PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN
- 2
oleh PROF.DR.SY. MUHAMMAD ALMALIKI
Pengertian
Tawassul
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut :
1. Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah SWT. Maksud sesungguhnya adalah Allah. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
2. Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
3. Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, niscaya ia musyrik.
4. Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman Allah yang artinya :
186.\"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka ( jawablah ), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi ( segala perintah-Ku ) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.\"
( Q.S.Al.Baqarah : 186 )
110. \"Katakanlah: \"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna ( nama-nama yang terbaik ) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.\" ( Q.S.Al.Israa\` : 110 )
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca Al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini. dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka. Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qaa’idah Jalilah fittawassul wal Wasilah”.
TITIK PERBEDAAN
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut :
1. Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah SWT. Maksud sesungguhnya adalah Allah. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
2. Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
3. Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, niscaya ia musyrik.
4. Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman Allah yang artinya :
186.\"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka ( jawablah ), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi ( segala perintah-Ku ) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.\"
( Q.S.Al.Baqarah : 186 )
110. \"Katakanlah: \"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna ( nama-nama yang terbaik ) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.\" ( Q.S.Al.Israa\` : 110 )
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca Al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini. dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka. Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qaa’idah Jalilah fittawassul wal Wasilah”.
TITIK PERBEDAAN
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan : Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad SAW, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali RA. Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu. Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. سبحانك هذا بهتان عظيم
DALIL-DALIL TAWASSUL
YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah berfirman :
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
Lafadz al-wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW
SEBELUM WUJUD DI DUNIA
Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW. Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam AS bertawassul dengan Nabi Muhammad. Dalam Al Mustadrok, Imam Al Hakim berkata : Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad Al ‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim Al Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits ‘Abdullah ibnu Muslim Al Fihri menceritakan kepadaku, ‘Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar RA, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda :
لما اقترف آدم الخطيئة قال : يارب ! أسألك بحق محمد لما غفرت لي, فقال الله : ياآدم ! وكيف عرفت محمدا ولم أخلقه ؟ قال : يارب ! لأنك لما خلقتني بيدك ونفخت فيّ من روحك
رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله , فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق اليك , فقال الله : صدقت يا آدم , إنه لأحب الخلق إليّ , أدعني
بحقه فقد غفرت لك , ولو لا محمد ما خلقتك
” Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepada-Mu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatan-Mu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “ Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama-Mu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “ Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepada Ku dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam Al Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi :
فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار
“Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu ( maudlu’ ) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda :
لما أصاب آدم الخطيئة رفع رأسه فقال : يارب ! بحق محمد إلا غفرت لي , فأوحى اليه :
وما محمد ومن محمد ؟ فقال : يارب ! إنك لما أتممت خلقي رفعت رأسي إلى عرشك فإذ عليه مكتوب : لا إله إلا الله محمد رسول الله , فعلمت أنه أكرم خلقك عليك إذ قرنت اسمه مع اسمك ,
فقال : نعم , قد غفرت لك , وهو اخر الأنبياء من ذريتك , ولو لاه ما خلقتك.
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.
KOREKSI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP
MAKNA PENGKHUSUSAN PADA HADITS
Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan pandangan positif yang mengindikasikan kecerdasan, kepandaian dan kebijaksanaan yang besar. Meskipun Ibnu Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan hadits Nabi menyangkut tema ini ( sesuai dengan informasi yang dimiliki pada saat itu ) tetapi ia mencabut pandangan ini dan menguatkan makna hadits, menginterpretasikannya dengan tafsir yang rasional, dan menetapkan kebenaran mak- nanya. Dengan fakta ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan keras mereka yang beranggapan kandungan hadits mengandung kemusyrikan atau kekufuran, dan mereka mengira bahwa kandungan makna hadits itu keliru dan sesat, serta mereka yang menilai bahwa kandungan hadits mencederai status tauhid dan pensucian. Anggapan-anggapan keliru ini tidak lain sekedar hawa nafsu, kebutaan, salah faham, dan kedangkalan fikiran. Semoga Allah senantiasa menerangi mata hati kita dan membimbing kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang menunjukkan jalan yang lurus.
Dalam Al-Fataawaa vol. XI hlm 96 Ibnu Taimiyyah menulis sbb :
Muhammad adalah junjungan anak Adam, makhluk paling mulia dan mulia di sisi Allah. Karena itu ada orang berpendapat bahwa karena beliau Allah menciptakan alam semesta atau kalau bukan karena beliau Allah tidak akan menciptakan ‘arsy, kursi, langit, bumi, matahari, dan bulan. Tapi pandangan ini bukanlah hadits Nabi, baik shahih atau dlo’if dan tidak ada seorang ulama pun yang mengutipnya sebagai hadits Nabi. Malah tidak juga bersumber dari para sahabat. Ungkapan ini adalah ungkapan yang pengucapnya misterius dan bisa ditafsirkan dengan benar, sebagaimana firman Allah yang artinya :
20. \"Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk ( kepentingan )mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang ( keesaan ) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.\" ( Q.S.Luqman : 20 )
32.\"Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan ( pula ) bagimu sungai-sungai.\" ( Q.S.Ibrahim : 32 )
32. Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan ( pula ) bagimu sungai-sungai.
33. Dan Dia telah menundukkan ( pula ) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar ( dalam orbitnya ); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.( Q.S.Ibrahim : 32-33 )
dan ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk untuk anak cucu Adam. Sudah maklum, bahwa di samping demi kepentingan anak cucu Adam, Allah memiliki hikmah-hikmah lain yang lebih besar dalam ayat-ayat tersebut. Namun, di dalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat yang tercakup di dalamnya.
Jika dikatakan : Allah melakukan sesuatu untuk sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya tidak ada hikmah lain. Demikian pula ucapan seseorang : Jika tidak karena ini maka Allah tidak akan menciptakan itu, bukan berarti tidak ada hikmah lain yang besar di dalamnya. Justru hal itu menyimpulkan bahwa jika dalam ungkapan tersebut yang dimaksud adalah anak cucu Adam yang shalih yang paling utama, yakni Muhammad, dimana penciptaan beliau adalah tujuan yang dicari dan hikmah yang besar yang lebih besar dari yang lain, maka kesempurnaan makhluk dan puncak kesempurnaan tercapai dengan Muhammad SAW. Dikutip dari kitab Fataawaa.
ANALISA PENTING TERHADAP PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH YANG RAIB DARI BENAK PARA PENGIKUTNYA
Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah, jauhnya visi dan dalamnya pemahaman beliau dalam memberikan interpretasi terhadap keistimewaan yang telah tersebar dan populer ini. dalam masalah ini terdapat hadits yang menggambarkan tawassul Nabi Adam, yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan dinilai shahih oleh mereka yang mengkategorikannya sebagai shahih, dinilai hasan oleh mereka yang mengklasifikasikannya sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar hadits yang menerimanya.
Cobalah dengarkan Ibnu Taimiyyah sendiri mengatakan, “Sesungguhnya pendapat ini memiliki sudut pandang yang benar.”
Di manakah posisi pendapat Ibnu Taimiyyah ini dari pendapat orang yang mendudukkan dan memberdirikan dunia, dan mengeluarkan mereka yang berpendapat seperti Ibnu Taimiyyah dari lingkaran Islam, menuduh mereka sesat dan musyrik atau bid’ah dan khurafat kemudian dengan bohong mengklaim sebagai pengikut madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah, padahal ia sungguh jauh dari Ibnu Taimiyyah dan salafiyyah. Tindakan negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan di atas saja. Justru yang jadi fokus adalah ia senantiasa bersama Ibnu Taimiyyah dalam semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang menyangkut pengagungan terhadap Rasulullah SAW atau menguatkan kemuliaan, keagungan dan kedudukan beliau. Karena dalam hal-hal ini ia akan ragu, berfikir dan merenung. Dari sini, akan tampak padanya sikap protektif terhadap status tauhid atau fanatisme terhadap tauhid. Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Aadhiim.
Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul
Hadits ketiga yang mendukung hadits tawassul Adam adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Al Mundzir dalam tafsirnya, dari Muhammad ibn ‘Ali ibn Husain AS, ia berkata, “Ketika Adam tertimpa kesalahan, ia sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril datang kepadanya dan berkata, “Wahai Adam, Apakah engkau mau aku tunjukkan pintu taubat yang Allah menerima taubatmu darinya?”
“Mau, wahai Jibril.”
“Berdirilah di tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Lalu agungkanlah Dia dan berikanlah Dia pujian. Karena tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi pujian.”
“Apa yang harus saya ucapkan, wahai Jibril?”
“Ucapkanlah : Tiada Tuhan kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup dan tidak akan mati. Di tangannya segala kebaikan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Selanjutnya akuilah kesalahanmu dan bacalah : Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat aniaya terhadap diriku sendiri dan berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan perantara kedudukan Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di sisi-Mu, agar Engkau mengampuni kesalahanku. Nabi bercerita, “Lalu Adam melakukan perintah Jibril. “Wahai Adam, siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya Allah.
“Ya Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya berdiri sebagai manusia sempurna yang bisa mendengar, melihat, berfikir dan merenung, maka saya melihat pada kaki ‘arsy-Mu terdapat tulisan : Dengan nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Muhammad utusan Allah. Karena saya tidak melihat nama malaikat muqarrab ( yang didekatkan ) dan Nabi rasul lain selain Muhammad, sesudah nama-Mu, maka saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk paling mulia di sisi-Mu. “Engkau benar, dan Aku telah menerima taubatmu dan telah mengampunimu.” Dikutip dari Al Durr al Mantsuur vol. 1 hlm. 146.
Muhammad ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu Bakr al Baqir, salah satu tabi’in terpercaya dan tokoh mereka. Enam Imam hadits ( al-Sittah ) meriwayatkan hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan lain-lain RA.
Hadits Pendukung Keempat untuk Hadits Tawassul
Hadits keempat pendukung tawassul Adam adalah hadits riwayat Abu Bakar al-Aajuri dalam Kitabu al-Syarii’ah. Ia berkata, “Harun ibn Yusuf al Tajir bercerita kepadaku.” Harun berkata, “Abu Marwan al-‘Utsmani bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata, “Abu ‘Utsman ibn Khalid menceritakan kepadaku dari ‘Abdirrahman ibn Abi Al Zinaad dari ayahnya, bahwa sang ayah berkata, “Salah satu kalimat yang dengannya Allah menerima taubat Adam adalah : Ya Allah, Sesungguhnya saya memohon dengan kemuliaan Muhammad padaMu. “Apa yang memberitahukanmu siapa Muhammad ?” “Ya Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu saya melihat ada tulisan pada ‘arsy-Mu : Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah. Maka saya tahu, ia adalah makhluk-Mu yang paling mulia.” Jawab Adam.
Sebagaimana diketahui penggabungan atsar ini pada haditsnya ‘Abdirrahman ibn Zaid membuat hadits ini kuat.
Sorga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw Memasukinya
Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah bahwa sorga haram dimasuki para Nabi sebelum dimasuki Nabi Muhammad sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibn al Khaththab RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :
الجنة حرمت على الأنبياء حتى أدخلها وحرمت على الأمم حتى تدخلها أمتي
“Surga diharamkan untuk para Nabi sampai aku masuk ke dalamnya dan diharamkan untuk semua ummat sampai ummatku masuk ke dalamnya.” HR Al Thabarani dalam al Awsath. Menurut al Haitsami isnad hadits ini hasan. Dikutip dari Majma’ul Zawaa’id vol. 10 hlm. 69.
Keterkaitan Alam Semesta dengan Nama Muhammad SAW
Salah satu contoh karunia Allah adalah menyebarnya nama Muhammad di al Mala’ al a’laa ( alam Malaikat muqarrabun ) sebagaimana terdapat dalam banyak atsar. Ka’ad ibn al Ahbaar berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan tongkat kepada Adam sebanyak jumlah para Nabi dan rasul. Lalu Adam mendatangi putranya, Syits dan berkata, “Anakku, engkau adalah penggantiku sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat ini dengan membangun ketaqwaan dan ikatan yang kokoh. Setiap kali engkau menyebut Allah, sebutkanlah selalu nama Muhammad. Karena aku melihat namanya tertulis pada kaki ‘arsy pada saat aku dalam kondisi antara roh dan tanah liat. Kemudian aku menjelajahi langit. Pada setiap tempat di langit aku melihat nama Muhammad tertulis padanya. Dan Tuhanku telah menempatkanku di sorga dan di sorga aku tidak melihat istana dan kamarnya kecuali tertera nama Muhammad di situ. Dan saya juga melihat namanya tertulis pada dada-dada bidadari, daun bambu belukar sorga, daun pohon thuba, daun sidratul muntaha, di tepi-tepi hijab dan di antara mata para malaikat. Perbanyaklah menyebut nama Muhammad karena para malaikat selalu menyebut namanya setiap waktu.” Al Mawaahib al Laduniyyah vol. 1 hlm. 187.
Dalam syarhnya Al Zurqaani mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Katsir.”
Saya katakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah menyebut hadits di atas. “Terdapat riwayat bahwa Allah SWT telah menulis nama Muhammad di atas ‘arsy, pintu, kubah, dan dedaunan sorga.” tulis Ibnu Taimiyyah.
Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan hadits-hadits di atas yang menjelaskan keagungan nama Muhammad dan ketinggaan nama beliau.
Dalam salah satu riwayat dari Ibnu al Jauzi dari Maysarah, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, kedua bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepad-Nya.” (Al Fataawaa vol. II hlm 150).
Manfaat-Manfaat Penting dari Hadits Tawassul Adam :
Dalam hadits di atas, menegaskan tawassul dengan Rasulullah SAW sebelum alam semesta mendapat kehormatan dengan keberadaan beliau dan bahwa tolok ukur keabsahan tawassul ialah bahwa orang yang dijadikan obyek tawassul harus memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, serta tidak disyaratkan ia masih hidup di dunia.
Dari hadits tersebut diketahui bahwa opini yang menyatakan tawassul dengan siapapun tidak sah kecuali saat ia masih hidup di dunia adalah pendapat orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat hidayah Allah.
Kesimpulan Dari Analisa Terhadap Status Hadits Tawassul Adam :
Kesimpulannya adalah bahwa hadits tersebut dikategorikan hadits shahih sebab eksistensi hadits-hadits pendukung, dan dikutip oleh elite-elite ulama dan para pakar ( aimmah ) hadits dan penghapalnya yang memiliki posisi luhur dan kedudukan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang kuat menyangkut assunnah annabawiyyah seperti Al Hakim, al Suyuthi, al Subki dan al Bulqini.
Hadits tersebut juga dikutip oleh Al Bulqini dalam kitabnya yang mensyaratkan tidak akan mengeluarkan hadits masudlu’, dan dikomentari oleh Al Dzahabi dengan, “Berpeganglah dengannya, karena kitab itu sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” ( dikutip dari Syarhul Mawahib dan kitab lain ).
Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah dan dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Fataawaa. Adapun pro kontra dari para ‘ulama menyangkut hadits tersebut bukanlah hal yang aneh. Karena banyak hadits yang menimbulkan polemik lebih besar dan mendapat kritikan lebih tajam.
Berangkat dari pro kontra ini, munculah karangan-karangan besar yang berisi argumentasi, penelitian, peninjauan, dan kecaman. Namun tidak sampai melontarkan tuduhan syirik, kufur, sesat, dan keluar dari lingkaran iman karena perbedaan menyangkut status salah satu dari beberapa hadits. Dan hadits tawassul Adam ini, termasuk hadits-hadits yang memicu perbedaan itu.
TAWASSUL ORANG-ORANG YAHUDI DENGAN NABI SAW
Allah berfirman yang artinya
89. \"Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon ( kedatangan Nabi ) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la\`nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.\" ( Q.S.Al.Baqarah : 89 )
Imam Al Qurtubi berkata “ Firman Allah : Walamma jaa’ahum, yakni orang Yahudi, Kitaabun yakni Al Qur’an, Min ‘indillahi mushoddiqun, sifat dari kitaabun. Diluar Al Quran boleh dibaca nashab sebagai hal. Pada mushaf Ubay dalam sebuah riwayat mushoddiqun dibaca nashab. Lima ma’ahum, yakni Taurat dan Injil dimana Alqur’an mengabarkan kepada orang Yahudi tentang isi kedua kitab tersebut. Wakaanu min qablu yastaftihuuna, yakni memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits Nabi memohon pertolongan dengan orang-orang muhajirin yang fakir ; lewat do’a dan sholat mereka. Dalam Al Quran terdapat ayat:
فعسى الله أن يأتي بالفتح أو أمر من عنده
\"Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan ( kepada Rasulnya ) atau suatu keputusan dari sisinya.\" ( Q.S.Al.Maaidah : 52 )
An Nashr bermakna membuka sesuatu yang tertutup dan Al Fathu merujuk kepada kecaman orang arab fatahtu albaaba.
An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi bersabda :
إنما نصرالله هذه الأمة بضعفائها بدعوتهم وصلاتهم وإخلاصهم
“Sesungguhnnya Allah menolong umat ini berkat orang-orang lemah mereka; sebab do’a, shalat dan keikhlasan mereka.”
An Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda :
أبغوني الضعيف فإنكم إنما تنصرون وترزقون بضعفائكم
“Carilah keridloanku dengan berbuat baik kepada orang lemah karena kalian mendapat pertolongan dan rizki hanya berkat mereka.”
Ibnu Abbas berkata : “Dahulu Yahudi Khaibar berperang dengan Ghothafan. Ketika kedua seteru ini bertemu, Yahudi kalah. Kemudian orang Yahudi berdo’a dengan ungkapan : “Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan kemulyaan Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan kepada kami akan Engkau keluarkan umtuk kami di akhir zaman guna menolong kami mengalahkan kaum Ghathafan.” Ibnu Abbas berkata : “Maka jika bertemu orang Ghathafan, orang Yahudi akan mengumandangkan do’a ini dan berhasil mengalahkan Ghathafan. Ketika Nabi Muhammad SAW telah diutus mereka malah mengingkarinya, Lalu turun firman Allah :
\" وكانو من قبل يستفتحون على الّذين كفروا \"
Yakni kafir kepadamu ya Muhammad sampai pada firman
\"فلعنة الله على الكافرين \"
( Tafsir Al Qurtubi vol. 2 hal. 26-27 )
TAWASSUL DENGAN NABI
SEWAKTU HIDUP DAN SESUDAH WAFAT
Dari ‘Utsman ibn Hunaif RA, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saat datang kepada beliau seorang lelaki tuna netra yang mengadukan kondisi penglihatannya. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,” katanya mengadu. Maka Rasulullah SAW bersabda :
ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم أسألك وأتوجه اليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة , يامحمد ! إني أتوجه بك إلى ربك فيجلى لي عن بصري , اللهم شفعه فيّ وشفعني في نفسي , قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه
لم يكن به ضر.
“Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah, “Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu dan dan tawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkan pandanganku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.” Utsman berkata, “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini adalah hadits yang isnadnya shahih, tetapi Al Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Versi Al Dzahabi status hadits itu shahih. Vol. I hlm. 519. al Turmudzi berkata dalam Abwaabu al Da’awaat pada bagian akhir dari Al Sunan, “Hadits ini adalah hadits hasan, shahih, dan gharib, yang tidak saya kenal kecuali lewat jalur ini dari hadits Abi Ja’far yang bukan Al Khathmi.
Menurut saya yang benar adalah bahwa Abu Ja’far itu Al Khathmi al Madani, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat-riwayat Al Thabarani, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Dalam Al Mu’jam, Al Tahabarani menambahkan bahwa nama Abu Ja’far adalah ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Ghimari dalam risalahnya “Ithaaful Adzkiyaa’” berkata, “Tidaklah logis jika para hafidh sepakat untuk menilai shahih sebuah hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi majhul ( misterius ) khususnya Al Dzahabi, Al Mundziri dan Al Hafidh.”Berkata Al Mundziri, “Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. ( Al Targhib, kitab al nawaafil, bab al targhib fi shalatilhajat vol. I hlm. 438 ).Tawassul tidak khusus hanya pada saat Nabi SAW masih hidup. Justru sebagian shahabat menggunakan ungkapan tawassul di atas sesudah beliau wafat. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Al Thabarani dan menyebutkan pada awalnya sebuah kisah sbb : seorang lelaki berulang-ulang datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif. Kepada Utsman ibn Hunaif ia mengadukan sikap Utsman ibn ‘Affan kepadanya. “Pergilah ke tempat wudlu, “ suruh ‘Utsman ibn Hunaif, “lalu masuklah ke masjid untuk sholat dua raka’at. Kemudian bacalah doa’ : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة , يامحمد ! إنيّ أتوجه بك إلى ربك فيقضي حاجتي , وتذكر حاجتك....! \"Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, saya bertawassul kepada Tuhanmu lewat dengan engkau. Maka kabulkanlah keperluanku.” Dan sebutkanlah keperluanmu….!Lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn Hunaif. Ia datang menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut oleh penjaga pintu. Dengan memegang tanggannya, sang penjaga langsung memasukkannya menemui Utsman ibn Affan. Utsman mempersilahkan keduanya duduk di atas permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu,” tanya Utsman. Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya kemudian Utman memenuhinya. “Engkau tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini.” kata Utsman, “Jika kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut Utsman. Setelah keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman ibn Hunaif dan menyapanya, “ Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Utsman ibn Affan sebelumnya tidak pernah mempedulikan keperluanku dan tidak pernah menoleh kepadaku sampai engkau berbicara dengannya. “Demi Allah, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman ibn Affan. Namun aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki buta yang mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar ?” kata beliau. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,”katanya. “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah do’a ini.” “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Kata Utsman ibn Hunaif. Al Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Al Thabarani.” Setelah menyebut hadits ini Al Thabarani berkomentar, “Status hadits ini shahih.” ( Al Targhib vol. I hlm. 440. Demikian pula disebutkan dalam Majma’ al Zawaid. Vol. II hlm. 279 ).Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Al Thabarani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far yang nama aslinya ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Utsman ibn Amr sendirian meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Abu Abdillah Al Maqdisi mengatakan, “Hadits ini shahih.”Kata penulis, “Ibnu Taimiyyah berkata, “Al Thabarani menyebut hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Utman ibn Umair sesuai informasi yang ia miliki dan tidak sampai kepadanya riwayat Rauh ibn Ubadah dari Syu’bah. Riwayat Rauh dari Syu’bah ini adalah isnad yang shahih yang menjelaskan bahwa Utsman tidak sendirian meriwayatkan hadits.” ( Qa’idah Jalilah fi al Tawassul wal Wasilah. hlm 106 ).Dari paparan di atas, nyatalah bahwa kisah di muka dinilai shahih oleh Al Thabarani Al Hafidh Abu Abdillah Al Maqdisi. Penilaian shahih ini juga dikutip oleh Al Hafidh Al Mundziri, Al Hafidh Nuruddin Al Haitsami dan Syaikh Ibnu Taimiyyah. Kesimpulan dari kisah di muka adalah bahwa Utsman ibn Hunaif, sang perawi hadits yang menjadi saksi dari kisah tersebut, telah mengajarkan do’a yang berisi tawassul dengan Nabi SAW dan memanggil beliau untuk memohon pertolongan setelah beliau wafat, kepada orang yang mengadukan kelambanan khalifah Utsman ibn Affan untuk mengabulkan keperluannya. Ketika lelaki itu mengira bahwa kebutuhannya dipenuhi berkat ucapan Utsman ibn Hunaif kepada khlaifah, Utsman segera menolak anggapan ini dan menceritakan hadits yang telah ia dengar dan ia saksikan untuk menegaskan kepadanya bahwa kebutuhannya dikabulkan berkat tawassul dengan Nabi SAW, panggilan dan permohonan bantuannya kepada beliau SAW. Utsman juga meyakinkan lelaki itu dengan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berbicara apa-apa dengan khalifah menyangkut kebutuhannya.
PENGGUNAAN LAIN
DANDUKUNGAN IBNU TAIMAIYYAH TERHADAPNYA
terdapat riwayat dari
Ibnu Abi al Dunyaa dalam kitab Mujaabi al Du’aa, ia berkata, “Abu Hasyim
bercerita kepadaku : “Saya mendengar Katsir ibn Muhammad ibn Katsir ibn Rifa’ah
berkata, “Seorang lelaki datang kepada Abdil Malik ibn Sa’id ibn Abjar. Lalu
lelaki itu menyentuh perut Abdil Malik dan berkata, “Dalam tubuhmu ada penyakit
yang belum sembuh. “Penyakit apa?” tanya Abdil Malik. “Bisul besar yang muncul
di dalam perut yang umumnya mampu membunuh penderita.” Jawab sang lelaki itu.
“Lelaki itu lalu berpaling.” Kata Katsir. “Allah, Allah, Allah Tuhanku, “ucap
Abdul Malik, “Aku tidak akan menyekutukan-Nya dengan siapapun. Ya Allah aku
bertawassul kepadamu dengan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai
Muhammad, aku bertawassul denganmu Tuhanmu dan Tuhanku. Semoga Allah merahmatiku
dari apa yang menimpa diriku. “Lelaki itu pun menyentuh perut Abdul Malik lalu
berkata, “Sungguh kamu telah sembuh. Tidak ada penyakit dalam tubuhmu.” Ibnu
Taimiyyah berkata, “Saya berpendapat bahwa do’a ini dan do’a semisal telah
diriwayatkan sebagai do’a yang dibaca oleh generasi salaf.” ( HR. Ibnu Taimiyah
dalam Qa’idah Jalilah hlm. 94 ). Sudah dimaklumi bahwa Ibnu Taimiyyah
menampilkan hadits ini dengan tujuan untuk menjelaskan maksudnya dan
mengarahkannya sesuai keinginannya sendiri. Namun yang penting bagi kami di
sini adalah bahwa ia menegaskan penggunaan generasi salaf terhadap do’a itu dan
tercapainya kesembuhan berkat do’a itu. Penegasannya dalam masalah inilah yang
penting bagi kami. Adapun komentarnya tentang hadits, itu adalah opininya
pribadi. Yang penting bagi kami hanyalah penetapan adanya nash, agar kami bisa
berargumentasi dengannya sesuai kehendak kami. Dan Ibnu Taimiyyah bebas untuk
berargumentasi sesuai seleranya. UPAYA-UPAYA YANG GAGALSebagian golongan Wahabi
ramai memberi komentar seputar hadits tawassul Adam, Utsman ibn Hunaif, dan
yang lain. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha menolak hadits itu. Mereka
berupaya keras, berdiskusi, berdebat, duduk, berdiri dan berteriak-teriak dalam
menyikapi masalah ini. Semua perilaku ini tidaklah berguna, karena betapa pun
mereka menolak hadits-hadits tentang tawassul, para tokoh mereka yang notabene
ulama besar yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual jauh di atas
mereka telah menyuarakan opininya. Seperti Al Imam Ahmad ibn Hanbal yang berpendapat
dibolehkannya tawassul seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan Al ‘Izz ibn
‘Abdissalam, dan Ibnu Taimiyyah sendiri dalam salah satu pendapatnya secara
khusus tentang tawassul dengan Nabi SAW. Akhirnya kemudian Syaikh Muhammad ibn
Abdil Wahhab yang menolak tuduhan orang yang menuduhnya memvonis kufur kaum
muslimin. Justru dalam Fataawaanya, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tawassul
adalah persoalan furu’ bukan prinsip. Pandangan Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu
Taimiyyah insya Allah akan dijelaskan dengan rinci dalam kitab ini.Syaikh Al
‘Allamah al Muhaddits Abdullah Al Ghimari telah menyusun sebuah risalah khusus
berisi kajian tentang hadits-hadits tawassul yang diberi nama Mishbaahu
al-Zujaajah fi Shalaati al Haajah. Dalam risalah ini, beliau menulis dengan
baik dan memberi informasi-informasi yang memuaskan dan cukup. TAWASSUL
DENGAN NABI SAW DI PELATARAN HARI KIAMATAdapun tawassul dengan Nabi SAW di
pelataran hari kiamat, maka tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar. Karena
hadits-hadits tentang syafa’at telah mencapai derajat mutawatir. Semua hadits
ini berisi teks-teks yang jelas menerangkan bahwa mereka yang berada di padang
mahsyar ketika merasa sudah terlalu lama berada di tempat itu dan merasa sangat
menderita, akan memohon pertolongan untuk mengatasi penderitaan itu dengan para
Nabi. Mereka memohon bantuan kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa kemudian Isa yang
mengarahkan mereka agar datang kepada junjungan para Nabi SAW. Sehingga ketika
mereka memohon pertolongan kepada beliau SAW, beliau segera mengabulkan
permohonan ini. “Syafa’at ini adalah untukku, syafa’at ini adalah untukku,”
ucap beliau. Selanjutnya beliau tersungkur bersujud sampai mendapat panggilan,
“Tegakkan kepalamu dan berilah syafa’at maka syafaatmu akan
diterima.” Hadits syafa’at ini telah mendapat konsensus dari para Nabi,
rasul dan semua orang mu’min dan merupakan ketetapan dari Allah Tuhan semesta
alam. Di mana mereka semua sepakat bahwa memohon pertolongan di saat mengalami
puncak krisis dengan orang-orang besar yang dekat dengan Allah adalah salah
satu kunci terbesar bagi munculnya kemudahan dan salah satu hal yang dapat
mengantarkan ridlo Allah.LEGALITAS TAWASSUL DALAM METODE SYAIKH IBNU
TAIMIYYAHDalam kitabnya Qa’idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, Ibnu
Taimiyyah, ketika berbicara tentang firman Allah : يا أيها الذين آمنوا
اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلةIa berkata, “Mencari wasilah ( mediator ) kepada
Allah hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertawassul kepada Allah dengan
beriman kepada Muhammad dan pengikut beliau. Tawassul model ini dengan keimanan
kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau hukumnya fardlu bagi setiap orang
dalam kondisi apapun baik lahir maupun batin, semasa hidup beliau atau sesudah
wafat, dan pada saat berada bersama beliau atau jauh dengan beliau. Tawassul
dengan iman kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau mengikat setiap orang
dalam situasi dan kondisi apapun setelah tegaknya hujjah atasnya dan juga tidak
gugur dengan alasan apapun. Tidak ada jalan menuju kemuliaan dan rahmat Allah,
serta selamat dari kehinaan dan adzab-Nya kecuali dengan tawassul dengan Nabi
Muhammad dan kepatuhan kepadanya. Nabi Muhammad adalah pemberi syafa’at semua
makhluk dan pemilik al-maqaam al-mahmuud (kedudukan terpuji) yang membuat iri
manusia periode awal dan akhir. Beliau adalah pemberi syafa’at yang paling
tinggi kedudukannya di sisi Allah. Allah berfirman mengenai Musa :
وكان عند الله وجيهاdan mengenai ‘Isa : وجيها في الدنيا والآخرةdan Nabi
Muhammad lebih tinggi kedudukannya dibanding para Nabi dan rasul lain. Tetapi
syafaat dan do’a beliau SAW hanya berguna bagi orang yang diberi syafaat dan
do’a oleh beliau. Orang yang didoakan dan diberi syafaat oleh beliau itu
bertawassul kepada Allah dengan syafaat dan doa beliau. Sebagaimana bertawassul
kepada Allah dengan doa dan syafaat beliau dan sebagaimana manusia bertawassul
kepada Allah di hari kiamat dengan doa dan syafaat beliau SAW. Dalam Al
Fataawaa al Kubraa Syaikh Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan sbb, “Apakah
boleh tawassul dengan Nabi SAW atau tidak?” Ia menjawab, “Alhamdulillah, adapun
tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat dan salam
kepadanya dan dengan doa serta syafaatnya dan sebagainya, menyangkut hal-hal
yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan orang-orang yang perbuatannya diperintahkan
agama berkaitan dengan beliau, maka tawassul seperti ini disyari’atkan menurut
kesepakatan ulama muslimin.”Menurut saya, dari pendapat Ibnu Taimiyyah biusa
ditarik dua point berikut :1. Seorang muslim yang taat, cinta kepada Rasulullah
SAW, meneladani beliau, dan membenarkan syafa’at beliau disyari’atkan untuk
bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan dan pembenarannya kepada beliau.Jika
kita bertawassul dengan Nabi Muhammad, maka Allah bersaksi bahwa sebenarnya
kita bertawassul dengan iman dan cinta kita kepada beliau, dan keutamaan serta
kemuliaan beliau. Inilah tujuan sesungguhnya dari tawassul. Tidak bisa tawassul
seseorang kepada beliau digambarkan selain dalam pengertian ini, dan tidak
mungkin dimaksudkan selain pengertian ini dari semua kaum muslimin yang
mempraktekkan tawassul. Hanya saja orang yang bertawassul kadang mengucapkan
dengan jelas maksud tawassul ini dan kadang tidak, karena berpijak pada maksud
sesungguhnya dari tawassul yang merupakan iman dan rasa cinta kepada beliau
SAW, bukan maksud yang lain.2. Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari
pandangan Ibnu Taimiyyah adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah
baginya untuk bertawassul kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat
keterangan bahwa beliau mendoakan ummatnya sebagaimana terdapat dalam banyak
hadits, di antaranya :Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Saat aku melihat Nabi SAW
sedang bersuka hati, saya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah
untukku!” Rasulullah pun berdoa : اللهم اغفر لعائشة ما تقدم من
ذنبها وما تأخر وما أسررت وما أعلنت , فضحكت عائشة حتى سقط رأسها في حجرها من
الضحك و فقال لها رسول الله : أيسرك دعائي , فقالت : وما لي لا يسرني دعائك , فقال
النبي : إنها لدعائي لأمتي في كل صلاة. “Ya Allah, ampunilah dosa
‘Aisyah, baik dosa yang telah lewat, dosa belakangan, yang disembunyikan dan
yang dilakukan dengan terang-terangan.” ‘Aisyah tertawa sampai kepalanya jatuh
ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku membuatmu bahagia?” tanya beliau. “Ada
apa gerangan denganku, tidak merasa bahagia dengan doamu?” jawab ‘Aisyah. “Do’a
itu adalah do’aku untuk ummatku yang kupanjatkan setiap sholat.” Lanjut
Nabi. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar. Para perawinya adalah para
perawi dengan kriteria yang ditetapkan hadits shahih, selain Ahmad ibn al Manshur
al Ramadi, yang notabene dapat dipercaya. ( dikutip dari Majma’ul Zawaaid ).
Karena itu, sah saja bagi setiap muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan
doa Nabi untuk ummatnya, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu
Muhammad telah mendoakan ummatnya dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya
bertawassul kepada-Mu dengan doa ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku
..dst.” Apabila ia mengucapkan doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar
dari ajaran yang telah disepakati para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah,
saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak
mengucapkan dengan jelas apa yang diniatkan dan tidak menjelaskan apa yang
telah menjadi ketetapan hatinya, yang merupakan maksud dan yang dikehendaki setiap
muslim yang tidak melebihi batas ini. karena orang yang bertawassul dengan Nabi
tidak memiliki tujuan kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan beliau
menyangkut rasa cinta, kedekatan dengan Allah, kedudukan, keutamaan, doa dan
syafaat. Apalagi di alam barzakh beliau mendengar shalawat dan salam dan
menjawab shalawat dan salam yang disampaikan dengan jawaban yang layak dan
relevan yakni membalas salam dan memohonkan ampunan. Berdasarkan keterangan
yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau : حياتي خير لكم
ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و
إن وجدت شرا استغفرت الله لكم. “Hidupku lebih baik buat kalian dan
matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan
percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan
kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan
ampunan kepada Allah buat kalian.” Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh
Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi SAW. Al Haitsami
menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits
shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para
perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan
nanti. Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah
SAW memohonkan ampunan ( istighfar ) untuk ummatnya. Istighfar adalah doa dan
ummat beliau memeperoleh manfaat dengannya.Terdapat keterangan dalam sebuah
hadits bahwa Nabi SAW bersabda : ما من أحد يسلّم عليّ إلا رد الله عليّ
وروحي حتى أرد السلام “Tidak ada satu pun orang muslim yang memberi
salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab
salamnya.” HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah RA. Imam Al Nawaawi berkata : Isnad
hadits ini shahih. Hadits ini jelas menerangkan bahwa beliau SAW
menjawab terhadap orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian yang
berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat
manfaat dari doa beliau ini. DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL DENGAN NABI
SAWVERSI AHMAD IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYYAHDi samping dalam sebagian tempat
dari kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyyah menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan
Nabi SAW tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat
berada di tengah-tengah para sahabat atau tidak. Diperkenankannya tawassul
dengan Nabi ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al Fataawaa al
Kubraa.Di samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Demikian pula,
salah satu hal yang disyari’atkan adalah tawassul dengan Nabi SAW dalam berdo’a
sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh Al
Turmudzi, “Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan seseorang untuk berdoa dengan
membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku bertawassul
denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk dipenuhi.
Terimalah, Ya Allah, syafaat Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi ini adalah
baik. Al Fataawaa vol. III hlm. 276.“Tawassul kepada Allah dengan selain beliau
SAW, baik disebut istighatsah atau bukan, saya tidak pernah mengetahui salah
seorang generasi salaf melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya hanya tahu
bahwa dalam fatwanya Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain Nabi SAW.
Adapun tawassul dengan Nabi SAW, maka terdapat hadits hasan dalam Al Sunan yang
diriwayatkan oleh Al Nasai, Al Turmudzi dan yang lain. Hadits tersebut adalah,
“Seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, mataku
terserang musibah, do’akanlah kepada Allah untukku,” ia memohon. “Berwudlu’lah
dan laksanakan shalat dua roka’at lalu bacalah, “Ya Allah, saya memohon
kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad,
saya memohon syafaat kepadamu dalam mengembalikan penglihatanku. Ya Allah,
terimalah syafaat Nabi-Mu untukku.” Jawab Nabi. “Jika kamu mempunyai keperluan
maka bacalah doa tadi.” Lanjut beliau. Lalu Allah pun mengembalikan
penglihatannya. Berangkat dari hadits ini Ibnu Taimiyyah mengecualikan tawassul
dengan Nabi SAW. Al Fataawaa vol. 1 hlm. 105.Dalam bagian lain Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam Ahmad berkata dalam Al
Mansaknya ( Buku tata cara ibadah / manasik ) yang ditulis untuk muridnya, Al
Marwazi, “Bahwasanya Nabi Saw bisa dijadikan sebagai obyek tawassul dalam
do’anya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul dengan beliau
adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak diperbolehkan
bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad dalam salah satu
riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi SAW, karena itu
diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” ( Al Fataawaa, vol. I hlm. 140
).DIPERBOLEHKAN TAWASSUL VERSI IMAM AL SYAUKANIAl Muhaddits Al Salafi Al Syaikh
Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Al Dlurr Al
Nadliid fi Ikhlaashi Kalimaati Al Tauhid mengatakan, “Adapun tawassul kepada
Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan
seorang hamba, maka Al Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam mengatakan, “bahwasanya
tidak boleh tawassul kepada Allah kecuali dengan Nabi SAW, jika hadits yang
menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai shahih.” Barangkali Syaikh
‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang dikeluarkan oleh Al Nasaa’i dalam
Sunannya dan Al Turmudzi , dan dikategorikan shahih oleh Ibnu Majah dan yang
lain bahwa seorang tuna netra datang kepada Nabi SAW ….dst. “Para ulama
memiliki dua pandangan berbeda menyangkut hadits ini :1. Tawassul adalah apa
yang diucapkan oleh Umar ibn Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu
mengalami paceklik, maka kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, hingga
akhirnya Engkau menurunkan hujan buat kita, dan kami bertawassul dengan paman Nabi
kami.” Hadits ini tercantum dalam Shahih al Bukhari dan kitab lain. Umar telah
mengatakan bahwa para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi SAW semasa hidup
beliau untuk memohon hujan kemudian mereka bertawassul dengan paman beliau,
Abbas sepeninggal beliau. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan
hujan sekiranya beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau adalah mediator
mereka kepada Allah, dan Nabi dalam konteks memohon hujan ini adalah orang yang
memberi syafaat dan berdoa untuk mereka.2. Bahwa tawassul dengan Nabi SAW bisa
pada saat beliau masih hidup, telah tiada, ketika beliau ada di tempat atau
tidak berada di tempat. Tidak samar lagi buat kamu bahwa telah nyata tawassul
dengan beliau semasa masih hidup dan juga tawassul dengan selain beliau
sepeninggal beliau berdasarkan ijma’ sukuti para sahabat. Karena tidak ada satu
sahabat pun yang menentang pendapat Umar ibn Khaththab dalam tawassulnya dengan
Abbas RA. Dalam pandangan saya sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan
tawassul hanya dengan beliau SAW, sebagaimana pendapat Syaikh ‘Izzuddin ibn
‘Abdissalam, berdasarkan dua faktor :1. Fakta yang telah saya sampaikan
kepadamu menyangkut adanya konsensus para sahabat.2. Bahwa tawassul kepada
Allah dengan orang-orang yang baik dan para ulama pada dasarnya adalah tawassul
dengan amal perbuatan mereka yang baik dan keistimewaan-keistimewaan mereka
yang utama. Karena seseorang tidak mungkin menjadi baik kecuali berkat amal
perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu
dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini memandang pada ilmu yang melekat padanya.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja telah nyata bahwa Nabi SAW
mengisahkan tentang tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu besar
yang masing-masing bertawassul kepada Allah dengan amal perbutan mereka yang
paling luhur kemudian batu itu pun bergeser. Seandainya tawassul dengan amal
perbuatan baik itu tidak boleh atau dikategorikan syirik sebagaimana penilaian
orang-orang yang ekstrem dalam masalah ini seperti Ibnu ‘Abdissalam dan yang
sependapat dengannya maka niscaya doa mereka tidak akan terkabul dan Nabi pun
tidak akan diam untuk mengingkari tindakan mereka setelah menceritakan kisah
mereka. Berangkat dari kenyataan ini engkau akan mengetahui bahwa ayat-ayat
yang dikemukakan mereka yang mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan
orang-orang shalih seperti :ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى\"Kami
tidak menyembah mareka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.\" ( Q.S.Az.Zumar : 3 )فلا تدعوا مع الله
أحدا\"Maka kamu janganlah menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (
menyembah ) Allah.\" ( Q.S.Al.Jin : 18 )له دعوة الحق والذين يدعون من دونه
لايستجيبون لهم بشيء\"Hanya bagi Allah-lah ( hak mengabulkan ) do\`a yang
benar.Dan berhala-behala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatupun bagi mereka.\" ( Q.S.Ar.Ra\`d : 14 )berada di
luar konteks. Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk beragumentasi atas
aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang berada di luar
persoalan. Karena ucapan mereka ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى
menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalnya sama sekali tidak
menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang alim itu memiliki keistimewaan
di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena
keistimewaannya tersebut. Demikian pula firman Allah فلاتدعوا مع الله أحدا ,
ayat ini melarang selain Allah dimintakan doa bersamaan dengan Allah seperti
mengatakan dengan Allah dan dengan Fulan. Sedang orang yang bertawassul dengan
orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Yang terjadi pada
dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih yang dilakukan
sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang terjebak dalam goa yang
tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka. Hal yang sama juga berlaku
pada ayat : له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيءKarena
kaum musyrikin berdoa kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan permohonan
mereka dan tidak berdoa kepada Tuhan yang akan mengabulkan permohonan mereka.
Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali
kepada Allah, ia tidak berdoa kepada yang lain dan tidak melibatkan yang lain
bersama Allah saat berdoa. Jika engkau telah mengetahui paparan di atas,
maka tidak samar bagimu untuk membantah dalil-dalil yang disampaikan kelompok
penolak tawassul, yang berada di luar konteks dari apa yang telah saya jelaskan
di atas sebagaimana argumentasi mereka dengan firman Allah : وما
أدراك ما يوم الدين , ثم ما أدراك ما يوم الدين ، يوم لاتملك نفس لنفس شيئا والأمر
يومئذ لله \"Tahukah kamu apa hari pembalasan itu ?Sekali
lagi,tahukah kamu apakah hari pembalasan itu ?( Yaitu )hari (ketika )seseorang
tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain .Dan segala urusan pada hari
itu dalam kekuasaan Allah.\" ( Q.S.Al.Infithaar : 17-19 )Karena ayat ini
hanya menunjukkan bahwa Allah SWT adalah penguasa tunggal di hari kiamat.
Selain Allah tidak memiliki apa-apa. Orang yang bertawassul dengan salah
seorang Nabi atau ulama tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan bertawassul
memiliki peran bersama Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa punya
keyakinan bahwa salah seorang hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki peran
demikian, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata. Demikian pula
berargumentasi atas diharamkannya tawassul dengan firman Allah :ليس لك من الأمر
شيء ، قل لا أملك لنفسي ضرا ولانفعا\"Tak ada sedikitpun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu.\"( Q.S.Ali \`Imran : 128 )Katakanlah :\"Aku
tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak ( pula )Kemanfaatan kepada
diriku.\"( Q.S.Yunus : 49 ) Karena kedua ayat ini mengindikasikan bahwa
Rasulullah SAW tidak memiliki peran apapun dalam urusan Allah dan bahwa beliau
tidak bisa memberi manfaat dan bahaya kepada dirinya, lalu bagaimana beliau
memberi manfaat dan bahaya kepada orang lain. Kedua ayat ini tidak mengandung
larangan tawassul dengan Nabi atau orang lain dari para Nabi, wali atau ulama.
Allah telah menjadikan buat Rasulullah SAW al Maqaam al Mahmud yakni maqam
syafa’ah paling besar, dan menunjukkan makhluk agar memohon kepada beliau
syafa’ah tersebut sekaligus berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi
dan berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima.” Perintah Allah ini terdapat
dalam kitab-Nya yang mulia bahwasanya syafaat tidak akan ada tanpa seizin Allah
dan hanya untuk mendapat ridla-Nya. Demikian pula argumentasi untuk menolak
tawassul dengan sabda Nabi SAW saat turun firman Allah :وأنذر عشيرتك
الأقربين\"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat.\"( Q.S.As.Syu\`araa : 214 )“Wahai Fulan, aku tidak memiliki
apa-apa dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti Fulan, aku tidak memiliki apa-apa
dari Allah untukmu.” Ungkapan ini tiada lain kecuali mengandung penjelasan
secara transparan bahwa Nabi SAW tidak mampu memberi manfaat orang yang
dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga tidak mampu memberi bahaya orang
yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan juga bahwa beliau tidak memiliki
apa-apa dari Allah untuk salah satu kerabatnya, apalagi orang lain. Semua orang
muslim mengerti akan hal ini. Dalam hadits ini tidak ada keterangan bahwa Nabi
SAW tidak dijadikan obyek tawassul kepada Allah. Karena tawassul adalah meminta
sesuatu kepada yang memiliki perintah dan larangan. Dalam tawassul orang yang
memohon hanya mengajukan di hadapannya sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya
do’a dari Dzat yang memiliki kekuatan tunggal untuk memberi dan menolak, yakni
Penguasa hari pembalasan. Demikianlah pandangan Imam Al Syaukani.SYAIKH
MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB BERPENDAPAT DIPERKENANKANNYA TAWASSULSyaikh Muhammad
ibn Abdul Wahhab pernah ditanya mengenai pendapat ulama dalam masalah istisqa’
: “Tidak apa-apa bertawassul dengan orang-orang shalih,” dan juga mengenai
ucapan Imam Ahmad : “Hanya Nabi SAW yang bisa dijadikan obyek tawassul.”
padahal para ulama berpendapat bahwa makhluk tidak bisa dijadikan obyek
tawassul ?”Syaikh menjawab, “Kedua pendapat ini memiliki perbedaan yang sangat
jelas. Polemik ini bukan tema yang sedang kami bicarakan. Adanya sebagian orang
yang memperbolehkan tawassul dengan orang-orang shalih dan sebagian
mengkhususkan tawassul dengan Nabi, dan mayoritas ulama melarang tawassul dan
menilainya makruh, adalah salah satu persoalan fiqh. Meskipun yang benar di
mata kami adalah pendapat mayoritas ulama, yakni kemakruhan tawassul. namun
kami tidak mengingkari orang yang melakukannya sebab keingkaran tidak perlu
dalam persoalan-persoalan yang berbasis ijtihad. Yang kami ingkari hanyalah
orang yang berdoa kepada makhluk melebihi berdoa kepada Allah dan orang yang
mendatangi kuburan seraya merengek-rengek didekat makam Syaikh Abdul Qadir atau
makam lain seraya berharap hilangnya kesulitan dan kesedihan serta diberi
kebahagiaan. Di manakah posisi orang seperti ini dari orang yang berdoa semata
kepada Allah tidak melibatkan siapapun tetapi ia berkata dalam doanya, “Ya
Allah, saya memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu, para rasul, atau hamba-hamba-Nya
yang shalih, atau ia datang ke sebuah kuburan yang telah dikenal atau tidak
untuk berdoa di tempat itu, namun ia hanya berdoa kepada Allah semata. Di
manakah posisi orang seperti ini dari keingkaran kami terhadap berdoa kepada
orang-orang mati. Demikianlah kutipan dari fatwa-fatwa Syaikh al-Imam
Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam kumpulan karya-karya, vol. III hlm. 68 yang
diterbitkan oleh Universitas Al Imam Muhammad ibn Sa’ud Al Islamiyyah dalam
pekan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab.Keterangan di atas menunjukkan tawassul
diperbolehkan oleh beliau. Paling jauh, tawassul dianggap makruh oleh beliau
dalam pandangan mayoritas ulama. Dan barang yang makruh itu bukan barang haram
apalagi dianggap bid’ah atau syirik. SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB
TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS ORANG YANG MENGKAFIRKAN ORANG-ORANG YANG
BERTAWASSULTerdapat keterangan dari Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dalam
risalah yang disampaikan kepada warga Qashim, keingkaran yang sangat dari
beliau atas orang yang menilainya telah mengkafirkan orang yang bertawassul
dengan orang-orang shalih. Beliau berkata, “Bahwa Sulaiman ibn Suhaim telah
melontarkan fitnah bahwa saya mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah
saya ucapkan dan kebanyakan hal-hal itu tidak pernah terlintas dalam benakku.
Diantaranya ; saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang
shalih ; saya mengkafirkan Imam Bushairi gara-gara ucapan beliau : Wahai
makhkuk paling mulia, dan bahwa saya membakar kitab Dalailul Khairat.”Jawaban
saya atas segala tuduhan di atas adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun
‘Adhiim.Dalam risalah lain yang beliau persembahkan untuk warga Majma’ah
terdapat dukungan terhadap pandangan beliau di atas. Beliau berkata, “Jika
persoalan ini sudah jelas. Maka masalah-masalah yang mendapat stigma negatif
dari Sulaiman ibn Suhaim, diantaranya ada yang merupakan kebohongan besar,
yakni perkataanku bahwa saya telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan
orang-orang shalih dan bahwa saya telah mengkafirkan Imam Bushairi dan
sebagainya. Selanjutnya beliau berkata, “Jawaban saya atas tuduhan-tuduhan di
muka adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.Lihat risalah yang pertama dan
ke sebelas dari risalah-risalah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab bagian kelima
: 12 hlm 64.TAWASSUL DENGAN JEJAK-JEJAK PENINGGALAN NABI SAWAdalah sebuah
kenyataan bahwa para sahabat memohon berkah dengan peninggalan-peninggalan
beliau SAW. Memohon berkah ini tidak ada lain kecuali memberikan satu
pengertian. Yakni bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan beliau kepada
Allah SWT, sebab tawassul bisa dilakukan dengan beragam cara bukan cuma
satu.Apakah kamu kira para sahabat hanya bertawassul dengan jejak-jejak
peninggalan beliau, tidak dengan sosok beliau sendiri ?Apakah logis jika cabang
bisa dijadikan obyek tawassul tapi yang pokok tidak ? Apakah logis, jika
jejak peninggalan beliau yang kemuliaannya disebabkan pemiliknya, Muhammad SAW
bisa dijadikan obyek tawassul, kemudian ada seseorang berkata, “Sesungguhnya
beliau SAW tidak bisa dijadikan obyek tawassul.” Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun
‘Adhiim.Nash-nash menyangkut tema ini sangatlah banyak jumlahnya. Namun kami
hanya akan menyebut nash yang paling populer. Amirul Mu’minin Umar ibn Al
Khaththab sangat berambisi untuk dimakamkan di samping makam Rasulullah. Saat
ajalnya menjelang tiba, ia mengutus anaknya, Abdullah untuk meminta izin kepada
Sayyidah ‘Aisyah agar bisa dikubur di samping makam beliau SAW. Kebetulan
‘Aisyah menyatakan keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi kuburanku,
dan saya akan memprioritaskan Umar untuk menempatinya,” kata ‘Aisyah. Abdullah
pun pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya. “Alhamdulillah,
tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap Umar. Kisah ini
secara detail bisa dilihat di Shahih Al Bukhari. Lalu apa arti keinginan besar
dari ‘Umar dan ‘Aisyah ? Mengapa dimakamkan di dekat Rasulullah menjadi
hal yang sangat diinginkan oleh Umar ? Hal ini tidak bisa dipahami kecuali
semata-mata tawassul dengan Nabi SAW sesudah wafat seraya mengharap keberkahan
dekat dengan beliau. Ummu Sulaim memotong mulut geriba yang beliau meminum
dari wadah itu. Anas berkata, “Potongan mulut geriba itu ada pada kami.”Para
sahabat berebut untuk memungut sehelai rambut kepala beliau, saat beliau
mencukurnya. Asma’ binti Abi Bakr menyimpan jubah beliau dan berkata,
“Kami membasuhnya untuk orang-orang sakit dengan harapan memohon kesembuhan
dengannya.” Cincin Rasulullah, sepeninggal beliau, disimpan oleh Abu Bakr,
Umar dan Utsman. Dan jatuh ke sumur dari tangan Utsman. Semua
hadits-hadits di atas nyata ada dan shahih sebagaimana akan kami jelaskan dalam
bahasan memohon keberkahan ( tabarruk ). Yang ingin saya katakan adalah ada apa
dengan perhatian para sahabat terhadap jejak-jejak peninggalan Nabi SAW ?
(mulut geriba, rambut, keringat, jubah, cincin, dan tempat shalat). Apa maksud
perhatian mereka terhadapnya ? Apakah hanya sekedar kenangan, tidak lebih dan
tidak kurang, atau hanya menjaga benda-benda peninggalan bersejarah untuk
disimpan di museum ? Jika alasan pertama sebagai jawaban, lalu mengapa mereka
sangat menaruh perhatian dengannya ketika berdoa dan mendekatkan diri kepada
Allah saat tertimpa musibah atau penyakit ? Jika alasan kedua sebagai jawaban,
lalu di manakah museum itu berada dan dari mana ide baru itu sampai kepada
mereka ? Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim. Jika kedua jawaban di atas
salah berarti yang tersisa adalah harapan mereka akan keberkahan dengan
jejak-jejak peninggalan Nabi SAW untuk dijadikan obyek tawassul kepada Allah
saat berdoa. Karena Allah adalah Dzat Pemberi dan tempat meminta. Semua makhluk
adalah hamba-Nya dan di bawah kendali-Nya, yang tidak bisa memberi apapan
kepada diri mereka sendiri apalagi orang lain kecuali atas izin
Allah. TAWASSUL DENGANJEJAK-JEJAK PENINGGALAN PARA NABI ASAllah
berfirman : وقال لهم نبيهم إن آية ملكه أن يأتيكم التابوت فيه سكينة من
ربكم وبقية مما ترك آل موسى وآل هارون تحمله الملائكة إن في ذلك لآية لكم إن كنتم
مؤمنين . Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka : \"Sesungguhnya
tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya
terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan
keluarga Harun, tabut itu dibawa oleh malaikat.Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.\" (
Q.S.Al.Baqarah : 248 )Dalam Al Tarikh, Ibnu katsir mengatakan, “ Ibnu Jarir
mengatakan Menyangkut tabut dalam ayat di atas, “Dahulu Bani Israil jika
berperang dengan salah seorang musuh maka mereka senantiasa membawa tabutulmitsaq
( peti perjanjian ) yang berada dalam qubbatuzzaman sebagaimana telah
dijelaskan di muka. Mereka mendapat kemenangan sebab keberkahan dari
tabutulmitsaq itu dan sebab kedamaian dan sisa-sisa peninggalan Nabi Musa dan
Harun yang berada di dalamnya. Ketika dalam salah satu peperangan mereka
melawan penduduk Ghaza dan ‘Asqalan, musuh berhasil mengalahkan mereka dan
merebut tabutulmitsaq dari tangan mereka.” Ibnu Katsir berkata, “Dahulu
Bani Israil mengalahkan musuh-musuhnya berkat tabutulmitsaq, yang di dalamnya
ada bokor dari emas yang digunakan untuk membasuh dada para Nabi.” ( Al Bidayah
vol. II hlm. 8 ).Dalam tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan, “Di dalam tabut itu
ada tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua papan dari Taurat dan beberapa
baju Nabi Harun, sebagian ulama berpendapat di dalamnya ada tongkat dan
sepasang sandal.” ( Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313 ).Dalam versi Al
Qurthubi : Salah satu profil mengenai Tabut adalah bahwa ia diturunkan Allah
kepada Adam. Tabut tersebut tetap berada di tangan Adam sampai akhirnya berada
di tangan Ya’qub. Selanjutnya ia berada di tangan Bani Israil, yang dengannya
mereka mampu mengalahkan orang yang menyerang mereka. Ketika mereka durhaka
kepada Allah, mereka dikalahkan oleh kaum raksasa yang juga merebut tabut tersebut.
( Tafsir Al Qurthubi vol. III hlm. 247 ). Fakta tentang Tabut ini
sejatinya tidak lain adalah bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan para
Nabi. Karena tidak ada artinya meletakkan Tabut di depan mereka kecuali
dipahami sebagai bentuk tawassul. Allah SWT sendiri meridloi tawassul seperti
ini dengan bukti Dia mengembalikannya kepada mereka dan dijadikan sebagai
indikasi atas keabsahan Thalut menjadi raja. Allah tidak pernah mengingkari
perlakuan mereka terhadap Tabut.TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN
KEMULIAAN PARA NABI DAN SHOLIHINDalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari
Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah
SAW menggali liang lahatnya dengan tangganya sendiri dan mengeluarkan tanahnya
dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi
miring di dalamnya , lalu berkata : الله الذي يحيى ويميت وهو حيّ لا
يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء
الذين من قبلي فلنك أرحم الراحمين , وكبّر عليها أربعا وأدخلوهااللحد هو والعبّاس
وأبو بكر الصديق رضي الله عنهم.“Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia
hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah,
lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku.
Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah kemudian
mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA
memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam al Kabir dan al Awsath.
Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh
Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain
di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. ( Majma’ul Zawaaid
vol. 9 hlm. 257 ). Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status
Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban
memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim
adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai
shahih. Demikian pula Al Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid. Perawi hadits ini
sesuai dengan kriteria perasi hadits shahih.Sebagaimana Thabarani, Ibnu ‘Abdil
Barr juga meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari
Jabir, dan juga diriwayatkan oleh Al Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur
periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh dan mantap, antara
sebagian dengan yang lain. Dalam Ithaafu al Adzkiyaa’ Syaikh al Hafidh al
Ghimari hlm 20 menyatakan, “Rouh ini kadar kedloifannya tipis versi mereka yang
menilainya lemah, sebagaimana dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits.
Karena itu Al Hafidh Al Haitsami menggambarkan kedloifan Rouh dengan bahasa
yang mengesankan kadar kedloifan yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh
orang yang biasa mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari
kategori hasan, malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban
diklasifikasikan sebagai hadits shahih. Bisa dicatat di sini bahwa para
Nabi yang Nabi SAW bertawassul dengan kemuliaan mereka di sisi Allah dalam
hadits ini dan hadits lain telah wafat. Maka dapat ditegaskan diperbolehkannya
tawassul kepada Allah dengan kemuliaan ( bilhaq ) dan dengan mereka yang
memiliki kemuliaan ( ahlulhaq ) baik masih hidup maupun sesudah wafat. TAWASSUL
NABI DENGAN KEMULIAAN PARA PEMINTA ( BI HAQQISSAAILIN )Dari Abi Said Al
Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW berkata : من خرج من بيته إلى
الصلاة , فقال : اللهم إنّي أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنّي لم أخرج
أشرا ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك ,فأسألك أن
تعيذني من النار , و أن تغفر لي ذنوبي , إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت , أقبل الله
بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك. “Siapapun yang keluar dari rumahnya untuk
sholat, seraya berdo’a : Ya Allah Sungguh saya memohon kepada-Mu dengan
kemuliaan para peminta kepada-Mu dan dengan kemuliaan langkahku ini, karena
saya tidak keluar untuk berfoya-foya, melakukan kesombongan, pamer atau mencari
prestise. Saya keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridlo-Mu. Saya memohon
kepada-Mu agar melindungiku dari neraka, dan mengampuni dosaku. Karena
sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau, maka Allah akan
menyambutnya dan 70.000 malaikat akan memohonkan ampunan untuknya.” Dalam
Al Targhib wa Al Tarhib vol. III hlm 119 AL Mundziri berkata, “Hadits di atas
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan isnad yang dikomentari ( fiihi maqaalun ).
Syaikhuna Al- Hafidh Abu Al Hasan mengklasifikasikan isnadnya sebagai
shahih. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Nataaijul Afkaar vol. I hlm 727
mengatakan, “Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu
Majah dalam Kitabuttauhid, dan Abu Nu’aim dan Ibnu Al Sunni. Al ‘Iraqi
dalam Takhriju Ahaaditsi Al Ihyaa’ vol. I hlm. 323 mengomentari hadits di atas
sebagai hadits hasan. Al Hafidh Al Bushairi dalam Zawaaid Ibni Majah yang
bernama Mishbaahu al Zujaajah vol. I hlm. 98 mengatakan, “Al Hafidh Syarafuddin
Al Dimyathi dalam Al Matjar Al Raabih hlm. 471 mengatakan bahwa isnad hadits di
atas itu, insya Allah hasan. Al Allamah Al Muhaqqiq Al Muhaddits Al Sayyid
‘Ali ibn Yahya Al ‘Alawi dalam risalah kecilnya Hidayatul Mutakhabbithin
menyatakan, “Bahwa Al Hafidh Abdul Ghani Al Maqdisi menilai hadits itu sebagai
hadits hasan dan Ibnu Abi Hatim menerimanya.” Dari fakta ini jelaslah bagi kamu
bahwa hadits di atas telah dinilai shahih dan hasan oleh sejumlah hafidz dan
imam besar hadits. Mereka adalah : Ibnu Khuzaimah, Al Mundziri dan gurunya Abu
Al Hasan, Al- ‘Iraqi, Al Bushairi ( bukan penyusun Burdah ), Ibnu Hajar, Al
Syaraf Al Dimyathi, Abdul Ghani Al Maqdisi, dan Ibnu Abi Hatim. Setelah
pendapat para pakar di atas terungkap, adakah ruang yang tersisa untuk
menampung ucapan seseorang. Apakah logis bagi orang yang berakal untuk membuang
penilaian para pakar hadits besar di atas dan mengambil ucapan mereka yang
tidak diundang menikmati hidangan hadits. أتستبدلون الذي هو أدنى بالذي هو
خيرMusa berkata : \"Maukah kamu mengambil sesuatu yang sebagai sesuatu
yang lebih baik ?( Q.S. Al.Baqarah : 61 )فإنها لاتعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب
التي في الصدور\" Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di- dalam dada.\"( Q.S.Al-Hajj : 46 )TAWASSUL
DENGAN KUBURAN NABI SAW ATAS PETUNJUK SAYYIDAH ‘AISYAHAl Imam Al Hafidh Al
Darimi dalam kitabnya Al Sunan bab Maa Akramahullah Ta’ala Nabiyyahu SAW ba’da
Mautihi berkata : Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibni Zaid bercerita
kepada kami, ‘Amr ibnu Malik Al Nukri bercerita kepada kami, Abu Al Jauzaa’ Aus
ibnu Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik
hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi SAW dan
buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang
antara kuburan dan langit,” perintah ‘Aisyah. Abu Al Jauzaa’ berkata, “Lalu
mereka melaksanakan perintah ‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga
rumput tumbuh dan unta gemuk ( unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu
disebut tahun gemuk ).” Sunan Al Daarimi vol. I hlm 43.Pembuatan lubang di
lokasi kuburan Nabi SAW, tidak melihat dari aspek sebuah kuburan tapi dari
aspek bahwa kuburan itu memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan
semesta alam. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan
karenanya berhak mendapat keistimewaan yang mulia.Takhrij al hadits : Abu
Nu’man adalah Muhammad ibn Al Fadhl yang dijuluki Al ‘Aarim, guru Imam Bukhari.
Dalam Al Taqrib, Al Haafidh mengomentarinya sebagai orang yang dipercaya yang
berubah ( kacau fikiran ) di usia tua. Pendapat saya kondisi di atas tidak
mempengaruhi periwayatannya. Sebab Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan
lebih dari 100 hadits darinya. Setelah fikirannya kacau, riwayat darinya tidak
bisa diterima. Pandangan ini dikemukakan oleh Al Daruquthni. Tidak ada yang
memberimu informasi melebihi orang yang berpengalaman. Al Dzahabi
membantah komentar Ibnu Hibban yang menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits
munkar ada padanya.” “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu
di manakah dugaannya ?” ( Mizaanul I’tidal vol. IV hlm. 8 ). Adapun Sa’id
ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur yang terkadang salah mengutip
kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik Al Nukri. Sebagaimana
penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam Al Taqrib.Ulama menetapkan bahwa
ungkapan Shaduuq Yahimu adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan
kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai lemah. ( Tadribu Al Raawi
). Adapun Abul Jauzaa’, maka ia adalah Aus ibn Abdillah Al Rib’i. Ia
termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al Bukhari dan
Shahih Muslim. Berarti sanad hadits di atas adalah tidak mengandung masalah,
malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik. Para ulama mau menerima
dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang
kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini. SAYYIDAH ‘AISYAH DAN SIKAP
BELIAU TERHADAP KUBURAN NABI SAWAdapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan
bahwa atsar di atas berstatus mauquf pada ‘Aisyah yang notabene shahabat
perempuan dan praktek shahabat itu bukan hujjah, maka jawabannya adalah bahwa
atsar tersebut meskipun opini ‘Aisyah namun beliau RA dikenal sebagai perempuan
yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota
Madinah di tengah para ulama shahabat. Dari kisah yang terkandung dalam atsar
ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘Aisyah Ummul
mu’minin mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah SAW senantiasa menyayangi
dan mensyafa\`ati ummatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan
memohon syafa\`atnya akan diberi syafa\`at oleh beliau, sebagaimana praktek
yang telah dilakukan Ummul mu’minin ‘Aisyah. Tindakan ‘Aisyah membuat lubang
pada tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara
kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka
mengkafirkan dan menuduh sesat. Karena ‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya
bukan termasuk mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar
kepada kemusyrikan. Kisah di atas membantah pandangan kalangan Wahabi dan
menegaskan bahwa Nabi SAW, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan ummatnya
sampai sesudah wafat. Adalah fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya
masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas
baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar
dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana
tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar. HR Ahmad. Al Hafidh Al Haitsami
menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits
shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim meriwayatkanya dalam Al
Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan
Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul
Zawaid vol. 4 hal. 7 ).‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan,
justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang
orang yang berada didekat kuburan mereka. Nabi bersabda kepada Mu’adz saat
diutus ke Yaman : فلعلك تمر بقبري ومسجدي\"Barang kali engkau akan
melewati kuburan dan masjidku ini.\" HR Ahmad dan Thabarani. Para
perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang
tidak pernah mendengar dari Mu’adz. ( Majma’uz Zaawaid vol. 10 hal. 55 ).
Kemudian Rasulullah SAW meninggal dunia dan Mu’adz mendatangi kuburannya sambil
menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahuai oleh ‘Umar ibnu Khattab. Lalu keduanya
terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid ibnu Aslam dari
ayahnya yang berkata : ‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis
di dekat kuburan Nabi. “ Apa yang membuatmu menangis ? tanya ‘Umar. ” Saya
mendengar hadits Rasulullah yaitu : اليسير من الرياء شرك\"Sedikit
dari riya adalah syirik.\" Hakim berkata, Hadits ini shahih dan tidak
diketahui tidak memiliki ‘illah. Adz Dzahabi sepakat dengan Hakim bahwa hadits
ini shahih dan tidak memiliki ‘illah. (Tersebut dalam Al Mustadrok vol.1 hal. 4
).Al Mundziri berkata dalam kitab At Targhib At Tarhib : Hadits di atas
diriwayat kan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim. Hakim berkata : Hadits ini
shahih dan tidak memiliki ‘illah, dan Al Mundziri sepakat dengan pandangan Al
Hakim. ( vol. 1 hal. 32 ).TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI SAW PADA ERA KHALIFAH
‘UMARAl Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu
Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita kepadaku
Abu ‘Umar ibn Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali, bercerita
kepadaku Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi
Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab
penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi SAW dan
berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu
banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi,dan
berkata : ائت عمر فاقرئه مني السلام وأخبرهم أنهم مسقون , وقال له : عليك
بالكيس الكيس“Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan
penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar : “Kamu harus
tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar !”. Lelaki itu pun
mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku, saya tidak
bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.”
Kata ‘Umar. ( Demikian perkataan Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. I
hlm. 91 pada Hawaaditsi ‘Aammi Tsamaaniyata ‘Asyaraa ). Saif dalam Al
Futuuh meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi bertemu Nabi SAW adalah Bilal
ibn Al Harits Al Muzani, salah seorang sahabat. Isnad hadits ini dalam
pandangan Ibnu Hajar Shahih. ( Shahih Al Bukhari Kitaabul Istisqaa’ / Fathul
Baari vol. II hlm. 415 ).Tidak seorang imam pun dari para perawi hadits di atas
dan para imam berikutnya yang telah disebutkan dengan beberapa karya mereka,
bahwa tawassul dengan Nabi SAW adalah tindakan kufur dan sesat dan tidak ada
seorang pun yang menilai matan ( teks ) hadits mengandung cacat. Ibnu Hajar al
‘Asqalani telah mengemukakan hadits ini dan menilainya sebagai hadits shahih dan
beliau adalah sosok yang kapasitas keilmuan, kelebihan dan bobotnya di antara
para pakar hadits tidak perlu dijelaskan lagi. TAWASSUL KAUM MUSLIMIN
DENGAN NABI SAW DALAM PERANG YAMAMAHAl Hafidh Ibnu Katsir menuturkan bahwa
slogan kaum muslimin dalam perang Yamamah adalah ucapan YAA
MUHAMMADAAH. Ibnu Katsir juga menulis sebagai berikut : Khalid ibn Al
Walid melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailamah dan bergerak
menuju Musailamah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada Musailamah kemudian
membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua barisan. Ia menyeru mengajak
duel. “Saya anak Al Walid Al ‘Aud, saya anak ‘Amir dan Zaid.” Lalu Khalid
mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana slogannya adalah YAA MUHAMMADAAH. (
Al Bidayah wa Al Nihayah vol. VI hlm. 324 ).
TAWASSUL DENGAN NABI
SAW PADA SAAT SAKIT DAN MENGALAMI MUSIBAH
Dari Al Haitsam ibn
Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah
mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang
lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas
dari ikatan.Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu
Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu
cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan
akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. ( Disebutkan oleh Ibnu
Taimiyyah dalam Al Kalim Al Thayyib pada Al Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm.
165 ). Tawassul menggunakan ungkapan Ya Muhammad adalah tawassul dalam bentuk
panggilan. TAWASSUL DENGAN FIGUR SELAIN NABI SAWDari ‘Utbah ibn Ghazwan dari
Nabi SAW, beliau berkata : إذا أضل أحدكم شيئا أو أراد عونا وهو بأرض ليس
بها أنيس فليقل : ياعباد الله أعينوني فإن الله عبادا لا نراهم.“Jika salah satu
dari kalian kehilangan sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia
berada di tempat tak berpenghuni, maka bacalah : Wahai para hamba Allah,
berilah aku pertolongan. Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak
mampu melihatnya.” Bacaan ini telah dibuktikan mujarab. Hadits ini diriwayatkan
oleh Al Thabarani. Para perawinya dikategorikan dapat dipercaya hanya saja ada
sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali tidak pernah berjumpa dengan
‘Utbah. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda : إن لله ملائكة في
الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر , فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة
فلبناد : \"أعينوني ياعباد الله !\"“Sesungguhnya Allah mempunyai para
malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang
dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah :
\"Bantulah aku, wahai para hamba Allah.\" Hadits ini diriwayatkan
oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya.Dari Abdullah ibn Mas’ud,
ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : إذا انفلتت دابة أحدكم بأرض فلاة
فليناد : \"ياعباد الله , احبسوا ! ياعباد الله , احبسوا !\" فإن لله
حاضرا في الأرض سيحبسه. “Jika binatang tunggangan kamu lepas di padang sahara,
maka berteriaklah : Wahai para hamba Allah tangkaplah, wahai para hamba Allah
tangkaplah !, karena ada malaikat Allah di bumi yang akan menangkapnya.” HR Abu
Ya’la dan Al Thabarani yang memberikan tambahan : وسيحبسه عليكم “Malaikat itu
akan menangkapnya untuk kalian.”Dalam hadits ini ada Ma’ruf ibn Hassan yang
statusnya lemah. Majma’ul Zawaaid wa Manba’ul Fawaaid karya Al Hafidh ibn ‘Ali
ibn Abi Bakr Al Haitsami Vol. X hlm. 132. Ini juga termasuk tawassul dengan
cara memanggil.Terdapat keterangan bahwa Nabi SAW setelah dua rakaat fajar
membaca : اللهم رب جبريل واسرفيل وميكائيل ومحمد النبي صلى الله عليه وسلم أعوذ
بك من النار“Ya Allah, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad, saya
berlindung kepada-Mu dari api neraka.”Al Nawawi dalam Al Adzkar mengatakan,
“Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Al Sunni . Setelah melakukan takhrij Al
Hafidh mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.” Syarhul Adzkaar karya Ibnu
‘Ilaan vol. II hlm 139.Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil, Mikail dan
Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi berkata,
\"Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dan
seterusnya….\"Ibnu ‘Ilan telah mengisyaratkan hal ini dalam Syarh Al
Adzkaar. “Tawassul kepada Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, terhadap ruh-ruh
yang agung,” katanya. Ibnu ‘Ilan dalam Syarh Al Adzkaar vol II hlm. 29 menegaskan
disyari’atkannya tawassul. Ia menyatakan seraya menta’liq hadits Allaahumma
Innii As’aluka bi Haqqissaailin, “Hadits ini mengandung tawassul dengan
kemuliaan orang-orang baik secara umum dari para pemohon / suka berdoa.
Disamakan dengan mereka adalah para Nabi dan rasul dalam kadar yang lebih.
MAKNA TAWASSUL ‘UMAR
DENGAN ABBAS. RA
Al Bukhari dalam kitab
Shahihnya menriwayatkan sebuah hadits dari Anas RA bahwa ‘Umar ibn Al Khaththab
– saat penduduk Madinah mengalami paceklik- memohon hujan dengan bertawassul dengan
‘Abbas ibn ‘Abdil Muththallib. Ia berkata, “Ya Allah, dulu kami bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi-Mu lalu Engkau turunkan hujan untuk kami. Dan sekarang
saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu. Maka mohon berilah kami
hujan.” Zubair ibn Al Bakkar meriwayatkan kisah ini, lewat jalur selain
Anas, lebih luas daripada riwayat pada Shahih Al Bukhari dalam Al Ansaab , yang
ringkasannya sebagai berikut : Dari Abdillah ibn ‘Umar, ia berkata, “Pada tahun
Ramadah / kelabu ( dengan dibaca fathah Ra’, disebut demikian karena banyaknya
debu beterbangan akibat kemarau panjang ), ‘Umar ibn Al- Khaththab memohon
hujan dengan bertawassul pada Al ‘Abbas ibn ‘Abdil Muththallib. Umar berbicara
di depan kaum muslimin, “Saudara sekalian, sesungguhnya Rasulullah SAW memandang
‘Abbas sebagaimana anak memandang orang tua. Maka, wahai saudara sekalian,
teladanilah Rasulullah menyangkut paman beliau ‘Abbas dan jadikanlah ia sebagai
mediator kepada Allah. Berdoalah wahai Abbas !”Di antara do’a Abbas adalah
: اللهم إنه لم ينزل بلاء إلا بذنب ولم يكشف إلا بتوبة , وقد توجه
القوم بي إليك لمكاني من نبيك وهذه أيدينا إليك بالذنوب ونواصينا إليك بالتوبة
فاشقنا الغيث واحفظ , اللهم نبيك في عمه.\"Ya Allah, sesungguhnya bencana
tidak menimpa kecuali akibat doa dan tidak hilang kecuali dengan bertaubat. Dan
masyarakat telah bertawassul denganku kepada-Mu karena kedudukanku di sisi
Nabi-Mu. Ini adalah tangan-tangan kami yang telah berbuat dosa kepada-Mu dan
inilah ubun-ubun kami yang ingin bertaubat kepada-Mu. Siramilah kami dengan air
hujan dan jagalah, ya Allah, Nabi-Mu menyangkut pamannya.\" Akhirnya
mendung laksana gunung turun hingga bumi menjadi subur dan masyarakat bisa
hidup. Mereka datang dan mengusap-usap ‘Abbas sambil berkata, “Selamat untukmu,
wahai pemberi siraman hujan tanah Haramain. “Demi Allah, Abbas ini adalah
mediator kepada Allah dan kedudukan di sisi Allah.” Dalam konteks ini ‘Abbas
ibn ‘Utbah putra saudara lelaki ‘Abbas menciptakan bait-bait syair, diantaranya
adalah :بعمى سقى الله الحجاز وأهله عشية يستقى بشيبته عمرBerkat pamanku, Allah
menyirami Hijaz dan penduduknya Di sore hari ‘Umar dengan ubannya memohon
hujan Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan : Dalam sebagian riwayat redaksinya
sebagai berikut : Langit melepaskan tali mulut geriba lalu datang dengan
mendung bak gunung-gunung hingga lubang-lubang rata dengan anak bukit, bumi
subur dan manusia bisa hidup. “Demi Allah, Abbas ini adalah mediator kepada
Allah dan kedudukan di sisi-Nya.” Hassan ibn Tsabit menyatakan :سأل الإمام وقد
تتابع جدابنا فسقى الغمام بغرة العبّاسعم النبي وصنو والده الذي ورث النبي بذاك
دون الناسأحيا الإله به البلاد فأصبحت مخضرة الأجناب بعد الياسSang Imam memohon
pada saat paceklik datang bertubi-tubi Akhirnya mendung menyiramkan
airnya berkat cahaya wajah AbbasPaman Nabi dan saudara ayah Nabi
Yang mewarisi beliau, bukan orang lainBerkat Abbas, Allah menghidupkan
negara Hingga sudut-sudut negara menjadi hijau sesudah meranaFadhl ibn
‘Abbas ibn ‘Utbah berkata :بعمى سقى الله الحجاز وأهله عشية يستقى بشيبته عمرتوجه
بالعباس في الجدب راغبا فماكر حتى جاء بالديمة المطرBerkat pamanku Allah
menurunkan hujan untuk Hijaz dan penduduknya Di saat sore hari, ‘Umar
memohon hujan dengan ubannya ‘Umar bertawassul dengan ‘Abbas pada musim
paceklik seraya memohon‘Umar belum beranjak pergi hingga hujan turun terus-menerusDalam
salah satu riwayat : orang-orang mendatangi Abbas sambil mengusap-usap kaki dan
tangannya seraya berkata, “Selamat untukmu, wahai orang yang menyirami tanah
Haramain.” Demikianlah keterangan dari Al Isti’ab karya Abdil Barr tentang
biografi Ibnu Abbas. Sebenarnya ‘Umar berhak memimpin kaum muslimin dalam
istisqa’. Namun ‘Umar melepas haknya dan mendorong ‘Abbas untuk istisqa’
sebagai bentuk penghormatan terhadap Rasulullah dan keluarga beliau dan
mempriotaskan paman beliau atas dirinya sebagai upaya maksimal dalam
bertawassul dengan Rasulullah. ‘Umar juga menganjurkan kaum muslimin untuk
menjadikan ‘Abbas sebagai mediator kepada Allah. Demikian pula ‘Umar menjadikan
‘Abbas sebagai mediator dengan memprioritaskannya untuk berdo’a dalam rangka
memposisikanya dalam posisi Rasulullah saat beliau masih hidup. Kemudian ‘Abbas
memohonkan hujan untuk kaum muslimin di tempat shalat ‘iid agar lebih maksimal
dalam memuliakan Nabi dan menyanjung keutamaan keluarga beliau SAW.‘Umar
mengkonfirmasikan dalam do’anya sebagai berikut : “ Ya Allah dulu kami
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, lalu Engkau memberi kami hujan. Dan kini
kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu, maka turunkanlah kami hujan. “
Yakni dulu kami bertawassul kepada Mu dengan keluarnya beliau bersama kaum
muslimin ke tempat shalat, do’a beliau SAW buat mereka dan shalat beliau
bersama mereka. Dan ketika hal ini tidak bisa kami realisasikan akibat wafatnya
beliau SAW maka saya mengajukan figur dari keluarga beliau agar do’a diharapkan
lebih diterima dan dikabulkan.Ketika ‘Abbas berdo’a ia bertawassul dengan
Rasulullah dimana ia berdo’a, “ Kaum muslimin bertaqarrub denganku karena
kedudukanku dari Nabi yakni hubungan familiku dengannya. Maka, jagalah Nabi-Mu
Ya Allah, menyangkut paman Nabinya yakni terimalah do’aku karena Nabi-Mu
SAW.Persoalan di atas menyangkut istisqa’ dan tidak ada relasinya dengan
tawassul yang menjadi tema diskusi kami dan terjadi pro kontra di dalamnya.
Fakta ini, adalah persoalan yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki dua
mata. Karena peristiwa di atas mengindikasikan dengan jelas fakta ini. Karena
penduduk Madinah tertimpa paceklik dan membutuhkan pertolongan dengan shalat
istisqa’. Shalat istisqa’ membutuhkan seorang imam yang memimpin shalat dan
mendo’akan mereka mereka serta menegakkan syi’ar islam yang dahulu telah
ditegakkan Nabi semasa hidup di dunia, sebagaimana syi’ar- syi’ar islam yang
lain seperti imamah, shalat jum’at dan khutbah, yang ketiganya merupakan
tugas-tugas taklifiyah yang tidak bisa dikerjakan oleh mereka yng berada di
alam barzah, akibat terputusnya taklif dan kesibukan mereka dengan sesuatu yang
lebih besar.Orang yang memahami dari ucapan amirul mu’minin bahwasanya ia
bertawassul dengan ‘Abbas – tidak dengan Nabi SAW karena ‘Abbas masih hidup sedang
Nabi telah wafat – berarti pemahamannya telah mati, dikuasai oleh prasangka,
dan memanggil kepada dirinya dengan kondisi lahiriah atau fanatisme yang
mendominasi pemikirannya. Karena ‘Umar tidak bertawassul dengan ‘Abbas kecuali
karena hubungan familinya dengan Rasulullah SAW . Hal ini bisa diketahui dalam
ucapan \`Umar : “Sesungguhnya saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu
maka mohon turunkan hujan kepada kami.” Dengan demikian, ‘Umar telah
bertawassul dengan Rasulullah dengan cara paling maksimal. Sungguh sangat
jauh dari kebenaran mereka yang memvonis musyrik seseorang yang bertawassul
dengan orang mati padahal mereka memperbolehkan tawassul dengan orang hidup.
Sebab jika tawassul dikategorikan kemusyrikan maka tidak akan diperbolehkan
baik dengan orang hidup atau mati. Bayangkan saja, bukankah meyakini ketuhanan
dan penyembahan kepada selain Allah dari Nabi, raja atau wali adalah tindakan
syirik dan kufur yang tidak diperkenankan baik dalam keadaan hidup atau sudah
mati. Apakah engkau pernah mendengar orang berkata, Bahwa meyakini
ketuhanan kepada selain Allah diperbolehkjan jika ia masih hidup. Jika telah
mati dikategorikan musyrik. Engkau telah mengetahui bahwa menjadikan orang
yang diagungkan sebagai mediator kepada Allah bukan berarti penyembahan
terhadap mediator itu kecuali jika orang yang bertawassul meyakini bahwa
mediator itu adalah tuhan, sebagaimana keyakinan para penyemabha berhala
terhadap berhala mereka. Jika tidak memiliki keyakinan demikian dan karena ia
diperintahkan Allah untuk menjadikan mediator maka tindakan ini berarti
penyembahan terhadap yang memberi perintah. KISAH AL ‘UTBI DALAM
TAWASSULAl Imam Al Hafidh Al Syaikh ‘Imadu Al Din Ibnu Katsir mengatakan,
“Sekelompok ulama, diantaranya Syaikh Abu Al Manshur Al Shabbagh dalam kitabnya
Al Syaamil menuturkan sebuah kisah dari Al ‘Utbi yang mengatakan, “Saya sedang
duduk di samping kuburan Nabi SAW. Lalu datanglah seorang A’rabi ( penduduk
pedalaman Arab ) kepadanya, “Assalamu’alaika, wahai Rasulullah saya mendengar
Allah berfirman : ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر
لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما \"Sesungguhnya jikalau mereka
ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasul-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.\" ( Q.S.An.Nisaa\` : 64 )Dan saya
datang kepadamu untuk memohonkan ampunan atas dosaku dan memohon syafaat
denganmu kepada Tuhanku.” Kata A’rabi. Selanjutnya A’rabi tersebut mengumandangkan
bait-bait syair :يا خير من دفنت بالقاع أعظمه فطاب من طيبهن القاع والأكمنفسي
الفداء لقبر أنت ساكنه فيه العفاف وفيه الجود والكرمWahai orang yang tulang
belulangnya dikubur di tanah datarBerkat keharumannya, tanah rata dan bukit
semerbak mewangiDiriku jadi tebusan untuk kuburan yang Engkau tinggal di
dalamnyaDi dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan kedermawananKemudian A’rabi
tadi pergi. Sesudah kepergiannya saya tertidur dan bermimpi bertemu Nabi SAW,
“Kejarlah si A’rabi dan berilah kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni
dosanya.”Kisah ini diriwayatkan oleh Al Nawawi dalam kitabnya yang populer Al
Idhaah pada bab VI hlm. 498. juga diriwayatkan oleh Al Hafidh ‘Imadu Al Din
Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang masyhur ketika menafsirkan ayat :ولو أنهم إذ
ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا
رحيما \"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon Ampun kepada Allah, dan Rasul-pun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.\" ( Q.S.An-Nisaa )Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah juga
meriwayatkannya dalam kitabnya Al Mughni vol III hlm. 556. Syaikh Abu Al Faraj
ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Syarh Al Kabir vol. III hlm. 495, dan Syaikh
Manshur ibn Yunus Al Bahuti dalam kitabnya yang dikenal dengan nama Kasysyaafu
Al Qinaa’ yang notabene salah satu kitab paling populer dalam madzhab Hanbali
vol. V hlm. 30 juga mengutip kisah dalam hadits di atas. Al Imam Al
Qurthubi, pilar para mufassir menyebutkan sebuah kisah serupa dalam tafsirnya
yang dikenal dengan nama Al Jaami’. Ia mengatakan, “Abu Shadiq meriwayatkan
dari ‘Ali yang berkata, “Tiga hari setelah kami mengubur Rasulullah datang
kepadaku seorang a’rabi. Ia merebahkan tubuhnya pada kuburan beliau dan
menabur-naburkan tanah kuburan di atas kepalanya sambil berkata, “Engkau
mengatakan, wahai Rasulullah !, maka kami mendengar sabdamu dan hafal apa yang
dari Allah dan darimu. Dan salah satu ayat yang turun kepadamu adalah :ولو أنهم
إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا
رحيما Saya telah berbuat dzolim kepada diriku sendiri dan saya datang
kepadamu untuk memohonkan ampunan untukku.” Kemudian dari arah kubur muncul
suara : “Sesungguhnya engkau telah mendapat ampunan.” Tafsir Al Qurthubi vol. V
hlm. 265.Kisah di atas adalah kisah Al ‘Utbi dan para ulama di muka-lah yang
telah mengutipnya . Baik kisah ini dikategorikan shahih atau dlo’if dari aspek
sanad yang dijadikan pijakan para pakar hadits dalam menentukan hukum hadits
apa saja, maka kami bertanya-tanya dan berkata : apakah para ulama di muka
telah mengutip kekufuran dan kesesatan ? atau mengutip keterangan yang
mendorong menuju penyembahan berhala dan kuburan ?Jiuka faktanya memang
demikian, lalu dimanakah kredibilitas mereka dan kitab-kitab karya mereka ?
Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Aadhiim. BAIT-BAIT AL ‘UTBI ATAS
JERUJI-JERUJI KUBURAN NABI SAWDua bait yang disenandungkan oleh a’rabi dan
diriwayatkan oleh Al ‘Utbi saat berkunjung kepada Nabi telah disebutkan di
muka, yaitu :Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datarBerkat
keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangiDiriku jadi tebusan untuk
kuburan yang Engkau tinggal di dalamnyaDi dalam kuburmu terdapat sifat bersih
dan kedermawananBerkat karunia Allah, bait-bait ini tertulis dalam almuwajjahah
alnabawiyyah al syarifah pada tiang yang terletak antara jeruji kamar Nabi yang
dapat dilihat oleh orang yang berada dalam jarak jauh atau dekat semenjak
ratusan tahun silam sampai pada era almarhum raja ‘Abdul ‘Aziz, raja Sa’ud,
raja Faishal, raja Khalid dan raja Fahd pemangku al haramaian al syarifain. Dan
atas izin Allah, berdasarkan instruksi khadimul haramain tulisan itu akan tetap
dilestarikan pada setiap yang tercantum di Masjid Nabawi dan tidak
menghilangkan peninggalan apapun dari masa lalu.KESIMPULANKesimpulan dari
paparan di atas adalah tidak disangsikan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki
kedudukan yang tinggi dan derajat yang luhur di sisi Allah. Lalu, faktor syar’i
atau logika apa yang menghalangi untuk bertawassul dengan beliau ? Apalagi ada
dalil-dalil yang menetapkan bolehnya bertawassul dengan beliau di dunia dan
akhirat. Saat bertawassul kami tidak memohon kepada selain Allah dan tidak
berdo’a kecuali kepada-Nya. Kami memohon kepada Allah dengan perantaraan
sesuatu yang dicintai Allah, apapun bentuknya. Suatu kali kami memohon kepada
Allah dengan perantaraan amal shalih, karena Allah mencintainya. Dan dalam
waktu yang lain kami memohon kepada-Nya dengan perantaraan makhluk-Nya yang Dia
cintai, sebagaimana dalam hadits tentang Nabi Adam yang telah disebutkan
sebelumnya, hadits tentang Fathimah binti Asad yang telah kami sebutkan dan
dalam hadits ‘Utsman ibn Hanif di muka. Adakalanya kami juga memohon kepada
Allah dengan perantaraan asmaul husna, sebagaimana dalam sabda Nabi SAW
: أسألك بأنك أنت الله“Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Engkau
adalah Allah”,atau dengan sifat-Nya atau tindakan-Nya seperti dalam hadits lain
: أعوذ برضاك من سخطك وبمعافتك من عقوبتك “Aku berlindung kepadamu
dengan perantaraan ridlo-Mu dari murka-Mu dan dengan perantaraan keselamatan-Mu
dari siksa-Mu.” Tawassul tidak terbatas pada ruang sempit sebagaimana
asumsi mereka yang keras kepala. Rahasia dari tawassul di atas adalah
bahwa segala sesuatu yang dicintai Allah sah untuk dijadikan obyek tawassul.
Demikian pula setiap orang yang dicintai Allah, baik Nabi atau wali. Hal ini
adalah sesuatu yang jelas bagi setiap orang yang memiliki fitrah yang baik dan
tidak bertentangan dengan logika serta nash. Justru akal dan nash saling
memperkuat dalam membolehkan tawassul. Dalam seluruh tawassul di muka, yang
diminta adalah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bukan Nabi, wali, orang
hidup atau orang mati. قل كل من عند الله فما لهؤلاء القوم لايكادون يفقهون
حديثاKatakanlah : \"Semuanya ( datang ) dari sisi Allah.\" Maka
mengapa orang-orang itu( orang munafik ) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun. ( Q.S.An-Nisaa : 77 )Jika tawassul diperkenankan
dengan amal shalih, lebih-lebih dengan Nabi SAW. Karena beliau adalah makhluk
paling utama sedang amal shalih termasuk makhluk, dan kecintaan Allah kepada
beliau lebih besar daripada kepada amal shalih dan yang lain. Sungguh aneh,
faktor apa yang menghalangi tawassul dengan Nabi SAW sedang teks hadits tidak
memberikan kesimpulan lebih dari bahwa Nabi SAW memiliki kedudukan di sisi
Allah, dan orang yang melakukan tawassul tidak menghendaki kecuali pengertian
seperti ini. barangsiapa mengingkari kedudukan Nabi SAW di sisi Allah, ia telah
kafir sebagaimana kami kemukakan sebelumnya.Walhasil, persoalan tawassul
mengindikasikan keluhuran dan kecintaan obyek yang dijadikan tawassul.
Bertawassul dengan Nabi pada substansinya adalah karena keluhurannya di sisi
Allah dan kecintaan Allah kepadanya. Hal ini adalah sesuatu yang tidak
diragukan lagi, di samping bahwa tawassul dengan amal shalih telah disepakati
bersama. Maka mengapa kita tidak mengatakan bahwa orang yang bertawassul dengan
para Nabi atau orang-orang shalih adalah bertawassul dengan amal perbuatan
mereka yang dicintai Allah, dan sungguh telah ada hadits tentang orang-orang
yang terjebak dalam goa, sehingga dicapai titik temu dari dua pandangan yang
berseberangan ? Tidak diragukan lagi bahwa orang yang bertawassul dengan
orang-orang shalih pada dasarnya bertawassul dengan mereka dari aspek bahwa
mereka adalah orang shalih, sehingga pada akhirnya persoalan ini kembali kepada
amal shalih yang disepakati boleh dijadikan obyek tawassul, sebagaimana saya
kemukakan pada awal pembahasan masalah ini. SYUBHAT YANG DITOLAK Beberapa
hadits dan atsar di atas semuanya menetapkan dan menguatkan adanya tawassul,
maka jika dikatakan bahwa tawassul khusus pada saat beliau SAW masih
hidup. Jawabannya adalah : bahwa pengkhususan ini tidak memiliki
argumentasi apalagi ruh yang memiliki perasaan, persepsi dan kesadaran, itu
tetap ada.Dalam kaca mata madzhab Ahlussunah wal jama’ah mayit itu bisa
mendengar, merasakan, memiliki kesadaran, memperoleh manfa’at dari kebaikan,
bergembira, merasa sakit karena keburukan dan sedih. Hal ini berlaku untuk
semua manusia. Karena itu pada saat perang Badar Nabi memanggil-manggil
orang-orang kafir Quraisy yang di kubur di dalam sumur badar. “Wahai ‘Utbah,
wahai Syaibah, wahai Rabi’ah !”teriak Nabi. “ Mengapa engkau memanggil manggil
mereka yang telah menjadi bangkai ? tanya seseorang. “Kalian tidak lebih
mendengar dibanding mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab,” Jawab
Nabi. Jika kondisi yang dialami mayat itu berlaku umum untuk semua manusia
maka bagaimana dengan manusia paling utama, paling mulia dan paling agung ?
tidak diragukan lagi bahwa beliau lebih sempurna perasaan dan persepsinya dan
lebih kuat kesadaranya. Ditambah lagi terdapat penjelasan dalam banyak hadits
bahwa Nabi mampu mendengar percakapan, menjawab salam, disampaikanya amal
perbuatan umat kepada beliau dan bahwasanya beliau memohonkan ampunan atas
dosa-dosa umat dan memuji Allah atas amal-amal baik mereka.Kualitas seseorang
pada dasarnya terletak pada tingkat kesadaran, perasaan dan persepsinya, bukan
pada hidupnya. Karena itu kita melihat banyak orang hidup dicabut oleh Allah
perasaan dan kesadaran kemanusiannya ditambah karakter yang bodoh dan minimnya
perasaan, namun mereka tidak bisa diambil manfaat malah mereka berada dalam
barisan orang-orang mati.ANGGAPAN SEBAGIAN ORANG BODOH BAHWA NABI SAW TIDAK
BISA MENDENGAR PERKATAAN KITA, TIDAK BISA MELIHAT KITA DAN TIDAK MENGENAL
KITADiantara orang-orang yang mirip orang mati adalah mereka yang menganggap
bahwa Nabi SAW tidak bisa mendengar, melihat, mengenali kita dan tidak
mendo\`akan kita kepada Allah. Kelancangan apakah yang melebihi anggapan ini ?
dan kebodohan apakah yang lebih buruk dari anggapan ini ? disamping merupakan
tindakan tidak bermoral dan merendahkan kedudukan beliau SAW. Sungguh banyak
hadits dan atsar yang saling menguatkan yang menetapkan bahwa mayit bisa
mendengar, merasakan dan mengenal. Baik mayit itu mu’min atau kafir. Dalam
kitab Al Ruh, Ibnu Al Qayyim menyatakan bahwa ulama salaf telah menetapkan
konsensus akan hal ini dan telah mutawatir atsar yang bersumber dari mereka. Ibnu
Taimiyyah ditanya mengenai masalah ini kemudian beliau mengeluarkan fatwa yang
berisi penguatan terhadap keterangan bahwa mayit bisa mendengar dan merasakan.
( Lihat Al Fataawaa vol. 2 hlm 331 dan 362 ). Jika kondisi di atas bisa dialami
oleh manusia biasa, maka apa pendapatmu dengan kaum mu’minin secara umum,
hamba-hamba Allah yang shalih dan junjungan generasi awal dan akhir, Muhammad
SAW ? Kami telah menjelaskan hal ini dalam kajian khusus dalam kitab kami yang
bernama Al Hayaatu al Barzakhiyyatu Hayaatun Haqiiqiyyatun dengan judul
Hayaatun Khaashshatun bi Al Nabiyyi. DAFTAR NAMA PARA IMAM YANG
MEMPRAKTEKKAN TAWASSULDi sini kami akan menyebutkan para imam besar dan pakar
hadits paling populer yang berpendapat diperbolehkannya tawassul atau yang
mengutip dalil-dalil tawassul.1. Al Imam Al Hafidh Abu ‘Abdillah Al Hakim dalam
kitabnya Al Mustadrak ‘ala al Shahihain, yang telah menyebutkan hadits mengenai
tawassul Adam dengan Nabi Muhammad dan menilai hadits itu shahih. 2. Al
Imam Al Hafidh Abu Bakar al Baihaqi dalam kitabnya Dalaa’ilu al Nubuwwah, yang
telah menyebutkan hadits mengenai tawassul Adam dan yang lain. Al Baihaqi
memiilki komitmen untuk tidak meriwayatkan hadits maudlu’ ( palsu ). 3. Al
Imam Al Hafidh Jalaaluddin Al Suyuthi dalam kitabnya Al Khashaaish Al Kubraa,
yang telah menyebutkan hadits tentang tawassul Adam.4. Al Imam Al Hafidh Abu al
Faraj ibn al Jauzi dalam kitabnya Al Wafaa’, yang telah menyebutkan hadits
tawassul Adam dan hadits lain. 5. Al Imam Al Hafidh Qadli ‘Iyaadl dalam kitabnya
Al Syifaa’ bi Ta’riifii huquuqi al Mushthafaa, yang telah menyebutkan banyak
hadits tentang tawassul dalam bab Al Ziaarah dan bab Fadhlu al Nabiyyi.6. Al
Imam Al Syaikh Nuruddin Al Qaari yang populer dengan nama Malaa ‘Ali Qari dalam
kitab syarhnya terhadap kitab Al Syifaa’ pada bab-bab di atas.7. Al ‘Allamah
Ahmad Syihabuddin Al Khafaji dalam kitab syarhnya atas Al Syifaa’ yang bernama
Nasiimurriyaadl pada bab-bab di atas.8. Al Imam Al Hafidh Al Qasthalani dalam
kitabnya Al Mawaahib Al Laadunniyyah pada almaqshid al awwal. 9. Al
‘Allamah Al Syaikh ‘Abdul Baaqi AL Zurqaani dalam kitab syarhnya atas Al
Mawaahib vol. I hlm. 44.10. Al Imam Syaikul Islam Abu Zakaria Yahya Al Nawawi
dalam kitabnya Al Iidhah pada al bab al saadis hlm. 498.11. Al ‘Allamah Ibnu
Hajar Al Haitami dalam hasyiahnya atas kitab Al Iidlah hlm. 499. Beliau juga
memiliki risalah khusus dalam bab ini yang diberi nama Al Jauhar Al
Munadhdham.12. Al Hafidh Syihabuddin Muhammad ibn Muhammad ibn Al Jazari Al
Dimasyqi dalam kitabnya ‘Uddatul Hishnil Hashiin dalam Fadhluddu’a.13. Al
‘Allamah Al Imam Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam kitabnya Tuhfatu al
Dzaakiriin hlm. 161.14. Al ‘Allamah Al Imam Al Muhaddits ‘Ali ibn ‘Abdul Kaafi
Al Subki dalam kitabnya Syifaau al Saqaam fi Ziaarati Khairil Anaam.15. Al
Hafidh ‘Imaduddin Ibnu Katsir dalam menafsirkan : ولو أنهم إذ ظلموا
أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما Ia
menyebutkan kisah Al ‘Utbi beserta a’rabi yang datang berziarah dengan niat
memohon syafaat dengan Nabi SAW dan Al ‘Utbi tidak menentangnya sama sekali.
Juga menyebutkan kisah tawassul Adam dengan Nabi SAW dalam Al Bidayah wa Al
Nihayah dan tidak memvonisnya sebagai hadits palsu. Vol III hlm. 180.Ibnu
Katsir juga menyebutkan kisah seorang lelaki yang datang ke kuburan Nabi untuk
bertawassul dengannya. “Isnad kisah ini adalah shahih,” komentar Ibnu Katsir.
Ibnu Katsir juga menuturkan bahwa slogan kaum muslimin adalah YAA MUHAMMADAAH .
vol. VI hlm. 32416. Al Imam Al Hafidh Ibnu Hajar yang menyebutkan kisah seorang
laki-laki yang datang ke kuburan Nabi dan bertawassul dengannya. Ibnu Hajar
menilai shahih sanad hadits ini dalam Fathu al Baari vol. II hlm. 495.17. Al
Imam Al Mufassir Abu ‘Abdillah Al Qurthubi dalam menafsirkan :ولو أنهم إذ ظلموا
أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا
رحيما Vol. V hlm. 265PARA SAHABAT MEMOHON SYAFA’AT KEPADA NABI SAWSebagian
golongan Wahabi beranggapan bahwa memohon syafa’at kepada Nabi Saw di dunia
tidak diperbolehkan. Bahkan sebagian dari mereka yang keras kepala mengganggap
bahwa hal itu merupakan tindakan syirik dan sesat dengan menggunakan
argumentasi firman Allah :قل لله الشفاعة جميعاKatakanlah :\"Hanya
kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.\" ( Q.S.Az.Zumar : 44
) Argumentasi ini adalah sebuah kekeliruan yang mengindikasikan pemahaman
mereka yang salah. Kekeliruan ini bisa dilihat dari 2 aspek :Pertama, tidak
ditemukan ada nash baik dari Al Qur’an maupun Al Sunnah yang melarang memohon
syafa’at kepada Nabi SAW. Kedua, ayat di atas tidak menunjukkan larangan
memohon syafa’at kepada Nabi. Justru layaknya ayat-ayat yang menjelaskan
kekhususan Allah terhadap sesuatu yang dimiliki-Nya semata yang tidak dimiliki
selain-Nya, ayat ini bermakna bahwa Allah adalah Dzat yang mengaturnya.
Pengertian ini tidak menafikan bahwa Allah memberinya kepada siapa yang
dikehendaki. Dia adalah pemilik kekuasaan yang bebas memberikan dan mencabut
kekuasaan dari siapa yang dikehendaki. Persis dengan ayat di atas adalah ayat
:له الملك وله الحمد\"Hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan
semua puji-pujian.\" ( Q.S.At.Taghaabun : 1 )Allah mensifati
diri-Nya dengan pemilik kekuasaan padahal ada ayat :تؤتي الملك من تشاء وتنزع
الملك ممن تشاء\"Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.\" ( Q.S.Ali
\`Imran : 26 )من كان يريد العزة فلله العزة جميعا\"Barangsiapa yang
menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya.\" ( Q.S.Faathir : 10 )ولله العزة ولرسوله وللمؤمنين\"Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang
mu\`min.\"( Q.S.Al.Munaafiquun : 8 )قل لله الشفاعة جميعاKatakanlah :
\"Hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu semuanya.\" ( Q.S.Az.Zumar :
44 )لايملكون الشفاعة إلا من اتخذ عند الرحمن عهدا\"Mereka tidak berhak
mendapat syafa\`at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan
Yang Maha Pemurah.\" ( Q.S.Maryam : 87 )ولا يملك الذين يدعون من دونه
الشفاعة إلا من شهد بالحق وهم يعلمون\"Dan sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa\`at;Akan tetapi ( orang yang
dapat memberi syafa\`at ialah ) orang yang mengakui yang hak ( tauhid )
dan mereka meyakini ( nya ).\" ( Q.S.Az.Zukhruuf : 86 ) Sebagaimana
Allah SWT bebas memberi sesuatu kepada yang dikehendaki dan menjadikan sebagian
kemuliaan ( ‘izzah ) yang merupakan milik-Nya diberikan kepada Rasulullah dan
kaum mu’minin, demikian pula syafa’at yang seluruhnya milik Allah namun Dia
memberikannya kepada para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih, malah diberikan
juga kepada banyak kaum mukminin dari kalangan awam sebagaimana diungkapkan
oleh beberapa hadits shahih yang secara makna dikategorikan
mutawatir. Dosa apakah yang diterima jika seseorang memohon kepada
pemilik, sebagian miliknya, apalagi jika yang diminta adalah orang dermawan dan
yang meminta sangat membutuhkan apa yang diinginkan ? Syafaat tidak lain
hanyalah do’a dan do’a adalah sesuatu yang legal, mampu dikerjakan, dan
diterima. Apalagi do’a para Nabi dan orang-orang shalih pada saat masih hidup
dan sesudah mati di dalam kubur dan hari kiamat. Syafa’at diberikan kepada
orang yang mengambil komitmen iman di sisi Allah dan diterima oleh Allah dari
setiap orang yang mati mengesakan-Nya.Adalah fakta bahwa sebagian sahabat
memohon syafaat kepada Nabi dan beliau tidak mengatakan, “Memohon syafaat
dariku adalah tindakan syirik. Carilah syafaat dari Allah dan jangan engkau
sekutukan Tuhanmu dengan siapapun.”Anas ibn Malik mengatakan, “Wahai Nabi
Allah, berilah aku syafaat di hari kiamat. “Insya Allah aku akan melakukannya,”
jawab Nabi. HR Turmudzi dalam Al Sunan dan mengkategorikannya sebagai hadits
hasan dalam Babu Maa Jaa’a fi Shifati al-Shiraathi. Demikian pula sahabat lain
selain Anas, mereka memohon syafaat kepada Nabi SAW. Sawaad ibn Qaarib
mengucapkan syair di hadapan Nabi SAW :وأشهد أن الله لا رب غيره وأنك مأمون على
كل غائبوأنك أدنى المرسلين الوسيلة إلى الله يا ابن الأكرمين الأطايبAku bersaksi,
sungguh tiada Tuhan selain Allah Dan engkau dapat dipercaya atas semua hal
ghaib Engkau rasul paling dekat untuk dijadikan wasilah Kepada
Allah, wahai putra orang-orang mulia nan baiksampai tiba pada :فكن لي شفيعا يوم
لا ذو شفاعة سواك بمغن عن سواد ابن قاربJadilah engkau pemberi syafaat pada hari
dimanaPemberi syafaat tidak mencukupi Sawad ibn Qaarib.Hadits di atas ini diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam Al Dalaailu al Nubuwwah dan Ibnu ‘Abdil Baarr dalam Al
Istii’aab. Dalam Fathul Baari syarh Shahih Al Bukhari vol. VII hlm. 180 pada
Baabu Islaami ‘Umar RA, Ibnu Hajar juga menyebutkannya. Rasulullah menetapkan
perkataan Sawad dan tidak mengingkari permintaan syafaat dari dirinya.Mazin ibn
Al ‘Adlub juga memohon syafaat kepada Rasulullah ketika datang untuk memeluk
Islam dan mengucapkan :إليك رسول الله خبت مطيتي تجوب الفيافي من عمان إلى
العرجلتشفع لي ياخير من وطئ الحصا فيغفر لي ربي فأرجع بالفلحKepadamu, wahai
Rasulullah, untaku lariMelintasi padang sahara dari Oman hingga ‘ArjAgar engkau
memberiku syafa’at, wahai sebaik-baik orang yang menginjak kerikilHingga
akhirnya Tuhan mengampuniku dan aku pergi membawa kemenangan. (HR. Abu Nu’aim
dalam Dalaailu Al Nubuwwah).‘Ukasyah ibn Mihshan juga meminta syafa’at kepada
Rasulullah ketika beliau menyebutkan ada 70.000 orang yang masuk sorga tanpa
proses hisab. “Do’akan aku agar termasuk salah satu dari mereka,” pinta
‘Ukasyah. “Engkau termasuk mereka,” jawab beliau spontan.Sudah maklum bahwa
siapapun tidak akan meraih prestasi masuk sorga tanpa proses hisab kecuali
setelah mendapat syafaat agung beliau untuk mereka yang tinggal di padang
mahsyar, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits mutawatir. Permintaan
‘Ukasyah ini mengandung pengertian memohon syafa’at. Hadits-hadits yang
satu tema dengan hadits ‘Ukasyah banyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadits.
Dimana seluruhnya menunjukkan diperbolehkannya memohon syafa’at kepada Nabi SAW
di dunia. Sebagian orang ada yang memohon dengan menunjukkan dirinya dengan
mengatakan, “Berilah aku syafa’at”, ada yang memohon masuk sorga, meminta
termasuk rombongan pertama yang masuk sorga, atau memohon termasuk golongan
mereka yang bisa mendatangi telaga Nabi, memohon menemani beliau di sorga
sebagaimana terjadi pada Rabi’ah Al Aslami saat mengatakan, “Saya mohon
kepadamu untuk menemanimu di sorga.” Nabi lalu menunjukkan jalan untuk
menempuhnya. “Bantulah dirimu sendiri dengan memperbanyak sholat,” saran beliau.”
Beliau tidak mengatakan kepada Rabi’ah dan yang lain dari orang-orang meminta
masuk sorga, meminta bersama beliau, atau berharap agar termasuk penghuni
sorga, termasuk mereka yang mendatangi telaga, atau termasuk yang mendapatkan
ampunan, “Tindakan ini ( memohon hal-hal di atas kepada beliau ) haram,
permohonan tidak bisa diajukan sekarang, waktu memohon syafaat belum tiba,
tunggulah sampai datang izin Allah untuk memberi syafaat, atau masuk surga,
atau minum dari telaga. Padahal semua permohonan tersebut tidak tidak akan
terjadi kecuali pasca syafaat agung. Semua permohonan di atas mengandung arti
memohon syafaat dan Nabi pribadi memberi kabar gembira akan adanya syafaat
tersebut serta menjanjikan mereka dengan sesuatu yang memuaskan mereka. Sangat
tidak mungkin bila memohon syafaat itu dilarang lalu beliau SAW tidak
menjelaskan kepada mereka status hukumnya menghormati atau menyenangkan mereka
padahal beliau adalah sosok yang tidak takut akan kecaman dalam membela
kebenaran. Beliau hanya memuaskan orang dengan sesuatu yang masih dalam
lingkaran kebenaran dan bersumber dari dasar agama serta jauh dari kebatilan
dan kemunafikan. Jika memohon syafa’at kepada Nabi di dunia sebelum
akhirat itu sah maksudnya adalah bahwa orang yang memohon syafa’at akan memperolehnya
secara hakiki di tempatnya pada hari kiamat dan sesudah Allah mengizinkan
kepada orang yang memberi syafa’at untuk memberikanya. Bukan berarti ia
mendapatkan syafa’at di dunia ini sebelum waktunya.Hadits di atas sesungguhnya
adalah sejenis kabar gembira dari Nabi untuk masuk surga bagi banyak kaum
mukminin. Karena makna hadits tersebut adalah bahwa mereka bakal masuk surga
pada hari kiamat dan setelah dijinkan oleh Allah pada waktu yang telah
ditentukan. Bukan berarti mereka akan masuk surga di dunia atau alam barzah.
Saya tidak menduga bahwa orang berakal dari golongan muslimin yang awam
meyakini sebaliknya pengertian hadits tersebut.Apabila memohon syafa’at kepada
Nabi di dunia pada saat beliau masih hidup itu sah, maka kami nyatakan bahwa
tidak apa-apa memohon syafa’at kepada Nabi sepeninggal beliau, berdasarkan
keputusan yang telah ditetapkan oleh ahlussunnah wal jama’ah yang menyatakan
bahwa para Nabi hidup dengan kehidupan barzah. Dan Nabi kita Muhammad SAW
adalah Nabi paling sempurna dan paling agung dalam hal ini. Karena beliau mampu
mendengar pembicaraan, amal perbuatan ummat disampaikan kepadanya, memohonkan
ampuan buat mereka, memuji Allah, dan sampainya shalawat orang yang
menyampaikannya kepada beliau meskipun ia berada jauh di ujung dunia,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang dikategorikan shahih oleh sekelompok
huffadz ( pakar hadits ) yaitu : حياتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم
ومماتي خير لكم تعرض أعمالكم علي فإن وجدت خيرا حمدت الله وإن وجدت شرا استغفرت
الله لكم . Hidupku lebih baik untuk kalian. Kalian bisa berbicara
dan mendengar pembicaraan. Dan kematianku lebih baik buat kalian. Amal
perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan amal baik maka aku
memuji Allah dan bila menemukan amal buruk aku memohonkan ampunan kepada Allah
untuk kalian.Hadits ini dinilai shahih oleh sekelompok huffadz yaitu Al ‘Iraqi,
Al Haitsami, Al Qasthalani, Al Suyuthi, dan Isma’il Al Qadhi. Takhrij hadits
ini telah kami paparkan dengan detail bukan hanya di sini.Jika Nabi SAW dimohon
syafaat maka beliau mampu untuk berdo’a dan memohon kepada Allah sebagaimana
beliau melakukan hal ini saat masih hidup. Selanjutnya seorang hamba akan
mendapat syafaat tersebut di tempatnya setelah diizinkan Allah. Sebagaimana
sorga dapat diperoleh oleh orang yang Nabi mengkhabarkannya di dunia. Pada
waktunya orang ini dapat memperoleh sorga setelah mendapat izin Allah untuk
masuk surga. Masalah masuk surga dan mendapat syafaat adalah persoalan yang
sama. Diperkenankannya memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia dan akhirat
adalah keyakinan kami dan menjadi keteguhan hati kami. INTERPRETASI IBNU
TAIMIYYAH TERHADAPAYAT-AYAT YANG MENERANGKAN SYAFAATIbnu Taimiyyah membolehkan
memohon syafaat kepada beliau di duniaDalam Al Fataawaa, Ibnu Taimiyyah mampu
memberikan analisa yang baik terhadap ayat-ayat yang berisi larangan syafaat,
tidak mendapat manfaat dengannya, dan larangan untuk memintanya. Padahal
ayat-ayat ini adalah yang dijadikan argumentasi oleh sebagian golongan Wahabi
dalam melarang meminta syafaat kepada Nabi di dunia. Dari analisa Ibnu
Taimiyyah terhadap makna dari ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa
berargumentasi dengan menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai dasar dari
pandangan-pandangan sebagian golongan Wahhabi adalah argumentasi yang salah
tempat dan merupakan upaya merubah ayat dari tempatnya. Ibnu Taimiyyah
mengatakan bahwa mereka yang mengingkari ( Mu’tazilah ) syafaat berargumentasi
dengan firman Allah :واتقوا يوما لاتجزي نفس عن نفس شيئا ولايقبل منها شفاعة
ولايؤخذ منها عدل\"Dan jagalah dirimu dari ( \`azab )hari ( kiamat, yang
pada hari itu ) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan
( begitu pula ) tidak diterima syafa\`at Dan tebusan dari padanya.\"
( Q.S.Al.Baqarah : 48 )ولايؤخذ منها عدل ولاتنفعها شفاعة\"Dan tidak akan
diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa\`at suatu
syafa\`at kepadanya.\" ( Q.S.Al.Baqarah : 123 )ما للظالمين من حميم ولاشفيع
يطاع\"Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan
tidak ( pula )mempunyai seorang pemberi syafa\`at yang diterima
syafa\`atnya.\" ( Q.S.Al.Mu\`min : 18 ) فما تنفعهم شفاعة
الشافعين\"Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa\`at
dari orang-orang yang memberikan syafa\`at.\" ( Q.S.Al.Muddatsir : 48
) Jawaban dari ahlussunnah waljama’ah adalah bahwa ayat-ayat di atas
mengandung dua pengertian :Pertama, syafaat tidak bisa dimanfaatkan oleh kaum
musyrikin sebagaimana firman Allah : ما سلككم في سقر , قالوا لم نك من
المصلين , ولم نك نطعم المسكين , وكنا نخوض مع الخائضين , وكنا نكذب بيوم الدين ,
حتى أتانا اليقين , فما تنفعهم شفاعة الشافعين . \"Apakah yang
memasukkan kamu ke dalam Saqar ( neraka ) ? Mereka menjawab : Kamidahulu
termasuk orang-orang yang tidak mengerjakan shalat, dan kami tidak ( pula )
memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil bersama
dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari
pembalasan, hingga datang kepada kami kematian, maka tidak berguna lagi bagi
mereka syafa\`at dari orang-orang yang memberikan syafa\`at.\" (
Q.S.Al.Muddatsir : 42-48 ) Mereka tidak mendapat manfaat dari syafaat
orang-orang yang memberi syafaat sebab mereka adalah orang-orang
kafir. Kedua, ayat-ayat di atas menolak syafaat dalam versi orang-orang
musyrik dan golongan sejenis dari kalangan ahli bid’ah, baik golongan ahlul
kitab maupun kaum muslimin yang menganggap bahwa makhluk memiliki kemampuan
memberi syafaat tanpa izin Allah, sebagaimana manusia saling memberi syafaat
kepada yang lain, akhirnya yang dimintai syafaat menerima syafaatnya yang
memberi syafaat karena ia membutuhkannya baik karena suka atau takut, dan
sebagaimana makhluk bergaul dengan sesamanya dengan hubungan timbal
balik. Orang-orang musyrik menjadikan selain Allah dari malaikat, para
Nabi dan orang-orang shalih sebagai pemberi syafaat dan mereka membuat
patung-patung selain Allah itu lalu memohon syafaat kepadanya seraya berkata,
“Mereka ini adalah hamba-hamba Allah yang khusus.”Saya katakan : Keterangan di
atas adalah pandangan Ibnu Taimiyyah yang ditulis sesuai dengan teks aslinya.
Dari pandangan beliau ini, tampak jelas esensi dari ayat-ayat yang dijadikan
argumentasi oleh mereka yang menolak memohon syafaat dari Nabi SAW di dunia
atau mereka yang menyatakan bahwa memohon syafaat kepada beliau adalah tindakan
syirik dan sesat. Ringkasan dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah sebagai
berikut :Bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat di atas adalah bahwa syafaat
tidak berguna bagi orang musyrik. Berarti ayat-ayat itu turun dalam konteks
ini. atau yang dimaksud adalah menafikan syafaat yang didefinisikan oleh
orang-orang musyrik. Yaitu bahwa pemberi syafaat memiliki syafaat tanpa seizin
Allah. Pandangan syaikh Ibnu Taimiyyah, berkat karunia Allah, adalah pendapat
yang saya yakini. Saya katakan bahwa orang yang memohon syafaat kepada Nabi SAW
jika meyakini atau menganggap bahwa Nabi mampu memberi syafaat tanpa seizin
Allah maka saya yakin ia telah melakukan tindakan syirik dan sesat. Tetapi
sungguh mustahil jika saya meyakini hal ini dan saya berlepas tangan kepada
Allah akan hal itu.Ketika saya memohon syafaat maka kami meyakini sepenuhnya
bahwa tidak seorang pun mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah dan tidak ada
sesuatu terjadi kecuali berkat ridlo dan pertolongan Allah. Memohon
syafaat sama dengan minta masuk sorga, minta minum dari telaga yang dikunjungi
dan meminta selamat ketika melewati titian ( shirath ) yang semuanya tidak
mungkin tercapai tanpa seizin Allah dan pada waktu yang telah ditakdirkan oleh
Allah. Apakah orang yang berakal ragu akan hal ini atau pelajar ilmu agama
paling yunior yang memiliki sedikit pengetahuan atau mampu sedikit membaca
kitab-kitab salaf kabur akan hal ini ? \"YA ALLAH BUKALAH TELINGA
HATI KAMI DAN SINARILAH MATA HATI KAMI.\"*إياك نعبد وإياك
نستعين HANYA KEPADAMU KAMI MENYEMBAH DAN HANYA KEPADAMU KAMI MOHON
PERTOLONGANKami meyakini dengan sepenuh hati bahwa pada dasarnya dalam hal
memohon pertolongan, meminta, memanggil, dan memohon seluruhnya kepada Allah
SWT. Dialah Dzat yang memberi pertolongan, bantuan dan yang
mengabulkannya.Allah berfirman : ولاتدع من دون الله ما لاينفعك ولايضرك
فإن فعلت فإنك إذا من الظالمين , وإن يمسسك الله بضر فلا كاشف له إلا هو
.\"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa\`at dan
tidak ( pula ) memberi mudlarat kepadamu selain Allah ; sebab jika kamu
berbuat ( yang demikian ) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang zalim. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudlaratan
kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.\" (
Q.S.Yunus : 106-107 ) فابتغوا عند الله الرزق واعبدوه واشكرو له\"Maka
mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan
bersyukurlah kepada-Nya.\" ( Q.S.Al.\`Ankabuut : 17 )ومن أضل ممن يدعو
من دون الله من لايستجيب له إلى يوم القيامة\"Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat
memperkenankan ( do\`a ) nya sampai hari kiamat.\" ( Q.S.Al.Ahqaaf : 5
)أمن يجيب المضطر إذا دعاه ويكشف السوء\"Atau siapakah yang memperkenalkan (
do\`a ) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo\`a kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan.\" (Q.S.An.Naml : 62)Ibadah dalam segala
variasinya harus diarahkan kepada Allah semata. Tidak boleh ada sedikitpun yang
diarahkan kepada selain Allah, siapapun ia. قل إن صلاتي ونسكي ومحياي
ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا من المسلمينKatakanlah :
\"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk
Allah,Tuhan semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadakudan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (
kepada Allah )\".( Q.S.An.Naml : 162-163 )Nadzar, do’a, menyembelih
binatang, memohon pertolongan, memohon perlindungan, memohon bantuan, bersumpah
semua hanya boleh diarahkan karena dan kepada Allah. Dan kepasrahan juga hanya
kepada-Nya. Maha suci dan maha tinggi Allah dari segala apa yang dipersekutukan
orang-orang msuyrik. Kami meyakini bahwa Allah adalah pencipta makhluk dan
segala aktivitas mereka. Tidak ada selain Allah yang bisa memberikan pengaruh,
baik yang hidup atau mati. Siapapun tidak bisa turut andil bersama Allah dalam
bertindak, meninggalkan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Tidak ada
satu pun makhluk mampu untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu secara
independen tanpa seizin Allah atau mampu berpartisipasi bersama Allah atau
taraf yang lebih rendah dari berpartisipasi. Pengatur alam semesta hanya
Allah SWT. Siapapun tidak dapat memiliki sesuatu kecuali jika diberi Allah dan
diizinkan untuk mengaturnya. Seseorang tidak memiliki kemampuan memberi
manfaat, bahaya, kematian, kehidupan dan kebangkitan untuk dirinya apalagi
orang lain kecuali apa yang telah dikehendaki Allah atas izin-Nya. Berarti,
memberi manfaat dan bahaya diberi batasan dengan ketentuan ini. Hal-hal di atas
bisa dikaitkan terhadap makhluk dari aspek sebagai penyebab dan pelaku bukan
dari aspek penciptaan, pembuatan, faktor atau pemberi kekuatan. Kaitan ini
bersifat majazi bukan kaitan sesungguhnya. Namun manusia berbeda-beda dalam
mengungkapkan hal-hal ini. Sebagian berlebihan dalam penggunaan majaz hingga
jatuh dalam kekaburan lafadh yang ia bersih darinya dan hatinya tetap selamat
dan mantap dalam kesempurnaan tauhid dan pensucian terhadap
Allah. Sebagian orang ada yang berpegang teguh dengan pengertian hakiki,
secara ekstrim sampai keluar dari batas moderat ke taraf mempersulit dan
memperberat serta bersikap buruk kepada manusia dengan memperlakukan mereka
berlawanan dengan keyakinannya dan mengarahkan ucapannya di luar kehendaknya,
memaksanya dengan sesuatu yang tidak diinginkannya, dan memvonisnya dengan
sesuatu yang mereka bersih darinya. Seharusnya sikap moderat dan menjauhi
tindakan ekstrim wajib ditampilkan, karena sikap semcam ini lebih menyelamatkan
agama dan lebih berhati-hati dalam melindungi kedudukan tauhid. Waallu
a’lam.Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan ringkasan yang singkat dan berguna dalam
menjelaskan hal-hal yang spesifik buat Allah, yang isinya persis dengan apa
yang kita yakini dan kita beragama kepada Allah dengannya. Karena akidah kita
adalah akidah salaf dan jalan yang kita tempuh adalah jalan Muhammad, dan kami
mengatakan apa yang diucapkan oleh Ibnu Taimiyyah.Ibnu Taimiyyah menyatakan
bahwa Allah telah menjadikan hak untuk dirinya yang tidak bisa dipersekutukan
oleh makhluk. Ibadah dan berdoa tidak layak kecuali kepada Allah, tawakkal
hanya kepada-Nya, cinta dan takut hanya kepada-Nya, tidak ada tempat berlindung
dan tempat selamat kecuali kepada-Nya, tidak ada yang memberikan kebaikan dan
meniadakan keburukan kecuali Dia, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali
berkat Allah. ولاتنفع الشفاعة عنده إلا لمن أذن له\"Dan tiadalah
berguna syafa\`at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah
diizinkan-Nya memperoleh syafa\`at itu\". ( Q.S.Saba\` : 23 )من ذا
الذي يشفع عنده إلا بإذنه\"Tiada yang dapat memberi syafa\`at di sisi Allah
tanpa izin-Nya\". ( Q.S.Al.Baqarah : 255 )إن كل من في السموات والأرض إلا
آتي الرحمن عبدا ، لقد أحصاهم وعدهم عدا ، وكلهم آتيه يوم القيامة
فردا\"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan
jumlah mereka dan menghitung mereka dengan jumlah yang teliti. Dan tiap-tiap
mereka akan datang kepada Allahpada hari kiamat dengan sendiri-sendiri\".
( Q.S.Maryam : 93-95 ) ومن يطع الله ورسوله ويخش الله ويتقه فأولئك هم
الفائزون\"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapat kemenangan\".( Q.S.An.Nuur : 52 )Allah menjadikan taat hanya
kepadanya dan takut serta takwa juga hanya kepadanya semata. Demikian pula
dalam firman Allah :ولو أنهم رضوا ما آتاهم الله ورسوله وقالوا حسبنا الله
سيؤتينا الله من فضله ورسوله إنا إلى الله راغبون\"Jikalau mereka
sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada
mereka, dan berkata : \"Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan
kepada kami sebahagian dari karunia-Nya, dan demikian ( pula ) Rasul-Nya,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah , ( tentulah
yang demikian itu lebih baik bagi mereka )\". Q.S.At.Taubah : 59 ) Memberi
bisa dari Allah dan Rasul, tetapi kalau tawakkal maka hanya kepada Allah semata
dan cinta juga hanya kepada-Nya semata. Demikian kutipan dari Al Fataawaa
vol. XI hlm. 98.MEMOHON PERTOLONGAN DAN PERMINTAAN KEPADA NABI SAWDi muka telah
kami sebutkan bahwa kami meyakini dengan sepenuhnya bahwa pada dasarnya dalam
memohon pertolongan, meminta, memanggil dan memohon hanya pada Allah semata.
Dialah Dzat yang memberikan pertolongan, bantuan dan yang mengabulkan. Allah
berfirman :وقال ربكم ادعوني أستجب لكمDan Tuhanmu berfirman : \"Berdo\`alah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu\".( Q.S.Al.Mu\`min : 60
)Siapapun yang memohon pertolongan kepada makhluk, memohon bantuan kepadanya,
memanggilnya atau memohon dan meminta kepadanya baik makhluk itu masih hidup
atau sudah mati dengan meyakini bahwa makhluk itu sendiri secara independen
bisa memberi manfaat dan bahaya tanpa izin Allah berarti ia telah musyrik.
Namun Allah memperbolehkan makhluk untuk saling memohon pertolongan dan
bantuan. Allah juga menyuruh orang yang diminta pertolongan untuk memberikan
pertolongan, orang yang diminta bantuan untuk memberikan bantuan dan orang yang
dipanggil untuk mengabulkan. Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini sangat
banyak, yang seluruhnya menunjukkan membantu orang yang menderita, menolong
orang yang membutuhkan, dan menghilangkan kesusahan. Dan Nabi SAW adalah figur
paling agung yang menjadi media untuk memohon pertolongan kepada Allah dalam
menghilangkan kesusahan dan memenuhi kebutuhan. Penderitaan apakah yang
melebihi penderitaan di hari kiamat, saat berada di mahsyar dalam waktu lama,
berdesak-desakan, suhu sangat panas dan keringat menyelimuti orang yang
dikehendaki Allah. Dalam situasi yang sangat berat semua manusia memohon
pertolongan kepada Allah lewat makhluk terbaik-Nya, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :وبينما هم كذلك استغاثوا بآدم“Ketika mereka dalam situasi sangat
menderita di hari kiamat, mereka memohon bentuan kepada Adam..dst.” Dalam
hadits ini beliau menggunakan kata istighotsah ( memohon bantuan ). Dalam
shahih Al Bukhari juga menggunakan kata yang sama. Para sahabat
memohon pertolongan dan bantuan kepada Nabi SAW, memohon syafaat kepada beliau
dan mengadukan kondisi mereka dari kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan
kegagalan kepada beliau. Mereka juga mendatangi beliau ketika ditimpa
kesengsaraan dan memohon kepada beliau dengan tetap meyakini bahwa beliau cuma
mediator dan penyebab dalam memberi manfaat dan bahaya sedang pelaku sejati
adalah Allah SWT. ABU HURAIRAH RA MENGADUKAN LUPAAl Bukhari dan perawi
lain meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia mengadu kepada Nabi SAW karena
lupa terhadap hadits yang ia dengar dari beliau, sedang ia ingin penyakit lupa
itu hilang. “Wahai Rasulullah, saya mendengar banyak hadits darimu namun saya
lupa. Saya ingin lupa ini hilang,” Abu Hurairah mengadu. “Bentangkan
selendangmu,” perintah beliau. Lalu Abu Hurairah membentangkan selendangnya dan
beliau mengambil udara dengan tanggannya dan meletakkannya pada selendang
tersebut kemudian bersabda : ابسط ردائك , فبسطه فقذف بيده الشريفة من
الهواء فى الرداء ثم قال: ضمه فضمه , قال أبو هريرة : فما نسيت شيئا بعد. ( رواه
البخاري في كتاب العلم باب حفظ العلم )“Lipatlah selendangmu!” Lalu Abu Hurairah
melipat selendangnya. “Sesudah peristiwa itu saya tidak pernah mengalami lupa,”
ucap Abu Hurairah. HR Al Bukhari dalam Kitabu Al ‘Ilmi Babu Hifdhi Al ‘Ilm
hadits : 119.Abu Hurairah meminta kepada Nabi SAW untuk tidak melupakan apapun
padahal permintaan ini termasuk sesuatu yang hanya mampu dikerjakan oleh Allah.
Dan beliau tidak ingkar kepada Abu Hurairah serta tidak menuduhnya telah
melakukan tindakan syirik, karena setiap orang mengetahui bahwa orang yang
mengesakan Allah jika memohon kepada figur-figur yang memiliki kedudukan di
sisi-Nya maka ia tidak menghendaki mereka menciptakan sesuatu dan tidak
meyakini mereka mampu melakukannya. Ia hanya menginginkan mereka menjadi sebab
baginya dengan sesuatu yang Allah memberikan kemampuan kepada mereka dari do’a
dan tindakan yang dikehendaki Allah. Coba Anda lihat Rasulullah SAW mengabulkan
permintaan Abu Hurairah. Dalam kisah di atas, tidak ada keterangan beliau
mendo’akan Abu Hurairah. Beliau hanya mengambil udara dan menjatuhkannya pada
selendang Abu Hurairah. Beliau menyuruh Abu Hurairah untuk menempelkan
selendang ke dadanya. Dan berkat karunia Allah, Dia menjadikan apa yang
dilakukan beliau sebagai sebab terkabulkannya keinginan Abu Hurairah.Demikian
pula beliau tidak pernah mengatakan kepada Abu Hurairah : Mengapa engkau
meminta kepadaku padahal Allah lebih dekat kepadamu daripada aku? Karena hal
yang sudah dimaklumi oleh siapapun bahwa yang dijadikan sandaran dalam
pemenuhan kebutuhan dari Dzat yang di tangan-Nya kunci-kunci semua urusan
hanyalah faktor kedekatan pemohon dengan Allah dan kesempurnaan kedudukannya di
sisi Allah. QOTADAH RA MEMINTA PERTOLONGAN KEPADA NABI UNTUK
MENYEMBUHKAN MATANYAAdalah fakta bahwa Qotadah ibnu an Nu’man mengalami
kecelakakaan pada matanya hingga kornea matanya keluar ke pipinya. Para sahabat
hendak memutus kornea mata tersebut, namun Qotadah menolak. “Tidak, sampai saya
minta ijin kepada Rasulullah,” ucap Qotadah. Lalu Qotadah meminta ijin kepada
beliau. “Jangan ! “kata beliau. Kemudian beliau meletakkan telapak tangan
beliau pada kornea mata Qotadah, lalu menekan masuk hingga normal kembali seperti
kondisi sebelumnya. Mata yang sakit itu menjadi yang paling sehat dari kedua
mata Qotadah.Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baghawi, Abu Ya’la, Ad Daruqutni,
Ibnu Syahin dan Al Bsihaqi dalam kitab Ad Dalail. Juga dikutip oleh Al Hafidzh
Ibnu Hajar dalam Al Ishobah (vol. 3 hal. 225), Al Hafidh Al Haitsami dalam
Majma’uz Zawaid (vol. 4 hal. 297)dan Al Hafidh As Suyuthi dalam Akhashaish Al
Kubra.Sahabat Lain memohon pertolongan Nabi SAW untuk menghilangkan bisulDari
Muhammad ibn ‘Uqbah ibn Syurahbil dari kakeknya, ‘Abdurrahman , dari ayahnya,
ia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah SAW dan pada telapak tanganku tumbuh
bisul. “Wahai Nabi Allah, “kataku, “bisul ini telah membuatku sakit. Ia menjadi
penghalang antara diriku dan gagang pedang untuk memegangnya dan dari tali
kekang kendaraan. “Kemarilah, “kata beliau. “Saya pun mendekati beliau, “kata
sang ayah, “lalu beliau membuka telapak tanganku dan telapak tanganku pun
ditiupnya. Kemudian beliau meletakkan tangannya di atas bisul seraya
memutar-mutarnya sehingga bisul itu hilang tak berbekas.” HR. Al Thabarani dan
disebutkan oleh Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid vol. VIII. Al
Sil’ah adalah bisul yang tumbuh di bawah kulit. MU’ADZ RA MEMOHON KEPADA
NABI AGAR MENORMALKAN TANGANNYADi tengah berkecamuknya perang Badar, ‘Ikrimah
ibn Abi Jahal memukul pundak Mu’adz ibn ‘Amr ibn Al Jamuh. “’Ikrimah memukul
tanganku hingga menjuntai melekat pada kulit lambung dan peperangan membuatku
jauh darinya. Sungguh saya telah berperang sepanjang hari dan saya menyeret
tangan saya di belakang. Saat tangan ini membuatku sakit saya letakkan telapak
kaki di atasnya dan berjalan di atasnya hingga saya membuangnya.Dalam ( kitab )
Al Mawaahib disebutkan, “Mu’adz ibn ‘Amr membawa tangannya – yang dipukul oleh
‘Ikrimah – menghadap Rasulullah, sebagaimana disebutkan oleh Al Qadli ‘Iyadl
dari ibn Wahb. Lalu beliau SAW meludahi tangan Mu’adz hingga akhirnya melekat
kembali. Kisah ini disebutkan oleh Al Zurqani dan ia mengisnadkannya pada
Ibnu Ishaq. Dari jalur periwayatannya ada Al Hakim. MEMOHON PERTOLONGAN
DAN BANTUAN KEPADA ALLAH LEWAT NABI DALAM MENGATASI MUSIBAHNash-nash valid yang
mutawatir menyatakan bahwa para sahabat jika mengalami paceklik dan hujan tidak
lagi turun mereka datang kepada Rasulullah seraya memohon syafaat, bertawassul,
meminta dan memohon bantuan lewat beliau kepada Allah. Mereka menjelaskan
kondisi yang dialami dan mengadukan musibah serta penderitaan yang menimpa
mereka. Seorang a’rabi memanggil Rasulullah saat beliau berkhutbah pada
hari Jum’at : يارسول الله ! هلكت الأموال وانقطعت السبل فادع الله أن
يغيثنا فدعا الله وجاء المطر إلى الجمعة الثانية , فجاء وقال : يارسول الله !
تهدمت البيوت وتقطعت السبل وهلكت المواشي...يعنى من كثرة المطر فدعا صلى الله عليه
وسلم فانجاب السحاب وصار المطر حول المدينة. “Wahai Rasulullah, harta benda
rusak parah dan jalan-jalan terputus. Berdo’alah engkau kepada Allah agar Dia
menurunkan hujan.” Beliau kemudian berdo’a dan turunlah hujan pada hari kedua.
Berikutnya a’robi tadi datang lagi kepada beliau. “Wahai Rasulullah, rumah-rumah
roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak mati…” yakni karena
derasnya hujan. Akhirnya beliau berdo’a dan mendung pun hilang. Hujan terjadi
di sekitar Madinah.” HR Al Bukhari dalam Kitaabul Istisqaa’ Babu Suaalinnaas Al
Imaam Al Istisqaa’ Idzaa Qahithu. Abu Dawud meriwayatkan hadits dengan
sanad baik dari ‘Aisyah, ia berkata, “Orang-orang mengadu kepada beliau SAW
atas hujan yang tidak juga turun.” HR Abu Dawud fi kitaabishsholat
Abwaabalistisqaa’.Al Baihaqi meriwayatkan dari Anas dalam Dalailunnubuwwah
dengan rangkaian perawi yang tidak figur yang layak dicurigai. Lihat Fathul
Baari vol. II hlm. 495.Dari Anas ibn Malik bahwa seorang a’rabi datang kepada
Nabi SAW. “Wahai Rasulullah SAW, “katanya, “Tidak ada hewan ternak kami yang
bisa bersuara dan tidak ada bayi kami yang bisa tidur lelap.” Lalu ia
mengucapkan :أتيناك والعذراء يدمى لبانها وقد شغلت أم الصبي عن الطفلوألقى بكفيه
الفتى استكانة من الجوع ضعفا ما يمر ولا يحلىولا شيء مما يأكل الناس عندنا سوى
الحنظل العامي والعلهز الغسلو ليس لنا إلا إليك فرارنا و أين فرار الناس إلا إلى
الرسلKami datang kepadamu saat gadis teteknya berdarahIbu bayi melupakan
bayinya Pemuda menjatuhkan kedua telapak tangannya pasrahAkibat lapar ia
lemah, tidak mengganggu dan tidak bergunaTidak ada makanan yang kami milikiHanya
ada sejenis labu dan makanan waktu kelaparan yang tidak dicuciHanya padamu aku
berlari datangDimanakah larinya manusia jika tidak kepada para rasulNabi
langsung bangkit menyeret selendangnya lalu naik ke atas mimbar dan mengangkat
tangannya berdo’a : اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا غدقا طبقا
نافعا غير ضار عاجلا غير رائث تملأ به الضرع , وتنبت به الزرع , وتحيى به الأرض
بعد موتها , قال : فما رد رسول الله يديه حتى ألقت السماء بأردافها , وجاء
الناس يضجون الغرق , فقال صلى الله عليه وسلم : حوالينا ولا علينا. فانجاب
السحاب عن المدينة.“Ya Allah turunkan buat kami hujan deras yang menimbulkan
kebaikan, membuat subur, banyak, merata, bermanfaat tidak membawa petaka,
segera tidak lamban, yang membuat penuh ambing, menumbuhkan tanaman, dan
menghidupkan bumi setelah ia mati.” Anas berkata, “Rasulullah tidak
mengembalikan tangannya hingga mendung menjatuhkan muatannya dan orang-orang
datang meneriakkan suara tenggelam.” “Turunkan hujan di sekitar kami jangan
menimpa kami,” lanjut Rasulullah. Mendung pun hilang dari
Madinah. Renungkanlah bagaimana Nabi SAW menyandarkan memohon bantuan,
memberi manfaat dan sebagainya pada hujan secara majaz ? Dan bagaimana beliau
menetapkan kalimat penyair : Hanya padamu aku berlari
datang Dimanakah larinya manusia jika tidak kepada para rasulDan tidak
menilainya telah musyrik. Alasannya adalah karena pembatasan dalam bait itu
bersifat relatif. Apakah samar bagi beliau firman Allah :ففروا إلى
الله\"Maka segeralah kembali kepada ( menta\`ati ) Allah\". (
Q.S.Adz.Dzaariyaat : 50 )Padahal ayat ini telah diturunkan kepada
beliau. Maksud dari lari yang ada dalam bait-bait syair di atas adalah
bahwa lari yang diharapkan memberi manfaat adalah kepadamu bukan kepada yang
lain dan lari kepada para rasul bukan kepada yang lain. Karena para rasul
adalah figur tertinggi orang yang dijadikan media tawassul kepada Allah dan
figur paling agung yang lewat tangan mereka Allah mengabulkan keinginan
orang-orang yang datang memohon bantuan kepada mereka. Perhatikanlah dengan
serius betapa beliau SAW sangat terpengaruh oleh apa yang diucapkan penyair
a’rabi itu dan begitu cepatnya respons beliau untuk menolong dan membantu
manusia di mana beliau bangkit menuju mimbar seraya menyeret selendangnya.
Beliau tidak menunggu untuk membereskan selendang terlebih dahulu karena
bersegera untuk mengabulkan permohonan orang yang memohon kepadanya dan
membantu orang yang memanggilnya. NABI SAW ADALAH PILAR, PERLINDUNGAN
DAN TEMPAT KAMI MENGADUHassan ibn Tsabit memanggil-manggil beliau dan
menyifatinya dengan pilar yang menjadi sandaran serta pelindung yang menjadi
tempat mengadu. Ia berkata :يا ركن معتمد وعصمة لائذ وملاذ منتجع وجار مجاوريا من
تخيره الإله لخلقه فحباه بالخلق الزكي الطاهرأنت النبي و خير عصبة آدم يا من يجود
كفيض بحر زاخرميكال معك وجبرئيل كلاهما مدد لنصرك من عزيز قادرWahai pilar orang
yang bersandar dan perlindungan orang yang mengadu Tempat datang orang
yang butuh bantuan dan tetangga orang dekatWahai, orang yang dipilih Tuhan
untuk makhluk-NyaDia telah memberimu perangai bersih dan suciEngkau adalah Nabi
dan sebaik-baik anak AdamWahai orang dermawan bak samudera luas Mikail dan
Jibril bersamamu membantuKeduanya dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa untuk
menolongmuLihat Al Ishabah vol. I hlm. 264 dan Al Raudl Al Anf vol. II hlm
91HAMZAH PELAKU KEBAIKAN DAN PENGHILANG KESUSAHANVersi Ibnu Syadzaan dari
hadits Ibnu Mas’ud : Saya tidak pernah sama sekali melihat Nabi SAW menangis
hebat melebihi tangisan beliau terhadap Hamzah ibn Abdil Muththallib. Beliau
meletakkan jenazahnya menghadap qiblat lalu berdiri di hadapannya. Napas beliau
tersengal-sengal sampai terisak karena menangis. “Wahai Hamzah, wahai paman
Rasulullah, singa Allah dan rasul-Nya. Wahai Hamzah pelaku kebaikan, wahai
Hamzah penghilang kesusahan. Wahai sang pembela atas diri rasulillah!” ucap
beliau. Dikutip dari Al Mawaahiub Al Laadunniyyah vol. I hlm. 212. TIDAK
ADA PERBEDAAN ANTARA HIDUP DAN MATIApabila seseorang berkata bahwa memohon
bantuan kepada Nabi, mengadukan keadaan, memohon syafaat dan pertolongan kepada
beliau dan segala sesuatu yang sejenisnya hanya bisa dilakukan di saat beliau
masih hidup. Adapun jika dilakukan sesudah beliau meninggal merupakan tindakan
kufur. Kadang dengan toleran ia mengatakan tidak disyari’atkan atau tidak
boleh. Saya jawab bahwa memohon bantuan dan tawassul apabila faktor yang
melegalkannya adalah hidup sebagaimana pandangan mereka maka para Nabi dalam
kondisi hidup dalam kubur mereka. Para hamba Allah yang diridloi juga hidup
dalam kubur mereka seperti halnya Nabi. Seandainya seorang pakar fiqh
tidak menemukan dalil atas keabsahan tawassul dan memohon bantuan kepada beliau
sesudah wafat kecuali dianalogikan dengan tawassul dan memohon bantuan kepada
beliau sewaktu masih hidup niscaya hal ini cukup. Karena beliau SAW hidup di
dunia dan akhirat, senantiasa memberikan perhatian kepada ummatnya, mengatur
urusan-urusan ummatnya atas seizin Allah, mengetahui kondisi ummatnya,
disampaikan kepadanya shalawat dari ummatnya yang menyampaikan shalawat dan
sampai kepada beliau salam mereka meskipun jumlah mereka banyak. Orang
yang pengetahuannya luas mengenai arwah dan keistimewaan yang dimilikinya,
apalagi arwah orang-orang yang luhur maka hatinya lapang untuk mengimani
kehidupan arwah di alam barzakh. Lalu bagaimana dengan ruh dari segala arwah
dan cahaya dari segala cahaya, yakni Nabi kita Muhammad SAW. Seandainya
memohon syafaat, meminta bantuan atau tawassul dengan beliau dikategorikan
syirik dan kufur sebagaimana anggapan mereka maka hal itu tidak akan dibolehkan
dalam kondisi apapun baik dalam kehidupan dunia, akhirat, pada hari kiamat atau
sebelumnya. Karena tindakan syirik dimurkai Allah dalam situasi
apapun. KLAIM SESATAdapun klaim bahwa orang mati tidak mampu melakukan
apapun maka ini adalah klaim yang salah. Karena jika pandangan ini dikarenakan
golongan wahabi meyakini bahwa orang mati telah menjadi tanah, berarti
pandangan ini adalah substansi kebodohan terhadap hadits Nabi SAW bahkan firman
Allah yang menetapkan adanya kehidupan arwah dan kekekalannya setelah berpisah
dari jasad, dan panggilan Nabi terhadap arwah pada perang Badr. “Wahai ‘Amr ibn
Hisyam ! wahai ‘Utbah ibn Rabi’ah, wahai fulan ibn fulan ! Sungguh kami
menemukan janji Tuhan kami benar adanya. Apakah kalian menemukan janji Tuhan
kalian benar adanya ?” tanya Nabi. Seseorang bertanya, “Mengapa engkau memanggil-manggil
orang-orang mati ?”. “Kalian tidak lebih mendengar terhadap ucapanku daripada
mereka,” jawab Nabi. Salah satu fakta adanya kehidupan arwah adalah :-
Tindakan beliau SAW memberi salam dan panggilan beliau kepada penghuni kuburan.
“Assalamu’alaikum, wahai penghuni kubur,” sapa beliau. - Siksa dan
kenikmatan kubur, datang dan perginya arwah dan lain sebagainya dari banyak
dalil yang datang dibawa Islam dan ditetapkan oleh filsafat klasik dan
modern. DI SINI KAMI HANYA AKAN MENAYAKAN PERSOALAN BERIKUTApakah golongan
Wahabi meyakini bahwa orang-orang yang mati syahid hidup di sisi Tuhan mereka
sebagaimana dinyatakan Al Qur’an, atau tidak ? Jika jawaban mereka tidak, maka
tidak ada lagi diskusi antara kami dan mereka sebab mereka telah mendustakan Al
Qur’an, di mana kitab suci ini mengatakan : ولاتقولوا لمن يقتل في سبيل
الله أموات بل أحياء ولكن لاتشعرون\"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah, ( bahwa mereka itu ) mati; bahkan (
sebenarnya ) mereka itu hidup, tetapi kamu Tidak menyadarinya\". (
Q.S.Al.Baqarah : 154 )ولاتحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند
ربهم يرزقون\"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Alah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
rezki.\" ( Q.S.Ali Imran : 169 ) Jika mereka meyakini kehidupan
orang-orang yang mati syahid maka kami katakan kepada mereka bahwa para Nabi
dan orang-orang muslim yang shalih yang tidak berstatus syuhada’ seperti
sahabat-sahabat senior itu tidak diragukan lagi lebih utama dari para syuhada’.
Jika fakta menunjukkan syuhada’ itu hidup maka adanya kehidupan bagi
orang-orang yang lebih utama daripada mereka lebih layak, di samping bahwa
kehidupan para Nabi di alam kubur telah ditegaskan dalam hadits-hadits shahih. Jika
kami katakan bahwa ketika kehidupan arwah telah dibuktikan berdasarkan
dalil-dalil qath’i maka tidak ada ruang bagi kita setelah terbuktinya kehidupan
arwah tersebut kecuali menetapkan spesikasi-spesikasinya. Karena adanya hal
yang dilazimkan ( malzum ) menetapkan adanya yang melazimkan ( lazim )
sebagaimana meniadakan hal yang melazimkan menetapkan tidak adanya hal yang
dilazimkan, sebagaimana telah diketahui. Secara logika, faktor apa yang
menghalangi memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah lewat arwah para Nabi
sebagaimana seseorang meminta bantuan dengan malaikat dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya atau sebagaimana seseorang memohon pertolongan kepada
yang lain. ( Engkau disebut manusia sebab ruh bukan jasad fisik
). Aktivitas arwah sama dengan aktivitas malaikat, tidak membutuhkan
sentuhan dan alat. Tidak seperti ketentuan-ketentuan dalam aktivitas kita yang
telah diketahui. Karena aktivitas arwah terjadi pada alam lain.ويسألونك عن
الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إلا قليلاDan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah : \"Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,Dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.\" ( Q.S.Al.Israa\` :
85 )Apa yang mereka fahami tentang aktivitas malaikat atau jin di alam ini
?Tidak ragu lagi bahwa arwah, dengan keterlepasan dan kebebasannya membuatnya
mampu menjawab orang yang memanggilnya dan menolong orang yang meminta bantuan
kepadanya persis seperti orang hidup. Kemampuan arwah justru melebihi orang
hidup.Jika golongan Wahabi tidak mengetahui kecuali hal-hal yang terindera dan
tidak mengakui kecuali hal-hal yang kasat mata maka ini adalah karakter para
naturalis bukan kaum mukminin. Bagaimanapun kami mengalah mengikuti dan setuju
pandangan mereka bahwa arwah setelah terlepas dari raga tidak mampu melakukan
apapun, namun kami katakan kepada mereka jika diandaikan demikian dan kami
setuju dalam rangka diskusi maka kami tegaskan bahwa bantuan yang diberikan
para Nabi dan wali kepada orang-orang yang memohon bantuan bukan dikategorikan
aktivitas arwah di alam ini. Tetapi bantuan mereka terhadap orang-orang yang
berziarah atau memohon bantuan lewat mereka dengan mendoakan sebagaimana orang
shalih mendoakan orang lain. Maka yang terjadi adalah do’a dari orang yang
unggul untuk orang yang diungguli atau minimal doa seorang saudara kepada
saudaranya. Dan sungguh engkau mengetahui bahwa para Nabi dan wali itu hidup,
memiliki kesadaran, kepekaan dan pengetahuan. Malah kesadaran mereka lebih
sempurna dan pengetahuan mereka lebih luas setelah terlepas dari raga karena
lenyapnya penghalang tanah dan perselisihan-perselisihan ambisi
manusiawi. Dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa amal perbuatan
kita disampaikan kepada beliau SAW. Jika beliau menemukan kebaikan beliau akan
memuji Allah dan sebaliknya jika menemukan keburukan beliau akan memohonkan
ampunan buat kita. Boleh kita katakan bahwa yang dimintakan dan dimohon
bantuannya adalah Allah namun si pemohon memohon kepada Allah dengan
menggunakan perantara Nabi agar keinginannya dikabulkan Allah. Berarti pelaku
yang memberikan bantuan adalah Allah, namun pemohon ingin memohon kepada Allah
lewat sebagian orang-orang yang dekat dan mulia di sisi-Nya. Seolah-olah
pemohon mengatakan, “Saya salah satu pecinta atau pengikut orang yang dekat dan
mulia di sisi-Mu maka rahmatilah aku berkat dirinya.” Dan Allah bakal memberi
rahmat kepada banyak orang berkat Nabi SAW dan figur lain dari para Nabi, wali
dan ulama.Walhasil, kemuliaan yang diberikan Allah kepada para pecinta Nabi
karena Nabi, juga kemuliaan yang diberikan-Nya kepada sebagian hamba karena
sebagian hamba yang lain adalah hal yang telah diketahui. Sebagian dari hal di
atas adalah mereka yang mensalati mayit dan memohon kepada Allah agar Dia
memuliakan mayit dan mengampuninya karena mereka dengan mengatakan : Dan kami
telah datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat maka terimalah syafaat
kami. APAKAH MEMOHON SESUATU YANG TIDAK MAMPU DILAKUKAN KECUALI OLEH ALLAH
ADALAH TINDAKAN SYIRIKSalah satu klaim sesat yang menjadi pegangan golongan
yang memvonis kafir terhadap orang yang bertawassul dengan Nabi SAW atau
memohon kepada beliau adalah ucapan mereka bahwa manusia memohon kepada para
Nabi dan orang-orang shalih yang telah mati, sesuatu yang tidak dapat dilakukan
kecuali oleh Allah. Permohonan ini dikategorikan kufur. Jawaban dari klaim
ini adalah bahwa pandangan tersebut adalah sebuah kesalahpahaman terhadap
ketetapan ulama di zaman dulu dan kini. Karena manusia hanya memohon kepada
para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah
dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan
kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para Nabi dan orang-orang shalih
sebagaimana yang terjadi pada seorang buta dan yang lain dari mereka yang
kepada Nabi dalam rangka memohon dan bertawassul dengan beliau kepada Allah.
Nabi mengabulkan permohonan mereka, menenteramkan hati mereka dan mewujudkan
keinginan mereka atas izin Allah dan beliau tidak pernah berkata kepada salah
seorang dari mereka : “kamu telah musyrik.”Demikian juga semua hal yang berada
di luar kebiasaan yang dimintakan kepada beliau seperti menyembuhkan penyakit
kronis tanpa obat, menurunkan hujan dari langit saat dibutuhkan padahal tidak
ada mendung, merubah substansi benda, mengucurnya air dari jari-jari, memperbanyak
makanan dan sebagainya. Semua permintaan ini umumnya berada di luar kemampuan
manusia dan Nabi tetap mengabulkan permintaan ini serta tidak mengatakan kepada
mereka : “Kalian telah menyekutukan Allah maka perbaharuilah Islam kalian
karena kalian meminta sesuatu dariku yang tidak mampu melakukannya kecuali
Allah.” Apakah mereka kelompok Wahabi merasa lebih tahu tentang tauhid dan
faktor-faktor yang menyebabkan keluar dari tauhid daripada Nabi Muhammad SAW
dan para sahabat beliau? Ini adalah sesuatu yang tidak dibayangkan oleh orang
bodoh, apalagi orang pintar. Al Qur’an yang agung menceritakan sabda Nabi
Sulaiman AS kepada jin dan manusia yang menjadi anggota majlis beliau :يا أيها
الملؤا أيكم يأتيني بعرشها قبل أن يأتوني مسلمين\"Hai pembesar-pembesar,
siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku
sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah
diri\". ( Q.S.An.Naml : 38 ) Beliau AS meminta kepada mereka untuk
mendatangkan singgasana besar dari Yaman menuju tempatnya di Syam melalui cara
di luar kebiasaan agar hal ini menjadi petunjuk bagi Bilqis dan pendorong untuk
beriman.Ketika ‘Ifrit dari golongan jin mengatakan :أنا آتيك به قبل أن تقوم من
مقامك\"Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu
sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu\". ( Q.S.An.Naml : 39
) Maksudnya dalam waktu singkat. Nabi Sulaiman berkata, “Saya ingin yang
lebih cepat dari itu.” Lalu seorang lelaki yang memiliki pengetahuan dari kitab
yang notabene salah seorang paling jujur dan anggota majlis beliau berkata :أنا
آتيك به قبل أن يرتد إليك طرفك \"Aku akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip\".( Q.S.An.Naml : 40 )Maksudnya sebelum
pelupuk matamu kembali terbuka. “Itu yang saya harapkan,” kata Nabi Sulaiman.
Kemudian lelaki itu berdo’a dan tiba-tiba singgasana itu sudah ada di depan
beliau. Mendatangkan singgasana dengan cara demikian adalah salah satu hal
yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan tidak berada dalam batas
kemampuan manusia dan jin umumnya. Nabi Sulaiman mengajukan permintaan ini
kepada anggota majlisnya dan lelaki yang sangat jujur itu berkata kepada beliau
bahwa saya akan melakukannya. Apakah Nabi Sulaiman kafir sebab mengajukan
permintaan tersebut dan apakah lelaki itu telah menyekutukan Allah dengan
jawabannya? Hal ini jelas sangat mustahil. Karena dalam kedua perkataan
tersebut tindakan disandarkan berdasarkan cara majaz ‘aqli. Dan hal ini boleh
malah populer. Mengungkap kekaburan dalam masalah ini jika memang di situ
terdapat kekaburan adalah bahwa manusia hanya memohon kepada para Nabi dan
orang-orang shalih agar memberi syafaat kepada Allah dalam hal-hal yang berada
di luar kemampuan manusia dan Allah memberi mereka kemampuan untuk
melakukannya. Orang yang mengatakan : Wahai Nabi Allah ! sembuhkan penyakitku
atau bayarlah hutangku, maksud sesungguhnya adalah berilah aku syafaat dalam
kesembuhan, berdo’alah untukku agar hutangku terbayar dan bertawajjuhlah kepada
Allah menyangkut kondisiku. Manusia tidak memohon kepada beliau kecuali sesuatu
yang Allah telah memberi beliau kemampuan untuk melakukannya dari do’a dan
memberi syafaat. Ini adalah keyakinanku menyangkut orang yang mengatakan
hal di atas dan saya berserah diri kepada Allah atas keyakinan ini. Penyandaran
dalam perkataan manusia termasuk majaz ‘aqli yang tidak menimbulkan dampak
negatif atas orang yang mengatakannya sebagaimana firman Allah : سبحان
الذي خلق الأزواج كلها مما تنبت الأرض ومن أنفسهم ومما لا يعلمون\"Maha suci
Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui\".( Q.S.Yaasiin : 36 ) dan sabda Nabi SAW :إن مما ينبت الربيع
ما يقتل حبطا أو يلمPenggunaan majaz ‘aqli dalam firman Allah dan sabda rasul serta
orang khusus dan orang awam itu banyak sekali dan tidak perlu dikhawatirkan.
Karena keluarnya majaz ‘aqli dari orang-orang yang mengesakan Allah adalah
indikasi atas maksud mereka dan sama sekali bukan termasuk perangai buruk.
Persoalan ini telah kami jelaskan dengan detail pada pembahasan khusus dalam
kitab ini.JIKA ENGKAU MEMOHON MAKA MEMOHONLAH KEPADA ALLAH DAN JIKA MEMINTA
PERTOLONGAN MINTALAH PADA ALLAHJudul ini adalah penggalan dari sebuah hadits
populer yang diriwayatkan Al Turmudzi dan dinilainya shahih dari Ibnu ‘Abbas
dengan status marfu’.Banyak orang salah faham dalam memahami hadits ini karena
mereka menjadikannya sebagai dalil bahwa tidak boleh meminta dan memohon
pertolongan secara mutlak, dari sisi apapun, dan dengan cara apapun kecuali kepada
Allah. Mereka menganggap meminta dan memohon pertolongan kepada selain Allah
sebagai kemusyrikan yang mengeluarkan dari agama Islam. Dengan anggapan
demikian mereka menafikan penggunaan sebab dan mencari bantuan dengannya serta
meruntuhkan banyak nash yang ada dalam masalah ini. Yang benar hadits ini
tidak dimaksudkan untuk melarang meminta atau memohon pertolongan kepada selain
Allah sebagaimana dilihat dari teksnya. Namun maksudnya adalah melarang lupa
bahwa kebaikan yang dihasilkan oleh sebab sesungguhnya berasal dari Allah, dan
perintah untuk menyadari bahwa kenikmatan yang ada pada makhluk berasal dan
disebabkan Allah. Berarti makna hadits ini adalah jika anda ingin memohon
pertolongan kepada salah seorang makhluk dan hal ini harus dilakukan maka jadikan
seluruh sandaranmu kepada Allah semata. Jangan sampai perhatian kepada sebab
membuatmu lupa untuk melihat pembuat sebab. Janganlah engkau termasuk orang
yang mengetahui apa yang terlihat secara lahir dari kaitan dan relasi antara
berbagai hal yang saling berkaitan satu sama lainnya namun melupakan Dzat yang
mengaitkannya. Hadits di atas sendiri mengindisikan pengertian ini. Yakni
dalam sabda Nabi setelah ungkapan di atas, yaitu : واعلم أن الأمة
لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك ,وإن اجتمعت على
أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك.“Ketahuilah bahwa
sesungguhnya kalau ummat bersatu untuk memberimu manfaat dengan sesuatu maka
mereka tidak akan memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah
digariskan Allah untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk memberimu bahaya dengan
sesuatu maka mereka tidak akan memberimu bahaya kecuali dengan sesuatu yang
telah digariskan Allah kepadamu.” Sebagaimana kamu lihat, hadits ini
menetapkan ummat bisa memberi manfaat dan bahaya dengan sesuatu yang telah
digariskan Allah untuk atau atas seorang hamba. Kelanjutan dari hadits di
atas menjelaskan maksud yang dikehendaki Nabi SAW. Mengapa kita mengingkari
permintaan bantuan kepada selain Allah padahal terdapat perintah untuk melakukannya
dalam banyak tempat dari Al Kitab dan Al Sunnah ? Allah berfirman :واستعينوا
بالصبر والصلاة\"Dan mintalah pertolongan ( kepada Allah ) dengan sabar dan
shalat\". ( Q.S.Al.Baqarah : 45 ) وأعدّوا لهم ما استطعتم من
قوة\"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan\". (
Q.S.Al.Anfaal : 60 )Firman Allah berikut menceritakan seorang hamba yang
shalih, Dzul Qarnain :قال مامكني فيه ربي خير فأعينونى بقوة أجعل بينكم وبينهم
ردماDzulqarnain berkata : \"Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku
terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (
manusia dan alat-alat ),agaraku membuatkan dinding antara kamu dan
mereka\".( Q.S.Al.Kahfi : 95 )Dan dalam penyelenggaraan shalat khauf yang
ditetapkan dengan Al Kitab dan Al Sunnah ditetapkan saling tolong menolong
sebagian makhluk dengan yang lain. Demikian pula Allah SWT menginstruksikan
kaum mu’minin untuk mengambil sikap waspada terhadap musuh mereka. Begitu
pula dalam Rasulullah mendorong kaum mu’minin untuk saling membantu memenuhi kebutuhan
yang lain, memudahkan orang yang tertimpa kesulitan dan memberi solusi atas
orang yang dilanda problema serta dalam ancaman beliau terhadap ketidakpedulian
atas hal-hal ini, semuanya banyak terdapat dalam Al Sunnah. روي الشيخان :
من كان في حاجة أخيه كان الله في حاجته“Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya
maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” HR Al Bukhari dan Muslim. وروي
مسلم وأبو داود وغيرهما عنه عليه الصلاة والسلام : والله في عون العبد ما كان
العبد في عون أخيه.“Allah senantiasa membantu seorang hamba sepanjang ia selalu
membantu saudaranya.” HR Muslim, Abu Dawud dan perawi lain.Rasulullah bersabda
: إن لله خلقا خلقهم لحوائج الناس يفزع الناس إليهم في حوائجهم , أولئك
الآمنون من عذاب الله.“Allah memiliki makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Manusia datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya. Mereka
itu adalah orang-orang yang aman dari adzab Allah.”Renungkanlah sabda Nabi (
Manusia datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya ). Beliau tidak menjadikan
manusia tersebut sebagai orang-orang musyrik dan juga tidak sebagai orang-orang
yang melakukan maksiat. إن لله عند أقوام نعما أقرها عندهم ما كانوا
في حوائج المسلمين مالم يملوهم , فإذا ملوهم نقلها إلى غيرهم.“Sesungguhnya
bagi Allah pada beberapa kaum ada nikmat yang Dia tetapkan pada mereka
sepanjang mereka memenuhi kebutuhan kaum muslimin dan sepanjang mereka tidak
menyusahkan kaum muslimin. Jika mereka menyusahkan kaum muslimin, Allah akan
memindahkan nikmat itu kepada kaum lain.” Hadits marfu’. إن لله أقواما
اختصهم بالنعم لمنافع العباد , يقرهم فيها ما بذلوها فاذا منعوها نزعها منهم
فحولها إلى غيرهم.“Sesungguhnya Allah mempunyai beberapa kaum yang Dia khususkan
dengan beberapa nikmat untuk kemanfaatan para hamba. Allah menetapkan mereka
dalam nikmat-nikmat itu sepanjang mereka mendermakannya. Jika mereka menolak
mendermakannya maka Allah akan mencabut nikmat-nikmat itu dan mengalihkannya
kepada kaum lain.” HR Muslim dan Ibnu Abi Al Dunya.Al Hafidh Al Mundziri
mengatakan seandainya dikatakan sanad hadits ini hasan maka itu hal yang
mungkin. قال صلى الله عليه وسلم : لأن يمشي أحدكم مع أخيه في قضاء
حاجته- وأشار بأصبعه-أفضل من أن يعتكف في مسجدي هذا شهرين.“Sungguh jika salah
satu dari kalian berjalan bersama saudaranya dalam rangka memenuhi kebutuhan
saudaranya – Nabi memberi isyarat dengan jari-jari beliau – itu lebih utama
daripada ia beri’tikaf di masjidku ini selama dua bulan.” HR Al Hakim.
“Isnadnya hasan,” kata Al Hakim. JIKA ANDA MEMINTA, MEMINTALAH KEPADA
ALLAHAdapun sabda Nabi SAW : إذا سألت فاسأل اللهmaka ia tidak bisa dijadikan
pijakan dan dalil untuk melarang meminta atau tawassul. Siapapun yang memahami
dari hadits ini secara harfiah adanya larangan memohon kepada selain Allah
secara mutlak atau larangan tawassul dengan orang lain secara total maka
sungguh ia telah salah jalan dan menipu dirinya. Karena orang yang menjadikan
para Nabi dan orang shalih sebagai wasilah ( mediator ) kepada Allah untuk
mendapatkan manfaat atau menolak keburukan dari Allah maka tidak lain kecuali
ia memohon kepada Allah semata agar memudahkan apa yang ia cari atau menjauhkan
darinya keburukan yang dikehendaki Allah seraya bertawassul kepada-Nya dengan
orang yang ia jadikan sebagai mediator. Dalam hal ini, ia menggunakan sebab
yang dijadikan Allah untuk keberhasilan para hamba dalam memenuhi kebutuhan
mereka kepada Allah. Barangsiapa yang menggunakan sebab yang diperintahkan
Allah untuk menempuhnya dalam rangka meraih keinginannya, maka ia tidak memohon
kepada sebab tapi memohon kepada yang menetapkan sebab. Maka perkataan
seseorang : Wahai Rasulullah, saya ingin engkau mengembalikan pandangan mataku,
melenyapkan musibah yang menimpaku atau menyembuhkan sakitku maksudnya adalah
memohon permintaan-permintaan ini kepada Allah lewat syafaat Rasulullah SAW.
Perkataan ini sama dengan ucapan : Do’akan aku dapat begini atau syafaatilah
aku dalam ini. Tidak ada perbedaan antara ungkapan di atas dan ungkapan semacam
ini. Hanya saja, yang terakhir ini lebih transparan maksudnya daripada yang
awal. Ucapan semisal dua ungkapan di atas yang lebih jelas adalah perkataan
orang yang bertawassul : Ya Allah, saya memohon Engkau - lewat Nabi-Mu –
memudahkan sesuatu – dari hal yang bermanfaat, atau menolak sesuatu – dari hal
yang buruk. Orang yang bertawassul dalam semua contoh di atas tidak memohon
keinginannya kecuali kepada Allah. Dari paparan di atas bisa anda ketahui
bahwa berargumentasi atas larangan tawassul dengan sabda Nabi SAW إذا سألت
فاسأل الله adalah kesalahan mengarahkan hadits pada pengertian yang jelas
keliru. Yaitu bahwasanya siapapun tidak boleh memohon sesuatu kepada selain
Allah. Karena orang yang memahami hadits di atas dengan pengertian demikian,
sepenuhnya keliru. Cukup untuk menjelaskan kesalahan pengertian tersebut bahwa
hadits itu sendiri terucap sebagai respon dari Nabi atas pertanyaan Ibnu ‘Abbas
sang perawi hadits setelah beliau memancingnya untuk mengajukan pertanyaan.
“Nak, maukah engkau aku ajari beberapa kalimat yang Allah akan memberimu
manfaat dengannya ?” pancing beliau. Anjuran bertanya manakah yang lebih indah
dari dorongan beliau ini ? “Ya, mau,” jawab Ibnu ‘Abbas. Lalu Rasulullah
membalas dengan hadits yang ada ungkapan di atas ini.Seandainya kita mengikuti
pemahaman keliru di atas niscaya orang bodoh tidak boleh bertanya kepada orang
pintar, orang yang jatuh dalam tempat yang membinasakan tidak boleh memohon
pertolongan kepada seseorang yang bisa menyelamatkannya, yang memberi piutang
tidak boleh meminta hutang kepada pihak yang berhutang, seseorang tidak boleh
meminta hutang, di hari kiamat manusia tidak boleh meminta syafaat kepada para
Nabi, dan Nabi Isa tidak boleh menyuruh manusia untuk meminta syafaat kepada
junjungan para rasul Muhammad SAW. Karena dalil yang digunakan untuk menopang
anggapan ini bersifat umum yang mencakup keabsahan apa yang telah kami sebutkan
dan belum kami sebutkan. Apabila golongan Wahabi mengatakan bahwa yang
dilarang adalah meminta kepada para Nabi dan orang shalih yang sudah berada
dalam kuburan di alam barzakh karena mereka tidak bisa melakukan apa-apa maka
bantahan terhadap alasan ini telah dijelaskan secara panjang lebar di muka, di
mana kesimpulannya adalah bahwa mereka hidup dan mampu memberikan syafaat dan
do’a. Kehidupan mereka adalah kehidupan barzakh yang layak dengan status mereka
yang dengan kehidupan itu mereka mampu memberi manfaat dengan berdo’a dan
memohonkan ampunan. Orang yang mengingkari kehidupan para Nabi dan orang-orang
shalih di alam kubur paling tidak ia buta terhadap hadits yang statusnya hampir
mutawatir yang menunjukkan bahwa orang-orang mu’min yang mati dalam kehidupan
barzakhnya mampu mengetahui, mendengar, mampu mendoakan dan aktivitas-aktivitas
lain yang dikehendaki Allah. Maka apa anggapanmu menyangkut pembesar-pembesar
barzakh dari para Nabi dan orang-orang shalih ?Dalam hadits tentang isra’ yang
tidak hanya berstatus shahih namun masyhur di sana diceritakan tentang sikap
para Nabi terhadap Nabi terbaik Muhammad di mana mereka shalat menjadi ma’mum
beliau, menjadi pendengar khutbah beliau dan do’a mereka terhadap beliau di
langit hingga ummat Muhammad tidak mendapat dispensasi pengurangan shalat dari
50 kali menjadi 5 kali dalam sehari semalam berkat syafaat beliau yang
berulang-ulang, kecuali setelah mendapat isyarat dengan syafaat dari Nabi yang
mendapat firman Allah, Musa ibn ‘Imran kepada beliau SAW. Dari keterangan
di atas jelaslah bahwa pengertian yang dimaksud hadits di muka tidak seperti
anggapan mereka yang nyata-nyata salah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Karena maksud dari hadits itu adalah peringatan terhadap tindakan meminta-minta
harta orang lain tanpa ada kebutuhan tapi semata-mata hanya menginginkannya,
anjuran bersikap menerima (qana’ah) terhadap apa yang dimudahkan Allah meskipun
sedikit, tidak meminta apa yang tidak dibutuhkannya dari barang-barang milik
orang lain, dan merasa cukup dengan memohon kepada Allah dengan mengharap
karunia-Nya, karena Allah mencintai mereka yang terus-menerus memohon dalam
berdoa. Berbeda dengan manusia yang justru membencinya. الله يغضب إن تركت
سؤاله وبنى آدم حين يسأل يغضبAllah murka jika kamu tidak memohon kepadanyaSedang
anak Adam marah saat diminta sesuatuMakna hadits di atas adalah sebagai berikut
: Jika engkau silau melihat harta orang lain dan ingin memilikinya maka
janganlah engkau meminta harta miliknya tapi mintalah pertolongan Allah dengan
cara memohon kepada-Nya dari karunia-Nya bukan meminta kepada hamba-Nya. Jadi
hadits tersebut membimbing untuk bersifat qana’ah dan membersihkan diri dari
sifat tamak. Di manakah posisi makna hadits ini dari tindakan memohon kepada
Allah melalui para Nabi dan wali-Nya atau permintaan syafaat para Nabi untuk
mereka yang memintanya dalam hal di mana Allah menjadikan syafaat mereka
terdapat padanya, yang notabene faktor terkuat tercapainya keberhasilan. Namun
jika manusia sudah mengendarai hawa nafsu maka hawa nafsu akan membawanya jauh
menjelajahi ruang prasangka dan tergelincir dari rel pemahaman yang
benar.SESUNGGUHNYA SAYA TIDAK DAPATDIJADIKAN TEMPAT UNTUK MEMOHONDalam sebuah
hadits terdapat kisah bahwa pada era Nabi Muhammad Saw ada orang munafik yang
menyakiti orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada
Nabi SAW dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar. فقال النبي : إنه لا يستغاث
بي وإنما يستغاث بالله“Sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk
memohon. Hanya Allah lah yang menjadi tempat memohon.” Jawab Nabi. HR Al
Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir.Hadits ini terkadang dijadikan argumentasi
oleh orang yang menolak memohon pertolongan dengan Nabi SAW. Argumentasi ini
dari awal sudah keliru. Sebab jika hadits ini dipahami secara tekstual niscaya
maksudnya adalah melarang memohon pertolongan dengan beliau secara total
sebagaimana yang terlihat dari kalimatnya. Pemahaman teskstual ini dimentahkan
oleh sikap sahabat bersama beliau. Di mana mereka memohon pertolongan dan hujan
lewat beliau serta meminta do’a kepada beliau dan beliau pun mengabulkannya
dengan suka cita. Karena itu hadits ini harus diberi interpretasi yang relevan
dengan keumuman hadits-hadits agar kesatuan nash-nash bisa terangkai. Kami
katakan bahwa yang dimaksud denganإنه لايستغاث بي adalah menetapkan substansi
tauhid dalam dasar keyakinan. Yaitu bahwa pemberi pertolongan sejatinya adalah
Allah. Adapun hamba, ia hanyalah mediator dalam memohon pertolongan atau maksud
Nabi SAW adalah mengajari para sahabat bahwa tidak boleh meminta kepada hamba sesuatu
yang berada di luar kapasitasnya seperti meraih surga, selamat dari neraka,
hidayah dalam arti terhindar dari kesesatan, dan jaminan mengakhiri ajal dalam
kebahagiaan. Hadits ini tidak menunjukkan atas pengkhususan memohon
pertolongan dan memberikannya dengan orang hidup bukan orang mati. Ia tidak
memiliki kaitan dengan pembedaan ini. Justru, secara tekstual hadits ini
melarang memohon pertolongan dengan selain Allah selamanya tanpa ada
diskriminasi antara yang hidup dan yang mati. Namun pengertian ini bukan yang
dimaksud oleh hadits ini seperti telah kami jelaskan di muka. Ibnu
Taimiyyah dalam Al Fataawaa mengisyaratkan pengertian ini dimana ia mengatakan,
“Terkadang dalam firman Allah dan sabda rasul terdapat ungkapan yang memiliki
arti sahih namun sebagian orang memahaminya diluar yang dikehendaki Allah dan
rasul-Nya. Pemahaman ini tidak bisa diterima. Sebagaimana Al Thabarani dalam Al
Mu’jam Al Kabir meriwayatkan bahwa sesungguhnya pada era Nabi Muhammad Saw ada
orang munafik yang menyakiti orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon
pertolongan kepada Nabi SAW dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar. “Sesungguhnya
saya tidak bisa dijadikan tempat untuK memohon. Hanya Allah lah yang menjadi
tempat memohon.” Pengertian hadits ini yang dikehendaki Nabi adalah
pengertian kedua. Yakni meminta kepada beliau sesuatu yang tidak mampu
melakukannya kecuali Allah. Jika tidak dikehendaki pengertian kedua, buktinya
para sahabat memohon do’a kepada beliau dan meminta hujan lewat beliau
sebagaimana keterangan dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata,
“Kadang aku mengingat seorang penyair seraya kupandang wajah Nabi SAW yang
sedang memohon hujan. Maka beliau tidak turun sampai talang mengalir
airnya.”وأبيضو يستسقى الغمام بوجهه ثمال اليتامى عصمة للارامل Figur
berwajah putih dimana mendung dimintakan hujan berkat dirinya Sang
pemelihara anak-anak yatim dan pelindung para jandaKATA-KATA YANG DIGUNAKAN
YANG TERDAPAT DALAM MASALAH INITerdapat kata-kata yang digunakan untuk memuji
Nabi SAW yang menyebabkan kesamaran bagi sebagian golongan Wahabi kemudian
mereka memvonis kufur yang mengucapkannya. Di antaranya seperti :ولا رجاء إلا
هوTidak ada harapan kecuali Nabi SAWوأنا مستجير بهSaya meminta perlindungan
kepada beliauوإليه يفزع في المصائبHanya kepada beliau tempat berlindung dalam
segala musibahوإن توقفت فمن سألJika saya bimbang maka kepada siapa saya meminta
?Maksud mereka yang menggunakan ungkapan ini adalah tidak ada tempat berlindung
yang dari makhluk, tidak ada harapan yang dari manusia, hanya kepada beliau
tempat berlindung dalam segala musibah, yakni yang dari kalangan makhluk karena
kemuliaan beliau di sisi Allah dan agar beliau bertawajjuh dan memohon
kepada-Nya, dan jika saya bimbang kepada siapa saya meminta? Yakni yang dari
para hamba Allah. Meskipun dalam do’a dan tawassul kami tidak menggunakan
ungkapan-ungkapan seperti di atas dan kami juga tidak mengajak serta mendorong
untuk menggunakannya karena menghindari kesalahfahaman dan menjauhi
ungkapan-ungkapan yang diperselisihkan serta karena berpegang teguh dengan
ungkapan yang jelas yang tidak diperselisihkan, hanya saja kami menilai
menjatuhkan vonis kufur kepada orang yang menggunakan ungkapan-ungkapan
tersebut adalah tindakan tergesa-gesa yang tidak terpuji dan tindakan yang
tidak bijaksana. Mengapa? Karena kita harus melihat fakta bahwa yang
mengungkapkannya adalah dari kalangan yang mengesakan Allah, bersaksi bahwa
tiada Tuhan kecuali Dia dan Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan shalat,
membenarkan semua rukun agama, percaya kepada Allah sebagai Tuhan, Muhammad
sebagai Nabi, dan Islam sebagai agama. Yang dengan semua hal ini mereka
memiliki perlindungan sebagai pemeluk agama dan memperoleh kehormatan Islam.
Dari Anas RA, ia berkata : من صلى صلاتنا وأسلم واستقبل قبلتنا وأكل
ذبيحتنا فذلك المسلم الذى له ذمة الله ورسوله فلا تخفروا الله فى
ذمته.“Barangsiapa yang melakukan shalat seperti shalat kami, masuk Islam dan
menghadap kiblat kami serta memakan hewan sembelihan kami maka ia adalah
seorang muslim yang memiliki perlindungan dari Allah dan rasul-Nya, maka
janganlah kalian tidak menepati Allah dalam orang yang dilindungi-Nya.” HR Al
Bukhari. Berangkat dari uraian di atas maka kewajiban kita ketika
menjumpai dalam perkataan kaum mu’minin penyandaran sesuatu kepada selain Allah
SWT maka kita wajib mengarahkannya ke dalam majaz ‘aqli dan tidak ada jalan
untuk mengkafirkan mereka. Karena majaz ‘aqli digunakan dalam Al Kitab dan Al
Sunnah. Terlontarnya penyandaran tersebut dari orang yang mengesakan Allah
cukup untuk menjadikannya sebagai majaz ‘aqli. Sebab keyakinan yang benar
adalah keyakinan bahwa Allah adalah pencipta para hamba dan seluruh perbuatan
mereka. Tidak ada seorang pun yang bisa memberi pengaruh kecuali Allah, baik ia
mati atau hidup. Keyakinan ini adalah tauhid. Berbeda dengan orang yang meyakini
keyakinan lain, ia akan terjerumus dalam kemusyrikan. Tidak ada dalam kaum
muslimin secara mutlak, orang yang meyakini seseorang bersama-sama dengan Allah
bisa berbuat, meninggalkan, memberi rizqi, menghidupkan atau mematikan. Adapun
ungkapan-ungkapan yang menimbulkan kesalahpahaman maka maksud mereka yang
mengungkapkannya adalah memohon syafaat kepada Allah dengan mediator/perantara
tersebut. Maka maksud sesungguhnya adalah Allah. Tidak ada seorang muslim pun
yang meyakini menyangkut orang yang ia mohon atau ia minta bahwa orang orang
tersebut mampu untuk mengerjakan dan meninggalkan sesuatu tanpa melibatkan
Allah, dari dekat atau jauh atau melibatkan Allah dalam taraf yang lebih dekat
kepada kemusyrikan terhadap Allah. Aku berlindung kepada Allah dari melemparkan
tuduhan syirik atau kufur kepada seorang muslim karena alasan keliru, bodoh,
lupa atau berijtihad. Kami katakan bahwa jika kebanyakan dari mereka di
atas melakukan kesalahan dalam mengungkapkan permohonan ampunan, surga,
kesembuhan, kesuksesan dan permintaan mereka akan hal ini langsung kepada Nabi
SAW, maka sesungguhnya mereka tidak melakukan kesalahan dalam aspek tauhid.
Sebab maksud dari ungkapan mereka adalah memohon syafaat kepada Allah lewat
perantara itu. Seolah-olah mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah!, mintalah
kepada Allah agar Dia mengampuni dan merahmatiku. Saya bertawassul dengan
beliau kepada Allah dalam memenuhi kebutuhanku, melenyapkan kesusahanku dan
mewujudkan harapanku.”Para sahabat Rasulullah sendiri memohon pertolongan dengan
beliau, memohon bantuan, meminta syafaat dan mengadukan kondisi mereka dari
kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan kegagalan kepada beliau sebagaimana
telah kami sebutkan.Sudah maklum bahwa Nabi tidak memberikan bantuan dan
sebagainya kepada para sahabat secara independen berkat dirinya atau
kapasitasnya. Tapi beliau memberikannya atas izin, perintah, dan kekuasaan
Allah. Nabi hanyalah seorang hamba yang memiliki kedudukan dan statusnya
sendiri di sisi Allah. Beliau juga memiliki kemuliaan yang dengannya beliau
memasukkan kepada Allah banyak manusia yang percaya kepada beliau, membenarkan
risalahnya dan meyakini keutamaan dan kemuliaannya. Saya meyakini bahwa
orang yang memiliki keyakinan berlawanan dengan pemaparan di atas telah
dikategorikan musyrik. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan
pendapat. Karena itu, Anda akan melihat bahwa dalam sebagian kesempatan
Nabi mengingatkan keyakinan di atas jika tampak lewat wahyu atau dari keadaan
bahwa orang yang bertanya atau mendengar itu kurang keyakinannya. Dalam sebuah
kesempatan beliau menginformasikan bahwa dirinya adalah junjungan anak Adam (
sayyidu waladi Adam ). Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan kepada sahabat
bahwa yang menjadi junjungan adalah Allah. Dalam satu kesempatan para sahabat
memohon bantuan kepada beliau kemudian beliau mengajarkan mereka untuk
bertawassul dengan dirinya. Namun dalam waktu yang lain mengatakan kepada
mereka, “Sesungguhnya yang bisa dimintai bantuan adalah Allah sedang saya tidak
bisa dimintai bantuan.” Di satu saat beliau para sahabat meminta dan memohon
pertolongan dengan beliau dan beliau pun mengabulkan keinginan mereka. Malah
beliau juga memberikan alternatif kepada mereka untuk bersabar menghadapi
musibah dengan jaminan masuk sorga atau mengatasi musibah itu segera,
sebagaimana Nabi pernah memberikan pilihan kepada seorang buta, perempuan yang
mengidap epilepsi, dan kepada Qatadah yang kehilangan penglihatan. Dalam suatu
waktu beliau berkata kepada para sahabat, “Jika kamu meminta maka mintalah
kepada Allah dan jika kamu memohon pertolongan maka memohonlah kepada Allah .”
Dalam satu kesempatan beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menghilangkan satu
kesusahan seorang mu’min.” Namun dalam kesempatan beliau berkata, “Tidak ada
yang mendatangkan segala kebaikan kecuali Allah.”Dari uraian di atas, jelas
bagi kamu bahwa akidah kita, alhamdulillah, adalah akidah paling jernih dan
paling suci. Seorang hamba tidak bisa melakukan aktivitas apapun dengan
mengandalkan dirinya sendiri betapapun kedudukan dan derajatnya, meskipun ia
adalah makhluk paling utama SAW. Beliau bisa memberi, menolak, memberi bahaya,
memberi manfaat, mengabulkan dan memberikan pertolongan hanya berkat Allah
SWT. Jika beliau dimintai bantuan, pertolongan atau diminta sesuatu maka
beliau akan menghadap Allah lalu memohon, berdo’a, memberi syafaat kemudian
akhirnya dikabulkan dan diterima syafaat beliau. Beliau tidak pernah
mengatakan kepada para sahabat yang memohon pertolongan dan sebagainya,
“Janganlah kalian meminta sesuatu kepada saya. Janganlah kalian memohon
kepadaku. Janganlah mengadukan keadaan kalian kepadaku. Tapi bertawajjuhlah
kepada Allah dan mintalah kepada-Nya. Karena pintu Allah terbuka dan Dia dekat
serta mengabulkan. Dia tidak membutuhkan siapapun dan tidak ada penghalang dan
penjaga pintu antara Dia dan makhluk-Nya. SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDIL
WAHHAB MENYANGKUT UNGKAPAN-UNGKAPAN YANG DIKATEGORIKAN SYIRIK ATAU SESAT OLEH
GOLONGAN WAHABIDalam konteks ini Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab memiliki
sikap yang agung dan pandangan yang bijak. Khususnya menyangkut sebagian
ungkapan-ungkapan yang sudah populer diucapkan lisan yang dikategorikan oleh
mereka yang mengkalim memproteksi dan membela tauhid, sebagai tindakan syirik
dan yang mengatakannya dikategorikan musyrik. Pimpinan tauhid dan kepala
orang-orang yang mengesakan Allah mengatakan dalam ungkapannya yang tepat
dengan kebijakannya yang pintar, yang dengan sikapnya ini dakwahnya menyebar di
tengah manusia dan metodenya populer di mata kalangan awam dan elite.
Dengarkanlah ucapannya tentang akidahnya yang termuat dalam suratnya kepada
Abdullah ibn Suhaim dan dicetak oleh Ahlul Majma’ah :Jika keterangan ini telah
jelas, maka masalah-masalah yang dikecam oelh Ibnu Suhaim sebagian ada yang
merupakan kebohongan yang nyata yaitu :ucapan Ibnu Suhaim bahwa saya menganggap
sesat semua kitab madzhab empatBahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam
tidak menganut agama yang benar.Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari
taqlid.Perbedaan para ulama adalah bencana dan saya mengkafirkan orang yang melakukan
tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri
karena ucapannya : Wahai Makhluk paling mulia.Seandainya saya mampu meruntuhkan
kubah Rasulullah SAW maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil
talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang
kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam
kedua orang tua dan makam orang lain, dan saya mengkafirkan orang yang
bersumpah dengan selain Allah. Atas 12 masalah ini jawaban saya adalah : Maha
Suci Engkau, ini ( apa yang dituduhkan Ibnu Suhaim ) adalah kebohongan yang
besar, Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi
SAW. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih تشابهت
قلوبهم Demikian kutipan dari risalah kedua belas dari risalah-risalah
Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab yang termuat dalam kumpulan karya-karya Syaikh
bagian kelima halaman 61 yang telah diedarkan oleh universitas Muhammad ibn
Sa’ud Al Islamiiyah dalam pekan Syaihk Muhammad ibn Abdil
Wahhab. RINGKASANWalhasil, orang yang memohon bantuan kepada selain Allah
tidak bisa divonis kafir kecuali jika ia meyakini penciptaan oleh selain Allah.
Membedakan antara orang mati dan orang hidup tidak ada artinya sama sekali.
Karena jika seseorang meyakini penciptaan oleh selain Allah maka ia kafir,
namun masih terdapat perbedaan dengan kalangan Mu’tazilah dalam masalah
penciptaan tindakan. Jika seseorang meyakini adanya unsur sebagai penyebab dan
unsur kerja maka tidak kafir. Anda mengetahui bahwa keyakinan maksimal
manusia mengenai orang-orang mati adalah bahwa mereka penyebab dan yang bekerja
atau berbuat sebagaimana orang hidup. Bukan mereka itu yang menciptakan
layaknya Tuhan. Karena tidaklah logis jika manusia menilai orang-orang mati
melebihi orang-orang hidup, padahal manusia tidak meyakini orang-orang hidup
kecuali sebagai yang berbuat dan sebagai penyebab. Jika memang terdapat
kesalahan maka kesalahan itu letaknya pada keyakinan sebagai yang berbuat dan sebagai
penyebab. Karena hal inilah keyakinan maksimal seorang mu’min mengenai makhluk.
Jika seorang mu’min tidak berkeyakinan demikian maka tidak dapat disebut
mu’min. Kesalahan dalam meyakini hal ini tidak dapat diklasifikasikan kekufuran
atau kemusyrikan.Berkali-kali saya ulangi di depan telinga kalian bahwa
tidaklah logis apabila diyakini dalam orang mati melebihi keyakinan terhadap
orang hidup. Lalu seseorang menetapkan tindakan kepada orang hidup dari aspek
menjadi penyebab dan menetapkan tindakan kepada orang mati dari aspek kemampuan
mempengaruhi secara esensial dan kemampuan menciptakan secara substansial.
Karena tidak disangsikan lagi bahwa keyakinan ini adalah keyakinan yang tidak
rasional. Paling jauh masalah orang yang meminta bantuan kepada orang mati
– setelah beberapa kali mengalah – itu seperti orang yang meminta pertolongan
kepada orang lumpuh yang tidak diketahui bahwa ia lumpuh. Siapa yang mengatakan
bahwa meminta bantuan kepada orang lumpuh itu syirik ? Padahal membuat sebab
adalah sesuatu yang berada dalam kapasitas orang mati dan orang mati juga
memiliki kemampuan untuk berbuat seperti halnya orang hidup dengan mendoakan
kita. Karena arwah itu mendoakan kerabat-kerabat mereka. Terdapat hadits
dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda : إن أعمالكم تعرض على
أقاربكم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا به وإن كان غير ذلك قالو: اللهم لا
تمتهم حتى تهديهم إلى ما هديتنا.“Sesungguhnya amal perbuatan kalian disampaikan
kerabat-kerabat kalian yang mati. Jika amal itu baik maka mereka bergembira dan
jika sebaliknya mereka berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau matikan mereka hingga
Engkau memberi petunjuk kepada apa yang Engkau memberi petunjuk kepada kami.”
HR Ahmad. Hadits ini juga memilki jalaur-jalur riwayat lain yang sebagian
menguatkan yang lain. (lihat Al Fath Al Rabbani Tartibul Musnad vol. VII hlm 89
dan Syarh Al Shudur karya Imam Al Suyuthi.Ibnu Al Mubarak meriwayatkan dengan
sanadnya sampai Abi Ayyub, ia berkata, “Amal perbuatan orang-orang hidup
disampaikan kepada orang-orang yang telah mati. Jika mereka melihat amal baik
mereka bersuka cita. Jika mereka melihat amal buruk mereka berdo’a, “Ya Allah,
semoga Engkau menyadarkan mereka.” ( lihat kitaburruh karya Ibnul Qayyim ).
0 Response to "( Mafahim Yajibu an Tushahhhah - 2) Pengertian Tawassul"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip