//

PERNIKAHAN YANG FASAKH BILA DILANJUTKAN TERHUKUM ZINA


PERNIKAHAN YANG FASAKH BILA DILANJUTKAN TERHUKUM  “ZINA”
 






Dari bahasan yang sudah, menjelaskan bahwa Wanita keturunan Ahlu-Bait Nabi Saw wajib setara nasab bila nikah dengan seorang lelaki, hal ini telah maklum menurut Jumhur Ulama 

(Syafi'i, Ahmad dan Hanafi), juga ditegas-kan oleh ulama dari kalangan keturunan Ahlu-Bait sendiri.

Apabila lelaki yang berjodoh dongan wanita Bani Zahra (keturunan Ahli-Bait) itu tidak setara nasabnya maka pernikahannya fasakh, bila masih juga terjalin maka berarti telah melakukan keharaman, namun Si pelaku atau yang terkait biasanya tidak mengetahui bahwa itu haram hukumnya atau paling tidak ia tepis kebenaran hukum keharaman tersebut, dianggapnya halal dengan dalih-dalih umum yang menurutnya tepat untuk itu.

Oleh karenanya bahkan
ada pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan yang terjalin antara wanita (keturunan) Ahlil Bait dengan lelaki yang bukan setara nasab dengannya adalah lebih buruk daripada perzinahan (Nauzu billah min dzalik).

Kalau zina jelas diketahui statusnya oleh umum bahwa terhukum dosa besar dengan memiliki sangsinya di dunia (hukuman dera atau rajam), zina apabila dilakukan oleh seseorang, mereka pasti menyadari bahwa hal itu terlarang dan dalam hati kecilnya akan menyadari bahwa ia telah melakukan kedurhakaan kepada Allah dan RasulNya. Dan zina itu bila dilakukan, yang berbuat maupun yang diperbuat akan merasakan malu, terusak kehormatannya baik bagi dirinya maupun bagi walinya.

Berbeda dengan pemikahan fasakh yang terus dilanjutkan hingga terjalin seperti pernikahan yang halal, maka ía terselubung tak ubahnya merupakan perzinahan yang direstui, atau zina yang dilakukan dengan suka sama suka (kerelaan), zina yang dilakukan atas nama pernikahan yang-halal, bila diridhai walinya berarti pula zina yang diridhai, namun bila tidak diridhai berarti disamping berzina juga telah durhaka kepada walinya. Alangkah keji dan nista perilaku -tindakan pernikahan seperti ini. (Nauzu billah min dzalik).
 
Kalau yang jelas-jelas zina tentunya dilakukan dengan sadar akan kesalahannya. Sedangkan pernikahan syarifah dengan lelaki yang bukan setara nasab dengannya merupakan zina yang dilakukan dengan terselubung anggapan baik, zina yang dilakukan dengan kerelaan dan keridhaan si pelaku atau yang diperlakukan. Pernikahan tersebut termasuk pula mengabaikan hak anaknya dari persambungan tali kefamilian kepada Rasul Saw., dan sebab Beliau Saw. Secara terang-terangan dilakukan lagi dibanggakan dengan mengatasnamakan pernikahan yang halal.


Hal tersebut tak ubahnya zina yang dilakukan secara sadar dan terang-terangan tanpa ada yang bisa mencegah dan mencelanya, bahkan menjadikan orang yang tidak mengerti menganggapnya baik (malah bisa lebih dipujinya lagi) tanpa mungkin untuk mencelanya. Apalagi bila yang melakukannya itu adalah seorang yang dianggap berilmu atau kyai,yang mungkin bagaikan amalannya Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar Ra.

Tidak jauh beda dengan ungkapan hadits Nabi Saw. Telah bersabda Rasuluilah Saw. :


"Bagaimanakah jadinya kamu bila seluruh orang mengeriafran yang mungkar dan melarang berbuat ma'ruf (yang mungkar dianggap ma'ruf sedang yang mairuf dianggap mungkarl ".
 
"nanti akan datang suatu masa yang mana pada masa itu terang-terangan perkara keji akan berlaku di jalan-jalan sehingga ada orang yang berkata kepada pelakunya "Ketepilah sedikit dari jalan ini (Karena mungkin ía mau melalui di situ), dan yang melakukannya, bukan saja orang-orang buruk perilakunya, malah ada juga yang datang dari golongan orang-orang seperti yang amalannya bagaikan amalan Sy. Abu Bakar dan Umar  RA, Hadits tersebut dapat ditafsirkan tak jauh bedanya pula dengan tindakan orang-orang yang melakukan dan melanjutkan pernikahan sedang pernikahan tersebut terhukum fasakh, atau batal (tidak sah), sama halnya ia terus melakukan zina.

Terhadap mereka ini hanya bisa berkata :
menjauhlah kamu dari orang-orang yang mentaati Rasul Saw. yang mana wanita-wanitanya menjaga, memelihara hubungan kefamilian keturunannya kepada Rasul Saw. dalam pernikahannya. sudah tentu dengan lelaki yang bersambung kefamilian kepada Rasul Saw. Karena kadangkalanya yang melakukan dan merestui itu adalah orang yang dianggap kyai atau berilmu tak ubahnya gambaran sepintas seperti Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar Ra.

Sehingga jelas tak ada yang bisa bertindak atau menghalanginya, atau juga menganggapnya dan menilainya sebagai pelanggaran, bahkan telah dianggap magruf (baik). (Nauzu Utah win dzalik)
 
Yang bisa kita lakukan adalah tidak merestuinya, tidak menghadiri serta tidak pula bergaul membenarkan perilaku durhaka tersebut. Selain itu kita juga berharap dan berdoa kiranya mereka ini mau menyadarinya dan mau bertaubat, berlepas diri dari kekeliruannya itu. Selebihnya jika tidak, Allah lah yang berhak atas mereka untuk bertindak atau lainnya. (Maka jika Allah barkehendak diampuninya, jika tidak dihukumnya). (Wallahu a'lam bis-shawaf).
 
Alasan-alasan Pendapat yang Mengatakan Pernikahan Tidak Sekufu Nasab bagi Bani Zahra Bila Terjalin Terhukum Zina, jika ditilik adalah:
 
1) Karena pernikahan tersebut terhukum fasakh bila tidak sekufu nasab lelaki dengan wanita keturunan Ahli-Bait Nabi Saw. Sedang hukum setara nasab baginya adalah wajib dalam menjaga hubungan kefamilian keturunan anaknya kepada Rasul Saw.
Pernikahan tersebut menunjukkan ketidaksukaannya dan ketidak ridhoannya pada QS. Al-Kautsar 3


"Sesungguhnya orang-orang yang membencimu itu, dialah yang terputus". (Terputus nasab keturunannya)." 
(lihat Asbabun Nuzulayat)

Padahal ayat itu turun sebagai penegasan Allah bahwa nasab keturunan Rasul Saw. tidak akan terputus begitu pula kenikmatan yang dikeruniakan Allah bagi Nabi Habibullah Muhammad Saw. Pernikahan wanita Bani Zahra dengan lelaki yang tidak sekufu nasab dengannya berarti menepis bahkan bertindak membenci akan hadits Nabi Saw. yang menerangkan tentang nasab dan sebab Beliau Saw. Walau kebenciannya ía tidak lakukan dengan lisannya namun melalui tindakan tersebut secara tidak sadar berarti juga membencinya atau meragukannya, atau sengaja dilakukannya.

Hadist-hadits itu adalah sebagai barikut :
Telah bersabda Rasuluilah Saw.

"Fathimah adalah bagian dari diriku, apa yang membuatnya marah, membuatku marah dan apa yang melegakannya melegakanku. Sesungguhnya semua nasab akan terputus pada hari kiamat, selain nasabku, sebabku dan menantuku" (HR. Ahmad dan Al Hakim, shahih)


Terputusnya nasab di hari kiamat nanti disebutkan oleh Rasul Saw. atas dasar firman Allah QS. Al mu'minun 101.

Diriwayatkan oleh At-Thabrany dari Jabir Ra. yang berasal dari Umar ibnul Khattab Ra.,
Rasulullah Saw. pernah bersabda :

"Setiap sebab dan nasab terputus pada hari kiamat kecuali sebab dan nasabku". (HR. Thabrany, berasal juga dari lbnu Abbas Ra. dari Umar Ibnul Khattab Ra. / Al-Haitsani menyebutkan dalam majmu' Az-Zawaid (9/ 173) terdapat juga dalam Al-Ausath dan Al-Kabir, perawinya dari kitab shahih)

Dari Umar bin Khattab Ra. :

 "Aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersanda "Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku den nasabku. semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka, kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab". (HR. Al-Bihaqi dan At-Thabrany)
 
Al-Hakim meriwayatkan dalam "Al-Mustadrak" dan Abu Ya'laa di dalam "Musnad"nya, Sayyidah Fathimah RA meriwayatkan ayahnya (Rasulullah Saw) bersabda :
 
"Semua anak Adam satu ushbah, kecuali dua orang putera Fathimah (Al-Hasan dan Al-HUsein), akulah wali dan ushbah mereka berdua (bersambung garis keturunannya dengan aku)". 


Menepis kesetaraan nasab bagi pernikahan wanita keturunan Ahli-Bait Nabi Saw.
bukan termasuk sifat tawadhu, bahkan sebagai sifat kesombongan yakni tidak mau menerima kebenaran hukum tersebut disamping meremehkan Rasulullah Saw, juga Sayyidah Fathimah radhiallahu anha termasuk tidak memelihara amanat bagi anak keturunannya.


Termasuk orang yang tidak mengkhawatirkan ancaman Allah lewat RasulNya,
bagi orang yang memutuskan tali kefamilian anak kepada Rasul Saw. dan masa bodoh dengan ancaman bagi lelaki yang me-lakukan tindakan tersebut akan tampak dihitamkan wajahnya kelak, namun direlakan wanita tersebut sebagai suaminya (di dunia). 

Bersabda Rasulutlah Saw :

" ...Maka celakalah orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka (keturunanku) dan memutuskan hubunganku dengan mereka, Allah tiada akan menurunkan syafa'atku kepada orang-orang seperti itu" (HR. Thabrany, Ar-Rifa'iy, dan Aimmah Mazahib)

Bersabda juga Rasul Saw.
"Barang siapa tidak berlaku baik terhadap keluaragaku sepeninggalku, ia akan dipendekkan umurnya (tidak berkah), dan pada hari kiamat akan dihadapkan kepadaku mukanya hitam" (HR. Ad-Dailami)
 
Mereka yang menjalin perkawinan tidak sekufu nasab dengan wanita (keturunan) Ahli-Bait Nabi Saw. adalah orang yang tidak memperhatikan wasiat Rasul Saw. tentang keluarganya, sebagaimana Al- Bukhari mengetengahkan dalam sebuah hadits shahih dari ucapan Abu Bakar Ra. :

"Jagalah (wasiat) Muhammad (Saw.) mengenai Ahli Beitnya".
 
Mereka yang menghalalkan keharaman bagi keturunan Rasul Saw. yang telah diharamkan Allah baginya, adalah termasuk enam golongan yang dapat laknat Allah dan pare nabi As. Sebagaimana disebutkan dalam hadits sebagai berikut :
 

".... (6) Dan orang-orang yang menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan Allah mengenai keturunanku (Itrah Rasulullah Sae) (HR. At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, Ad-Dailami, Al-Khatib dalam Kitab Al-Jami')
 
Tingkah / tindakan pernikahan tersebut, bukan sifat dari orang beriman (yang sempuna imannya) karena lebih mencintai diri pribadi daripada mencintai Rasul Saw., keluarga dan keturunannya, lebih mendahulukan kepentingan diri dari menjaga dan memelihara hubungan kefamilian Rasul Saw. Wanita tersebut secara tidak langsung lebih mencintai lelaki yang tidak setara nasab dengannya, lebih mencintai kefamiliannya dari pada kefamilian kepada Rasulullah Saw. Padahal ada hadist Nabi Saw. : Bahwa Rasul pernah bersabda :

" Tidaklah beriman seorang hamba Allah hingga ia lebih mencintai aku dari pada dirinya, lebih mencintai keturunanku deripada keturunannya sendiri, lebih mencintai keluargaku deripada keluarganya sendiri, dan lebih mencintai Dzatku dari pada Dzatnya sendiri".
(HR. Thabrani, Al-Baihaqi, dan Ad-Dailami).
 
Wanita tersebut bila tidak benar-benar bertaubat berarti sungguh ia tidak mencintai keturunan Rasul Saw., terutama bagi yang ada kesempatan perubahan sikapnya, masih memiliki kemampuan mensucikan diri dan bercerai dari kadurhakaannya selama ini. Sebab terbukti ia berkhianat memutuskan hubungan nasab anaknya kepada Rasul Saw. Cinta kepada anak-anaknya dari hasil pernikahannya dengan lelaki yang tidak setara nasab dengannya adalah cinta layaknya seorang ibu, namun bukan merangkap cintanya kepada keturunan Rasul Saw.

Bila setelah ia mengetahui kekeliruannya serta kebodohannya selama ini, tetapi masih tetap saja meneruskan atau bertahan, bahkan menolak dan menepis dengan berbagai kata-kata yang tidak layak, maka sungguh di khawatirkan sekali dapat termasuk orang-orang yang benci dan menghinakan Rasul Saw. atau keturunan Nabi Saw. (nauzu billah min dzalik)


Janganlah terhalang taubatmu, oleh sebab engkau telah mendapatkan anak atau sayang melepaskan anak-anakmu dari hasil pernikahanmu yang fasakh itu (menurut Jumhur dan ulama Ahli-Bait Nabi Saw.). Janganlah engkau terhalang pemisahan diri oleh sebab keprihatinan terhadap lelaki jodohmu yang tidak halal itu (yang tidak setara nasab denganmu itu).
sungguh seharusnya lebih prihatin dan khawatir juga sayang padanya bila sampai berlanjut hal yang dilarang itu atau subhat itu. Suruhlah ia menyadarinya dan ridho serta mau metepaskan kedurhakaan itu dengan berusaha pula (kalau mampu) mempertemukan pasangan nasabnya (yang halal) denganmu guna menjaga, mengembalikan hubungan kefamilian kepada Rasul Saw. untuk anakmu dari sebabnya. Hal ini sebagai langkah taubatnya di samping ia berusaha memperbanyak kebajikan dan keshalihatan.

Janganlah engkau wahai wanita (keturunan) Ahlu-Bait Nabi Saw. merasa ragu tentang hukum wajib setara nasab dalam pernikahanmu, karena memang sudah selayaknya dan seharusnya menjaga kemuliaan dan kehormatan dirimu berarti engkau menjaga dan memuliakan kehormatan Rasulullah Saw., yang berarti pula memelihara dan memuliakan kehormatan Islam (hurumati Islam).


Penempatan hukum tersebut merupakan tindak lanjut rasa syukur kepada Allah sekaligus sebagai amanat dari Allah Swt. yang harus dipelihara, dijaga dan dikembangbaktikan untuk terus meningkatkan ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Bukanlah hal itu sebagai kesombongan atau keangkuhan, karena Rasulullah Saw. sendiri memberitakan tentang keutamaan kekhususan baik bagi dirinya ataupun berkenaan dengan keluarganya, yang tidaklah disampaikan melainkan atas wahyu dari Allah Swt. dan sangat mustahil sekali Beliau menyampaikan itu untuk kesombongan atau keangkuhan.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abbas bin Abdul Mutthalib Ra. bahwa ketika sekelompok orang-orang Quraisy mengatakan perihal Nabi Saw.:
"Perumpamaan Anda (Nabi Saw.) sebagai pohon kurma yang tumbun pada tanah yang kotor (artinya perumpamaan Nabi Saw. seorang yang mulia tetapi berasal dari keturunan rendah)".

Maka Rasulullah Saw. menjawab :

"Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku berasal dari jenis kelompok manusia terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik dari itu, lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah. (HR. Tirmidzi, Hadits Hasan)
 
Perlu diketahui, anak yang lahir dari pernikahan wanita (keturunan) Ahlul-Bait dengan lekaki yang tidak setara nasab dengannya, yang terhukum fasakh, bila diteruskan tak ubahnya dengan zina, maka anak yang lahir dari dirinya tetaplah suci (fitrah) adanya yang berdosa atau bersalah itu adalah orang tuanya.

Status waris bagi anak tersebut kalau berdasarkan hukum fiqih umum tentunya ia masih mendapatkan waris. Jangankan itu, pernikahan yang durhaka tersebutpun dianggapnya sah/halal, padahal
menurut Jumhur dan ulama keturunan Ahlu-Bait yang arif billah wakhaufun billah walmuhibbin pernikahan tersebut fasakh / batal dan haram diteruskan, bila diteruskan berarti terhukum zina atau lebih buruk lagi. Maka anak yang lahir darinya itu tidaklah mewarisi atau menerima waris kecuali mendapatkan bagian dari wasiat, bila ada bagian wasiat untuknya.

sumber :

buku karya Habib Umar Muhdhor Syahab dengan judul “Tuntutan Tanggung Jawab Terhadap Ahlul Bait Dan Kafa’ahnya”

 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERNIKAHAN YANG FASAKH BILA DILANJUTKAN TERHUKUM ZINA"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip