//

DALIL TENTANG AMALAN, HIZIB & AZIMAT



Tersebut dalam Kitab Alfatawal Haditsiyyah yang ditulis oleh Khotimatul Fuqoha wal Muhadditsin ialah tuan Syekh Ahmad Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Makki, halaman 23, sebagai berikut:
Artinya :
Boleh hukumnya menuliskan azimat-azimat yang tidak ada padanya sesuatu dari pada nama-nama yang tidak diketahui maknanya, dan seperti demikian juga boleh menggantungkannya atas anak-anak Adam dan binatang-binatang. Wallahu subhanahu wa ta’ala A’lam.

Demikian pula tersebut dalam Kitabul Adzkar bagi Al-Allamah Muhyidin Annawawi, pada halaman 124 – 125 pada bab Ma yaqulu idza kana yafza’u fi manamihi, sebagai berikut:

Artinya :
Diriwayatkan akan kami di dalam Sunan Abi Daud, Attirmidzi dan Ibnissunni dan lainnya dari ‘Amer bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. adalah pernah mengajarkan mereka karena kejutan akan beberapa kalimat”


Kata Rawi: Dan adalah Abdullah bin Umar mengajarkan kalimat itu kepada yang telah berakal dari anak-anaknya. Dan mereka yang belum berakal, ditulisnya dan digantungkannya atasnya.


Kata Attirmidzi : Hadits Hasan.
Ada beberapa dalil dari Hadits Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:


“Dari ‘Awf bin Malik al-Asyja’i ia meriwayatkan bahwa pada zaman jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kai bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu (ya Rasul)tentang hal itu. Rasul menjawab, “Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kemusyrikan.” (Shahih Muslim [4079])

Dalam al-Thibbal-Nabawi, al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Ustman al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:


“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, serta dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya.” (Al-Thibb al-Nabawi, 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada Hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:


“Dari ‘Abdullah ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, (yang digunakan untuk kejahatan) adalah perbuatan syirik.”(Sunan Abi Dawud [3385]).

Atau Hadits yang menyatakan:


“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menggantungkan azimat di lehernya, maka sungguh orang itu telah berbuat syirik.” (Musnad Ahmad [16781]).

Mengomentari Hadits ini, ibn Hajar, salah seorang pakar ilmu Hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:


“Ibnu Hajar dan ulama yang lain mengatakan, “Keharaman yang terdapat dalam Hadits itu, atau Hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya.” (Faidh al-Qadir, 181).

Inilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah membuat azimat.



“Al-Marrudzi berkata, “Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah (Ahmad bin Hanbal) bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidatain (al-Falaq dan al-Nas). Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu ‘Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billa wa Muhammad Rasulullah, QS. al-Anbiya’ 69 – 70, Allahumma rabbi jibrila dst....... Abu Dawud menceritakan saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi ‘Abdillah yang masih kecil. Syaikh Taqiyuddin Ibn Taimiyyah RA menulis QS. Hud 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya).” 
(Al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, juz II hal. 307 – 310)

Artinya:
“Rasulullah berkata kepada tukang cukur: Hai! Beliau tunjukkan arah kanan kepada beliau, maka beliau bagikan rambut beliau kepada orang-orang yang berada di sebelah kanannya. Kemudian beliau tunjuk lagi yang arah sebelah kiri, maka beliau berikan potongan rambutnya kepada Ummu Suleim. (HR. Muslim juz IX – halaman 53).

Dalam satu riwayat dalam kitab Muslim juga, bahwa Nabi Muhammad SAW, membagi-bagi rambut tersebut ada yang mendapat sehelai, ada yang dua helai rambut. Dan ada pula yang diberikan kepada Abu Thalhah.

Tersebut dalam kitab Bukhari:

Artinya:
“Dari Ibnu Sirin (Tabi’in) beliau berkata : Saya beritahukan kepada ‘Abidah (juga tabi’in), bahwa pada saya ada tersimpan rambut Nabi Muhammad Saw. yang saya perdapat dari Anas atau dari famili Anas, maka ‘Abidah berkata” Wah – kalau ada pada saya sehelai rambut dari rambut Nabi, lebih senang bagi saya dari isi dunia ini seluruhnya. (HR. Bukhari – lihat Fathul Bari, juz I – halaman 284).

Nampaklah dalam hadits-hadits ini bahwa sahabat-sahabat Nabi dan Tabi’in-tabi’in pada waktu itu berebut-rebut ingin menyimpan rambut Nabi Muhammad Saw.
Di dalam kitab Syifa’ dikatakan bahwa Jenderal Khalid bin Walid (sahabat Nabi) selalu menyimpan rambut Nabi dalam kantong bajunya. Kemana saja dan di mana saja beliau berperang, dianugerahi kemenangan oleh Tuhan berkat yang ada pada rambut Nabi itu.
Sepanjang sejarah, pada waktu peperangan Yammah, baju Jenderal Khalid bin Walid jatuh di tengah-tengah orang kafir.
Dengan tidak memperdulikan maut beliau menyerbut ke tengah-tengah orang kafir dengan memukul kiri-kanan dan akhirnya mengambil baju yang jatuh ini:
Sahabat-sahabat yang lain berpendapat bahwa cara yang begitu sangat terlalu gegabah karena untuk keperluan sehelai baju akan mempertaruhkan jiwa di tengah-tengah kaum kafir.
Setelah dikatakan kepada Khalid bin Walid hal itu, beliau menjawab bahwa soalnya bukan baju yang jatuh itu, tetapi di dalam baju itu ada tersimpan rambut Rasulullah Saw. yang sangat berharga sekali. Saya khawatir kalau-kalau baju itu jatuh ke tangan orang musyrik.
Akhirnya seluruh sahabat sepakat dengan pendapat Khalid bin Walid. (baca kitab Tabarrukus Shahabah bin Atsaari Rasulillah Saw. – halaman 9 – 10).
Nah dalam hadits ini dan juga dalam kejadian ini dapat diambil kesimpulan bahwa menyimpan sesuatu yang dianggap suci, tidak dilarang oleh agama kalau kita bermaksud mengambil berkatnya.
Di dalam istilah syari’at Islam,

Artinya:
“Adanya suatu kebajikan Tuhan yang diletakkan pada sesuatu. (lihat Tafsir Khazein II – hal. 218).

Kebajikan Tuhan diletakkan pada sesuatu. Ada yang diletakkan pada diri Nabi-Nabi, pada cangkir Nabi, pada baju Nabi. Ada yang diletakkan pada diri Ulama-ulama dan Aulia-aulia, orang saleh dan orang yang mati syahid.
Ada yang diletakkan pada ayat-ayat suci al-Qur’an, pada surat Kahfi, pada surat Yasin, pada surat al-Ikhlash.
Ada yang diletakkan pada nasi, pada air, pada tamar, pada kurma, pada gantang, pada sukatan, pada timbangan dan lain-lain sebagainya.
Pendeknya, kebajikan Tuhan, rahmat Tuhan itu banyak sekali, melimpah-ruah dan diletakkanNya pada sesuatu yang dikasihinya.
Ada yang diletakkan pada baju Nabi Yusuf As. Sehingga ayahnya nabi Ya’kub dapat melihat lagi setelah diusapkan pada mukanya, berkat baju Nabi Yusuf. Juga ada yang diletakkan pada tongkat Nabi Musa As. Setelah dilempar menjadi ular. Sehingga musuh-musuhnya menjadi kalah semua. Apakah Musa menjadi syirik? Tidak karena Nabi Musa As. tidak menuhankan tongkat, kebajikan Tuhan yang ditaruh pada tongkat.
---ooo0ooo---

والله اعلم بالصواب

abdkadiralhamid@2015

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DALIL TENTANG AMALAN, HIZIB & AZIMAT"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip