//

Nabi Kita, Apa Adanya


Nabi Kita, Apa Adanya


www.majalah-alkisah.comSesungguhnya Rasulullah SAW menjalani kehidupan manusiawi yang lumrah, bahkan lebih berat dari kita. Beliau merasakan sakit dan susah, juga menitikkan air mata.
Meski demikian, beliau tidak menun­tut macam-macam kepada Allah SWT, yang memilihnya untuk menjadi kekasih-Nya. Maka, bagaimana bila sang keka­sih menjalani kehidupan apa adanya, se­dangkan yang mengaku mencintai be­liau hidup kontras dari kenyataan hidup beliau?
Berikut beberapa hadits yang se­moga bisa menjadi bahan renungan bagi kita yang mengaku mencintainya.


Dari Abdullah bin Mughaffal RA, ia berkata, “Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulallah, demi Allah aku mencintaimu.’

Beliau berkata, ‘Perhatikanlah apa yang kamu katakan itu!’

Ia kembali berkata, ‘Demi Allah, aku sungguh-sungguh mencintaimu.’ Ia meng­ulang-ulangi sampai tiga kali.

Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila engkau mencintaiku, bersiaplah untuk miskin dengan mengencangkan ikat  pinggang. Sesungguhnya kemiskin­an itu lebih cepat datangnya bagi orang yang mencintaiku melebihi kecepatan laju banjir ke puncaknya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).



Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Zuhud bab tentang Keuta­maan Fakir.
Seorang yang berikrar mencintai Nabi SAW seharusnya membuktikan ucap­annya. Salah satunya adalah ber­laku sederhana, sebagaimana yang di­minta Nabi SAW dari makna yang ter­sirat dari hadits di atas. Mengapa? Ka­rena, beliau mencontohkan dengan per­buatan atas sikapnya yang menyukai kesederhanaan. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku cinta kepada Nabi SAW tapi perilakunya tidak mencer­minkan perilaku Nabi, yang dicintainya itu?
Sesungguhnya cinta yang hakiki ke­pada Nabi SAW tercermin dari sikap dan perbuatan yang meniru sikap dan per­buat­an beliau, di antaranya berlaku zuhud.

Dari Abdullah bin Mas‘ud RA, ia ber­kata, “Rasulullah SAW tidur di atas tikar lalu beliau bangun dari tidurnya, maka tampak guratan bekas tidur di pinggang­nya. Kemudian kami berkata, ‘Ya Rasul­ullah, bagaimana jika kami ambilkan kasur untukmu?’

Beliau menjawab, ‘Apalah dunia ini bagiku, sedangkan aku di dunia ini lak­sana orang yang tengah berjalan lalu ber­teduh di bawah pohon, lalu aku ber­istirahat dan kemudian meninggalkan­nya’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).



Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Zuhud bab “Apalah Dunia Ini bagiku”
Inilah salah satu bentuk kehidupan zuhud yang dijalani Nabi SAW. Dalam satu riwayat disebutkan, andaikan beliau mau, Gunung Uhud dapat dimintanya kepada Allah menjadi emas. Namun be­liau menekankan pola hidup sederhana, memperhatikan tujuan hidup di dunia untuk membangun kehidupan akhirat nan abadi dengan beramal shalih. Ka­rena, dunia hanyalah negeri yang se­mentara adanya, laksana pohon rindang untuk sekadar berteduh.

Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah RA, pelayan, kekasih, dan putra kekasih Rasulullah SAW, “Salah se­orang putri Nabi SAW mengutus sese­orang untuk memberi tahu kepada beliau (yakni Nabi SAW) “Anakku (yakni cucu Nabi) sedang sakratul maut. Maka datanglah ke tempat kami.”

Kemudian beliau hanya mengirim­kan salam seraya bersabda, ‘Sungguh menja­di hak Allah untuk mengambil atau mem­beri. Dan segala sesuatu telah di­tentukan di sisi-Nya. Maka hendaklah kamu bersa­bar dan mohonlah pahala ke­pada Allah.’

Lalu orang yang disuruh itu kembali sambil meminta dengan sangat yang dibarengi dengan sumpah agar beliau mendatanginya.

Maka pergilah beliau beserta Sa‘ad bin Ubadah, Mu‘adz bin Jabal, Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, dan beberapa sahabat lainnya.

(Sesampainya di kediaman putrinya) anak itu diangkat ke pangkuan beliau, sedangkan napasnya tersengal-sengal.

Maka meneteslah air mata beliau.

Kemudian Sa‘ad bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa Tuan meneteskan air mata?’

Beliau menjawab, ‘Tetesan air mata itu adalah rahmat yang dikaruniakan Allah Ta’ala ke dalam hati hamba-ham­ba-Nya.’ (Dalam riwayat lain dikatakan: ke dalam hati hamba-hamba yang dike­hendaki-Nya). Dan sesungguhnya Allah akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang mempunyai rasa kasih sayang ter­hadap sesamanya’.” (Muttafaq `alaih).





Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Jenazah bab Per­kataan Nabi SAW: Mayit Diadzab Sebab Tangisan Keluarganya. Adapun Imam Mus­lim menempatkannya pada kitab Jenazah bab Menangisi Mayit.
Putri Nabi SAW yang disebut dalam ha­dits ini ialah Zainab RA. Adapun putra­nya atau cucu Nabi itu ialah Ali, buah kasih Zainab RA dengan Abu Al-Ash bin Ar-Rabi‘ RA.
Ada beberapa pendapat tentang sosok putri Nabi dan cucu beliau yang di­maksud dalam hadits tersebut. Ada yang mengatakan, putri Nabi itu adalah Ruqay­yah RA, yang berpasangan de­ngan Utsman RA dan berputrakan Ab­dullah. Ada pula yang menyebutkan Fa­thimah RA dengan Ali RA, yang ber­putrakan Muhsin.
Dalam Musnad Imam Ahmad dise­but­kan, wanita yang mengirim utusan ke Nabi SAW ialah Zainab, sedangkan anak kecil yang sedang sekarat itu ada­lah bocah perempuan putri Zainab yang bernama Umamah. Namun, pendapat Imam Ahmad ini dinilai kurang tepat, ka­rena kata gantinya menggunakan dha­mir huwa (kata ganti orang ketiga laki-laki), sebagaimana tersebut dalam ha­dits itu. Demikian pendapat Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari.
Dalam hadits di atas, terkandung beberapa pelajaran yang penting bagi orang-orang yang tengah berduka.
Pertama, dibolehkan mengundang sanak saudara dan tetangga, terutama orang-orang yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, seperti ulama dan tokoh masyarakat, untuk mendoakan anggota keluarga yang tengah sekarat.
Kedua, dianjurkan bersikap lemah lembut dan mengasihi terhadap semua makhluk, terlebih lagi saat sedang ber­duka. Di dalam sebuah hadits dikatakan, “Orang-orang yang saling mengasihi di­kasihi oleh Yang Maha Pengasih, maka kasihilah mereka yang berada di bumi, niscaya kalian akan dikasihi oleh yang di langit (maksudnya para malaikat).” Sebaliknya, perasaan yang kasar dan tidak halus akan menyebabkan hati se­seorang keras.
Ketiga, dibolehkan menangis dengan tidak meratap saat berduka.
Keempat, hadits di atas memberikan petunjuk adab berta’ziyah, yakni turut ber­duka, mengingatkan yang berduka untuk bersabar dan memohon ridha Allah.
Kelima, Nabi SAW, dengan kesem­purnaan akhlaqnya yang halus, mencon­tohkan kepada kita bagaimana sikap be­liau ketika ditinggalkan cucu, yang amat beliau cintai.

Dari Ibn Mas‘ud RA, ia berkata, “Aku ma­suk ke rumah Nabi SAW, sedangkan beliau tengah sakit panas, lalu aku ber­kata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau menderita sakit panas yang ter­amat sangat.’

Beliau berkata, ‘Benar, aku mende­rita sakit yang rasanya dua kali lipat dari dua orang di antara kalian.’

Lalu aku menyahut, ‘Kalau begitu, eng­kau mendapat pahala dua kali lipat juga?’

Beliau menjawab, ‘Benar, demikian­lah adanya. Seorang muslim yang ditim­pa pe­nyakit, baik itu tertusuk duri mau­pun lebih dari itu, niscaya Allah mengam­puninya atas kesalahannya, menggu­gurkan dosa-dosanya, laksana pohon yang berguguran dedaunannya’.” (Mut­ta­faq ‘alaih).


Syarah Hadits
Hadits ini dirangkum Al-Bukhari da­lam kitab Sakit bab Parahnya Sakit, sedangkan Muslim dalam kitab Berbakti bab Pahala Orang yang Beriman dalam Menghadapi Sakit atau Kesedihan atau Lainnya.
Dalam redaksi yang diriwayatkan dari Abu Sa‘id Al-Khudri, Al-Baihaqi me­nyebut­kan bahwa Abu Sa‘id mengun­jungi ke­diam­an Rasulullah SAW dan mendapati beliau tengah sakit demam. Saat ia mele­takkan tangan ke ketiak be­liau, ia rasakan betapa panas sakit yang beliau alami. Abu Said pun berkata, “Be­tapa sangat sakitnya demam yang eng­kau alami, ya Rasulullah.”
Beliau berkata, “Sesungguhnya be­gitulah kami sekalian para nabi, dilipat­gandakan rasa sakit yang kami alami untuk dilipatgandakan pula balasannya.”

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nabi Kita, Apa Adanya "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip