Nabi Kita, Apa Adanya
Sesungguhnya
Rasulullah SAW menjalani kehidupan manusiawi yang lumrah, bahkan lebih
berat dari kita. Beliau merasakan sakit dan susah, juga menitikkan air
mata. Meski demikian, beliau tidak menuntut macam-macam kepada Allah SWT, yang memilihnya untuk menjadi kekasih-Nya. Maka, bagaimana bila sang kekasih menjalani kehidupan apa adanya, sedangkan yang mengaku mencintai beliau hidup kontras dari kenyataan hidup beliau? Berikut beberapa hadits yang semoga bisa menjadi bahan renungan bagi kita yang mengaku mencintainya. Dari Abdullah bin Mughaffal RA, ia berkata, “Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulallah, demi Allah aku mencintaimu.’ Beliau berkata, ‘Perhatikanlah apa yang kamu katakan itu!’ Ia kembali berkata, ‘Demi Allah, aku sungguh-sungguh mencintaimu.’ Ia mengulang-ulangi sampai tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila engkau mencintaiku, bersiaplah untuk miskin dengan mengencangkan ikat pinggang. Sesungguhnya kemiskinan itu lebih cepat datangnya bagi orang yang mencintaiku melebihi kecepatan laju banjir ke puncaknya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Syarah Hadits Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Zuhud bab tentang Keutamaan Fakir. Seorang yang berikrar mencintai Nabi SAW seharusnya membuktikan ucapannya. Salah satunya adalah berlaku sederhana, sebagaimana yang diminta Nabi SAW dari makna yang tersirat dari hadits di atas. Mengapa? Karena, beliau mencontohkan dengan perbuatan atas sikapnya yang menyukai kesederhanaan. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku cinta kepada Nabi SAW tapi perilakunya tidak mencerminkan perilaku Nabi, yang dicintainya itu? Sesungguhnya cinta yang hakiki kepada Nabi SAW tercermin dari sikap dan perbuatan yang meniru sikap dan perbuatan beliau, di antaranya berlaku zuhud. Dari Abdullah bin Mas‘ud RA, ia berkata, “Rasulullah SAW tidur di atas tikar lalu beliau bangun dari tidurnya, maka tampak guratan bekas tidur di pinggangnya. Kemudian kami berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana jika kami ambilkan kasur untukmu?’ Beliau menjawab, ‘Apalah dunia ini bagiku, sedangkan aku di dunia ini laksana orang yang tengah berjalan lalu berteduh di bawah pohon, lalu aku beristirahat dan kemudian meninggalkannya’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi). Syarah Hadits Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Zuhud bab “Apalah Dunia Ini bagiku” Inilah salah satu bentuk kehidupan zuhud yang dijalani Nabi SAW. Dalam satu riwayat disebutkan, andaikan beliau mau, Gunung Uhud dapat dimintanya kepada Allah menjadi emas. Namun beliau menekankan pola hidup sederhana, memperhatikan tujuan hidup di dunia untuk membangun kehidupan akhirat nan abadi dengan beramal shalih. Karena, dunia hanyalah negeri yang sementara adanya, laksana pohon rindang untuk sekadar berteduh. Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah RA, pelayan, kekasih, dan putra kekasih Rasulullah SAW, “Salah seorang putri Nabi SAW mengutus seseorang untuk memberi tahu kepada beliau (yakni Nabi SAW) “Anakku (yakni cucu Nabi) sedang sakratul maut. Maka datanglah ke tempat kami.” Kemudian beliau hanya mengirimkan salam seraya bersabda, ‘Sungguh menjadi hak Allah untuk mengambil atau memberi. Dan segala sesuatu telah ditentukan di sisi-Nya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mohonlah pahala kepada Allah.’ Lalu orang yang disuruh itu kembali sambil meminta dengan sangat yang dibarengi dengan sumpah agar beliau mendatanginya. Maka pergilah beliau beserta Sa‘ad bin Ubadah, Mu‘adz bin Jabal, Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, dan beberapa sahabat lainnya. (Sesampainya di kediaman putrinya) anak itu diangkat ke pangkuan beliau, sedangkan napasnya tersengal-sengal. Maka meneteslah air mata beliau. Kemudian Sa‘ad bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa Tuan meneteskan air mata?’ Beliau menjawab, ‘Tetesan air mata itu adalah rahmat yang dikaruniakan Allah Ta’ala ke dalam hati hamba-hamba-Nya.’ (Dalam riwayat lain dikatakan: ke dalam hati hamba-hamba yang dikehendaki-Nya). Dan sesungguhnya Allah akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang mempunyai rasa kasih sayang terhadap sesamanya’.” (Muttafaq `alaih). Syarah Hadits Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Jenazah bab Perkataan Nabi SAW: Mayit Diadzab Sebab Tangisan Keluarganya. Adapun Imam Muslim menempatkannya pada kitab Jenazah bab Menangisi Mayit. Putri Nabi SAW yang disebut dalam hadits ini ialah Zainab RA. Adapun putranya atau cucu Nabi itu ialah Ali, buah kasih Zainab RA dengan Abu Al-Ash bin Ar-Rabi‘ RA. Ada beberapa pendapat tentang sosok putri Nabi dan cucu beliau yang dimaksud dalam hadits tersebut. Ada yang mengatakan, putri Nabi itu adalah Ruqayyah RA, yang berpasangan dengan Utsman RA dan berputrakan Abdullah. Ada pula yang menyebutkan Fathimah RA dengan Ali RA, yang berputrakan Muhsin. Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan, wanita yang mengirim utusan ke Nabi SAW ialah Zainab, sedangkan anak kecil yang sedang sekarat itu adalah bocah perempuan putri Zainab yang bernama Umamah. Namun, pendapat Imam Ahmad ini dinilai kurang tepat, karena kata gantinya menggunakan dhamir huwa (kata ganti orang ketiga laki-laki), sebagaimana tersebut dalam hadits itu. Demikian pendapat Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari. Dalam hadits di atas, terkandung beberapa pelajaran yang penting bagi orang-orang yang tengah berduka. Pertama, dibolehkan mengundang sanak saudara dan tetangga, terutama orang-orang yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, seperti ulama dan tokoh masyarakat, untuk mendoakan anggota keluarga yang tengah sekarat. Kedua, dianjurkan bersikap lemah lembut dan mengasihi terhadap semua makhluk, terlebih lagi saat sedang berduka. Di dalam sebuah hadits dikatakan, “Orang-orang yang saling mengasihi dikasihi oleh Yang Maha Pengasih, maka kasihilah mereka yang berada di bumi, niscaya kalian akan dikasihi oleh yang di langit (maksudnya para malaikat).” Sebaliknya, perasaan yang kasar dan tidak halus akan menyebabkan hati seseorang keras. Ketiga, dibolehkan menangis dengan tidak meratap saat berduka. Keempat, hadits di atas memberikan petunjuk adab berta’ziyah, yakni turut berduka, mengingatkan yang berduka untuk bersabar dan memohon ridha Allah. Kelima, Nabi SAW, dengan kesempurnaan akhlaqnya yang halus, mencontohkan kepada kita bagaimana sikap beliau ketika ditinggalkan cucu, yang amat beliau cintai. Dari Ibn Mas‘ud RA, ia berkata, “Aku masuk ke rumah Nabi SAW, sedangkan beliau tengah sakit panas, lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau menderita sakit panas yang teramat sangat.’ Beliau berkata, ‘Benar, aku menderita sakit yang rasanya dua kali lipat dari dua orang di antara kalian.’ Lalu aku menyahut, ‘Kalau begitu, engkau mendapat pahala dua kali lipat juga?’ Beliau menjawab, ‘Benar, demikianlah adanya. Seorang muslim yang ditimpa penyakit, baik itu tertusuk duri maupun lebih dari itu, niscaya Allah mengampuninya atas kesalahannya, menggugurkan dosa-dosanya, laksana pohon yang berguguran dedaunannya’.” (Muttafaq ‘alaih). Syarah Hadits Hadits ini dirangkum Al-Bukhari dalam kitab Sakit bab Parahnya Sakit, sedangkan Muslim dalam kitab Berbakti bab Pahala Orang yang Beriman dalam Menghadapi Sakit atau Kesedihan atau Lainnya. Dalam redaksi yang diriwayatkan dari Abu Sa‘id Al-Khudri, Al-Baihaqi menyebutkan bahwa Abu Sa‘id mengunjungi kediaman Rasulullah SAW dan mendapati beliau tengah sakit demam. Saat ia meletakkan tangan ke ketiak beliau, ia rasakan betapa panas sakit yang beliau alami. Abu Said pun berkata, “Betapa sangat sakitnya demam yang engkau alami, ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Sesungguhnya begitulah kami sekalian para nabi, dilipatgandakan rasa sakit yang kami alami untuk dilipatgandakan pula balasannya.” abdkadiralhamid@2013 |
0 Response to "Nabi Kita, Apa Adanya "
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip