Maulidin Nabi saw.serta mengagungkan Nabi saw
Riwayat kapan dimulainya peringatan maulid Nabi saw itu itu bermacam-macam. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pertama kali yang mengadakan acara peringatan hari kelahiran Nabi saw dan para keluarga beliau saw, adalah pada pertengahan abad kedua tahun Hijriyah yakni pada zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa Al-Kadhim dan diteruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat Hijriyah. Mereka memperingati dan mengenang hari kelahiran dan kewafatan Nabi saw., Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah ra., Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu Thalib r.a dan orang-orang sholeh lainnya, walaupun tidak dengan perayaan.
Ada lagi riwayat bahwa peringatan Maulid Nabi saw pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah, sebagaimana yang disebutkan Ibn Katsir dalam kitab Tarikh, beliau berkata: “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Ada lagi yang dikatakan oleh golongan pengingkar bahwa menurut riwayat sejarah awal mula peringatan maulidin Nabi saw. diada- kan oleh Al-Muiz-Liddimillah al-Abadi dan dia ini memiliki nama yang jelek karena dekat dengan Yahudi, Nasrani jauh dari Muslim dan sebagainya. Umpama saja riwayat dan mengenai pribadi orang ini kita benarkan sebagaimana yang dikatakan golongan pengingkar, kita tidak perlu melihat pribadi seseorang yang mengarang sesuatu, tapi yang penting lihat dan bacalah isi dan makna yang ditulis atau diciptakan oleh orang tersebut. Selama hal itu baik dan bermanfaat serta tidak keluar dari syari’at Islam maka dibolehkan dan malah dianjurkan oleh Islam untuk mengamalkannya! Sebagaimana ada kata-kata yang terkenal: ‘Janganlah kalian melihat siapa yang berbicara tapi dengarkan apa yang dibicarakan’. Jadi walaupun orang kafir tapi mempunyai ide/saran yang baik dan sarannya itu tidak keluar dari syari’at Islam, malah kita dianjurkan untuk menerimanya, bila hal itu bermanfaat bagi masyarakat.
Memang sifat kebiasaan golongan pengingkar yang sudah terkenal yaitu bila mereka tidak menyenangi amalan sesuatu karena bertentangan dengan pahamnya, mereka akan mencela, mencari macam-macam jalan untuk menjelekkan pribadi orang-orang yang menulis atau yang menciptakan sesuatu amalan tersebut.
Dengan demikian riwayat-riwayat tentang awal mulanya peringatan maulidin Nabi saw. bermacam-macam, begitu juga mengenai tanggal lahir beliau saw., tetapi semua ini bukan suatu masalah yang perlu kita bahas disini. Yang sudah pasti bahwa berkumpulnya manusia secara massal untuk menyelenggarakan peringatan-peringatan atau keagamaan ini terjadi setelah zaman Nabi saw. dan para sahabat, tetapi dilakukan pada zaman tabi'in. Peringatan maulid ini di selenggarakan oleh muslimin ,baik dari kaum ulama mau pun kaum awam, diseluruh negara didunia antara lain: Mesir, Iran, Iraq, Indonesia, Malaysia, Singapora, Saudi Arabia, Afrika, Yaman, Marokko, Pakistan, India, serta dinegara-negara barat antara lain di Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan lain sebagainya. Di Saudi Arabia walaupun disini tempat lahirnya Muhammad Abdul Wahhab, imam golongan wahabi/salafi serta pengikutnya sudah bertahun-tahun banyak diadakan peringatan maulid Nabi saw. dirumah-rumah atau flat-flat serta dihadiri oleh orang banyak dan cukup berkedudukan penting dipemerintahan Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan peringatan tersebut karena dikuatirkan akan terjadi keonaran yang ditimbulkan oleh golongan yang fanatik dan anti peringatan tersebut.
Penulis pernah tinggal di Saudi Arabia pada tahun tujuh puluhan dan sering menghadiri peringatan maulid disana. Malah sekarang bisa kita lihat sendiri di YouTube 'Sayyid Abbas Maliki in television art' atau 'Dhikr mawlid mouhadith Al-Alawi al Maliki al-Makki' (ulama yang berdomisili di Saudi Arabia), peringatan maulid yang diadakan di Saudi atau negara Arab lainnya.
Kira-kira mulai sepuluh-limabelas tahun yang lalu di Madinah pun setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan bulan mulia lainnya pada setiap malam jum’at mulai jam 22.00, ribuan orang sebagian besar dari golongan madzhab Syiah dari Iran, Irak, Kuwait dan lainnya duduk berkumpul dimuka kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya berhadapan dengan Kubah kuburan Nabi saw di Masjid Nabawi Madinah) untuk membaca bersama do’a Kumail (do’anya Kumail bin Ziyad) dengan pengeras suara, dan sekitar tempat itu dijaga oleh tentara-tentara Saudi Arabia hanya untuk menjaga keamanan saja.
Kami, waktu naik haji dan Umrah, kebetulan melihat dan menyaksikan hal tersebut serta memotonya. Kami kira jama’ah Haji lainnya bila bertepatan malam jum’at berjalan didaerah itu akan bisa menyaksikan sendiri hal tersebut.
Padahal dahulunya ulama-ulama Saudi sangat melarang adanya kumpulan-kumpulan pembacaan do’a dimuka umum seperti itu, apalagi sambil menggunakan pengeras suara. Mungkin dengan adanya dialog antara para ulama Saudi dengan ulama madzhab lainnya mengenai hal tersebut, mereka tidak bisa melarangnya karena tidak adanya dalil yang jelas dan tegas tentang larangan tersebut malah sebaliknya banyak dalil yang mengarah kebolehan dan kesunnahan berkumpul bersama untuk membaca dzikir. Begitu juga dahulu para muthowik melarang orang memoto masjidil Haram walaupun dari luar, tetapi sekarang didalam masjid Haram pun boleh orang memoto.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa kehidupan Nabi saw., itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi rekayasa yang baik, karena sejalan dengan hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasanya/ bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah, bukan terletak pada per-orangan (individu) yang memperingati hari kelahiran Nabi saw. Sebab masa hidup beliau saw dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’. Begitu juga tidak adanya contoh pada zaman Rasulallah saw atau para sahabat, itu bukan sebagai dalil untuk melarang atau mensesatkan peringatan maulidin Nabi saw. Tidak lain semua itu adalah ijtihad para pakar Islam untuk mengumpulkan muslimin guna memperingati maulid Nabi saw. secara bersama/massal. Jadi bid’ah (rekayasa) seperti itu adalah rekayasa yang baik sekali karena banyak hikmah dan manfaat pada majlis tersebut. .
Lupa adalah salah satu ciri kelemahan yang ada pada setiap orang, tidak pandang apakah ia berpikir cerdas atau tidak. Kita sering mendengar orang berkata : Summiyal-Insan liannahu mahallul khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia tempat kekeliruan dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian lupa sering digunakan orang untuk beroleh maaf atas suatu ke salahan atau kekeliruan yang telah diperbuat. Bahkan di Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi : 63 terdapat isyarat bahwa lupa adalah dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi Musa as. menjawab pertanyaan nabi Musa, dengan mengatakan: ‘Tidak ada yang membuatku lupa mengingat (makanan) itu kecuali setan’.
Satu-satunya obat untuk dapat mencegah atau menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan. Bila orang telah di-ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menyalahgunakan lupa agar beroleh maaf atas perbuatannya yang salah itu. Kata dzikir, dzakkara atau dzikra (ingat, mengingatkan, peringatan dan seterusnya) adalah sempalan kata lain dari akar kata dzikir yang berulang-ulang ditekankan dalam Al-Qur’an.
Bahkan para Nabi dan Rasul termasuk junjungan kita Nabi Muhammad saw disebut juga sebagai Mudzakkir yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang lebih tegas dan keras, para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan keras kepada manusia yang menentang kebenaran Allah swt.
Dengan keterangan singkat diatas jelaslah betapa besar dan penting masalah peringatan dan mengingatkan. Tujuannya adalah agar manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit lupa dan lalai yang akan menjerumuskannya kedalam pemikiran salah dan perbuatan sesat. Itulah masalah yang melandasi pengertian kita tentang betapa perlunya kegiatan memperingati maulid Nabi Muhammad saw.. Peringatan maulid Nabi saw. ini merupakan amal kebaikan yang sangat dianjurkan. Banyak sekali dalil naqli maupun ‘aqli yang mendukung dan membenarkan kegiatan yang baik itu. Bukan lain adalah Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan betapa mulianya dan betapa terpujinya kegiatan memperingati kelahiran para Nabi dan Rasul.
Dalil-dalil lain dan hikmah yang berkaitan dengan kebolehan peringatan Maulid
Dengan adanya majlis-majlis peringatan maulid tersebut meneguhkan iman kita serta membangkitkan kita lagi untuk selalu ingat dan cinta pada Allah dan Rasul-Nya, karena kehidupan manusia dibumi ini senantiasa berubah dan berkembang. Itu telah menjadi hukum kehidupan Sunnatulllah yang tidak mungkin dicegah oleh siapa pun. Kewajiban untuk meningkatkan kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulallah saw. itu sejalan dengan sunnahnya dan firman Allah. Firman Allah swt. yang mengingatkan ummat Muhammad yang mengakui mencintai Allah, untuk mencintai Rasul-Nya Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Artinya: "Jika kamu mencintai Allah, ikutlah (dan cintai dan hormati) aku (Muhammad) , dan Allah akan mencintai kamu".( Surat Aal-Imran : 31).
Dalam surat Ibrahim ayat 5, Allah swt. berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur". (QS Ibrahim 5).
Dalam surat Al-Maidah [5] :114, Allah swt. berfirman: “ ’Isa putera Maryam berdo’a, ‘Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling Utama’ ”.
Turunnya makanan dari Allah swt. untuk ummat nabi ‘Isa saja sudah sebagai suatu kenikmatan dan hari Raya untuk ummat ‘Isa dan untuk yang datang sesudah mereka. Bagi ummat Muhammad Allah swt. telah memberikan berbagai kenikmatan dan kemuliaan karena lahirnya dan turunnya makhluk yang paling mulia yaitu Habibullah Rasulallah saw. kedunia ini.
Kami ingin bertanya lagi 'Mengapa golongan pengingkar selalu melarang kita menyambut dan merayakan hari yang bersejarah yakni maulid beliau saw., sebagai suatu kenikmatan dan kebahagiaan buat kita?
Dalam surat Yusuf ayat 111, Allah swt. berfirman:
لَقَدْ كَانَ في قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأوْلِى الألْبَابِ
Artinya: “Sungguh,pada kisah-kisah mereka itu (para Nabi dan Rasul) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal”.
Dalam surat Hud: 120, Allah swt berfirman:
وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أنْبَاءِ الرُسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَك
Artinya: “Dan semua kisah para Rasul kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu “.
Dalam surat Al-Hajj: 32, Allah swt berfirman: "Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa”
Dalam surat Al-Haj: 30, Allah swt berfirman : “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”.
Allah swt. didalam kitab suci Al-Qur’an telah menceriterakan riwayat-riwayat para Nabi dan Rasul berulang–ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa as. dalam surah Maryam, disini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa, bahkan dikisahkan juga da’wah dan mu’jizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim as banyak dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf as., Nabi Sulaiman as. dan nabi-nabi lainnya. Allah mengisahkan bagaimana kehidupan, kemuliaan/kedudukan para Rasul ini dan lain sebagainya. Tidak lain tujuan dan maksud Allah swt. untuk mengisahkan riwayat para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya yang telah dikemukakan tadi adalah jelas untuk dijadikan pelajaran dan memperteguh iman dalam hati.
Jadi kalau kisah para Nabi dan Rasul yang lain saja sudah sedemikian besar arti dan manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita Nabi besar Muhammad saw., yang telah diriwayatkan sebagai penghulu para Nabi dan Rasul!
Begitu juga telah dikemukakan bahwa diantara tanda-tanda orang yang bertaqwa adalah orang yang mau mengagungkan syi’ar Allah swt. dan orang yang mengagungkan apa yang mulia disisi Allah swt. itu adalah yang terbaik baginya disisi Allah swt. Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi, dengan kenabian dan kerasulan-nya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang terbesar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan Allah kepada beliau saw adalah lambang kebenar an dan kebesaran (syi’ar) serta lambang kekuasaan Allah swt.. Memuliakan dan mengagungkan syi’ar Allah ini adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
Didalam majlis maulid ini selalu dikumandangkan sholawat, riwayat kisah Rasulallah saw. dan ceramah agama yang mana semuanya ini sangat baik dan sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan sholawat ini adalah perintah Allah swt. sebagaimana firman-Nya :
إنَّ اللهَ َمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي
Artinya: "Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada Nabi" (QS 33:56). Seterusnya ayat ini disambung dengan perintah Tuhan,
يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Artinya: " Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya ".
Arti shalawat Allah swt.pada ayat ini menurut ahli tafsir berarti pujian Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggikan dan mendekatkannya, begitu juga sholawat para Malaikat kepada beliau saw. untuk memuji dan memuliakan Rasulallah saw.. Dan orang yang beriman disuruh juga bersholawat dan bersalam pada beliau saw.
Ayat ini saja sudah menjadi bukti bahwa iman seseorang itu bergantung kepada dan dilahirkan melalui sholawat kepada Nabi saw. Ya Allah ! Limpahkanlah sholawat serta salam kepada Nabi, ahli keluarga beliau saw. dan para sahabat.
Kita juga dianjurkan oleh Allah swt agar ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini sangat bermanfaat bagi kita sebagaimana Firman-Nya:
وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Adz Dhariyat : 55)
Juga kita dianjurkan selalu berbuat kebaikan yang mana kebaikan itu bisa menghapuskan dosa kita sebagaimana firman Allah swt:
اِنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّآتِ
Artinya: “Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”. (QS. Hud : 114)
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang membaca riwayat maulidin Nabi saw. baik secara individu maupun berjama’ah adalah termasuk berbuat kebaikan. Sekali lagi, menarik kesimpulan arti firman-firman Allah dan hadits-hadits diatas ini bahwa kesempurnaan iman seseorang itu amat bergantung pada kecintaannya terhadap Rasulallah saw.. Kecintaan, ketaatan dan keimanan pada Allah swt. dan Rasul-Nya, ini akan bertambah tebal dan mantep dihati kita bila selalu di-ingatkan berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat kisah kehidupan Rasulallah saw. serta bersholawat pada beliau saw.!!
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulallah saw. telah bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى اَكُونَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلدِهِ وَ النَّاسِ اجْمَعِيْنَ.
Artinya: "Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada anak, ibu-bapa dan manusia seluruhnya."
Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi saw. bersabda; "Tidak sempurna iman kamu sehingga aku kamu lebih cintai daripada diri kamu sendiri." Umar bin Khattab ra berkata; "Ya Rasulallah aku mencintaimu lebih daripada diriku sendiri”.
Dalam hadits Rasuallah saw. kita diperintahkan untuk mencintai Rasulallah saw. melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua dan manusia seluruhnya. Keimanan kita tergantung dengan besarnya kecintaan kita kepada beliau saw. dan cinta kepada beliau saw. berarti kita cinta kepada Allah swt. yang mengutus Rasul-Nya ini. Dengan sering memperingati hari kelahiran Rasulallah saw. akan menambah kecintaan kita kepada Allah swt. dan kepada beliau saw. serta memantepkan hati kita untuk bisa mencontoh pribadi dan perjalanan beliau saw.
Pendapat para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim yang berkaitan dengan peringatan maulidin Nabi saw
Ibnu Taimiyyah dalam kitab Iqtidha'us-Shriathil-Mustaqim, mengatakan: "Memuliakan hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringat annya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mu'min yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh orang lain".
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa Ibn Taymiyyah,jld. 23, hal. 133, dan kitabnya Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 294-295, bab “Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat tertentu, (Ma Uhditsa min al-A‘yad al-Zamâniyyah wa al-Makaniyyah)” mengatakan; “Demikian halnya apa yang diada-adakan oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi saw dan untuk memujanya, Allah swt akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini, bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bid’ah …".
Merayakan dan menghormati kelahiran Nabi saw dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, Ibn Taymiyyah tentang maulid sebagaimana diuraikan dalam kitabnya sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang adalah baik, dan padanya ada pahala yang besar, karena niat baik mereka dalam menghormati Nabi saw..
Dalam teks yang disebutkan diatas, Ibn Taymiyyah juga menyebutkan fatwa Imam Ahmad ibn Hanbal, imamnya madzhab fikih Ibn Taymiyyah, tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Alquran, beliau (Imam Ahmad) mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan emas”.
Seorang editor majalah golongan Salafi (baca: Wahabi) ,Iqtidha’, Muhammad al-Fiqqî, menulis dua halaman catatan kaki untuk teks tersebut. Di dalamnya ia berteriak keras, “Kayfa yakunu lahum tsawab ‘ala hadza? … Ayyu ijtihâd fi hadza? (Bagaimana mungkin mereka dapat memperoleh pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini??)”.
Para ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang menyangkut peringatan maulid ini. Mereka merubah sikap Ibn Taymiyyah tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri, padahal Ibn Taymiyyah adalah tokoh ulama panutan golongan ini.
Pengarang Salafi yang lain, Manshur Salman, juga bersikap serupa diatas ketika menerangkan isi kitab al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya Abû Syâmah. Karena Abû Syâmah bukannya mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru menyatakan, “Sungguh itu (peringatan maulidin Nabi saw.) suatu bid’ah yang patut dipuji dan diberkati”.
Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi saw. oleh Ibn Taymiyyah ini ─yang oleh para pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu kritikan atas peringatan maulid─ telah disebut-sebut oleh para ulama Sunni seperti Sa‘id Hawwa dalam al-Sîrah bi Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibn ‘Alawi al-Maliki dalam, Mafahim Yajibu an Tushahhah; al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î dalam Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah; dan ‘Abd al-Hayy al-Amrunî dan ‘Abd al-Karîm Murâd dalam Hawla Kitâb al-Hiwar ma‘a al-Mâlik.
Al-Hafidh Al-Qasthalani dalam Al-Mawahibulladunniyyah juz 1 hal. 148 cet. almaktab al-Islam berkata : 'Maka Allah akan menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan kelahiran Nabi saw. sebagai hari besar'.
Al-Hafidh Assakhawiy dalam Sirah al-Halabiyah berkata: 'Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ketiga, tetapi dilaksanakan setelahnya dan tetap ummat Islam diseluruh pelosok dunia melaksanakann dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekat dan memperhatikan bacaan maulid dan terlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar'.
Imam Al-Hafidh Ibnul Jauzi dengan kitab maulidnya yang terkenal al-aruus berkata tentang pembacaan maulid sebagai berikut; 'Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya dan merayakannya'.
Imam Al-Hafidh Ibn Abidin dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata: ‘Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid dibulan kelahiran Nabi saw.’.
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam al-Durar al-Kâminah fî ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsâminah menyebutkan; bahwa Ibn Katsîr –seorang ahli hadits pengikut Ibn Taymiyyah– pada hari-hari terakhir hayatnya menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasulallah yang tersebar luas. Kitab tersebut menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi saw.” (Ibn Katsîr, Mawlid Rasulallah, editor Shalah al-Din Munajjad (cet. Dâr al-Kitâb al-Jadîd, beirut 1961).
Dalam kitab Ibn Katsîr tersebut, ia mengatakan, “Malam kelahiran Nabi saw. adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu malam yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang, dan tak ternilai harganya.” (Ibid., h. 19).
Jalal al-Dîn al-Suyûthî berkata: Syekh-Islam –seorang tokoh hadits pada masanya, Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani– pernah ditanya mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw.. Beliau memberikan jawaban sebagai berikut:
"Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw, itu merupakan suatu bid’ah yang kita tidak menerimanya dari para saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad pertama Hijriah. Meskipun demikian, praktek tersebut melibatkan bentuk-bentuk yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji. Apabila dalam praktek peringatan tersebut, orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja, dan tidak melakukan yang sebaliknya, maka itu bid’ah yang baik, tetapi bila tidak demikian, maka tidak baik. Dalil dasar dari nas yang bisa dipercaya untuk merujuk keabsahannya telah saya temukan, yaitu suatu hadits sahih yang dimuat dalam kumpulan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Nabi saw. datang ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam (Asyura), maka beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu dan mereka menjawab: 'Hari ini adalah hari Allah swt menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa a.s., maka kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur kepada Allah Taala'.
Dalil ini menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada Allah swt atas karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam bentuk pemberian nikmat dan peng- hindaran dari bencana. Kita mengulang rasa syukur kita dalam peringatan hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan syukur kepada Allah swt dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, memberi sedekah atau membaca Alquran… Lantas, karunia apa lagi yang lebih besar daripada kelahiran Nabi saw., Nabi pembawa rahmat, pada hari ini? Melihat kenyataan demikian, kita seharusnya memastikan untuk memperingatinya pada hari yang sama, sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa a.s. dan tanggal sepuluh Muharam di atas. Akan tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini penting, merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja sepanjang tahun, pengecualian apa pun dapat diambil dalam pandangan semacam ini”.( Al-Suyûthî, al-Hâwî li al-Fatâwî seperti disebutkan dalam The Reliance of the Traveller karya al-Mishrî, terjemahan oleh Nuh Ha Mim Keller, bagian w58.0.).
Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad ibn Zaini Dahlan, “Memperingati hari kelahiran Nabi saw. dan mengingat Nabi saw. itu dibolehkan oleh ulama muslim.” (al-Sîrah al-Nabawiyyah wa al-Âtsâr al-Nabawiyyah, hal. 51. Kutipan-kutipan selanjutnya kebanyakan diambil dari karya ini).
Imam al-Subki mengatakan; “Pada saat kita merayakan hari kelahiran Nabi saw, rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas”.
Imam Al-Jauzi (Al-Hafidz Jamaluddin ‘Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam madzhab Hanbali wafat tahun 567 H mengatakan; “Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi saw. ialah timbulnya perasaan tenteram disamping kegembiraan yang mengantarkan ummat Islam kepada tujuan luhur. Dijelaskan pula olehnya bahwa orang-orang pada masa Daulat ‘Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi saw. dengan berbuat kebajikan menurut kemampuan masing-masing, seperti mengeluarkan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari maulid, mereka juga memperingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi saw. di dalam goa Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Baqdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.
Imam al-Syawkani dalam al-Badr al-Thali‘. mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi saw.”. Beliau pun mengatakan bahwa Mulah ‘Alî al-Qârî memiliki pandangan yang sama dalam kitabnya, al-Mawrid al-Rawi fi al-Mawlid al-Nabawi, yang ditulis secara khusus untuk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi saw..
Imam Abu Syamah, guru Imam al-Nawawî, dalam kitabnya tentang bid’ah, al-Ba‘its ‘ala Inkar al-Bida‘ wa al-Hawadits, berkata: Bid’ah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah peringatan hari kelahiran Nabi saw.. Pada hari tersebut orang-orang memberikan banyak sumbangan, melakukan banyak ibadah, menunjukkan rasa cinta yang besar kepada Nabi saw., dan menyatakan banyak syukur kepada Allah swt. karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk menjaga mereka agar mengikuti sunah dan syariah Islam.
Imam al-Syakhawi mengatakan, “Peringatan hari kelahiran Nabi saw. dimulai pada tiga abad setelah Nabi saw. wafat. Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh ulama membolehkannya, dengan cara beribadah kepada Allah swt, bersedekah, dan membaca riwayat hidup Nabi saw.”.
Al-Hafidh Ibn Hajar al-Haitami mengatakan, “Sebagaimana orang-orang Yahudi merayakan Hari Asyura dengan berpuasa untuk bersyukur kepada Allah swt, kita pun mesti merayakan maulid”. Beliau pun mengutip hadits yang telah disebutkan di depan, “Tatkala Nabi saw. tiba di Madinah …”. Ibn Hajar kemudian melanjutkan: (Selayaknya) orang bersyukur kepada Allah swt atas rahmat yang telah Dia berikan pada suatu hari tertentu, baik berupa kebaikan yang besar ataupun keterhindaran dari bencana. Hari tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur terlahir dalam berbagai bentuk peribadat an seperti sujud syukur, puasa, sedekah, dan membaca Alquran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar dari kedatangan Nabi saw., seorang Nabi penyebar rahmat, pada hari maulid?
Ibn al-Jawzi (w. 579) menulis sebuah buku kecil yang berisi syair dan riwayat hidup Nabi saw untuk dibacakan dalam perayaan maulid. Buku itu berjudul Mawlid al-‘Arus, (Ibn al-Jawzi, Mawlid al-‘Arus, Damaskus: Maktabat al-Hadharah, 1955) dan beliau membuka dengan kata-kata, “Al-hamd li Allah al-ladzi abraza min ghurrat ‘arus al-hadhrah shubhan mustanirah (Segala puji bagi Allah swt yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari yang semburat dengan sinar cemerlang)”.
Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala.
Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah, berbeda dan berkembang sesuai dengan perubahan, perbedaan dan perkembangan masyarakat setempat pada setiap zaman. Syari’at Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah swt., dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal yang demikian ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:
> Soal thawaf, sa’yu, wuquf dipadang ‘Arafah dan beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat. Akan tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana misalnya dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan pesawat terbang dan sebagainya.
> Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih apakah ia lebih suka membaca ayat demi ayat yang tertulis dalam kitab suci itu, ataukah hendak membacanya secara hafalan. Dia boleh memilih juga cara membacanya dengan sendirian atau membaca bersama dengan jama’ah.
> Cara pembacaan do’a; orang boleh mengutarakan sendiri apa yang menjadi isi hati dan permohonannya atau dengan membaca kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun do’a.
> Dalam hal menunaikan zakat dan shadaqah atau infak; orang boleh memilih cara yang dipandangnya terbaik. Ia boleh menyerahkan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya, atau lewat panitia-panitia pengumpul zakat, badan-badan amal atau lembaga lembaga social.
> Demikian juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya. Banyak sekali kewajiban yang diperintahkan syari’at, yang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali dalil dapat kita ketemukan.
Kesimpulan keterangan diatas ini ialah segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi dirinya atau masyarakat itu boleh dan baik diamalkan dengan cara bagaimana pun, selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama lagi jika pilihan kita itu sejalan dengan ijma’ (kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi'i menegaskan: "Hal ihwal baru yang diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah atau Sunnah, atau ijma' atau hadits (atsar), itu adalah bid'ah dhalalah (bid'ah sesat). Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-'Izz bin 'Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.
Sebagaimana juga yang telah dikemukakan bahwa para sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan bid’ah/soal-soal baru mengenai bacaan-bacaan didalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan oleh Nabi saw.. Setelah dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau saw. dan dipandang tidak menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak berlawanan dengan hukum-hukumnya, beliau saw. membiarkan dan malah meridhai perbuatan-perbuatan mereka. Atas dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam) bersepakat menetapkan, ‘pada dasarnya segala sesuatu kaidah adalah mubah atau halal, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits-hadits) yang mengharamkan masalah itu’.
Untuk lebih jelasnya silahkan baca keterangan apa yang dimaksud kata-kata Bid'ah, yang tercantum dalam hadits Rasulallah saw. pada bab "Bid’ah yang dipermasalahan" di website ini. Dengan demikian, insya Allah kita bisa menilai sendiri mana yang disebut bid'ah dholalah/sesat dan bid'ah yang dibolehkan oleh syari'at.
Doktor Abdul Ghaffar Muhammad Aziz, guru besar ilmu da’wah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain sebagai berikut:
“Memang ada sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak membenarkan adanya peringatan-peringatan keagamaan dalam bentuk apa pun juga dan menganggapnya bid’ah yang tidak diakui oleh agama. Akan tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran syari’at.
Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra Mi’raj atau peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan pidato-pidato, ceramah ceramah dan pelajaran khusus, baik di masjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat segala macam mas media. Peringatan akan dapat mengingatkan kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama. Selama peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah swt. telah berfirman sebagai berikut:
وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman “. (Adz-Dhariyat : 55)
Peringatan keagamaan seperti ini, yang diselenggarakan tanpa berlebih-lebihan atau pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini seakan-akan Allah swt. hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya per- ingatan-peringatan keagamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat kesaat selalu berada di dalam suasana Al-Qur’an, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana ke hidupan Islam, yang dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada didalamnya sampai dengan bulan Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi saw, sampai bulan Rajab dengan peringatan Isra Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan turunnya Al-Qur’an Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu Syawal, Dzul Qi’dah dan Dzul Hijjah. Demikianlah suasana keagamaan berlangsung terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun”.
Seorang penulis Islam, Al-Ustadz Abdurrahim Al-Jauhari dalam makalah-nya antara lain menginginkan agar peringatan maulid Nabi saw. tidak hanya berlangsung dalam waktu sehari saja, tetapi supaya berlangsung selama sebulan penuh, agar para ulama memperoleh waktu yang cukup untuk menyebarluaskan nilai-nilai abadi yang terdapat didalam kehidupan Nabi saw. Karena dilihat dari besarnya pengaruh ajaran Rasulallah saw. didalam kehidupan bangsa-bangsa, baik secara sosial mau pun secara individual, maka kelahiran Nabi Muhammad saw. dapat dipandang sebagai suatu peristiwa terbesar dalam sejarah. Oleh karenanya perayaan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang mulia itu harus disesuaikan dengan keagungan pribadi beliau dan harus pula disesuaikan dengan kebesaran pengaruhnya di seluruh dunia.
Ada pun mengenai resepsi-resepsi resmi yang diadakan untuk memperingati maulid Nabi saw. itu hanya dapat dianggap sebagai perayaan nasional bagi seluruh Negara yang mengakui Islam sebagai agama resmi.
Doktor Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musir, gurubesar ilmu ‘Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islami menerangkan antara lain sebagai berikut:
“Perayaan peringatan maulid Nabi saw. itu dengan jamuan/pesta makan dan minum sama sekali tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan oleh Rasulallah saw. Akan tetapi perlu dimengerti, bahwa kami tidak melarang atau mengharamkan jenis-jenis tertentu dan makanan dan minuman yang disuguhkan dalam peingatan tersebut, tetapi yang kami sesali ialah ada sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang bersifat kebendaan itu merupakan bagian daripada peringat an maulid Nabi saw.
Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi saw. atau peringatan keagamaan lainnya sebagai bid’ah, perbedaan kami dengan mereka (yang membid’ahkan peringatan-peringatan keagamaan--pen) ialah mengenai pengertian atau ta’rif tentang bid’ah dan sunnah. Mereka mengata kan bahwa ‘setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih.
Akan tetapi mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid’ah yang disebut sesat (dholalah) dan yang tempatnya di neraka bukan lain adalah bid’ah yang di-isyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni firman Allah swt.: ‘Mereka mensyari’atkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah ” (Asy-Syura:21).
Jadi bid’ah yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok--pen) didalam agama. Hal ini sama sekali tidak terdapat dalam peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw. dan peringatan keagamaan lainnya”.
Pendapat Al-Ustadz Mahmud Syaltut tentang peringatan maulid Nabi saw. antara lain sebagai berikut:
“Setelah abad-abad pertama Hijriyah (abad ke tujuh Masehi) di kalangan kaum muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakan perayaan memperingati hari maulid Nabi saw. pada bulan Rabiul-Awal tiap tahun. Cara mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keadaan lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari kelahiran Nabi saw. dengan menyiapkan makanan-makanan khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul awwal dalam suasana riang gembira.
Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue-kue manis yang khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini diletakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuaan yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari membacakan ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu dibacakan kisah maulid Nabi saw. dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak beliau saw., juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa kelahiran beliau saw.. Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang mulai menulis buku dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan berita-berita riwayat dan hadits-hadits. Kemudian buku ini disebar luaskan kepada kaum muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran Nabi Muhammad saw. dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah beliau, yang telah dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya (yakni orang Quraish--pen). Antara lain diriwayatkan berita dalam buku-buku tersebut:
‘Ketika beliau masih sebagai anak penggembala kambing, ketika beliau masih remaja muda turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraish dan sekutunya orang-orang Kinanah disatu pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin. Konon waktu itu Rasulallah saw. umur 14 th. ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20 th.—red.) dan persekutuan Fudhul. Juga dibuku tersebut meriwayatkan ketika beliau saw. telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan-keterangan riwayat beliau saw. yang tercantum dalam buku-buku tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang lazim dilakukan oleh kaum muslimin sebagai sunnah setelah abad-abad pertama Hijriyah’ ”!
Imam Abu Syamah gurunya Imam Nawawi ketika mengomentari peringatan maulid Nabi saw. berkata sebagai berikut: “Diantara kegiatan terbaik yang diada-adakan pada masa kita sekarang ini adalah kegiatan yang dilakukan setiap tahun bertepatan dengan kelahiran Nabi kita Muhammad saw. yakni memperbanyak sedekah, mengerjakan hal-hal yang baik serta menampakkan keriangan dan kegembiraan. Karena demikian itu selain didalamnya terkandung perbuatan yang baik terhadap fakir miskin juga mengesankan suatu kecintaan dan pengagungan kepada Nabi saw. serta juga rasa syukur kepada Allah swt.atas karunia-Nya yang telah menciptakan beliau saw. dan mengutusnya sebagai rahmat bagi sekalian alam”.
As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani rohimahullah, beliau adalah seorang ulama dan anak seorang ulama besar Al-Allamah Ustadz Alawi, dikerajaan Arab Saudi yang berkedudukan sebagai Mufti Makkah. Sekali pun secara format kerajaan Arab Saudi madzhab Wahabi/ Salafi tapi beliau tetap sebagai ulama yang bermadzhab Maliki. (Akhir-akhir ini ada golongan Salafi/Wahabi ,sebagaimana kebiasaannya, berani mengkafirkan seorang ulama yang bertauhid ini yakni Ustadz Muhammad al-Maliki ini karena tidak sepaham dengan mereka! Ya Allah janganlah kami dimasukkan kegolongan yang mudah mengkafirkan sesama muslimin yang meng-Esakan Engkau dan beriman kepada Malaikat-Malaikat-Mu, Rasul-Rasul-Mu serta mempunyai kiblat yang sama dengan kaum muslimin lainnya. Amin--pen.).
Maulid Nabi saw. yang tertulis dalam makalahnya Haulal–Ihtifal Bil-Maulidin Nabawiyyisy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia) tersebut merupakan salah satu karya tulis dari beberapa orang ulama dan penyair Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi pilihan tulisan para ulama dan para penyair Islam berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun 1983, yang terbit di Makkah. Pendapatnya mengenai peringatan maulid Nabi saw. dalam makalahnya itu antara lain:
Sebenarnya sudah terlalu banyak orang berbicara tentang perayaan atau peringatan Maulid Nabi saw. Sesungguhnya masih banyak soal lain yang lebih memerlukan pemikiran kita. Pembicaraan masalah ini seolah-olah menjadi permasalahan rutin setiap tahun, sehingga orang merasa jemu. Selama masih banyaknya pikiran yang secara diam-diam menyalahkan –bahkan mengharamkan– perayaan atau peringatan maulid Nabi saw., maka tidak ada jeleknya jika saya (sayid Muhamad Al-Maliki) berusaha memenuhi harapan kaum muslimin awam, yang masih merasa butuh kepada penjelasan mengenai jaiz atau bolehnya penyelenggaraannya.
Lebih baik saya tekankan lebih dahulu bahwa bentuk peringatan Maulid Nabi saw. seperti berkumpul untuk mendengarkan riwayat hidup beliau, menyatakan pujian-pujian dan sholawat yang memang sudah menjadi hak beliau saw., kemudian dilanjutkan dengan suguhan-suguhan makanan dan lain sebagainya guna menyemarakkan/ menggembirakan kaum muslimin, semuanya itu boleh/jaiz, tidak dilarang oleh syara’. Perayaan atau peringatan maulid ini dapat dan boleh diselenggarakan kapan saja. Memang benar peringatan ini diadakan pada bulan kelahiran beliau saw. adalah lebih baik, karena lebih menggugah ingatan orang kepada peristiwa besar yang terjadi dalam bulan itu dimasa silam. Dengan demikian orang lebih mudah mengkaitkan masa kini dengan masa lampau.
Tidak dapat disangkal bahwa mengumpulkan orang banyak untuk memperingati Maulid ini merupakan salah satu cara terpenting untuk menda’wahkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam kesempatan itupun para ulama dapat mengingatkan umat kepada junjungan kita Rasulallah saw. Bagaimana sesungguhnya beliau itu, bagaimana keagungan dan keluhuran budi pekerti serta akhlaknya, bagaimana kehidupan beliau saw. sehari-hari, bergaul dengan para sahabatnya, bagaimana beliau menunaikan ibadah kepada Allah dan sebagainya. Jadi kegiatan perayaan maulid ini adalah kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat.
Peringatan maulid Nabi saw. tidak lain memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka Rasulallah saw.. Bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau, seperti Abu Lahab, misalnya.
Sebuah hadits dalam Shahih Bukhori menerangkan bahwa tiap hari Senin Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin Abdul Mutthalib, yaitu Muhammad saw.. Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah saw., apalagi orang yang beriman!
(Begitu juga Al-Hafidh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata: “Jika orang kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya ‘Celakalah dua tangan Abu Lahab’ serta dia kekal dalam neraka justru ada keterangan bahwa selamanya disetiap hari Senin dia memperoleh keringanan siksa lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhamad saw. Lalu bagaimanakah dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran beliau dan diapun mati dalam keadaan bertauhid?--pen.)”.
Selanjutnya Ustadz Muhammad Al-Maliki berkata: Rasulallah saw. sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan dialam wujud sebagai hamba Allah yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Cara beliau menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa. Hadits dari Abu Qatadah yang mengatakan, bahwa ketika Rasulallah saw. ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau menjawab:
ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ اُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
Artinya: ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Allah swt. menurunkan wahyu kepadaku”. (HR Shahih Muslim)
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuannya adalah sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.
(Jawaban Rasulallah saw. waktu ditanya tentang puasa hari Senin: 'hari itu, hari kelahiranku....', beliau saw. tidak menjawab misalnya : “Puasa hari senin itu mulia dan boleh-boleh saja..”. Ini menunjukkan bahwa hari kelahiran beliau saw. ada mepunyai nilai tambahan dari hari-hari lainnya, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw. termasuk perhatian terhadap hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam---pen.).
Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw. merupakan tuntunan Al-Qur’an. Allah swt. berfirman:
قُلِ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْـيَفْرَحُوا
Artinya: “Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira’ “. (QS.Yunus: 58)
Allah swt. memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad saw. jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam, sebagaiman firman-Nya:
وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلاَ رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (QS.Al-Anbiya:107)
Rasulallah saw. memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang pernah terjadi dimasa silam (sebelum beliau). Manakala masa terjadinya peristiwa itu berulang, itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengingatnya, menghormati hari terjadinya dan suasana yang meliputinya. Mengenai itu beliau telah menetapkan sendiri kaidahnya. Sebagaimana di riwayatkan dalam sebuah hadits, setiba Rasulallah di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram). Ketika beliau saw. menanyakan hal itu, dijawab: ‘Mereka (orang Yahudi) berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka (Musa as) dan menenggelamkan musuh mereka’. Mendengar itu Nabi saw. menjawab:
نَحْنُ أوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
Artinya: ‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)’. Beliau kemudian berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidup nya Nabi saw. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada perorangan (individu) yang memperingati maulid Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya, meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’.
Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf (terdahulu) dan yang belum pernah terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan harus ditolak. Masalah demikian itu harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’. Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin adalah haram. Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan tujuannya (niatnya).
Dalam peringatan maulid ini pasti dikumandangkan ucapan-ucapan shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Shalawat dan salam, keduanya ini dikehendaki oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat (melimpahkan rahmat dan ampunan) kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bershalawat (mendo’akan rahmat) baginya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS.Al-Ahzab : 56).
Betapa banyak pahala kebaikan yang didapat oleh orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi, sehingga Rasulallah saw. sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan do’a beliau bagi orang dari umatnya yang bershalawat kepada beliau. Dalam peringatan Nabi itu pasti mencakup uraian mengenai riwayat-riwayat beliau, mu’jizat-mu’jizat beliau, sejarah kehidupan beliau dan pengenalan beliau akan berbagai segi kemuliaan beliau. Bukankah kita diharuskan mengenal beliau dan dituntut supaya berteladan kepada beliau serta mengimani Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang besar dan membenarkannya? Dikitab-kitab maulid banyak memaparkan semuanya itu.
Dengan selalu mengenal/mengingat keagungan perangai beliau serta mu’jizat-mu’jizat dan pembinaan serta tuntunan beliau pasti akan lebih menyempurnakan keimanan kita kepada beliau saw.. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada semua sifat yang ada pada beliau saw., pasti semuanya ini akan menambah kecintaan kita dan lebih menyempurnakan keimanan kita pada beliau sebagai Nabi dan Rasul. Kedua-duanya itu merupakan tuntunan syara’ dan upaya/jalan untuk bisa mencapai dua hal itu wajib kita lakukan. Allah swt berfirman: “Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud : 120)
Dari firman tersebut tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhammad saw. Sudah pasti, umat Islam terutama saat ini sangat memerlukan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup. Untuk itulah kita sangat membutuhkan kisah kehidupan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw..
Pada umumnya semua ulama dan kaum muslimin berpendapat tidak ada cara tertentu atau cara khusus bagi peringatan maulid Nabi saw. yakni tidak ada cara tertentu yang harus dilakukan orang. Sebab, tujuan pokok peringatan ini mengajak orang kepada kebaikan yang bermanfaat bagi mereka didunia dan diakhirat. Seumpama kita hanya menyatakan pujian-pujian dengan menyebut-nyebut junjungan kita Nabi Muhammad saw., baik mengenai keutamaanya, perjuangannya dan lain-ain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan maulid Nabi saw. Menurut hemat kami pengertian demikian itu tidak akan dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian.
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Maulidin Nabi saw.serta mengagungkan Nabi saw"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip