//

"Al Madad Ya Rasulullah"


Sebagian saudara kita umat Islam, menyatakan bahwa seruan judul di atas adalah syirik. Uraian diatas akan menerangkan, tentang ucapan di atas. Bagaimanakah hukumnya? Syirikkah kita?

Ucapan yang mengandung seruan (nida’ ; Ya Rasulallah) dan tawassul dengan ungkapan al-Madad atau adrikni. Maka maknanya adalah, “kami memohon pertolongan dengan perantaraanmu wahai Rasulallah“.

Pada hakekatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan Nabi atau orang shaleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah mampukan kepada Nabi atau orang shalih itu dan Allah berikan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal: “Wahai Nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangku“, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan: “Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini“. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.

Penisbatan al-Madad (pertolongan)al-‘Aun (bantuan) kepada Rasulullah atau makhluk lainnya hanyalah majaz (bukan hakekatnya) dan penisbatan semacam ini dibenarkan dalam Hadits dan Al-Qur'an sendiri. Dan kaum muslimin pun tidak meyakini pertolongan dan bantuan diciptakan oleh Rasulullah atau makhluk lainnya, melainkan kaum muslimin meyakini pertolongan, manfaat ataupun bahaya hanyalah dari Allah semata.

Contoh sebagaimana yang telah kami tampilkan di awal Hadits Nabi berikut :

اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatkan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda“. (HR. Abu Dawud No. 988).

Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits(penolong)Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).

Mungkinkah Nabi menyebut Hujan sebagai penolong, pemberi manfaat secara hakekatnya dan bukan majaz? jelas Nabi tidak bermaksud secara hakekatnya melainkan secara majaz, sebab jelas jika meyakini hujan sebagai pemberi pertolongan dan manfaat secara independen, maka hukumnya mensyirikkan Allah dengan makhluk-Nya. Maka sudah tentu yang Nabi maksudkan adalah secara majaz bukan hakikatnya.

Jika hujan saja boleh disebut al-Ghouts secara majaz, maka demikian pula makhluk Allah termulia yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah banyak sebab perantara Beliau, umatnya bahkan seluruh alam mendapatkan banyak nikmat, pertolongan dan rahmat dari Allah Ta’ala, lebih layak disebut al-Ghauts atau al-Madad secara majaz.

~ Al Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi ~



Hukum Mengucapkan Madad Ya Rasulallah : Pencerahan Buat Abu Anas Madani

(http://www.aswj-rg.com)

Berikut di antara kekeliruan segelintir kaum itu dalam memahami redaksi istighatsah dengan teks “ al-Madad atau adrikni “ :

Dr Abu Anas mengatakan :
Sebahagian melaungkan qasidah ini tanpa ada niat memohon pertolongan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, dan kita berharap inilah yang diyakini kebanyakan mereka yang membaca Qasidah itu. Akan tetapi terdapat sebahagian mereka yang benar-benar meyakini bahawa boleh meminta tolong daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam selepas kewafatan baginda kerana mereka berpegang bahawa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup di alam kubur, dan mampu mendoakan umatnya sebagaimana ketika baginda sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.

Kami jawab :
Yang kedua pun tak salah menurut ajaran Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selepas kewafatannya, juga tidak meyakini sumber atau penciptaan pertolongan maupun madhorot dari dzat Rasulullah sendiri melainkan meyakini bahwa pertolongan, bantuan, manfaat ataupun madharat (bahaya) hanyalah dari Allah semata yang menciptakannya. Hal ini sesuai pemahaman mayoritas ulama Ahlus sunnah wal Jama’ah sejak masa Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga masa kita sekarang ini dan dipegang oleh mayoritas umat muslim di seluruh penjuru dunia ini.


Sebelum kami menjelaskan secara detail, ada baiknya Dr Abu Anas merenungi hadits-hadits sahih berikut ini :

إن لله ملائكةً في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر، فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد: أعينوا عباد الله
“ Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi selain Hafadzah yang menulis daun-daun yang jatuh dari pohonnya, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang, maka hendaklah mengatakan : “ Tolonglah aku wahai para hamba Allah “.[1]

Dengan jelas hadits ini menunjukkan seruan yang meminta pertolongan kepada orang yang tidak hadir di hadapannya, entah itu wali Allah atau pun malaikat dan ini merupakan bagian dari istighatsah (meminta pertolongan). Nabi telah mengajarkannya pada umat Islam dan ini pun telah diamalkan oleh ulam salaf di antaranya imam Ahmad bin Hanbal dan juga para ulama setelahnya seperti para guru imam Nawawi. Bahkan dalam riwayat yang lain hadits seperti di atas, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Albani mengomentari bahwasanya imam Ahmad beristighatsah dengan malaikat. Apakah imam Ahmad bin Hanbal telah musyrik karena beristighatasah dengan malaikat sebagaimana keterangan al-Albani dalam kitab as-Silsilah adh-Dhaifah ?

وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ ، فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ، ثُمَّ بِمُوسَى ، ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ
“ Dan berkata : “ Sesungguhnya matahari akan mendekat di hari kiamat hingga keringat mencapai telinga, ketika keadaan mereka seperti itu, maka mereka beristighatsah dengan Nabi Adam, kemudian kepada Musa kemudian kepada nabi Muhammad “. (HR. Bukhari)

Jika meminta pertolongan kepada nabi yang sudah wafat dilarang, lalu kenapa mereka beristighatsah kepada para nabi di atas dan tidak beristighatsah kepada Allah langsung ? atau apakah syirik boleh dilakukan di akherat dan tidak boleh dilakukan di dunia ?? seandainya meminta pertolongan kepada Nabi yang sudah wafat itu haram dan syirik, sepatutnya juga syirik jika dilakukan di akherat nanti. Kecuali jika mereka menghukumi syirik di dunia dan tidak syirik di akherat.

Nabi juga pernah mengucapkan :

اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل
“ Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatakan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)

Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).

Apakah Nabi kita vonis musyrik dengan ucapannya itu ? Apakah berarti Nabi telah meyakini bahwa hujan itu merupakan penolong, penyelamat dan pemberi manfaat ?? Atau apakah Nabi ingin mengajarkan kesyirikan kepada umatnya ??

Makna ucapan “ al-Madad atau Adrikni Ya Rasulallah “.

Ucapan di atas masuk dalam kategori tawassul dan istighatasah. Kedua ucapan di atas mengandung seruan (nida’ ; Ya Rasulallah) dan tawassul dengan ungkapan “ al-Madad “ atau “ adrikni “. Maka maknanya adalah, “ kami memohon pertolongan dengan perantaraanmu wahai Rasulallah “.

Pada hakekatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan nabi atau orang shaleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah mampukan kepada nabi atau orang shalih itu dan Allah kasihkan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal : “ Wahai nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangkau “, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan : “ Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini “. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.

Penisbatan al-madad (pertolongan), al-‘aun (bantuan) kepada Rasulullah atau makhluk lainnya hanyalah majaz (bukan hakekatnya) dan penisbatan semacam ini dibenarkan dalam hadits dan al-Quran sendiri. Dan kaum muslimin pun tidak meyakini pertolongan dan bantuan diciptakan oleh Rasulullah atau makhluk lainnya, melainkan kaum muslimin meyakini pertolongan, manfaat ataupun bahaya hanyalah dari Allah semata.

Contoh sebagaimana yang telah kami tampilkan di awal hadits Nabi berikut :

اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل
“ Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatakan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)

Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).

Mungkinkah Nabi menyebut Hujan sebagai penolong, pemberi manfaat secara hakekatnya dan bukan majaz ?? jelas Nabi tidak bermaksud secara hakekatnya melainkan secara majaz, sebab jelas jika meyakini hujan sebagai pemberi pertolongan dan manfaat secara independen, maka hukumnya mensyirikkan Allah dengan makhluk-Nya. Maka sudah tentu yang Nabi maksudkan adalah secara majaz bukan hakikatnya.

Jika hujan saja boleh disebut al-ghouts secara majaz, maka demikian pula makhluk Allah termulia yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah banyak sebab perantara beliau umatnya bahkan seluruh alam mendapatkan banyak nikmat, pertolongan dan rahmat dari Allah Ta’ala, lebih layak disebut al-ghauts atau al-madad secara majaz.


Contoh, dalam al-Quran disebutkan :

إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا
“ Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu (wahai Maryam), untuk aku berikan padamu seorang anak yang cerdas “. (QS. Maryam : 19)

Apakah Jibril yang memberikan seorang anak untuk Maryam ?? tentu tidak, yang memberikan dan menciptakan seorang anak hanyalah Allah semata. Maka menisbatkan kata “ AHABA (Aku memberikan) “, adalah bersifat majaz bukan hakikatnya.

Dalam al-Quran Nabi Isa juga mengatakan :

أني أخلق لكم من الطين كهيئة الطير فانفخ فيه فيكون طيرا بإذن الله
“ Aku membuat untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah “ (QS. Ali Imran : 49 )

Apakah nabi Isa yang menciptakan burung dari tanah liat karena beliau sendiri yang mengatakan mencitpakan dan meniupkan menjadi hidup ?? tidak, akan tetapi kata penciptaan dan peniupan adalah majaz bukan hakikatnya
.
Demikian juga ucapan “ al-Madad Ya Rasulullah “ atau “ adrikni Ya Rasullah “, bukanlah secara hakikatnya melainkan secara majaz saja, adapun hakikatnya yang memberi pertolongan adalah hanyala Allah semata bukan yang lain-Nya. Dan Rasulullah sendiri pun telah menegaskan kepada umatnya :

وإِنما أنا قاسم والله يعطي
“ Sesungguhnya saya hanyalah pembagi sedangkan Allah lah yang memberi “. (HR. Bukhari)

Allah Ta’ala pun telah berfirman :

وإذْ تَقولُ للذي أَنْعَمَ اللهُ عليهِ وأنْعَمْتَ عليه
“ Dan ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya…” (QS. Al-Ahzab : 37)

Apakah berarti Rasulullah juga mampu memberikan nikmat sebagaimana Allah ? apakah Rasul menjadi sekutu Allah karena sama-sama mampu memberikan nikmat sebagaimana ayat tersebut ?

Tidak demikian, akan tetapi maknanya adalah majaz yakni Rasul hanyalah menjadi faktor penyebab datangnya nikmat dari Allah. Dalam ayat itu, Zaid bin Haritsah mendapat berbagai nikmat dengan sebab (perantara) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia masuk Islam di tangan Nabi, ia dimerdekakan oleh Nabi, ia dinikahkan dengan pilihan Nabi dan ia menjadi sahabat utama Nabi. Namun Allah menisbatkan kalimat, “ engkau (Muhammad) juga telah memberikan nikmat “ kepada nabi Muhammad bukan berarti secara hekekatnya beliau mampu menciptakan nikmat, akan tetapi itu hanyalah majaz yang bermakna nabi Muhammad menjadi faktor penyebab datangnya nikmat.

Inilah pemahaman Ahlus sunnah Wal Jama’ah sejak masa sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga saat ini yang dipegang oleh mayoritas umat muslim di belahan dunia ini.

Jika hal semacam ini dinilai syirik maka sudah pasti Nabi tidak akan mengajarkan kepada umatnya apabila ditimpa kesulitan di suatu tanah lapang hendaknya mengucapkan “ Tolonglah aku wahai hamba Allah ! “, sebagaimana hadits yang telah kami tampilkan di awal. Karena jelas ucapan tersebut seolah meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan meminta pertolongan kepada makhluk yang tidak ada di hadapannya. Kenapa Nabi tidak langsung mengajarkan meminta pertolongan kepada Allah saja ? ini bukti bahwa tawassul dengan nida’ (seruan) telah dilegalitas oleh Nabi sendiri asalkan meyakini bahwa pemberi pertolongan ataupun madhorot hanyalah Allah semata.

Adapun fatwa ulama wahabi yang mengatakan :

ولكن حياته لا تعني أنه يزور الناس في أماكنهم أو يحضر جلساتهم وأذكارهم ويدعو لهم، إذ لو جاز أن يفعل شيئا من ذلك، لفعله مع صحابته وخلفائه وهم أفضل أمته وأعز الخلق عليه.
“ Tetapi hidupnya tidak bermaksud baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan menziarahi manusia di tempat mereka, atau menghadiri majlis-majlis mereka, lalu berdoa untuk mereka. Seandainya baginda sallallahu ‘alaihi wasallam boleh melakukan hal ini, nescaya baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukannya bersama-sama sahabat-sahabatnya, khalifah-khalifahnya kerana mereka adalah umatnya yang paling utama dan paling dicintai olehnya.”

Jelas ini adalah penilaian yang tidak tepat pada sasarannya. Karena kami meyakini bahwa apa yang kami ucapkan bahkan apa yang kami lakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya tanpa harus datang ke tempat atau majlis kami. Dan pernyataan ulama wahabi tersebut justru bertentangan dengan hadits-hadits sahih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

حَياَتيِ خَيْرُ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ

“Hidupku didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.[2]

Hadits ini begitu jelas bahwasanya amal perbuatan kita diperlihatkan kepada Rasulullah dan bahkan Rasulullah juga mendoakan kita dan memohonkan ampunan untuk kita di alam barzakhnya tanpa beliau harus datang ke tempat atau majlis kita.

Ibnul Qayyim menyebutkan sebuah hadits berikut :
من صلى علي عند قبري سمعته ومن صلى علي من بعيد اعلمته
“ Barang siapa yang membaca shalawat di dekat makamku, maka aku mendengar-nya. Dan barang siapa yang membaca shalawat dari tempat yang jauh, maka aku diberitahukannya ”.[3]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ucapan sholawat umatnya sama ada di dekat kuburnya ataupun di tempat yang jauh. Kedua hadits di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya perbuatan kita dan ucapan sholawat kita dapat diketahui oleh Nabi di manapun kita berada.

Tawassul dan Istighatasah dengan Nabi atau wali yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa ulama salaf shalih.

Pada hakekatnya meminta pertolongan kepada wali atau orang shalih yang sudah wafat dengan cara bertawassul atau istighatsah maka maksudnya adalah memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para wali dan orang shalih tersebut, bukan meminta langsung kepada wali atau orang shalih untuk menciptakan apa yang mereka minta dan inginkan dan bahkan hal terkabulnya hajat sebab tawassul kepada para wali merupakan salah satu mu’jizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Hafidz Ibnu Shalah (w 643 H) berkata ketika menceritakan mu’jizat Nabi  :

وَذَلِكَ أَنَّ كَرَامَاتِ اْلأَوْلِيَاءِ مِنْ أُمَّتِهِ وَإِجَابَاتِ اْلمُتَوَسِّلِيْنَ بِهِ فيِ حَوَائِجِهِمْ وَمَغُوْثَاتِهِمْ عَقِيْبَ تَوَسُّلِهِمْ بِهِ فيِ شَدَائِدِهِمْ بَرَاهِيْنُ لَهُ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوَاطِعُ وَمُعْجِزَاتٌ لَهُ سَوَاطِعُ وَلاَ يَعُدُّهَا عَدٌّ وَلاَ يَحْصُرُهَا حَدٌّ أَعَاذَنَا اللهُ مِنَ الزَّيْغِ عَنْ مِلَّتِهِ وَجَعَلَنَا مِنَ اْلمُهْتَدِيْنَ اْلهَادِيْنَ بِهَدْيِهِ وَسُنَّتِهِ
“ Demikian itu bahwa karamah para wali Allah dari umatnya, dan terkabulnya hajat-hajat orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan mereka ketika dalam keadaan susah, merupakan bukti yang kuat dan mu’jizat yang terang, yang tidak mampu dihitungnya, kita berlindung kepada Allah dari menyimpang dari ajarannya dan menjadikan kami termasuk orang yang mendapat hidayat dengan petunjuknya dan sunnahnya “[4]

Al-Imam al-Alusi al-Mufassir mengatakan :

وبعد هذا كلـه لا أرى بأساً في التوسـل إلى الله بجاه النبي صلى الله عليه وسلم عند الله تعالى حياً وميتاً
“ Setelah (hujjah-hujjah) ini, maka saya mengatakan tidak mengapa di dalam bertawassul kepada Allah dengan perantara jaah (kedudukan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah, sama ada Nabi masih hidup ataupun sudah wafat “.[5]

Kemudian beliau juga mengatakan :

لا بأس به أيضاً إنْ كان المتوسل بجاهه مما علم أنّ له جاهاً عند الله تعالى كالمقطوع بصلاحه وولايته
“ Tidaklah mengapa juga bertawassul, jika orang yang dijadikan perantara tawassul adalah orang yang memiliki jaah (kedudukan) di sisi Allah Ta’ala seperti orang yang sudah diyakini dengan keshalihan dan kewaliannya “.[6]

Tawassul, istighatasah dan tabarruk dengan Nabi atau orang shalih yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa salaf bahkan hingga datang ke kuburannya.

Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikhnya berkata dari Abi Abdillah al-Mahamili bahwa ia berkata :

أعرف قبر معروفٍ الكرخي منذ سبعين سنةً، ما قصده مهموم إلا فرج الله همه
“ Aku tahu makam Ma’ruf AL-Kurkhi sejak 70 tahun, tidaklah seorang yang susah mendatanginya, kecuali Allah melapangkan kesusahannya “.[7]

Abu Abdillah bin al-Muhamili ini lahir di Baghdad pada tahun 235 H dan wafat pada tahun 330 H.

Ibnu Khalkan juga mengatakan :

وأهل بغداد يستسقون بقبره ويقولون قبر معروف ترياق مجرب. وقبره مشهور يزار
“ Penduduk Baghdad (bertawassul) dengan istisqa melalui kuburannya dan mengatakan, “ Kubur Ma’ruf adalah obat yang mujarrab “, dan kuburannya masyhur (terkenal) banyak diziarahi “[8]

Dan Ma’ruf al-Khurkhi wafat pada tahun 200 Hijriyyah.

Seorang ulama salaf bernama Ibrahim al-Harbi (w 285 H) di mana imam Ahmad bin Hanbal pernah memondokkan putranya pada beliau, seorang Hafidz, Faqih dan Mujtahid pernah berkata :
قبر معروفٍ الترياق المجرب
“ Kuburan Ma’ruf al-Kurkhi adalah obat yang mujarrab “,
Al-Khatib al-Baghdadi mengomentarinya : “ Tiryaq adalah obat yang diracik dari berbagai bahan yang dikenal di kalangan para tabib masa lalu karena banyaknya manfaatnya, dan banyak macamnya. Al-Harbi menyerupakan makam Ma’ruf al-Kurkhi dengan obat di dalam banyaknya manfaat, maka seolah-olah al-Harbi berkata : “ Wahai manusia, datanglah ke kuburan Ma’ruf al-Kurkhi dengan bertabarruk karena banyak manfaat yang akan diperoleh “.[9]

Al-Khatib al-Baghdadi berkata dari Hasan bin Ibrahim al-Khallal, bahwa beliau berkata :

ما همني أمر فقصدت قبر موسى بن جعفرٍ فتوسلت به إلا سهل الله تعالى لي ما أحب
“ Tidaklah ada satu perkara yang membuatku susah, lalu aku dating ke makam Musa bin Jakfar, kemudian aku bertawassul dengannya, maka Allah akan memudahkan apa yang aku inginkan “.[10]

Para Imam Ahli Hadits, yaitu al-Imam al-Thabarani, al-Imam Abu al-Syaikh al-Ashibhani dan al-Imam Ibn al-Muqri beristighatsah dengan Nabi. Disebutkan bahwasanya mereka bertiga datang ke kota Madinah lalu, ketika mereka kelaparan maka malam harinya Ibn al-Muqri menziarahi makam Nabi dan mengucapkan, “ Wahai Rasulallah, kami lapar “.  Maka tidak lama datanglah seorang keturunan Nabi dengan membawa makanan yang cukup banyak untuk mereka, karena ia bermimpi Nabi untuk memberikan makanan pada mereka bertiga.[11]

Al-Khatib al-Baghdadi juga meriwayatkan :

قال أنبأنا أبو عبد الرحمن محمد بن الحسين السلمي بنيسابور قال سمعت أبا بكر الرازي يقول سمعت عبد الله بن موسى الطلحي يقول سمعت أحمد بن العباس يقول خرجت من بغداد فاستقبلني رجل عليه أثر العبادة فقال لي من أين خرجت قلت من بغداد هربت منها لما رأيت فيها من الفساد خفت أن يخسف بأهلها فقال ارجع ولا تخف فان فيها قبور أربعة من أولياء الله هم حصن لهم من جميع البلايا قلت من هم قال ثم الامام أحمد بن حنبل ومعروف الكرخي وبشر الحافي ومنصور بن عمار فرجعت وزرت القبور ولم أخرج تلك السنة
“ Telah menceritakan padaku Abu Abdurrahman bin Husain as-Salma di Naisabur, ia berkata, “ Aku mendengar Abu Bakar ar-Razi berkata, “ Akau mendengar Abdullah bin Musa ath-Thalhi berkata, “ Aku mendengar Ahmad bin al-Abbas berkata, “ Aku keluar dari Baghdad, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang ada bekas ibadah atasnya, dan bertanya padaku, “ Dari mana engkau keluar ? “. Aku menjawab, “ Aku lari dari Baghdad, karena aku khawatir Allah menenggelamkan penduduknya ke dalam bumi karena kerusakan yang aku lihat di sana “, maka laki-laki itu berkata, “ Kembalilah dan janganlah takut, karena di Baghdad ada empat makam wali Allah, mereka adalah benteng untuk penduduknya dari semua bahaya “. Aku bertanya, siapa mereka ?, ia menjawab “ Mereka adalah imam Ahmad bin Hanbal, Ma’ruf al-Khurkhi, Bisyr al-Hafi dan Manshur bin ‘Ammar “. Maka aku kembali dan aku ziarahi kuburan-kuburan itu dan aku tidak keluar dari Baghadad selama setahun “.[12]

Dan masih banyak lagi hujjah dan dalil berkenaan masalah ini yang tidka kami tampilkan di sini, semoga yang singkat ini memberikan pencerahan bagi mereka dan mennambah keyakinan khususnya bagi Ahlus sunnah wal Jama’ah.

Ibnu Abdillah al-Katibiy
Kota Santri, 16/08/2014
Bacaan Tambahan:
http://akitiano.blogspot.com/2014/02/al-madad-dari-sisi-pandang-tasawwuf.html

[1] Hadits ini dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, as-Sakhawi dan al-Haitsami lihat (Majma’ al-Zawaid : 10/132). Bahkan al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dikuatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal karena imam Ahmad pun mengamalkannya. Lihat as-Silsilah adh-Dhaifah : 2/109
[2] Al-Haitsami menilai hadits tersebut sahih, lihat kitab Majma’ az-Zawaid : 9/24. Al-Hafidz al-Iraqi menilai sanadnya jayyid, lihat : Tharah at-Tatsrib : 3/297. Dan imam Suyuthi menilainya sahih, lihat kitab al-Khashaish : 2/281
[3] Jilaa al-Afham, Ibnul Qayyim : 109. Hadits ini sanadnya dinilai jayyid oleh imam as-Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar, lihat kitab al-Qaul al-Badi’ : 227
[4]  Aadab al-Muffti wa al-Mustafti : 1/210
[5] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/187
[6] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/188
[7] Tarikh Baghdad : 1/135
[8] Tarikh Ibnu Khalkan : 2/224
[9] Tarikh Baghdad : 1/122
[10] Tarikh Baghdad : 1/120
[11] Lihat kitab Tadzkirat al-Huffazh, adz-Dzahabi Juz 3 hal. 974.

[12] Tarikh al-Baghdad : 1/133

abdkadiralhamid@2017

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to ""Al Madad Ya Rasulullah""

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip