatu perbuatan yang ditinggalkan menjadi suatu perkara yang dilarang bukanlah diambil dari sifatnya ditinggalkan semata-mata, tetapi berdasarkan dalil lain yang menunjukkan larangan. Walau bagaimanapun soal jawab ini gugur karena kita katakan apa yang bercanggah adalah pada teknik dan cara, bukannya pada asal hakikat maulid itu sendiri yang ada dilakukan sendiri oleh baginda صلى الله عليه وسلم.

Dan adapun dakwaan mereka dengan bahawa kebanyakan yang menyambut maulid ini adalah golongan fasiq dan yang membuat maksiat merupakan satu tuduhan yang jelas tidak berasas sama sekali. Mereka perlu membawakan bukti pada apa yang mereka katakan. Jika tidak ini merupakan suatu fitnah kepada majoriti umat Islam di seluruh dunia, dan merupakan satu maksiat dan dosa besar pula ke atas mereka. Malah kita juga sudah menjawab dakwaan ini sebelum ini.

Antara bantahan mereka lagi ialah: Sesungguhnya sambutan ini bukanlah dalil kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم.

Jawaban baginya pula ialah: Kita tidak mengatakan bahawa sambutan maulid ini merupakan satu-satunya dalil kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم, dan siapa yang tidak menyambutnya bukanlah pencinta. tetapi apa yang kita katakan adalah: Sesungguhnya sambutan maulid ini merupakan satu tanda daripada tanda-tanda kecintaan kepada baginda, dan ia merupakan satu dalil dari dalil-dalil kepada kaitan kita kepada baginda dan mengikuti baginda. Selain itu, tidak semestinya siapa yang tidak menyambutnya bukan seorang pencinta atau pengikut baginda.

Dan sabitnya kecintaan dengan mengikuti jejak baginda tidak menafikan tsabitnya kecintaan dengan mengikuti baginda serta ditambah lagi dengan mengambil berat dan berusaha lagi, seperti mana yang disyariatkan, yang tergambar dalam sambutan ini. Sambutan ini pula tidak terkeluar dari kaedah dan asas-asas syariah di sisi mereka yang berakal.

Antara bantahan mereka yang gugur lagi ialah, kata-kata sebahagian mereka bahawa ayat Alquran yang kita sebutkan dalam dalil ketiga, (bahagian 1) sebelum ini iaitu :

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ

Mereka mengatakan bahawa ayat ini tidak menunjukkan kepada kegembiraan dengan adanya Rasul صلى الله عليه وسلم karena yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah Islam dan Al-Quran. Mereka juga menaqalkan kata-kata beberapa mufassir padanya, serta beberapa atsar padanya, walaupun tidak diriwayatkan langsung hadits marfu’ padanya.

Kita katakan: Subahanallah!. Betapa pelik dan ajaibnya kata-kata ini. Kalaulah yang berkata ini tidak mengucapkan syahadah, nescaya kita katakan dia adalah seorang musuh yang nyata menyesatkan, mempunyai dendam dan hasad serta niat jahat. Namun kalimah tauhid yang disebutkan menyelamatkan mereka dari kata-kata ini, lalu dengan lidah-lidah sesama mu’min yang mengesakan Allah serta mangasihi satu sama lain, kita bersangka baik kepada mereka bahawa ini adalah karena kejahilan mereka serta salah faham.

Dan sebagai jawapan bagi bantahan ini, kita katakan bahawa telah jelas disifatkan Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai rahmat dalam ayat-ayat dan hadits yang begitu banyak yang sebahagiannya telah pun kita sebutkan sebelum ini. Maka apakah penghalang dari kita katakan rahmat dalam ayat yang disebutkan ini juga merangkumi Nabi صلى الله عليه وسلم, maka kita katakan Islam, Al-Quran dan Nabi صلى الله عليه وسلم semuanya adalah rahmat.

Dan siapakah yang datang dengan Islam yang merupakan rahmat? Dan siapa pula yang diturunkan padanya Al-Quran yang merupakan rahmat? Bukankah baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang datang dengan rahmat ini? Jikalah tidak didatangkan dalam Al-Quran nash yang jelas menunjukkan secara mutlak zat serta syakhsiah baginda yang mulia sebagai rahmat, cukuplah penyataan di atas sebagai menunjukkan bahawa yang membawa rahmat itu sendiri adalah rahmat. Dan berdasarkan manhaj mentafsir Al-Quran dengan al-Quran, tidak syak lagi bahawa ayat tersebut merangkumi Nabi صلى الله عليه وسلم yang merupakan rahmat yang diperintahkan oleh Allah kepada kita supaya bergembira dengannya.

bantahan mereka lagi ialah: Sesungguhnya hari kelahiran baginda adalah hari kewafatan baginda juga. Maka kegembiraan tentulah tidak lebih utama dari kesedihan. Dan lebih utama bagi seorang yang menyintai menganggap hari ini sebagai hari berkabung dan bersedih.

Kita katakan: Sesungguhnya cukuplah bagi kita al-Imam Al-’Allamah Jalaluddin as-Suyuthi sebagai balasan kepada kesalahan ini. Beliau telah menyatakan di dalam kitabnya al-Hawi: Sesungguhnya kelahiran baginda صلى الله عليه وسلم merupakan seagung-agung nikmat, manakala kewafatan baginda musibah terbesar kepada kita. Dan syariah menyeru kita untuk menzahirkan kesyukuran atas nikmat, dan sabar serta bertenang ketika ditimpa musibah. Syariat telah memerintahkan ‘aqiqah pada kelahiran sebagai menzahirkan kesyukuran dan kegembiraan atas kelahiran. Sebaliknya tidak pula diperintahkan demikian atau lainnya ketika kematian, malah dilarang pula ratapan dan menunjukkan kesedihan yang teramat sangat. Maka kaedah syariah telah menunjukkan bahawa pada bulan ini digalakkan menunjukkan kegembiraan dengan kelahiran baginda صلى الله عليه وسلم, dan bukanlah menunjukkan kesedihan dengan kewafatan baginda صلى الله عليه وسلم.

Antara bantahan mereka yang gugur lagi ialah bahawa kisah Abu Lahab yang membebaskan Tsuwaibah ketika dikhabarkan kepueteraan Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan satu atsar yang bathil, karena ia hanya sebuah mimpi yang tidak boleh dijadikan hujah, serta bercanggah dengan al-Quran. Kemudian mereka berdalilkan kata-kata Ibn Hajar dan mereka berkata : Telah berkata al-Hafiz di dalam al-Fath bahawa ia adalah mimpi yang tiada hujah padanya.

Kita katakan bahawa, Ibn Hajar yang mereka ambil kata-katanya sebagai dalil dan mereka sifatkan sebagai “al-Hafiz” merupakan Ibn Hajar yang sama yang telah mengistinbatkan hukum maulid berdasarkan asas yang shohih berdalilkan hadits puasa ‘asyura’ (seperti disebutkan sebelum ini), lalu mereka tidak mengambil kata-katanya malah mengatakan : “Pendalilan ini adalah pendalilan yang bathil dan kias yang fasid”.

Lihatlah kepada kepincangan teknik mereka. Apabila mereka menyangka ijtihad Ibn Hajar menepati hawa mereka, lantas mereka katakan: “telah berkata ‘Al-Hafiz’”, sebagai menghormati dan memuliakan beliau dengan gelaran ini. Tetapi apabila bercanggah dengan hawa mereka, mereka tidak akan menyebutkan demikian malah mengatakan dalilnya fasid dan kiasnya fasid.

Tambahan pula, ini merupakan gambaran jelas kejahilan mereka yang anti sambutan maulid ini yang kononnya mengambil dalil dari kata-kata Ibn Hajar pada menolak khabar berkaitan tsuwaibah. Ini karena orang yang menaqalkan kata-kata ini telah menyeleweng serta menggunakan kata-kata Ibn Hajar mengikut nafsunya semata-mata, dan tidak mendatangkannya dengan gambaran yang sebenar. Kalaulah didatangkan kata-kata beliau dengan sempurna, tentulah gugur hujjah mereka. Ini karena al-Hafiz Ibn Hajar telah menolak serangan ini di penghujung perbahasannya tentang tajuk tersebut dengan mengatakan bahawa Allah Ta’ala berhak untuk melebihkan apa yang dikehendaki ke atas Abu Lahab, seperti mana yang dikurniakan kepada Abu Talib. Sesiapa yang merujuk kitab tersebut dengan sempurna tentu sekali akan memahami secara jelas pendapat Ibn Hajar yang sebenarnya.

Berkenaan hadits atau khabar tersebut pula, kita katakan secara ringkasnya bahawa kisah tersebut adalah sangat masyhur dalam kitab-kitab hadits dan sirah, dan telah dipetik dari para huffaz yang muktabar dan muktamad. Dan cukuplah bagi kita bahawa ia diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya, yang kita sepakati kesahihannya yang tidak disangkal sama sekali.

Selain itu permasalahan ini termasuk dalam bab manaqib dan kelebihan serta kemuliaan yang mana tidak disyaratkan padanya sahihnya suatu khabar tersebut. Selain itu dakwaan mereka bahawa khabar ini sekadar mimpi yang tidak boleh dijadikan hukum syara’, kita katakan bahawa mereka tidak tahu membezakan antara hukum syara’ dan bukan. Pada hukum syara’ memang ada padanya perselisihan sama ada mimpi boleh dijadikan hujjah ataupun tidak. Adapun dalam bab manaqib seperti ini, berpegang dengan mimpi adalah dibolehkan secara mutlak. Inilah yang dipegang oleh para huffaz berdasarkan mimpi masyarakat jahiliyah akan tanda perutusan Rasulullah صلى الله عليه وسلم serta perkhabaran lain. Perkara ini banyak sekali terdapat dalam kitab-kitab sunnah terutamanya dalam menceritakan tanda-tanda kenabian.

Mereka juga mengatakan bahawa yang bermimpi dan meriwayatkan khabar ini, iaitu Abbas, dalam keadaan kufur, sedangkan orang kafir tidak diterima persaksian mereka dan tidak diterima khabar dari mereka. Ini merupakan kata-kata yang ditolak, dan tiada padanya haruman ilmiah langsung. Ini karena tidak pernah langsung kita katakan mimpi merupakan suatu persaksian. Maka tidak disyaratkan padanya keislaman seseorang. Ini seperti yang diriwayatkan dalam al-Quran kisah mimpi raja Mesir di zaman Nabi Yusuf عليه السلام yang merupakan seorang penyembah berhala, akan tetapi dijadikan sebagai tanda kenabian Nabi Yusuf عليه السلام. Kalaulah ia tidak boleh dijadikan dalil serta tiada faedah, mengapa pula disebutkan oleh Allah dalam al-Quran?

Dan apa yang lebih pelik lagi ialah, mereka mengatakan bahawa Abbas bermimpi ketika beliau kafir, dan orang kafir tidak diterima persaksian mereka, sedangkan kata-kata ini hanya layak keluar dari mereka yang tidak mengetahui ilmu hadits sahaja. Ini karena apa yang dinyatakan dalam ilmu hadits adalah periwayat hadits yang mengambil hadits ketika kafir kemudian meriwayatkannya sesudah Islamnya, boleh diambil riwayatnya serta diamalkan. Lihatlah contoh-contoh bagi perkara ini dalam kitab-kitab ilmu hadits, supaya anda akan mengetahui bahawa orang yang mengatakan begini adalah orang yang berkata tanpa ilmu, dan sesungguhnya nafsunyalah yang mendorongnya menceburkan diri dalam bidang yang dia bukan ahlinya.

Selain itu, apa yang lebih kuat lagi ialah, mimpi Abbas ini bukanlah seperti mimpi lain. Ini karena beliau telah menceritakannya ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم ada bersama, dan baginda mendengar serta menyetujuinya dan membenarkannya. Jikalau ia merupakan sesuatu yang salah atau bercanggah dengan agama, tentu sekali baginda akan mengingkarinya. Dan oleh karena baginda telah mendengar dan bersetuju dengannya, maka ia telah menjadi sunnah taqririah.

_________________________________

Catatan kaki:

(12) dan (13): Tuduhan ini dibuat oleh Shaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (meninggal pada1420H), bekas mufti Saudi didalam fatwanya (rujuk fatwa markaz ad-dakwah wa al-irsyad)

(14) Maksudnya menpunyai akhlaq yang baik.

Saya bawakan petikan dari kitab Irsyadul Jawiyyin ila Sabilil Ulama-il ‘Amilin oleh Tuan Guru Hj ‘Abdul Qadir bin Hj Wan Ngah Sekam. “ …… iaitu satu raja yang adil dan ‘alim … namanya Abu Said Kukubri bin Zainuddin … raja negeri Irbil dan bercerita oleh setengah mereka …….. [seterusnya] …. Dan cerita oleh isterinya bahawa baju bagi raja itu tak sampai harga lima dirham pun, maka isterinya merepek [berleter] kepadanya, maka jawab raja itu: Pakai aku akan kain lima dirham dan bersedekah aku dengan dirham yang lebih lagi itu terlebih baik daripada aku pakai yang mahal dan tinggal aku akan faqir miskin …..” – Halaman 11. – Tamat petikan -.

Al-Malik al-Mudzaffar Abu Sa’id al-Kukabri adalah ipar kepada Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Beliau gugur syahid didalam medan jihad menentang tentera salib Perancis ketika mempertahan kota Akka pada tahun 630H. Beliau pernah menghadiahkan wang sebanyak seribu dinar kepada Shaikh Abu al-Khattab ibn Dihya karena telah menyusun untuk beliau sebuah kitab maulid bertajuk al-Tanwir fi Maulid al-Bashir al-Nadzir. – Wallahu a’lam

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penjelasan Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki tentang Maulid Nabi"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip