//

Aqidah Leluhur Bani ‘Alawi adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah



Aqidah Leluhur Bani ‘Alawi adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah


Sabda Nabi : ” setiap sabab (penyebab pertalian keturunan) dan nasab (pengikat garis keturunan) akan terputus pada hari kiamat, kecuali sabab dan nasabku (HR Baihaqi).

Bani Alawi atau dalam litelatur disebut Baalwi mempunya dua arti, secara umum Bani Alawi adalah mereka keturunan Ali bin Abi Thalib, di dalam Kamus Lisanul Arab, AL Allamah Ibnu Mundzir mengatakan “idza nusiba Arrajul ila Ali bin Abi Thalib, qoluu Alawi, ketika ada seorang lelaki di nisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib, orang Arab mengatakan Alawi, sedangkan secara khusus Bani Alawi adalah mereka keturunan imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ashadiq bin Muhammad Al Baqir bin Imam Assajad Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Fatimah binti Muhammad Rasulullah.

Para Leluhur Bani Alawi mencintai para sahabat Rasulullah, di dalam kitab Al Iqdun Nabawi, Alhabib Syekh bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Abu Bakar Al Aidrus ( 919-990 H. beliau berguru kepada Al Imam Ahmad bin Hajar Al Haitami ) menuliskan Pernyataan Imam Assajad Ali Zainal Abidin Bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, dikisahkan sejumlah warga irak mendatangi Imam Ali bin Husain. Mereka mencela sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman. Setelah mereka selesai berbicara, Imam Assajad Ali Zainal Abidin Bin Husain balik bertanya kepada mereka : “Maukah kalian menerangkan kepadaku, apakah kalian termasuk orang-orang yang melakukan hijrah pada tahap awal, sebagaimana tersebut dalama wahyu Allah berikut : Orang-orang yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar (Al- Hasyr, 59:8). ?” Mereka warga irak menjawab : “Bukan”.
Imam Assajad Ali Zainal Abidin Bin Husain selanjutnya berkata “Apakah kalian termasuk orang-orang yang tersebut dalam wahyu Allah berikut: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (sahabat Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (sahabat Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). (al Hasyr 59:9) ?” . “Bukan” jawab mereka, Imam Assajad Ali Zainal Abidin Bin Husain pun berkata : ” Kalian telah mengakui bahwa kalian bukan bagian dari kedua kelompok yang tersebut dalam ayat di atas, dan kini aku bersaksi bahwa kalian juga bukan dari kelompok orang-orang yang tersebut dalam ayat berikut ini : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa : Duhai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Duhai tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (Al-Hasyr, 59:10). Imam Assajad Ali Zainal Abidin Bin Husain selanjutnya berkata : “0leh karena itu, pergilah (enyahlah) kalian dari sisiku”.


Pernyataan Imam Muhammad Al Baqir bin Imam Assajad Ali Zainal Abidin Bin Husain.
Dalam kitab Iqdun Nabawi Alhabib Syekh bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Abu Bakar Al Aidrus menuliskan : Bahwa Imam Ja’far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir berkata bahwa ayahnya, yaitu Imam Muhammad Al Baqir bin Imam Assajad Ali Zainal Abidin Bin Husain bercerita : ” Pada suatu hari seseorang datang menemui ayahku, Ali Zainal Abidin bin Husain dan berkata : “Ceritakan padaku perihal Abu Bakar.” “Abu Bakar Ash Shiddiq kah yang kau maksud?” Tanya ayahku. “Semoga Allah merahmatimu, engkau menyebutnya Ash Shiddiq?” tanya orang itu keheranan. ” Lalu Ayahku berkata kepada orang tadi : “Celaka dirimu. Gelar Ash Shiddiq itu telah diberikan oleh seseorang yang lebih baik dariku dan darimu, yaitu Rasulullah, begitu pula kaum Muhajirin dan Anshar. Maka, barangsiapa tidak mau menyebut Abu Bakar dengan sebutan Ash Shiddiq, dia tidak akan dibenarkan Allah azza wa jalla”.


Pernyataan Imam Ja’far Ash Shadiq.

Imam ja’far Ash Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulullah, lahir pada tahun 80 H atau 83 H dan wafat tahun 148 H. Dari garis ayahnya, beliau adalah cicit Rasulullah, dari garis ibunya, beliau adalah cicit Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq. Ibu beliau adalah Farwah binti Alqasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash Siddiq. Sedangkan ibunya Farwah bernama Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Karena itulah Imam Ja’far berkata, “Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali”. (Syarhul Ainiyyah, Ahmad Bin Zain Al Habsyi, hal 22.)
Zuhair bin Muawiyah menceritakan bahwa ayahnya Muawiyah pernah berkata kepada Imam Ja’far Ash Shadiq sebagai berikut : “Tetanggaku mengatakan bahwa engkau berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, benarkah itu?”  beliau menjawab, “Allah berlepas diri dari tetanggamu. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah memberiku manfaat berkat hubungan kekerabatanku dengan Abu Bakas Ash Shiddiq.
Imam Ja’far berkata kepada Salim bin Abu Hafshah: “Hai Salim, akankah seorang cucu mencaci kakeknya?” “Tidak,” jawab Salim. “Abu Bakar adalah kakekku. Jika aku tidak mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai pemimpin dan tidak berlepas diri dari musuh keduanya, maka kelak di hari kiamat aku tidak akan mendapatkan syafaat Nabi Muhammad” ujar Imam Ja’far. Ketika menjenguk Imam Ja’far yang sedang sakit, Salim bin Abu Hafshah mendengar beliau berkata : “Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai Abu Bakar dan Umar serta mengakui keduanya sebagai pemimpin (khalifah). Jika di hatiku tersimpan keyakinan yang berlainan dengan ucapanku (taqiyah) ini, maka jangan Engkau beri aku syafaat Nabi Muhammad “  (Al Iqdun Nabawi juz 1 hal 230, Syekh bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Abu bakar Al Aidrus).


Pernyataan Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad.

Dalam sebuah syairnya, ketika menceritakan kemuliaan para sahabat, Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad RA berkata :
Para Sahabat Nabi adalah imam-imam yang mulia. Baik kaum Muhajirin maupun Anshar para pembela. Merekalah bintang-bintang hidayah, orang-orang yang mulia dan suka berderma. Mereka emban amanah dengan baik. Begitu pula pengikut mereka yang mendekatkan diri kepada Allah dengan baik. Serta mencontohkan dan meneladani mereka. Mereka adalah kaum yang telah memperoleh hidayah Allah. Maka ikuti mereka selalu. Jangan sekali-kali melepaskan diri dan berpaling dari mereka. Sesungguhnya, mereka adalah tempat terbitnya hidayah dan mereka telah menyampaikan ilmu Quran dan Sunnah, Maka, barang siapa mencaci mereka, berarti ia telah menghancurkan pondasi agamanya Dan menceburkan diri dalam (ganasnya) bid’ah dan kesesatan. Ketahuilah, setelah petunjuk Al-Mushtafa dan sahabatnya Tiada petunjuk lain. Setelah kebenaran, yang ada hanyalah kesesatan. ( Addurul Mandzum Li Dzawil Uqul Wal Fuhum, lil Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad , hal 113-114 ).
Data-data diatas menunjukkan bahwa sikap Bani Alawi dan segenap leluhurnya hingga Nabi Muhammad, bersebrangan dengan aliran Syi’ah. Kesimpulan ini didukung oleh berbagai data yang terdapat dalam buku maupun nasihat mereka. Dalam bukunya Albarqah Almasyiqah, Habib Ali bin Abu Bakar As Sakran menulis : Adapun anak cucu Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa yang tiba di Hadhramaut dan kemudian tinggal di Tarim, mereka adalah Asyraf yang sunni.
Dalam kitabnya Tatsbitul Fuad juz II hal 226, Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad bercerita : Seorang penganut syiah di Madinah bertanya kepada salah seorang sadah dari keluarga Ba Alawi, “Apa pendapatmu tentang Syiah dan Ibadhiah?” Ia menjawab “Seperti kotoran hewan di belah dua”. Dalam kesempatan lain, beliau Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad berkata : “Ahlul Rifd (rafidhah, syiah) adalah orang-orang yang batil. Dalam segala hal, mereka tidak disebut dan tidak dianggap”.
Al Habib Alwi bin Ahmad, cicit Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad, dalam bukunya Syarhu Ratibil Haddad menyebutkan alasan mengapa kakeknya menyusun Ratibil Haddad : Ratib yang mulia ini disusun oleh Sayyiduna Shahibur Ratib Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad ketika beliau mendengar masuknya paham syiah zaidiyah ke Hadhramaut. Beliau khawatir syi’ah zaidiyah ini akan merubah akidah kaum awam. Maka, pada malam 17 ramadhan 1071 H beliau susun ratib ini. Malam itu adalah malam lailatur qadar, sebagaimana disebutkan oleh murid beliau Al Ahsai. Dalam Ratib ini Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad menyebutkan Bahwa “Alkhoiru Was Syarru Bi Masyi’atillah” kebaikan dan keburukan itu terjadi atas kehendak Allah. Kalimat ini sengaja beliau cantumkan dalam ratibnya untuk menolak paham qadariah yang dianut oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah (dalam akidah) dan semua kaum syiah zaidiyah. Qadariah adalah aliran yang tidak mempercayai takdir. Keyakinan ini dianut oleh mu’tazilah dan syi’ah.
Data diatas cukup membuktikan bahwa Bani Alawi bersebrangan dengan syiah manapun.


Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah.

Sejak awal Bani Alawi berakidah Ahlussunnah wal jamaah sebagaimana disampaikan oleh tokoh-tokoh mereka dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Habib Abdullah Al Aidrus Al Akbar (orang yang pertama bergelar Al Aidrus) bin Abu Bakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladawilah (w 865) dalam bukunya Al Kibritul Ahmar yang tidak lebih dari 23 halaman menuliskan : Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah adalah sebagaimana terdapat dalam syair Syekh Abdullah bin As’ad Al Yafi’i. Berikut beberapa bait syai Al Yafi’i yang disebutkan oleh Habib Abdullah Al Aidrus : Sebaik-baik masa adalah masa sahabat, urutan yang terbaik diantara mereka adalah tepat seperti yang telah mereka tetapkan, mereka semua bintang-bintang yang membawa petunjuk semuanya adil dan murah hati, kemuliaan mereka telah dikenal dan tak dapat dipungkiri dari mereka semua As Shiddiq lah yang paling utama Beliau seorang yang mulia, sedangkan posisi ke empat dalam kemuliaan di pegang oleh Haidar ( sayidina Ali bin Abi Thalib ) yang memiliki kemulian.  Jejak Al Habib Abdullah Al Aidrus di ikuti oleh adik beliau, Habib Ali bin Abu Bakar As Sakran, setelah mencantumkan bait-bait diatas secara lengkap, Habib Ali pun menyatakan : Inilah bait-bait syair agung, mulia, penuh berkah serta mengandung banyak manfaat dan faedah. Guru-guru kami seperti Syeikh Abdullah Al Aidrus bin Abu Bakar As Sakran, serta guru-guru lain dari golongan sadah (bentuk jama’ dari sayyid), senantiasa mewasiatkan kami untuk menghapalkan dan memahami isinya dengan baik. (Ma’arijul Hidayah, lil Habib Ali bin Abu Bakar As Sakran, hal 29).
Habib Ali bin Abu Bakar As Sakran juga menuliskan : Duhai Saudaraku, Jauhilah bid’ah (dalam aqidah) dan para pelakunya. Tinggalkan dan singkirkan segala bid’ah. Berpalinglah dari para pelakunya dan jangan bergaul dengan mereka. Ketahuilah, sumber bid’ah di dalam ushul (akidah) ada tujuh, sebagaimana disebutkan oleh para ulama, yaitu : Pertama, Al Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Hambalah yang menciptakan amal-amal mereka. Kelompok ini meyaqini bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat (di dunia maupun di akhirat) serta Allah wajib memberikan pahala kepada orang yang berbuat kebaikan dan wajib menyiksa orang yang berbuat maksiat. Mu’tazilah terbagi menjadi dua puluh aliran. Kedua, Syi’ah, yaitu orang-orang yang melampui batas di dalam mencintai Ali, mereka terbagi menjadi dua puluh aliran. Ketiga, Khawarij, mereka terlalu berlebihan dalam membenci Ali. Dalam pandangan mereka, Ali dan orang-orang yang memiliki dosa besar adalah kafir. Mereka ini pecah menjadi dua puluh aliran. Keempat, Murji’ah, mereka berpendapat bahwa jika seseorang telah beriman, maka maksiat tidak akan membawa keburukan baginya dan jika seseorang kafir, maka taat tidak bermanfaat untuknya. Mereka pecah menjadi lima aliran. Kelima, Najjariyah, pendapat mereka di dalam masalah penciptaan amal sama dengan Ahlussunnah sedangkan dalam masalah peniadaan sifat-sifat Allah dan bahwasanya Kalamullah itu bersifat baru, mereka sama dengan Mu’tazilah. Mereka pecah menjadi tiga aliran. Keenam, Jabariyah, yang berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki ikhtiar. Mereka hanya satu aliran. Ketujuh, Musyabbihah, mereka menyatakan bahwa Allah memiliki tubuh dan sifat yang sama dengan makhluk Nya, Allah punya dua mata, dua tangan, dua kaki, Allah sakit, tertawa dan juga Allah dapat menitis (hulul) kepada makhluk-Nya. Mereka hanya satu aliran. Itulah tujuh puluh dua golongan yang akan masuk neraka terlebih dahulu. Adapun golongan yang selamat adalah Ahlussunnah. 
( Ma’arijul Hidayah, lil Habib Ali bin Abu Bakar As Sakran hal 29 ).

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aqidah Leluhur Bani ‘Alawi adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip