//

SYARAT SAH SHALAT, KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII

KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII
FIKIH SHALAT

BAB SYARAT-SYARAT SHALAT
B. Syarat Sah Shalat
Syarat sah shalat adalah hal-hal yang harus dipenuhi agar shalat yang dilakukan menjadi sah. Syarat ini berkaitan dengan perbuatan shalat bukan pelakunya. Syarat sah shalat ada lima yaitu:

1. Suci dari hadas.
Baik hadas kecil maupun besar. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ … وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu, … dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Mâidah: 6).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.” (HR. Muslim).

جامع الأزهر

Jika seorang terlupa tidak bersuci lalu melaksanakan shalat maka shalatnya tidak sah dan harus diulang. Jika ia shalat tanpa bersuci secara sengaja maka berdosa. Jika seorang imam terlupa tidak bersuci dan shalat telah selesai maka ia harus mengulangi shalatnya, sementara makmum tidak perlu mengulang.

Orang yang tidak mendapati air dan debu (fâqiduth thahûrain) sementara waktu shalat hampir selesai atau tidak ada harapan mendapatkan salah satunya sebelum selesai waktu shalat maka ia harus melaksanakan shalat dengan keadaannya itu tetapi wajib mengulangi lagi jika telah mendapatkan air atau debu.


2. Suci dari najis.
Seorang yang melaksanakan shalat harus suci dari najis pada tiga hal, yaitu badannya, pakaiannya dan tempat shalatnya, kecuali jika najis tersebut dimaafkan.
Yang dimaksud badan disini adalah semua permukaan tubuh seseorang, termasuk rongga mulut, hidung, mata, telinga, dan bawah kuku. Rasulullah SAW berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy RA:

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ فَاتْرُكِي الصَّلاَةَ، فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي
“Jika datang haid maka tinggalkan shalat. Jika telah pergi kadarnya maka cucilah darah darimu dan laksanakanlah shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yang dimaksud pakaian disini adalah semua benda yang dipakai seseorang baik berupa pakaian, perhiasaan, tutup kepala, sandal, dan lain sebagainya yang menempel secara langsung pada tubuhnya atau tidak.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Khaulah binti Yasar RA datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki kecuali satu pakaian sementara aku mendapati darah haid pada pakaian itu. Apa yang harus aku lakukan?” Beliau menjawab:

إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيْ ثُمَّ صَلِّيْ عَلَيْهِ
“Jika engkau sudah suci maka bersihkanlah dan shalatlah dengannya.” Khaulah berkata: “Jika darahnya tidak hilang?” Beliau menjawab:

يَكْفِيْكِ غَسْلُ الدَّمِ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
“Cukuplah bagimu pencucian darah itu sementara bekasnya tidak apa-apa.” (HR. Abu Daud).

Jika seorang menggendong anak kecil atau seekor hewan ketika shalat maka tidak batal shalatnya karena najis yang berada di dalam tubuh tidak diperhitungkan. Ini seperti najis yang ada dalam tubuh orang yang shalat itu sendiri. Tapi jika ia membawa sebuah botol yang berisi najis atau kain yang terkena najis maka batal shalatnya.
Tempat adalah semua ruang yang bersentuhan dengan badan dan pakaian seseorang yang melaksanakan shalat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA mengenai kisah seorang Arab badui yang buang air kecil di salah satu bagian masjid. Lalu Nabi SAW memerintahkan untuk menyiramnya dengan seember air.

Jika seorang shalat di atas sajadah yang pada salah satu bagiannya terkena najis maka shalatnya sah selama bagian yang terkena najis itu tidak bersentuhan dengan badan atau pakaiannya. Meskipun najis itu berada di bawah dadanya ketika ia sedang sujud tapi hukumnya adalah makruh.

Jika seorang mengetahui bahwa ada najis di tanah atau lantai tempat shalat lalu ia menutupnya dengan sesuatu dan shalat di atasnya maka shalatnya sah.
Jika seorang selesai melaksanakan shalat lalu melihat ada najis di pakaiannya maka tidak lepas dari tiga keadaan:
  1. Jika ia yakin bahwa najis itu menempel sebelum shalat maka ia wajib mengulangi shalatnya baik waktu shalat masih ada atau tidak.
  2. Jika yakin bahwa najis itu menempel setelah shalat maka ia tidak perlu mengulang shalatnya.
  3. Jika ragu atau tidak yakin apakah najis itu menempel sebelum shalat atau sesudahnya maka tidak perlu mengulang shalat.
Jika seorang makmum mengetahui secara yakin bahwa imamnya membawa najis maka jika ia tidak bisa memperingatkannya maka ia harus memisahkan diri dari imamnya (mufâraqah). Jika tidak maka batal shalatnya. Adapun imam maka ia harus mengulangi shalatnya setelah mengetahui najis tersebut.


3. Mengetahui telah masuk waktu.
Tidak sah shalat seseorang kecuali ia mengetahui bahwa waktu shalat telah masuk baik secara yakin maupun kira-kira (dzan) yang berdasarkan ijtihad (usaha) dalam mencari tahu waktu.
Terdapat tiga tingkatan mengetahui waktu shalat, yaitu:
  1. Pengetahuan yang meyakinkan (al-‘ilmul yaqîniy). Yaitu berdasarkan pengamatan inderawi, seperti melihat fajar, terbenam atau terbitnya matahari, dan lainnya. Termasuk di dalamnya adalah pemberitahuan dari orang yang terpercaya, muadzin terpercaya, dan jam yang akurat.
  2. Pengetahuan yang berdasarkan ijtihad (usaha mencari tahu waktu). Yaitu berdasarkan tanda-tanda yang bersifat tidak pasti seperti suara ayam jago jika terbiasa mengokok ketika fajar, bacaan zikir, pekerjaan, dan lainnya.
  3. Pengetahuan berdasarkan taklid (mengikuti) kepada orang yang mengamati melalui indera atau mengikui mujtahid.
Jika seorang shalat tanpa mengetahui waktu dan tidak berusaha mencari tahu (berijtihad) maka shalatnya tidak sah meskipun ternyata shalatnya itu bertepatan dengan waktunya. Jika seorang shalat berdasarkan ijtihad lalu ternyata shalat itu belum masuk waktunya maka shalatnya sah tetapi dihitung sebagai qadha jika ia memiliki hutang shalat semisal, atau dihitung sebagai shalat sunah mutlak jika tidak memiliki hutang shalat.

4. Menutup aurat.
Aurat berasal dari bahasa Arab: ‘aurah yang berarti kekurangan. Secara istilah fikih, aurat adalah sesuatu yang harus ditutupi dan dilarang untuk dilihat.

Menutup aurat dalam shalat adalah wajib jika mampu –meskipun seseorang shalat sendiri di tempat tertutup atau tempat yang gelap– dengan pakaian yang tidak tembus pandang dan dapat menutup bagian aurat jika dilihat dari arah atas atau samping, bukan dari arah bawah.

مسجد الشافعي
Masjid Imam Syafii, Kairo Mesir
Jika seorang shalat dengan pakaian sempit yang membentuk lekuk tubuhnya maka shalatnya sah selama warna kulitnya tidak tampak, tetapi makruh, terlebih jika yang melakukannya adalah perempuan.
Dasar kewajiban ini adalah firman Allah SWT:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوْا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.” (Al-A’râf: 31).

Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa yang dimaksud ayat diatas adalah memakai pakaian di dalam shalat.
Dan didasarkan juga pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat seorang perempuan (yang telah) haid kecuali dengan khimar (penutup badan).” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Jika seorang melaksanakan shalat lalu auratnya tersingkap maka ia harus segera menutupnya kembali. Jika tidak segera menutup –dan berlalu waktu yang diperlukan untuk menutup—maka shalatnya batal dan harus diulang.

Jika setelah shalat ia menyadari bahwa pakaiannya terdapat robekan atau lubang yang menampakkan aurat maka ia harus mengulangi shalatnya. Jika seorang tidak memiliki pakaian atau pakaian yang ada terkena najis maka ia harus melaksanakan shalat dengan telanjang dan tidak perlu mengulangi shalatnya. Tapi jika ada pakaian yang bisa dibeli atau disewa dengan harga umum dan ia memiliki uang untuk itu maka harus membeli atau menyewanya.


Batasan aurat
a. Aurat laki-laki. Terdapat empat keadaan aurat lelaki:
  1. Ketika shalat, di hadapan perempuan mahram, atau lelaki lainnya, yaitu antara pusar dan lutut. Pusar dan lutut sendiri bukan bagian dari aurat tapi sebaiknya ditutup untuk menghindari terbukanya aurat.
  2. Ketika sendiri, yaitu kemaluan depan (qubul) dan belakang (dubur).
  3. Di hadapan perempuan asing, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
  4. Di hadapan isteri dan budak perempuannya, yaitu tidak ada aurat.
b. Aurat perempuan. Lima keadaan aurat perempuan:
  1. Aurat perempuan di dalam shalat, yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Yang dimaksud telapak tangan disini adalah telapak dan punggung tangan sampai batas pergelangan.
  2. Ketika sendiri, di hadapan perempuan lain, atau di hadapan lelaki mahram, yaitu antara pusar dan lutut.
  3. Di hadapan perempuan muslimah yang fasik (pelaku dosa besar), dan perempuan kafir, yaitu yang umumnya tidak terbuka ketika bekerja, yaitu kepala, wajah, leher, kedua tangan hingga siku-siku, dan keuda kaki hingga lutut. Selain anggota badan tersebut maka dianggap aurat.
  4. Di hadapan lelaki asing, yaitu seluruh tubuhnya. Sebagian ulama menyatakan selain wajah dan telapak tangan kecuali jika khawatir fitnah (godaan).
  5. Di hadapan suaminya, yaitu tidak ada aurat.

5. Menghadap kiblat.
Secara bahasa kiblat (al-qiblah) berarti arah. Adapun yang dimaksud kiblat dalam shalat adalah Ka’bah. Dinamakan demikian karena Ka’bah berada di arah depan seorang yang melaksanakan shalat.

Seseorang wajib menghadap ke arab kiblat jika mampu. Jika tidak mampu, seperti seorang yang diikat di sebuah tiang, maka menghadap ke arah manapun yang ia mampu tetapi harus mengulang shalatnya jika telah mengetahui arah yang benar.
Keharusan menghadap kiblat ini berdasarkan dalil dari Alquran, hadits, dan ijmak para ulama. Allah SWT berfirman:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Al-Baqarah: 144).

Rasulullah SAW berkata kepada Khallad bin Rafi’ az-Zurqi RA:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَأَسْبِغِ اْلوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ، فَكَبِّرْ
“Jika engkau akan melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke arah kiblat dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang yang melaksanakan shalat dengan melihat langsung ke arah kiblat maka harus menghadap ke arahnya secara yakin. Dan jika tidak melihat langsung karena ada penghalang antara keduanya maka harus menghadap ke arahnya berdasarkan perkiraan (dzann).
Seorang yang melaksanakan shalat dengan berdiri dan duduk maka ia harus menghadap dengan dadanya. Menghadap dengan wajah adalah anjuran saja. Jika ia shalat sambil tidur dengan sisi badan maka harus menghadap dengan dada dan wajahnya sekaligus. Dan jika shalat dengan berbaring terlentang maka dengan dengan wajah dan telapak kakinya.
Terdapat dua keadaan seseorang dibolehkan untuk tidak menghadap kiblat, yaitu:
  1. Dalam keadaan sangat takut dalam peperangan, menghadapi bahaya, dan lainnya.
  2. Melaksanakan shalat sunah dalam perjalanan, baik diatas kendaraan atau tidak. Diriwayatkan oleh Jabir RA: “Bahwa Rasulullah SAW shalat ke arah kendaraannya berjalan. Dan jika akan melaksanakan shalat wajib maka beliau akan turun dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari).
Demikianlah syarat-syarat sah shalat. Sebagian ulama menambahkan dua syarat lainnya, yaitu:
6. Mengetahui hukum kewajiban shalat.
Jika ragu mengenai wajib atau sunahnya shalat yang ia lakukan maka tidak sah shalatnya.

7. Tidak meyakini hal yang wajib sebagai sunah.
Jika meyakini bahwa rukun shalat sebagai sunah maka tidak sah shalatnya.

WALLAHU A’LAM

Sumber : http://ahmadghozali.com

abdkadiralhamid@2016

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SYARAT SAH SHALAT, KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip