Permulaan Sejarah Perjalanan Hidup Alawiyin
|
Abad ketiga Hijrah merupakan abad
kegoncangan dan kekacauan, khususnya di negeri Irak yang selalu terjadi
pemberontakan dan huru-hara (fitnah). Kerajaan Bani Abbas tidak mampu
lagi mengekang dan mengatasi pemberontakan dan huru-hara yang senantiasa
timbul dan telah membuat seluruh dunia Islam bergolak laksana periuk
yang sedang mendidih, sedang penguasa tak mampu menegakkan keamanan umum
yang telah goyah selama bertahun-tahun.
|
Semua itu membuat banyak orang -
terutama tokoh-tokoh yang menonjol - berhijrah meninggalkan kampung
halamannya mencari kediaman yang aman.
|
Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir Ilallah [3] (berhijrah
mencari ridha ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti tokoh-tokoh ahlul bait
yang lainnya selalu merasa ketakutan dan senantiasa menjadi sasaran
pembunuhan dan penganiyaan. Hal demikian makin terasa pada saat terjadi
pemberontakan dan huru-hara, di mana musuh-musuh Alawiyin
rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya dan membantai
mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa di dalam suasana
kacau itu, kaum Alawlyin akan menampilkan diri untuk memegang kendali
kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap berpendirian bahwa kewajiban
mereka adalah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Ahlulbait,
keturunan Nabi pembawa agama ini serta bernaung di bawah panjinya,
betapapun secara lahir mereka (umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang
lain. Atau demikianlah semestinya.
|
Namun banyak di antara tokoh Alawiyin
berusaha menahan diri dan menghindar untuk tidak terjebak ke dalam
huru-hara itu serta berupaya untuk tidak terlibat dalam
pergolakan-pergolakan politik, disebabkan pelajaran-pelajaran praktis
yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang ini. Karena itu,
bergerak di dalam lapangan politik - menurut pandangan mereka - akan
selalu berakhir dengan kegagalan. Demikianlah pendirian segolongan
Alawiyin. Namun ada segolongan lain berpendirian, bahwa Alawiyin harus
berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus terus
menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati bergelimang darah
di tengah medan pertempuran.
|
Imam Al Muhajir termasuk golongan
pertama, sedang saudaranya Muhammad bin Isa termasuk golongan kedua,
dibuktikan dengan perlawanannya terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal
ini, Al Muhajir selalu memperingatkan dan memberi nasihat kepada
saudaranya agar tidak melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat
diberikan secara terus menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin
akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya.
|
Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih
tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan), negeri yang tandus gersang, hampir
terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah sekadar dapat hidup
aman dan damai bersama keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban
agama dan kegiatan duniawi dalam suasana tenteram dan aman, setelah
menyaksikan segala pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun di
daerah-daerah lain, berupa pemberontakan, huru-hara dan
peristiwa-peristiwa lain. Semua itu menyebabkan hilangnya ketenangan dan
menyusahkan hati.
|
Hendaknya kita tidak terburu untuk
berprasangka bhahwa Al Muhajir hanya bermaksud mengurung diri, serta
beruzlah tanpa mempedulikan umat dan masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan mendirikan suatu masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya.
|
Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah [4]
yang merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Yaitu setelah gagal
berdialog dengan mereka secara baik, sehingga terpaksa senjata harus
berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah kecil itu, telah
mendapat dukungan dari penduduk Jubail dari Wadi Dau'an yang bersimpati
kepada Ahlulbait.
|
Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian
dan kebenaran ) diterima kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar
mempengaruhi jiwa mereka, yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di
semua tahap-tahap sejarah, sebagai akan dituturkan kemudian.
|
Tahap-Tahap Sejarah Alawiyin
|
Sesungguhnya sejarah perkembangan
Alawiyin, mengalami pasang-naik dan pasang-surat, sesuai dengan
kehidupan mereka yang selalu berubah. bagaimanapun
juga, golongan Alawiyin selalu memelihara identitasnya, yaitu
berpegang teguh dengan KITAB ALLAH (Al Qur’an) dan SUNNAH (ajaran-ajaran
nabi Muhammad SAW dalam segala bidang kehidupan) luhur yang padu dan
utuh secara Islam.
|
Adapun sejarah perkembangan Alawiyin -- menurut pandangan kami dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut :
|
Tahap-tahap itu diikuti pula dengan
perbedaan gelar dan sebutan bagi tokoh tokoh Alawinyin, maka sebutan
atau gelar setiap tahap berbeda dengan gelar atau sebutan pada tahap
yang lain. Sebagai berikut :
|
Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi tokoh-tokoh Alawiyin pada masing-masing tahap.
|
Kendati demikian, saya tidak bermaksud
mengatakan bahwa sebutan-sebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi
tokoh-tokoh Alawiyin. Hanya saja - seperti diketahui sebutan dan
gelar-gelar itu lebih populer penggunaannya bagi mereka.
TAHAP PERTAMA
Tahap
pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini memiliki keistimewaan
sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran dengan masyarakat
baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh Alawiyin telah
berhasil mempengaruhi masyarakat Hadramaut serta menyesuaikan diri
dengan kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam kehidupan
sehari-hari benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh sahabat Nabi
di kurun Islam pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun ibadah.
|
Ketika baru berada di tengah rnasyarakat
Hadramaut. Al Muhajir dihadapkan dengan suasana jihad yang tak
terelakkan. Al Muhajir ketika itu harus melawan golongan ibadhiah",
baik dengan lisan
maupun dengan senjata, sehingga Al Muhajir berhasil menyebar luas
ajaran” Ahlus sunnah seperti jelas di uraikan didalam kitab-kitab
sejarah yang menerang riwayat hidup (Biografi) Al Muhajir. Kemudian,
putra-putranya dan keturunannya meneruskan langkah itu, memimpin
masyarakat hadramaut dalam bidang ilmu, budaya dan ekonomi. Bahkan dalam
bidang politik yang bersifat mengawasi dan membimbing (para penguasa)
demi tercapainya kepentingan umum, tanpa berambisi memegang tampuk
kekuasaan secara praktis.
|
Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini,
adalah Imam-Imam mujtahid (dalam arti tidak mengikuti atau terikat
dengan salah satu mazhab) seperti diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang
masing-masing tokoh terkenal dengan gelar "Imam" seperti Imam Al
Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain.
|
Namun, ijtihad mereka seringkali
bersesuaian dengan Imam Assyafi'i dalam bagian terbesar madzhabnya
Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
|
Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa
sebagian kekayaan mereka dari negeri asal, yaitu Bashrah (Irak).
Kekayaan itu amat besar jumlahnya sehingga mereka dapat membeli
tanah-tanah, kebun-kebun, bangunan-bangunan, dan sebagainya di negeri ini. Kekayaan itu juga dikembangkan di dalam bidang pertanian yang menjadi usaha pokok dan sumber utama Alawiyin tahap itu.
|
Dalam keadaan demikian,
mereka senantiasa teringat karnpung halaman dan sesekali timbul
kerinduan ketika mengenang masa lampau di negeri Irak, sehingga mereka
rnembuat lambang-lambang dengan narna taman-taman, kebun dan
pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu.
|
Dalam tahap ini setiap Alawi
menampilkan pribadi yang mulia dengan beberapa keistimewaan berupa
ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga keluarga ini dikenal dan
dibedakan oleh masyarakat karena ciri-ciri kemuliaan itu.
|
Ilmu Tokob-Tokoh Alawiyin
|
Ilmu yang dikuasai tokob-tokoh Alawiyin
tahap ini meliputi: Tafsir Hadist, Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode
berdebat dan berdiskusi, serta ilmu pengetahuan lain, yang telah
berkembang pesat dewasa itu termasuk tasawuf. Hanya saja ilmu tasawuf
ini memperoleh perhatian lebih dalam dan lebih khusus pada tokoh-tokoh
tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini memperhatikan tasawuf sebagai
amalan praktis dan buhan sebagai teori ilmiah semata.
|
Akhlak dan Budi Pekerti Alawiyin
|
Sifat yang paling menonjol bagi seorang
Alawi tahap ini adalah: kedermawanan, dan keberanian (sebagai ciri umum
keturunan bani Hasyim). Sifat ini diimbangi dengan tawadhu' rendah
hati), di samping tegas dan tidak kenal kompromi dalam mempertahankan
kebenaran. memperhatikan bidang keperwiraan, menggunakan alat-alat
perang dan menyandangnya dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
|
Sifat terakhir ini kernudian berubah
pada tokoh-tokoh Alawiyin generasi berikutnya, yang dalam menggunakan
alat-alat perang dan menyandangnya dianggap menyalahi tradisi dan
bertentangan dengan sopan santun hal ini berlaku sejak Alawiyyin
mengikuti “Terakat Tasawwuf “ pada abad ketujuh ketika Imam Al Faqih
Al Muqoddam menerima “Khirqah” (Baju Tasawwuf) dan Syekh Abu Madyan,
tokoh sufi dari negeri magrib (Afrika utara) . Sejak itu Al Fagih Al
Muqoddam menjauhi penggunaan senjata untuk menekuni ilmu dalam suasana
damai.
|
Huhungan Alawiyin dengan Dunia Luar
|
Adalah merupakan watak dan tabiat
seorang Alawi, tidak pernah merasa tentram di satu daerah tertentu,
untuk kemudian tinggal selama hidup. Hidup bebas dan pergi, kemana saja
untuk mencari daerah-daerah baru merupakan watak dan cirinya. Satu
daerah saja dipandang sempit dan tidak memberi kepuasan untuk
mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya.
|
Apalagi di negeri seperti Hadramaut,
negeri ini akan memaksa penduduknya berhijrah karena sempitnya bidang ke
hidupan. di samping terjadinya pergolakan dan pertumpahan darah antara
kabilah-kabilah yang selalu berkecamuk. akibat tidak adanya
pemerintahan yang kuat dan stabil.
|
OIeh karena itu, seorang Alawi - seperti
halnya penduduk Hadramaut pada umumnya - mengadakan perjalanan ke
negeri-negeri tetangga, seperti: Yaman, Hijaz, Syam dan. Irak, baik
demi tujuan budaya, ekonomi, maupun agama.
|
Pada mulanya, Alawiyin seringkaii hilir
mudik mengunjungi Irak -- negeri asal mereka – untuk bertemu kembali
dengan sanak keluarga. memeriksa harta kekayaan yang ditinggalkan,
bahkan hingga kini keturunan Imam Muhammad bin Isa Ar Rumi (saudara
sekandung Al Muhajir) terus juga berkembang di negeri ini.
|
Sesuatu yang patut digarisbawahi di
sini, ialah bahwa tokoh tokoh Alawiyin yang menonjol pada tahap
perkembangan, ini terdiri dari keturunan Imam Ubaidillah bin Ahmad Al
Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni Bashri, Jadid dan Alawi. Kendali pimpinan
dipegang oleh keturunan kedua orang yang pertama, yaitu Bashri dan
Jadid. Namun keturunan mereka kemudian terhenti dan tidak berkelanjutan,
yang pada abad ketujuh H. tidak ada lagi seorang pun dari keturunan
mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa
dan peran yang pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali
nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam
Ahli Hadits Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan
Imam Salim bin Bashri (wafat 604 H.)
|
Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap
ini hanyalah dari turunan Alawi bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi
inilan datang sebutan Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian,
silsilah keturunan Alawiyin seluruhnya selalu melalui lima rangkaian
nasab saja, yang menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan
bercabang setelah abad ke enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu
adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad bin Alawi (bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir).
|
Di antara putra-putri Muhammad bin Ali
bin Alawi (terkenal dengan gelar Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang
berketurunan hanyalah dua orang putranya, yakni Imam Alawi, paman
(saudara ayah) Al Faqih Al Mugaddam, dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al
Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang inilah tercakup seluruh nasab
Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab seluruh Al-Husainiyin pada Imam
Ali Zainal Abidin, kemudian pada putranya Muhammad Al Bagir.
|
Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir
Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far
Asshadiq bin Muharnmad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali
bin Abi Thalib, suami Siti Fatimah Azzahra' putri Rasul Allah saw.
TAHAP KEDUA ( a )
Tahap ini bermula-seperti telah kami
terangkan pada awal ceramah - dari abad ketujuh H hingga menghampiri
abad kesembilan H. Yakni dari masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati
zaman Al-Habib Abdullah Al Haddad. Tokoh-tokoh tahap ini terkenal
dengan gelar "Syekh".
Apabila kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa
ini, yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih
Mugaddam[5] , Assegaf[6] , Al Muhdhar[7] , Al-A'idarus[8] , Zain Al-A'bidin Al-A'idarus [9]
dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa
tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya
dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak,
baik dalam penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair. Bahkan
tidak kita jumpai di antara karya mereka yang menunjukkan kejeniusan
dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat
mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak dan pengamalan agama.
|
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh
pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak
begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun
karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi
keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap
segi-segi lahiriah - penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di
lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah,
terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan,
tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek
setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa
adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
|
Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap
ini telah mengalami peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya.
Apabila tahap terdahulu kegiatannya terbatas pada bidang pertanian
saja, dengan menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini
saja, maka Alawiyin pada tahap ini - di samping pertanian - telah juga
berinvestasi di bidang perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat
perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan
perjalanan dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah
menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-negara Asia
Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan
kemudian (yakni sekitar abad kesebelas H. - penerj.). Dengan cara
demikian mereka perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam
negeri dengan mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan
mereka hanya terbatas pada bidang pertanian saja.
|
Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh
Alawiyin melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin
ketat, kekuatan iman dan takwa, mereka tetap tekun dalam menjalankan
ibadah, membaca wirid-wirid khusus, dan berdakwah. Allah telah berkenan
memberikan berkah waktu dengan membagi masing-masing kegiatan secara
cermat, sehingga dapat melakukan semua kegiatan itu dengan sempurna,
sesuai keseimbangan yang digariskan oleh syari'at.
|
Berbicara mengenai tingkat kesufian
Alawiyin tahap ini, maka seperti telah dikemukakan pada awal ceramah.
bahwa "Tarekat Tasawuf" baru dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh
H. ketika Syekh Abu Madyan - tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika
utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk
menghubungi Alfagih Al Muqaddam secara khusus dan beberapa ulama yang
lain di negeri ini. Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan juga mengirim
"khirqah" tasawuf, berupa sehelai baju yang dipakaikan oleh seorang
guru (tasawuf) kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru berhak
rnengarahkan pendidikan muridnya itu (secara tasawuf ).
|
Melalui seorang muridnya, sebagai
perantara, Syekh Abu Madyan memakaikan "khirqah" itu kepada Al Faqih Al
Muqaddam. Ketika Syekh Abu Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui
hal itu, ia menjadi marah, demikian juga dengan beberapa ulama Tarim
yang tidak menyukai hal itu, sebab mereka khawatir akan kehilangan
citacita dan rencana mereka untuk menokohkan Al Faqih Al Muqaddam
sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu Alfagih Almugaddam belajar
beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan dengan acapkali menyandang
senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar ia meletakkan pedang
menyilang di atas pahanya.
|
Orang-orang yang kurang senang
dengan tidakan Al Faqih Al Muqaddam itu, mengira apa yang kelak akan
dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam merupakan salah satu tarekat yang
hanya semata mata memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa menghiraukan
urusan duniawi. Namun sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta
berpandangan jauh dan luas. Ia tidak menginginkanm pengikutnya
mengenakan gombal bertambal (muragga'at), mengembara
tanpa arah sebagai "darwisy" (orang 'fakir') yang melakukan cara-cara
aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau menjalankan
latihan-latihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam melarang
pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya dalam hal-hal yang
ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah.
|
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al
Muqaddam dan pengikutnya adalah "Atthariqah Al-Alawiyah" yang dasarnya
adalah mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alqur'an) dan
Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama
(para sahabat dan tabi'in). Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab
mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat mereka antara
yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan
tindak tanduk Salaf Al alawiyin.
|
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :
|
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi
|
Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya
|
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
|
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran
|
Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak
|
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin
pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk
melakukan tugas-tugas kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan
(sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin
menyerupai sahabat Nabi dan para tabi'in yang terkenal dengan
kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu
dan dakwah.
|
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab
tasawuf yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi
mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal
diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan
untuk kepentingan
umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk
pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat
diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren
untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan
perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang
bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan.
|
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi
penganut madzhab Syafi'i, namun mereka tidak bertaklid kepada Syafi'i
dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu, mereka meninggalkan
pendapat Syafi'i.
|
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy'ari
(dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham
Al-Asy'ari dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal
iman.
|
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat
mengagumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak
dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta,
melainkan memperhatikan kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada
diantara tokoh mereka yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya' ada
beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami
akan melakukannya" [10].
|
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi,
sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai
tindakan yang melangar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan,
seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya.
TAHAP KEDUA ( b )
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi,
sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai
tindakan yang melanggar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan,
seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya.
|
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi,
namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan latihan rohani
secara berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang,
dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik fisik
maupun mental, serta bertujuan
semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan
kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan
nafsu angkara murka dan syahwat.
|
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun
tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka
menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti),
guru-guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau
pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.
|
Alfagih Al-Muqaddam - misalnya - bapak
Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih
bertindak mengurusi perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur
rumah tangga dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke
pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih
ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil
perkebunan itu - seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah - adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
|
Penulis kitab Almasyra' Arrawiy bercerita tentang kekayaan Alhabib Abdullah bin Alawi.[11] Putera
Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi ini telah
mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia
mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang
memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para
penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya,
hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara).
|
Demikian pula dengan Habib
Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan
wirid, zikir dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang
yang luas sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya',
seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon
kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang
ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap
pohon yang ditanamnya.
|
Habib Al Muhdhar putra Assaqaf,
adalah seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah,
namun tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya
adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain,
seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya.
|
Demikian pula dengan Imam Abubakar
Al-A'dani, putra Habib Al-A'idarus (yang makamnya cukup terkenal di kota
Aden) tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30
ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat
oleh penulis biografinya. Al-A'dani telah melunasi hutang ayahnya
setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Al-A'dani wafat 914 H.
|
Demikian pula halnya dengan keturunan
Abdullah bin Syekh Al-A'idarus ( keponakan AlA'dani), yang banyak
berhubungan dengan raja-raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat
hidup mereka, sebab di
samping hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang
mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah,
tokoh-tokoh ini mampu memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi
para raja dan pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan
untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12]
|
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh
golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak
membawa pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan)atau
menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan
sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi.
|
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa
yang dihubungkan kepada tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak
secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan
dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk
beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari
secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur'an beberapa
kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal - hal semacarn
itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu
dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang memang diberi kemauan dan
kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk
melakukannya. Hal-hal semacarn ini memang tidak dapat dilakukan oleh
selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan merupakan pengecualian dan
yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai
sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang luar biasa.
|
Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh
saja digolongkan sebagai "karamah" yang telah diuraikan oleh ulama
(tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa
pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh
Alawiyin tertentu - seperti dicatat oleh sebagian penulis sejarah
terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip
syara', dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah
bukan karena mereka telah meyakini faham "wahdatul wujud" (panteisme),
bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti
dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran
tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam sejarah. Pada hakikatnya,
pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan
ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar
(keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah dimaafkan, dan
tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan dosa,
apalagi kufur.
|
Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya.
Organisasi Alawiyin "Annagabah"
Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelurn bercabang-cabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk
membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka.
Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang
pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau
marga.
|
Baru pada
tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah rnenjadi
banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin
guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka, melindungi
kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang bersifat
intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan " Nagabah".
|
Sistem ini baru diadakan pada zaman
Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Al Muhdhar
sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan "Nagabah"
ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili
kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5 orang sesepuh suku itu
dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil
mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jam'iyah, nornor 8, tahun 1357 H.
|
Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini
rnengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan
bersesuaian pula dengan ajaran syari'at Islam serta disetujui oleh
pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah
kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan dan selanjutnya
dilaksanakan.
|
Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang
anggota dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari
setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh "Naqib Annagabah" [atau Naqib para Naqib] yang kemudian dikenal pula dengan sebutan "Nagib Al-Asyraf". Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan
segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping
ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh
Alawiyin.
|
Dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi, lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika tidak
berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu
Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap melakukan
pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat tangan
(bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. 'Tindakan Naqib akan
diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang
benar.
|
Apa yang kami tuturkan
ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan
ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Al Muhdhar, dan didukung dan
dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika
itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan
membantu terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam
piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota
dewan) beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50
orang.
|
Patut disayangkan bahwa teks piagam ini
tidak rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan juga tidak
menyebut urut-urutan nama (daftar) para nagib yang pernah menduduki
jabatan itu, namun dengan membaca kembali kitab-kitab biografi Alawiyin,
seperti kitah Al-Masyra 'Arrawiy dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah Al-A'idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk
diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Al-A'idarus
sebagai gantinya, yang dewasa itu masih berusia muda, tetapi telah
menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya -
setelah pertamanya menolak juga - Al-A'idarus menerima. Pengganti A1-A'idarus adalah Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H. Berikutnya Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A'idarus (wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Zainal Abidin (wafat 1041 H.).
|
Adapun pada masa-masa setanjutnya saya
tidak menemukan catatan sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib
yang dipilih, meskipun kadang-kadang terjadi kepemimpinan
seorang tokoh Alawiyin semata-mata karena daya tarik karisma dan
kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan
sebagai Naqib.
|
Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem "Manshabah", yang tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas "Munshib"
pada dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku
yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilrnu dan dakwah, menjamu para
tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi
kemudian.
|
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul
seorang tokoh yang mengugguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam
ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad
(wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk
mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk
pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan
berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal .
|
Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua tokoh lain
yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi
terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka
orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu
dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui..
|
Barangkali, seandainya pengangkatan
Al-Haddad sebagai Nagib ini terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik
Alawiyin kembali kepada cara hidup pendahu pendahunya, serta
menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang hampir hilang.
TAHAP KETIGA
Tahap
ini bermula dan abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H.
Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar " Habib ", seperti Habib Abdullah Al-Haddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain.
|
Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini - secara umum - berada di
bawah tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas
tokoh-tokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak
kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna
tahap ini adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) - sebagai tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.).
|
Tahap ini ditandai dengan derasnya arus
hijrah - melebihi masa-masa sebelumnya - ke India, pada abad kesebelas
dan keduabelas H. yang kemudian berlanjut dengan hijrah ke
negara-negara Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad
berikutnya.
|
Adapun faktor yang mendorong Alawiyin
melakukan hijrah adalah seperti telah disinggung pada pembahasan
perkembangan alawiyin pada masa tahap pertama ditambah pula dengan
perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi masa-masa sebelumnya.
Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar lebih besar dari mereka
yang berada di tanah air sendiri, di mana di negeri mereka Hadramaut -
kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi kepuasan bagi perwujudan
cita-cita mereka.
|
Oleh karena itu, wajarlah kiranya
apabila mereka berhijrah, lalu menjadikan daerah baru itu sebagai tanah
airnya. Dan tidak aneh pula apabila mereka kemudian menonjol, serta
menunjukkan kemampuan-kemampuan luar biasa sehingga dapat menduduki
posisi-posisi penting, memegang kendali perekonomian, kegiatan keagamaan
bahkan kadang-kadang juga kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal
ini juga diikuti oleh golongan-golongan lain yang hijrah dari
Hadramaut, baik mereka yang hijrah ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz
(Saudi Arabia) dan lain-lain. Bahkan ada di antara mereka yang kemudian
mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat
disaksikan hingga kini. Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India),
Kesultanan Al-Qadri dan Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores),
Al-Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina.
|
Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah Al Hadhramiyah.
Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan penelitian bagi mereka yang
berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar luas
di Indonesia, Malaysia dan Pilipina.
|
Hijrah kaum Alawiyin - dan
saudara-saudara mereka lainnya dari Hadramaut - ke negara-negara
tetangga (negara-negara Arab di Timur Tengah), tidak banyak mempengaruhi
tradisi, juga bahasa mereka, yakni di negara-negara yang berbahasa
Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia), negara-negara Teluk, Mesir, Syam
(Suria) dan Sudan, kendati di tiga negeri terakhir ini jumlah mereka
tidak banyak.
|
Adapun di perantauan luar Arabia,
seperti negara-negara Islam tersebut di atas, maka dengan sendirinya
mereka telah mengadakan hubungan kekeluargaan melalui pernikahan untuk
mempererat hubungan dengan penduduk setempat, karena memang sulit bagi
mereka memboyong keluarga bersama mereka. Seandainya yang demikian
terjadi (yakni rnembawa isteri-isteri dan anak-anak mereka) maka bahasa
Arab akan lebih cepat dan lebih luas tersiar, sebagai bahasa Alqur'an
yang dimuliakan oleh kaum Muslimin.
|
Akan tetapi, meskipun telah melakukan
pembauran di daerah-daerah yang amat jauh itu, namun hingga waktu yang
lama mereka masih rnemelihara tradisi dan mengenang tanah air, terutama
Tarim, sebagai pusat ilmu dan pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka
berkunjung ke negeri itu untuk berziarah. Baru beberapa abad kemudian
hubungan mereka dengan negeri asal berkurang, sehingga dengan mudah
dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup, untuk lanjutnya
terlebur di dalam periuk acuannya, walaupun agama dan adat istiadat
yang hak tetap terpelihara.
|
Bahkan pada masa sementara Alawiyin
masih mengunjungi negeri asal, mereka telah mernbawa kebudayaan dan
tradisi India, Jawa (Indonesia), dan daerah atau negara lain di mana
mereka hidup. Hal ini tampak jelas pada awal abad ketigabelas H.
|
Adalah sangat aneh jika ada sementara
tokoh Alawiyin yang menentang hijrahnya Alawiyin ke luar dan
menganjurkan dengan gigih agar mereka tetap tinggal di negerinya
(Hadramaut), terutama pada ketiga abad terakhir ini - namun tidak ada di
antara para pemikir atau sesepuh yang berusaha secara sungguh-sungguh
memberi jalan yang dapat menghalangi laju arus hijrah ini. Yaitu dengan
menyebarluaskan kesadaran, menggalakkan pertanian, membuat mereka
merasa puas untuk hidup sederhana serta meninggalkan
tradisi-tradisi yang merugikan. Kalau pun ada, orang-orang yang cukup
memperingatkan hal demikian itu, amatlah sedikit. Di antara mereka
adalah Habib Muhsin bin Alawi Assaqaf (wafat 1293 H.)
|
Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama
sekali dari Hadramaut - baik bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut
secara keseluruhan - memanglah merupakan hal yang tidak dimungkinkan
oleh keadaan negeri itu sendiri sejak dahulu kala.
|
Pada tahap perkembangan ini, lahirlah
jabatan " Munshib". Jabatan itu sendiri dikenal sebagai "Manshabah".
Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad
keduabelas H. Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al ‘Aidarus, Munshib
Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad,
Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali, Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.
|
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini
adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi
sesama manusia. Pemangku jabatan ini - yang menerimanya secara turun
temurun - selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa -
khususnya sengketa antara suku-suku yang bersenjaia - menjamu tamu yang
datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada
mereka yang memerlukan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan
bantuan.
|
Lembaga ini senantiasa memainkan
perannya hingga kini (1948 M), sesuai dengan tujuan “Manshabah" yang
didirikan untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan
kepentingan pribadi demi tugas dan jabatannya. Hanya saja generasi yang
kernudian biasanya makin lemah bila dibanding dengan pendahulunya, baik
di bidang keahlian, kemampuan, maupun kewibawaan, sehingga secara
berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya. Hal ini
terutarna disebabkan kurangnya perhatian terhadap pendidikan, baik
ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh
bapak-bapak mereka.
Golongan Alawiyin dan Politik
Pada pasal-pasal lampau telah
dibicarakan sejarah perkembangan Alawiyin dalam berbagai bidang
kehidupan pada ketiga tahap terdahulu. Kini hanya tinggal bidang
politik.
|
Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi
pegangan tokoh-tokoh Alawiyin, mereka senantiasa menjauhkan diri dan
tidak hendak mencampuri urusan politik, kecuali dalam hal-hal yang erat
hubungannya dengan kepentingan dan maslahat umum. Yaitu dengan
menggunakan pengaruh spiritual mereka, dan hanya pada batas-batas
tertentu.
|
Disebutkan dalam biografi bahwa Al
Muhdhar, Al-A'idarus. Al-A'dani, Zain Al-A'bidin Al-A'idarus, Al-Haddad
dan lain-lain adakalanya mereka bergaul dengan para raja dan penguasa
negeri serta mengadakan surat rnenyurat dengan mereka. Para penguasa
itu pun sering meminta nasihat dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut
serta mengharap doa mereka. Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan
para penguasa nyatalah bahwa hubungan mereka tidak lebih daripada
mengarahkan para penguasa agar melakukan kebijaksanaan yang sesuai
dengan keadilan dan kepentingan umum.
|
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai
pengaruh spiritual yang cukup besar di kalangan suku-suku bersenjata,
namun mereka tak pernah; mengeksploitasi pengaruh itu untuk
tujuan-tujuan yang tidak layak.
|
Jika sekiranya mereka mengarahkan minat,
demi kepentingan pribadi, atau berambisi meraih kekuasaan politis,
dengan mudah mereka akan mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa
itu seringkali peluang terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak
pernah memanfaatkannya, seperti dapat diketahui oleh mereka yang
mengkuti dan mengkaji sejarah Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang
terjadi di antara Zain' Al-Abidin AI-A'idarus dengan Hasan bin Al-Qasim,
Imam golongan Zaidiyah dari Yaman, peristiwa Husein bin Sahl dengan
Syekh Awadh Gharamah, semua itu merupakan bukti-bukti nyata bagi apa
yang dikemukakan tadi."[13]
|
Dalam hal ini, dapatkah kiranya
dikemukakan alasan seperti telah disebutkan sebelum ini, tentang
langkanya karya-karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, dan budaya,
yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh ajaran tasawuf dalam jiwa rnereka?
Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain yang hingga kini belum
terungkap mengingat apa yang terjadi dalam praktek seringkali jauh
berbeda dengan dasar-dasar teori semata?
|
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa
Alawiyin tidak pernah berusaha, apalagi berpetualang, untuk mencapai
keberhasilan dalam bidang politik baik untuk mendirikan kerajaan atau
kesultanan, seperti dilakukan oleh saudara-saudara sepupu mereka yaitu
Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di negeri Maghrib (Afrika Utara) dan
para Imam di Yaman.
|
Adanya pribadi-pribadi tertentu dari
kaum Alawiyin yang pernah berhasil mendirikan kerajaan atau
kesultanan, seperti disebutkan sebelum ini, tidak dapat dijadikan dasar
umum bagi cara hidup salaf dan tokoh Alawiyin. Kadang-kadang pengaruh
situasi dan kondisi begitu kuat untuk menentukan sikap. Suasana demikian
itulah yang membuat sementara Alawiyin mernegang tampuk pimpinan dan
tidak dapat mengelak untuk menghindar dari jabatan.
TAHAP KEEMPAT
Tahap
ini bermula dari abad keEmpatBelas H. hingga kini. Yakni, di dalam
pasal ini kita akan berbicara tentang keadaan kita sekarang, agar dapat
membuat perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan sejarah
salaf kita yang terdahulu.
|
Adalah sangat disayangkan bahwa tahap
ini - dibanding dengan tahap-tahap sebelumnya - merupakan masa
kemunduran dan kemerosotan di hampir semua bidang kehidupan. Bahkan
kemunduran dan kemerosotan ini merupakan gejala umum yang menimpa
seluruh dunia Islam.
|
Meskipun demikian, adanya perbedaan
antara tahap pertama dengan tahap-tahap berikutnya memang benar-benar
terasa. Makin jauh kereta sejarah berjalan, makin jauh kemunduran dan
kemerosotan itu terasa, makin surut sinar keagungan Alawiyin dan makin
tenggelam ke dasar.
|
Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi bangsa-bangsa yang 'hidup', yang makin lama makin maju (14)
|
Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu adalah tidak adanya pendidikan yang benar dan tepat.
Salaf kita dahulu adalah orang-orang yang amat ahli dalam bidang ini.
Melalui jalur itu, mereka mengarahkan putra-putra mereka sesuai dengan
apa yang mereka rencanakan dan mereka kehendaki, untuk rnemuaskan hati
mereka. Perguruan tinggi dan fakultas kaum Alawiyin adalah alam terbuka
dan lingkungan hidup itu sendiri.
|
Adalah keliru apabila kita beranggapan
bahwa lingkungan kita, sekolah-sekolah kita, majlis-majlis ta'lim kita
sekarang merupakan sarana pendidikan yang di dalamnya disalurkan
ajaran-ajaran seperti yang dahulu diajarkan oleh salaf kepada
putra-putra mereka. Bahkan kenyataan yang kita lihat adalah kebalikan
dari apa yang dahulu dikerjakan oleh para salaf itu.
|
Kemerosotan akhlak
di kalangan sementara Alawiyin telah mencapai derajat terendah,
demikian pula surutnya ilmu pengetahuan, di samping tersebarnya
penyakit-penyakit sosial.
|
Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang mengerikan, padahal jalan untuk mengatasi semua itu adalah jelas, yaitu, kembali mengikuti cara hidup para salaf dalam ilmu, akhlak dan amal,
sehingga semua tindakan yang kita lakukan sesuai dengan status kita di
tengah masyarakat. Demikian pula halnya dengan kaum Muslimin secara
keseluruhan. Sebab, "akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan cara-cara yang dahulu memperbaiki pendahulunya ", demikian ditegaskan oleh pemimpin besar umat ini, Rasul Allah saw.
|
Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa menolong mereka yang membela dan menegakkan ajaran-Nya.
|
Demikianlah ceramah yang kami sampaikan
di tempat yang penuh berkah, yaitu rumah kediaman Al Faqih AlMuqaddam di
Tarim, pada saat yang penuh berkah, yaitu dasawarsa keTujuh dari abad
keEmpatBelas Hijrah, dengan susunan yang diberkahi. Insya-Allah. Kami
haturkan kepada siapa yang bersedia menerbitkannya dengan beberapa
catatan tambahan seperlunya.
|
Hanya kepada Allah kami bersandar dan berserah diri, serta mohon taufik demi mencapai kebenaran.
|
1. Aljauhar Assyaffaf fi Managib Assadah Al- Asyraf (Manuskrip) : Abdurrahman Al Khatib
|
2. Ghurar Albaha Addhawi fi Manaqib Assadah Bani Alawi (Manuskrip) : Muhammad Ali Kherid
|
3. Atthiraz Almu'lam - Assilsilah Al-A'idarusiyah (Manuskrip) : Syekh bin Abdullah AI-A'idarus
4. Catatan-Catatan Penceramah (Manuskrip) : Muhammad Ahmad Assyatthiri
|
5. Almasyra' Arrawiy fi Manaqib Assadah Al-kiram Bani Alawiy : Muhammad Abubakar Syilliy
|
6. Syarhul Ainiyah : Ahmad bin Zen AlHabsyi
|
7. Majalah Arrabithah Al-Alawiyah : Ahmad Abdullah Assaqaf
CATATAN KAKI / FOOTNOTE
01.
Abdullah bin Alwi bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al -Haddad.
Allah telah menganugerahkan kepada Al Haddad daya hafal yang luar bisa,
sehingga telah hafal Al-Qur'an seluruhnya dalam usia kecil. Kendati
telah mengalami penyakit sehingga menyebabkannya menjadi seorang
tunanetra, namun ketajaman hati dan kecerdasan fikirannya melebihi
mereka yang berpenglihatan sempurna. Al-Haddad telah mampu menguasai
berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kepadanya, lalu muncul
sebagai seorang tokoh besar dalam ilmu-ilmu Syari'at, Tasawuf dan
Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari segenap penjuru untuk
mereguk sumber ilmu yang deras ini. Di samping pelajaran yang
disampaikan secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang beberapa
buku yang kemudian tersebar luas. Karya-karya Al Haddad ini antara lain
: Annasha’ih Addiniyah, Risalah Almu’awanah, sebuah Diwan (kumpulan syair) dan lain-lain. Wafat di Tarim 1132 H.
|
02. Ali
bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar AsSakran
(dimabuk cinta Ilahi). Terkenal dalam berbagai bidang ilmu,
khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca orang. Wafat 895 H.
|
03. Ahmad
bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’farAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin.
Al Muhajir Ila Allah (orang
yang berhijrah menuntut ridha Allah) meninggalkan Basrah di Irak
pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70
orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke Yaman (Utara), dan
selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut
pada tahun 318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di Hajrain,
lalu pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun
345 H.
|
04. Ibadhiah
adalah salah satu golongan Khawarij di bawah pimpinan Abdullah bin
Ibadh. Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap kekuasaan Bani
Umayyah dan yang paling terkenal adalah pemberontakan mereka dibawah
pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H . Golongan ini kemudian
mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan Hadramaut.
|
05.
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi
bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh
Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah
mengenakan "khirgah" (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima "khirgah"
itu melalui seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al
Muq'ad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh
gurunya khusus untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum
sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia
telah melimpahkan misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh
Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan "khirgah"
kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut kitab AlMasyra 'Arrawiy,
Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di
dalam ilmu Syari'at, - makam Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf.
Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih Muqaddam telah
memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-Imamah- Wafat 653 H.
|
06.
Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin
Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh
ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri,
saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa'ad bin Ali Madzhij, Syekh
Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf
karena kedudukannya sebagai "pengayom", serta tingginya derajat ulama
ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan.
Assagaf telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi
kebutuhan mesjid-mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun
segala kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan
hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. "Sehingga kalau seandainya dikatakan kepadaku," kata Assagaf, "kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah, aku akan menari kegirangan“. Di antara kata mutiara Assagaf adalah sebagai berikut : "Manusia
semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal
dan akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu
dan amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti
sunnah adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara'
(sangat hati-hati dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian". Assaqaf wafat pada tahun 819 H.
|
07. Umar
Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam ilmu, tokoh
dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak pernab
sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk kepentingan agama
maupun kepentingan duniawi - Menjamin nafkah beberapa keluarga yang
tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar terkenal
dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H
|
08.
Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan gelar
A1-A'idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan
langsung diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus
bertindak sebagai gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syari'at,
Tasawuf dan Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun.
Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin
Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan agar
mengangkat Abdullah Al-A'idarus ini untuk menggantikan pamannya. Ulama
besar yang bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi
waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di
dalam kitab Almasyra' dinyatakan: "Dalam kedermawanan bagaikan seorang
amir, namun dalam tawadhu' bagaikan seorang fakir". Sangat senang
menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan mengenakan pakaian-pakaian
indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H.
|
09. Ali
Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, adalah seorang Imam
yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya sendiri.
Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak pernah berpisah
selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin menggantikan
ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi
kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin khususnya. Zain Al-Abidin
sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di mana Sultan tidak
memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta pendapat Imam ini,
bahkan tidak jarang Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu
kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Akibat kedudukan
yang tinggi ini, Zain Al-Abidin menghadapi banyak lawan, namun selalu
menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana. sehingga akhirnya lawan
berubah menjadi kawan. di samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu
Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan bidang
-bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan
petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati mereka yang
menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H
|
10. Ulama
telah merasa puas dengan karya-karya Al-Ghazzali dan Annawawi sehingga
tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik dalam
ilmu Syari'at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga dan
fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran yang
terkandung di dalam kitab-kitab itu.
|
11. Abdullah
bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah menyelesaikan
pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia meneruskan
pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada ulama-ulama besar
di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci untuk
menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua kota
suci Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid
abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin
Alwi (sudara kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis
sepucuk surat ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung
halaman untuk memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai
da’i dan
mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya. Berpuluh
murid telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara mereka adalah
putra-putranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di Tarim, pada
tahun 731 H
|
12.
Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang
datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu
pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir kaum
kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini .
|
13. Salah
satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan
Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan
menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim
(wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan
ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu
dan mendampinginya
|
14.
Kendati suasana umum amat suram -- pada tahap ini -- namun ada juga
tokoh-tokoh yang sangat menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan
sosial seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi - Shohibul Maulid Simtud Dhuror(wafat
1333 H.), Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas - (wafat 1334 H.), Allamah
Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat 1341 H.), Habib Muhammad bin
Thahir Al Haddad (wafat 1319 H.), Habib Husein bin Hamid Al Muhdhar
(wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain. Kendati demikian hal
ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan banyaknya Alawiyin
secara keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya dan tersebar di
berbagai penjuru.
Kepemimpinan dalam Islam........Islam datang membawa rahmat bagi makhluk di muka bumi ini tanpa
ReplyDeleteterkecuali........telah berlalu beberapa Rosul yang mengajarkan Tauhid/mengEsakan Tuhan, diperjalanan timbul
kesyirikan yang sengaja dibuatbuat.......
Pada akhir zaman Allah menurunkan Rosul/Penutup Nabi yaitu
Muhammad bin Abdullah Rosulullah terakhir membawa ajaran agama Islam yang meluruskan semua agama langit
yang lalu. Telah berlalu beberapa khalifah setelah Rosulullah wafat...semua khalifah tsb berakhir dengan
kehancuran, kembali kita melihat kebelakang ada yang tidak beres dalam menjalankan perintah Allah dan
Rosulnya...mulai dari pertikaian kaum muslimin sepeninggal Rosullah dalam pengangkatan pemimpin kaum
muslimin pengganti Rosulullah SAW pada saat Rosulullah wafat.....Padahal Rosulullah sudah mewantiwanti
sebelumnya masalah kepemimpinan kaum muslimin sepeninggal beliau, pidato Rosulullah sepulang dari Haji
Wada' di Ghadir Qum antara lain mengingatkan kaum muslimin sepeninggal beliau tetap berpegang teguh dengan
dua pusaka yang ditinggalkannya agar kaum muslimin tidak tersesat selamalamanya...
dua pusaka itu adalah AlQur'an
dan Ithrah/Ahlul bait Rosulullah.......Kepemimpinan kaum muslimin hingga saat ini masih menjadi fitnah
besar yang menyebabkan kaum muslimin saling berbunuhan akibat dari tidak memegang teguh dua pusaka yang
ditinggalkan Rosulullah. Kenapa kita membutuhkan kepemimpinan dari ahlul bait Rosulullah setelah Sayidina
Hassan RA melepaskan jabatan Amirul Mukminin untuk menghindarkan pertumpahan darah dari dua kelompok
besar kaum muslimin.......Dibutuhkan kepimimpinan kaum muslimin dari kalangan ahlul bait Rosulullah adalah
untuk membawa ummat ke jalan kebenaran hingga sampai hari kiamat. Kenapa kepemimpinan ummat diharapkan
dari kalangan ahlul bait.......tidak lain adalah kita kembali mengingat sejarah turunnya ayat AtThahir
dimana
dengan ayat tsb Rosulullah memanggil Fathimah RA, Hassan RA, Hussein RA dan Sayidina Ali bin Abu Thalib
RA........mereka diselimuti oleh Rosulullah SAW dengan kain KIsa' seraya mendo'akan dengan ayat AtThahir
tsb.....selanjutnya Rosulullah setiap pergi Sholat subuh melewati pintu rumah Sayidatuna Fathimah RA sambil
memegang pintu rumah tsb dan mendoakan keluarga Fathimah dengan ayat AtThahir,
ini dilakukan Rosulullah
sampai akhir hayat Rosulullah SAW.......Dapatkah kita kaum muslimin memahami apa yang tersirat dan tersurat dari
perlakuan Rosulullah sampai dengan akhir hayat Beliau......semoga kita mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah
SWT...........Amiiiiiiinn.....YRA.