//

TENTANG SYI'AH DI INDONESIA, Al Habib Prof. Dr. Mohammad Baharun, MA


TENTANG SYI'AH DI INDONESIA


Al Habib Prof. Dr. Mohammad Baharun, MA, adalah seorang pakar Sosiologi Agama yang juga Rektor Universitas Nasional Pasim Bandung. Dalam disertasi doktoralnya di IAIN Sunan Ampel Surabaya, beliau menghasilkan sebuah penelitian ilmiah mengenai perkembangan Syi'ah di Indonesia, lengkap dengan tipologi, dan ajarannya. Berikut catatan sekelumit tentang disertasinya tersebut. Selamat membaca...

Tentang Syi’ah di Indonesia
22 Agustus 2013 pukul 16:02


Dalam konteks ini, menarik jika kita membaca hasil penelitian disertasi Prof. Dr. Mohammad Baharun, M.Ag di IAIN Surabaya tentang karakter Syi’ah Indonesia. Menurut Rektor Universitas Nasional Pasim Bandung ini, Syi’ah di Indonesia itu memang tidak monolitik. Meski begitu, mereka disatukan oleh satu doktrin esensial, yakni doktrin Imamah. Apapun bentuknya, Syi’ah di Indonesia tetap meyakini akidah imamah sebagai doktrin penopang utamanya.

Oleh sebab itu, faktor perbedaan karakter Syi’ah di Indonesia itu bukan karena budaya, kultur keindonesiaan. Akan tetapi, tingkat pemahaman penganut Syi’ah terhadap doktrin Imamah itu yang melahirkan tipologi yang berbeda. Adapun faktor budaya dan kultur Indonesia hanya mewarnai kulitnya saja, tidak sampai kepada mengubah pandangan akidah, atau doktrin-doktrin utamanya. Kesimpulannya, pada dasarnya Syi’ah di Indonesia itu menurut Prof. Baharun sama dengan Syi’ah di Iran yakni Syi’ah Istna Asyariyah. Apalagi, penyebarannya dibawa oleh para mahasiswa Indonesia alumni Universitas Qom Iran. Anggota DPR RI Dr. Ali Maschan Moesa, M.Si, sepulang beliau berkunjung ke Iran, pernah menyampaikan kekhawatirannya terhadap banyaknya pelajar yang studi di pusat Syi’ah ini.

Doktrin Utama

Akidah yang paling sentral dan sifatnya mutlak dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah akidah Imamah. Mengimani dua belas Imam yang disebutnya ma’shum (bebas dari kesalahan), sebagaimana kema’shuman para Nabi. Dalam pengertian Syi’ah, Imammah ini bukan seperti Imamah dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi imamah adalah doktrin primer dalam ideologi dan teologi.

Dalam pemahaman Ahlus Sunnah, Imamah disebut pula khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat sesudah Nabi SAW. Kata imam pun disebut dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk, selain berarti pemimpin juga bermakna lain, misalnya yang disebut dalam QS. Al-Ahqaf Imam bermakna al-Qur’an. Kata imam juga memiliki arti pemimpin pasukan dan pengatur kemaslahatan (QS. Al-Baqarah 24). Imam dalam pengertian di sini bukan pemimpin pengganti Nabi SAW.

Dalam hadis Nabi SAW, dapat ditemukan istilah-istilah imamah, khilafah, dan imarah yang semuanya bermakna pemimpin. Baik pemimpin shalat, atau pemimpin kenegaraan. seperti hadis Nabi SAW yang menyuruh Abu Bakar r.a mempimpin shalat ketika Nabi SAW sedang sakit. “Dari Abdullah ia berkata: Ketika Rasulullah SAW wafat, maka kaum Anshar berkata: “Sebaiknya dari kami dipilih seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin.” Umar ra bertanya;” Apakah kalian tidak tahu bahwa Rasulullah SAW memilih Abu Bakar ra untuk menjadi imam dalam shalat?” Karena itu jika salah satu dari kalian yang lebih afdhal dari Abu Bakar ra, maka belakangilah (tinggalkan) Abu Bakar ra. Mereka menjawab: “Kami berlindung dari Allah untuk membelakangi Abu Bakar ra”.

Bagi Syi’ah Imamiyah, memahami hadis-hadis doktrin imamah bukan saja harus bersumber dari Rasulullah SAW, namun juga dari para imam dua belas sebagai manusia-manusiasuci (ma’shum). Kemutlakan imam sebagai pemimpin yang bebas dari dosa berimplikasi kepada konsep hadis. Ucapan-ucapan para imam disebut hadis. Seperti yang ditulis dalam al-Kafi Jilid I halaman 52 hadis no. 14: “Abu Abdillah as (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, bahwa hadisku adalah hadis ayahku (imam Muhammad al-Baqir), hadis ayahku adalah hadis kakekku (Imam Ali Zainal Abidin), hadis kakekku adalah hadis al-Husein (imam ke-3), hadis al-Husein adalah hadis al-Hasan (imam ke-2) dan hadis al-Hasan adalah Hadis Amir al-Mu’minin (Imam pertama), dan hadis Amir al-Mu’minin adalah hadis Rasulullah SAW sedang hadis Rasulullah SAW adalah firman Allah SWT”.

Kategorisasi dan parameter pengukuran hadis disebut shahih atau tidak juga berbeda dengan hadis dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Menurut Syi’ah, hadis disebut shahih dengan syarat; Pertama, karena hadis itu diriwayatkan dari sumber yang dipercaya. Kedua, karena hadis itu sejalan dengan dalil lain yang bersifat pasti (qat’i) dan sejalan pula dengan konteks yang dipercaya. Dari pemahaman seperti ini (hadis Nabi identik dengan hadis para Imam), maka doktrin imamah dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah satu keniscayaan. Di mananpun Syi’ah dua belas berada, pasti mengamalkan doktrin esensial ini.

Saya pernah mengonfirmasi doktrin ini ke sejumlah orang-orang dan lembaga pendidikan Syi’ah di Jawa Timur. Mereka jujur meyakini bahwa perkataan Imam itu disebut hadis, dan katanya tidak mungkin salah. Perkataan imam menjadi hukum yang pasti.

Dalam pandangan mereka, imamah itu penerus nubuwwah yang ditunjuk berdasarkan nash Ilahi, karena ucapan-ucapan para Imam itu adalah identik dengan hadis Nabi yang bersumber dari wahyu Allah SWT.

Sejumlah kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di daerah Jawa Timur menilai ajaran ini aneh. Seringkali perdebatan-perdebatan mewarnai di daerah ini. Menurut mereka ajaran aneh ini bertentangan dengan ajaran para pendahulu. Lebih menghawatirkan lagi jika perdebatan mereka sampai kepada debat tentang keadilan sahabat. Saya mendapat informasi dari beberapa orang di Pasuruan, Jember dan Bondowoso, kalangan Sunni merasa gerah dengan ajaran Syi’ah yang merendah-rendahkan Sahabat Abu Bakar ra, Umar ra dan ‘Aisyah ra istri Rasulullah SAW. Sebelum isu bentrok Syi’ah merebak, ada pengikut Syi’ah yang terang-terangan mengucapkan penistaan. Bahkan penistaan blak-blakan ditulis aktivis Syi’ah di jejaring sosial.

Tipologi Syi’ah

Pengikut Syi’ah memang ada yang terang-terangan dan ada pula yang mengajarkan secara tertutup untuk kalangan mereka sendiri. Ragam respon penganut Syi’ah itu juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman mereka terhadap doktrin kemutlakan imamah.

Model penghayatan terhadap akidah imamah yang bertingkat-tingkat itu melahirkan model perilaku pengikut Syi’ah yang berbeda pula. Selain itu pola adaptasi Syi’ah di tengah mayoritas Sunni juga mempengaruhi perilaku pengikut Syi’ah Imamiyah. Umumnya, Syi’ah enggan berterus terang kepada kelompok lain, kecuali kepada sesama ikhwan Syi’ah.

Seperti dalam kesimpulan Prof. Dr. Mohammad Baharun dalam penelitian Syi’ah di Jawa Timur, bahwa lahirnya tipe-tipe Syi’ah itu tergantung seberapa banyak mereka menyerap doktrin imamah yang diajarkan. Ada tiga tipe yang ditemukan Prof. Baharun:

1. Syi’ah ideologis. Jama’ah Syi’ah imamah ini dididik secara sistematis, intens, serius melalui program kaderisasi. Ada yang dikader melalui pesantren ada pula di lembaga pendidikan formal. Materi-materinya meliputi mantiq, filsafat dan akidah-akidah penopang seperti konsep imamah. Kader ini ini biasanya menjadi pengikut yang militan yang tidak saja memahami teologi namun sekaligus ideologi yang bersumber dari imamah. Banyak dari kader tipe ini yang disekolahkan ke pusat Syi’ah di kota Qom Iran.

2. Syi’ah “Su-Si”. Jama’ah Syi’ah model ini diperkenalkan melalui pengajian dan selebaran. Sasarannya biasanya para santri di pondok pesantren. Ada pula yang semula bersimpatik kepada Syi’ah. Model pendekatannya tidak terlalu intensif bahkan kadang setengah-setengah. Rata-rata mereka tidak memahami referensi-referensi penting Syi’ah. Pemahamannya setengah-setengah. Saya pernah menjumpai tipe ini di sebuah daerah di Pasuruan. Orang tersebut mengaku Sunni, akan tetapi ia juga mengikuti ritual-ritual yang diadakan oleh Syi’ah, seperti karbala, menghormati para dua belas Imam, dan mengkultuskan Khomeini. Ketika shalat orang itu mengikuti cara ala Sunni. “Syi’ah sama saja, yang berbeda kulitnya. Maka saya ambil yang sekiranya baik dari Syi’ah dan Sunni”, begitu alasan tipe Su-Si. Namun tetap orang tersebut mengimani dua belas Imam sebagai pemimpin pengganti Nabi SAW. Ada pula di tipe ini, yaitu calon kader militan. Seperti sebuah tahapan untuk meningkat ke jenjang berikutnya.

3. Syi’ah Simpatisan. Biasanya mereka pemuda yang gemar pemikiran filsafat Syi’ah. Jama’ah ini mengenal Syiah imamah melalui buku-buku, seminar yang diadakan di kampus-kampus dan pendekatan individual. Mereka juga mengagumi Revolusi Iran yang dipelopori Khomeini tahun 1979. Mereka memahami pemikiran saja. Mereka juga disebut Syi’ah pemikiran. Mereka bersifat lebih adaptif dengan Sunni tapi mereka elaboratif dalam memahami Syi’ah dua belas.

Syi’ah imamiyah di Indoensia khususnya di Jawa Timur pada dasarnya memiliki rujukan-rujukan yang sama. Yang berbeda itu tingkat memahami rujukan-rujukan tersebut. Boleh jadi Syi’ah Simpatisan atau Syi’ah ‘Su-Si’ meningkat menjadi Syi’ah Ideologis, setelah mereka memahami dan memasuki kader intensif.

Syi’ah ideologis yang militan pun bisa sangat adaptif, meski keyakinannya termasuk fundamental. Alasannya mereka itu untuk berdakwah lebih dekat dengan Sunni, sebagai sebuah strategi merekrut anggota.

Pola adaptif di tengah mayoritas Sunni di Indonesia dipraktikkan sejak awal dari strategi seorang tokoh senior Syi’ah di kota Bangil Pasuruan. Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah menurunkan berita tentang strategi Syi’ah berdakwah di Indonesia. AULA mengutip sebuah surat rahasia dari seorang di Iran. Berikut sebagaian isi surat tersebut:

“Saya ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak kemenangan Imam atas Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun saya tidak ragu sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena takut kepada orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan supaya dipuji orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang mempertimbangkan situasi di sekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya, sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkahperjuangan kita”.

Surat ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan dan membuka pikiran sejumlah orang. Banyak yang kemudian menyadari bahwa selama ini akidah Syi’ah diajarkan secara sembunyi-sembunyi. Beberapa ulama’ kemudian tertarik untuk mempelajari kitab-kitab rujukan Syi’ah yang asli, terutama kitab al-Kafi. Dari pendekatan pustaka ini banyak yang sudah mengenal apa dan bagaimana Syi’ah di Indonesia.

Memang mengkaji Syi’ah secara proprosional haruslah dengan mendekati kepada litelatur-litelatur yang diajarkan oleh Syi’ah di Indonesia. Mengkaji Syi’ah dari pernyataan tokoh-tokoh Indonesia dipastikan tidak mampu mendapatkan hakikat yang sebenarnya. Sebab, mereka mengamalkan doktrin taqiyyah (pura-pura/menyembunyikan keyakinan) untuk mengelabui mayoritas sunni. Yang tepat, mempelajari kitab-kitab yang menjadi rujukan mereka. Tanpa itu, pengetahuan kita tentang Syi’ah remang-remang dan kabur


Abdkadiralhamid@2015

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TENTANG SYI'AH DI INDONESIA, Al Habib Prof. Dr. Mohammad Baharun, MA"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip