//

Kesaksian Tentang IMAM JA’FAR SHADIQ Ra

    
 

Kesaksian Tentang  IMAM JA’FAR SHADIQ Ra


Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Ash-Shodiq (orang yang jujur). Beliau biasa dipanggil dengan panggilan Abu Abdullah dan juga dengan panggilan Abu Ismail. Ibu beliau adalah Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq. Sedangkan ibu dari Farwah adalah Asma bintu Abdurrahman bin Abubakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) pernah berkata, “Abubakar (Ash-Shiddiq) telah melahirkanku dua kali.”
Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq dilahirkan di kota Madinah pada hari Senin, malam ke 13 dari Rabi’ul Awal, tahun 80 H (ada yang menyebutkan Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah  atau kurang lebih pada tanggal 20 April702Masehi ).
Banyak para imam besar (semoga Allah meridhoi mereka) yang mengambil ilmu dari beliau, diantaranya Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraid, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah, Su’bah dan Ayyub. Banyak ilmu dan pengetahuan yang diturunkan dari beliau, sehingga nama beliau tersohor luas seantero negeri.

Keluarga

Ia memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.

Kehidupan awal

Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim.
Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.

Masa keimaman

Situasi politik di zaman itu sangat menguntungkannya, sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukannya meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan muridnya berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki) dan lain-lain.
Di zaman Imam Ja'far, terjadi pergolakan politik dimana rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang mereka lakukan selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut balas dari Bani Hasyim".
Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu, ternyata Bani Abbasiyah memusuhi Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan.Tetapi menjelang akhir hayatnya, ia menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan Nabi, dan pengikutnya hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman Bani Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka. Hisyam, khalifah Bani Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam Ja'far Ash Shodiq dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh As-Saffah, khalifah Bani Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al-Mansur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarra, Iraq untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya di Madinah, sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia Al-Mansur.

Dari Malik bin Anas

Imam Malik menceritakan pribadi Imam Ja'far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104:
"Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini:
  1. beliau sedang salat,
  2. beliau sedang berpuasa,
  3. beliau sedang membaca kitab suci al-Qur'an.
Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW tanpa taharah. Ia seorang yang paling bertaqwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada mata yang pernah melihat, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."
 
Malik bin Anas, seorang ahli fikih Madinah, mengatakan tentang Imam, “Sewaktu aku mengunjungi rumahnya, Imam Ja’far bin Muhammad senantiasa menghormatiku. Dia meletakkan bantal sandaran untukku sambil berkata, “Malik! Aku menyukaimu.” Perkataan Imam itu membuat hatiku senang dan aku berterimakasih kepadanya.  Imam Ja’far tidak pernah keluar dari tiga keadaan: puasa, shalat  dan zikir. Imam adalah ahli ibadah yang paling konsisten, zuhud, takut kepada Allah.  Imam banyak meriwayatkan hadis, senang duduk di majelis ilmu, dan banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Setiap kali Imam meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw, warna wajah Imam seketika itu berubah menjadi pucat biru atau kuning sehingga tidak bisa dikenali lagi. Tahun itu, aku berada di sisi Imam untuk menunaikan ibadah haji. Pada saat Imam hendak mengucapkan talbiyah untuk ihram, suaranya terputus di kerongkongannya sehingga tidak dapat mengucapkan talbiyah dan hampir saja terjatuh dari kuda tunggangannya.  Aku berkata, “Wahai putra Rasulullah! Katakanlah! Engkau mau tidak mau harus mengucapkan talbiyah!” Imam mengatakan, “Wahai Ibn Amir! Dengan keberanian apa aku harus mengatakan labbaik! Allahumma labbaik! sedangkan aku takut Allah swt mengatakan kepadaku, la labbaik wa la sa’daik.”
Malik bin Anas mengatakan, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang pun, yang dari segi kezuhudan, kemuliaan, ibadah, dan ketakwaan, lebih mulia daripada Ja’far bin Muhammad.”

 

Dari Abu Hanifah

Pada suatu ketika khalifah Al-Mansur dari Bani Abbasiyah ingin mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far ash-Shadiq AS. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahwa banyak orang sangat tertarik kepada Imam Ja'far bin Muhammad karena ilmu pengetahuannya yang luas itu. Khalifah Al-Mansur meminta Abu Hanifah menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Imam Ja'afar bin Muhammad AS di dalam perdebatan itu nanti. Sebenarnya Al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan Imam Ja'far bin Muhammad, dengan cara itu dan membuktikan kepada orang banyak bahwa Ja'far bin Muhammad tidaklah luas ilmunya.
Menurut Abu Hanifah,
"Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far bin Muhammad duduk di sisi Al-Mansur. Ketika aku memandang Ja'far bin Muhammad, jantungku bergoncang kuat, rasa getar dan takut menyelubungi diriku terhadap Ja'far bin Muhammad lebih daripada Al-Mansur. Setelah memberikan salam, Al-Mansur memintaku duduk dan beliau memperkenalkanku kepada Ja'far bin Muhammad. Kemudian Al-Mansur memintaku mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja'far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan beliau menjawabnya satu persatu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya sendiri, baik beliau menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau selesai menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku sediakan untuknya."
Abu Hanifah berkata lagi,
"Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?"
Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata,
  • "Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad." 
  • Amer bin Abi Miqdam mengatakan, “Ketika memandang Ja’far bin Muhammad, aku merasakan bahwa dia adalah dari keturunan Nabi saw.”
    Zaid bin Ali mengatakan, “Pada setiap zaman, ada lelaki dari Ahlulbait kami, yang melaluinya Allah sampaikan hujjah-Nya terhadap manusuia. Hujjah zaman ini adalah Ja’far bin Muhammad, putra saudaraku. Barangsiapa yang mengikutinya tidak akan sesat dan barangsiapa yang menentangnya tidak akan mendapatkan petunjuk.”
    Ismail bin Ali bin Abdullah bin Abbas berkata, “Pada suatu hari, aku tiba di sisi Abu Ja’far Manshur. Dia menangis sehingga jenggotnya penuh dengan air mata. Ia berkata kepadaku, “Tidakkah engkau tahu apa yang terjadi terhadap Ahlulbaitku?” Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Peristwa apa gerangan?” Dia berkata, “Sayyid alam semesta dan sisa orang-orang baik telah wafat!” Aku berkata, “Siapakah dia wahai Amirul Mukminin?” Dia berkata, “Ja’far bin Muhammad.” Aku berkata, “Allah swt semoga memberikan pahala dan panjang umur.” Dia berkata, “Ja’far bin Muhammad adalah orang yang Allah swt firmankan,  Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.[371] Ja’far adalah di antara orang yang Allah pilih dan termasuk dari sabiqin dalam kebajikan.
    Ibn Habban menganggap Ja’far bin Muhammad sebagai orang yang terpercaya dan mengatakan, “Ja’far dari segi fikih, ilmu, dan kemuliaan adalah termasuk dari pembesar Ahlulbait dan hadisnya dapat dijadikan hujjah.”
    Syahristani mengenai Imam Ja’far Shadiq mengatakan, “Imam memiliki ilmu yang melimpah dalam agama dan kesusasteraan, sempurna dalam hikmah dan kezuhudan di dunia, serta ahli wara’ dan takwa. Imam menghindari hawa nafsu. Imam tinggal untuk beberapa lama di Madinah dan para pengikut serta sahabatnya menghirup ilmu darinya.  Setelah itu, Imam pindah ke Irak dan tinggal di sana beberapa lama.”
    Ahmad bin Hajar Haitsami menuliskan, “Anak Muhammad Baqir yang paling mulia adalah Ja’far Shadiq. Maka itulah, dia merupakan khalifah dan washi ayahnya. Masyarakat menukil banyak ilmu darinya, yang suaranya tersebar luas di semua negeri. Para pembesar agama juga menukil hadis darinya, seperti Yahya bin Sa’id. Ibn Juraih, Malik, Du Sufyanui, Abu Hanifah, Sya’bah, dan Ayyub Sajastani.”
    Ibn Shabbagh al-Maliki menulis, “Ja’far Shadiq, di antara saudara-saudaranya, adalah khalifah, washi, dan imam setelah ayahnya. Dari segi keutamaan, kecerdasan, serta kewibawaan, dia lebih tinggi daripada semuanya. Masyarakat menukil banyak ilmu darinya dan suaranya terdengar ke seluruh negeri. Hadis-hadis yang dinukil darinya tidak pernah dinukilkan dari seorang Ahlulbait pun.”
    Muhammad bin Thalhah Syafi’i menulis, “Ja’far bin Muhammad Shadiq adalah di antara pembesar dan sayyid Ahlulbait. Ia memiliki ilmu yang melimpah dan banyak beribadah serta banyak berzikir secara berkesinambungan. Ia zuhud dan banyak membaca al-Quran. Dia sangat teliti dalam memaknai al-Quran. Ibarat lautan, dia menebarkan mutiara dan memperoleh hasil yang sangat menakjubkan. Dia membagi waktunya untuk berbagai ketataan dan mengintrospeksi jiwanya dalam kaitan ini. Manusia yang melihatnya akan mengingat akhirat. Yang mendengarkan ucapannya akan menjadi zuhud. Yang mengikutinya akan mendatangi surga. Wajahnya yang bercahaya menjadi bukti bahwa dia adalah keturunan Rasulullah saw. Kesucian amalnya  memberitahukan kepada kita bahwa dia adalah keturunan Rasulullah saw.”
    Sekelompok pemuka dan ulama menukil hadis dari Imam Shadiq, seperti Yahya bin Sa’id Anshari, Ibn Juraih, Malik bin Anas, Tsauri, Ibn Uyainah, Sya’bah, dan Ayyub Sajistani. Mereka semua menukil hadis dari Imam. Itu adalah sebuah kemuliaan tersendiri.
    Syaikh Mufid mengenai Imam menulis, “Shadiq Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain, di antara saudara-saudaranya, terpilih sebagai khalifah, washi, dan imam setelah ayahnya. Dari segi keutamaan, ia lebih mulia daripada yang lain. Ia adalah yang paling mashur dan wibawa di mata umum dan khusus. Ilmunya menyebar luas di seluruh negara. Di antara Ahlulbait, dari Imam Shadiq-lah, hadis paling banyak dinukil. Ashab hadis menyebutkan empat ribu orang perawi hadis Imam Shadiq yang terpercaya.”


     Ibadah dan Penghambaan Imam Ja’far Shadiq, seperti juga ayah-ayahnya yang mulia, dari sisi ubudiyah berada pada peringkat tertinggi dan manusia yang paling mulia di zamannya.  Di antaranya, kami akan menyinggung sebagiannya.
    Telah diriwayatkan bahwa ketika, dalam shalat, membaca ayat-ayat al-Quran, Imam Ja’far Shadiq keluar dari keadaan biasa atau tak sadarkan diri.  Ketika sadar, Imam ditanya mengapa dia pingsan. Imam menjawab, “Aku sedang mengulang-ulang ayat sehingga seolah-olah aku mendengarnya langsung secara lisan dari Allah atau Jibril.”[392]
    Aban bin Taghlib berkata, “Aku menjumpai Imam Ja’far Shadiq yang sedang shalat. Aku menghitung zikir, rukuk, serta sujud Imam. Aku mendapati bahwa Imam mengucapkan tasbih sebanyak enam puluh kali.”[393]
    Hamzah bin Hamran dan Hasan bin Ziyad berkata, “Aku menemui Imam Ja’far Shadiq yang sedang mengimami shalat ashar berjamaah. Imam mengulangi zikir   سبحان ر بي العظيم و بحمده  sebanyak 33 atau 34 kali dalam rukuk dan sujud. “[394]
                Yahya bin Ala’ berkata, “Pada malam ke-23 bulan Ramadhan, Imam Shadiq sakit keras. Imam memerintahkan agar ia digotong beserta pembaringannya ke sisi makam Rasulullah saw untuk menjalani ibadah hingga subuh.”[395]
                Ibn Thaglib berkata, “Dalam perjalanan antara Madinah ke Makkah, aku berada di sisi Imam Ja’far. Tatkala sampai di Haram, Imam turun dan mandi. Lantas Imam menjinjing sepatunya dengan tangannya sendiri dan memasuki Haram dengan tanpa alas kaki.”[396]
                Hafadz bin Bakhtari menukil dari Imam Shadiq yang berkata, “Di masa muda, aku begitu bersungguh-sungguh dalam ibadah. Ayahku berkata, “Anakku! Dalam ibadah, janganlah engkau melelahkan dirimu karena Allah swt –ketika menyukai hamba-Nya, akan menerima amal hamba-Nya itu walaupun sedikit.”[397]
    Muawiyah bin Wahab berkata, “Aku pergi dengan Imam Ja’far Shadiq ke pasar Madinah dengan mengendarai keledai hingga tiba di dekat pasar.  Imam Ja’far turun dari keledainya dan bersujud.  Sujudnya begitu lama. Ketika Imam selesai dari sujudnya, aku bertanya, “Engkau telah turun dari kendaraan dan bersujud?” Imam menjawab, “Aku teringat kepada salah satu nikmat Allah. Oleh karena itulah, aku bersujud untuk bersyukur kepada Allah swt.” Aku bertanya, “Walaupun di dekat pasar yang banyak manusia berlalu-lalang?” Imam mengatakan, “Tidak ada orang yang melihatku.”[398]
    Malik bin Anas berkata, “Untuk sekian lama, aku berlalu-lalang di sisi Ja’far bin Muhammad dan tidak melihatnya kecuali dalam tiga keadaan: dalam keadaan shalat, puasa, atau membaca al-Quran. Imam selalu dalam keadaan wudhu manakala menukil atau meriwayatkan hadis.”[399]
    Malik bin Anas berkata, “Dalam suatu perjalanan haji, aku berada di sisi Imam Ja’far. Di Miqat, Imam menahan hewan kendaraannya untuk muhrim.  Namun, setiapkali hendak mengucapkan talbiyah, ia tidak kuasa mengatakannya. Suaranya terputus di mulutnya sehingga hampir saja ia jatuh dari kendaraannya. Aku berkata, “Wahai putra Rasulullah! Mengapa engkau tidak mengucapkan talbiyah?” Imam mengatakan, “Bagaimana aku mengucapkan talbiyah sementara Allah swt mungkin menjawab, “ لا لبيك و لا سعد يك “ ‘tidak ada sambutan dan kebahagiaan untukmu’[400]

    Mencari Rejeki Halal

    Meskipun memiliki kesibukan ilmiah yang banyak dan sebagian besar waktunya diluangkan untuk menyebarluaskan dan mengajarkan ilmu agama, Imam Ja’far Shadiq, di waktu kosong dan senggangnya, berupaya untuk mencari rejeki yang halal.
    Abdul A’la berkata, “Di suatu hari yang panas,  aku menyaksikan Imam Ja’far Shadiq  di sebuah jalan yang menuju Madinah. Aku berkata, “Wahai putra Rasulullah! Kukorbankan diriku untukmu! Dengan maqom tinggi yang kaumiliki di sisi Allah dan asalmu yang dari keluarga Rasulullah, mengapakah di hari yang panas ini engkau menyusahkan dirimu sendiri?” Imam menjawab, “Wahai Abdul A’la! Aku keluar dari rumah untuk mencari rejeki sehingga aku tidak membutuhkan manusia-manusia sepertimu.”[401]
    Ismail bin Jabir berkata, “Aku melihat Imam Ja’far Shadiq di ladangnya dengan mengenakan pakaian yang menyerupai karbas sedang mengairi ladangnya.[402]
    Abu Umar Syaibani berkata, “Aku menyaksikan Imam Shadiq di ladangnya sedang mengenakan pakain kasar dan bekerja dengan pacul lalu keluarlah keringatnya.  Aku berkata, “Ijinkan aku membantumu.” Imam berkata, “Aku suka apabila manusia, di tengah panasnya matahari, mencari rejeki yang halal.”[403]
    Syua’ib berkata, “Aku menyewa beberapa buruh untuk bekerja di ladang Imam Ja’far. Menurut rencana, mereka akan bekerja hingga ashar. Manakala mereka sudah selesai dari pekerjaannya, Imam berkata, “Sebelum keringat mereka kering, bayarlah upah mereka!”[404]
    Muhammad bin Adzafir menukil dari ayahnya yang mengatakan, “Imam Shadiq memberikan seribu tujuh ratus dinar kepadaku dan berkata, “Berdaganglah untukku dengan uang ini.” Lantas, Imam berkata, “Meskipun memperoleh keuntungan itu adalah kebaikan, tujuanku bukanlah itu. Namun, tujuanku adalah agar Allah swt melihatku dalam keadaan diriku mendatangkan kebaikan dan keuntungan bagi-Nya.”
    Kemudian ayahku berkata, “Aku berdagang dengan uang itu dan mendapatkan keuntungan sebanyak seratus dinar. Aku berkata kepadanya, “Aku mendapatkan keuntungan bagimu.” Imam mengatakan, “Jadikan jumlah itu sebagian dari modalmu!”
    Tidak lama kemudian, ayahku wafat. Imam Shadiq menulis kepadaku,  “Semoga Allah memberikan kepadamu afiyah! Aku memiliki seribu delapan ratus dinar di sisi ayahmu. Aku berikan uang itu agar dijadikan modal dagang. Berikanlah uang itu kepada  Amer bin Yazid!”
    Lalu, aku memperhatikan surat-surat ayahku. Di sana tertulis, “Abu Musa memiliki 1800 dinar di sisiku, Abdullah bin Sanan, dan Amer bin Yazid juga mengetahui hal ini.”[405]

    Infak dan Ihsan

    Seperti juga ayah-ayahnya yang mulia, meskipun tidak memiliki uang yang banyak, Imam Shadiq, dalam batas kemampuannya, menginfakkan hartanya kepada kaum fakir-miskin dan orang-orang yang berhutang. Akan kami sebutkan sebagian contohnya.
    Hisyam bin Salim mengatakan, “Kebiasaan Imam Ja’far Shadiq adalah memikul kantung yang berisikan roti, daging, dan uang di kegelapan malam ke rumah-rumah orang miskin Madinah dan membagikannya kepada mereka, padahal mereka tidak mengenalnya. Sepeninggal Imam Shadiq, mereka baru menyadari bahwa yang berbuat baik itu adalah Imam Ja’far Shadiq.”
    Mu’li bin Hunais mengatakan, “Di malam yang hujan, aku melihat Imam Ja’far sedang bergerak ke perkampungan Bani Saidah. Maka, aku mengikutinya dari kejauhan. Tiba-tiba apa yang ada di pundaknya itu terjatuh. Imam mengatakan,  بسم الله اللهم رده علينا  ‘dengan nama Allah, ya Allah, kembalikanlah kepada kami’. Aku mendekat dan mengucapkan salam.  Setelah menjawab salam, Imam mengatakan, “Wahai Mu’li bin Hunais! Upayakanlah untuk mengembalikan apa yang jatuh dari pundakku kepadaku!” Di kegelapan malam itu, aku mencari yang jatuh itu. Ternyata ada roti yang tercerai-berai. Lalu aku juga menemukan kantung. Aku berkata, “Ijinkanlah aku untuk membawakannya untukmu.” Imam menolak tawaranku itu dan berkata, “Aku sendiri lebih pantas untuk membawanya.”

    Objektif dan Mencintai Sesama Manusia

    Abu Ja’far Nazari mengatakan, “Imam Ja’far Shadiq memberikan seribu dinar kepada Mushadif, budaknya, dan berkata, “Berdaganglah dengan uang ini dan pergilah ke Mesir karena keluargaku sudah banyak!” Mushadif membeli sejumlah barang dengan uang itu dan bersama para pedagang, ia pergi ke Mesir. Tatkala sudah mendekati Mesir, sekelompok orang di luar Mesir menyambut kedatangan mereka.  Para pedagang menanyakan barang-barang apa saja yang diperlukan oleh masyarakat secara umum. Mereka menjawab, barang-barang ini masih langka di kota ini.  Maka, para pedagang berikrar untuk tidak menjual barang dagangan kecuali dengan harga dua kali lipat dan mereka melakukan itu. Lantas mereka mengambil uang dagangannya dan kembali ke Madinah.
    Mushadif datang menjumpai Imam Ja’far.  Ia membawa dua kantung uang  yang tiap-tiap berisi seribu dinar.
    Mushadif berkata, “Ini seribu dinar yang merupakan pokok modal dan seribu dinar lagi adalah keuntungannya.”  Imam berkata, “Keuntungan yang melimpah! Bagaimana engkau mendapatkan keuntungan sebanyak itu?” Mushadif menceritakan kejadian yang sebenarnya.   Imam Shadiq berkata, “Mahasuci Allah! Bagaimana engkau mengikat janji untuk tidak menjual barang daganganmu dengan keuntungan ganda!”
    Kemudian, Imam Ja’far mengambil salah satu kantung seraya berkata, “Aku hanya akan mengambil pokok modalku dan selebihnya aku tidak membutuhkan keuntungan yang kauperoleh dengan jalanmu. Wahai Mushadif! Memukul pedang  adalah lebih mudah daripada mencari rejeki halal.”[406]
    Mu’tab mengatakan, “Imam Shadiq berkata kepadaku, “Barang dagangan ini telah mahal di Madinah. Sejauhmana perbekalan makanan kita?” Aku berkata, “Cukup untuk beberapa bulan.” Imam berkata, “Kalau demikian, bawalah ke pasar dan juallah!” Aku berkata, “Di Madinah, barang yang diperlukan sangat terbatas.” Imam berkata, “Bawa, juallah, dan belilah untuk keperluan kami dari hari ke hari, sebagaimana masyarakat umum lainnya yang membeli perbelanjaan sehari-harinya.”
    Imam berkata, “Makanan keluargaku dari barley dan gandum. Allah mengetahui bahwa aku dapat menyediakan makanan keluargaku dari gandum murni tetapi aku lebih suka Allah swt menyaksikan bahwa aku, dalam kehidupanku dan keluargaku, telah memelihara kesederhanaan dan kebersahajaan.”[407]


    Taushiyah agar Menyenangkan Orang

    Imam Ja’far Shadiq, selain melakukan ihsan dan memberikan solusi-solusi bagi orang-orang yang dilanda kesulitan, juga menganjurkan orang lain agar melakukan hal yang sama.  Seorang lelaki datang menemui Imam Ja’far Shadiq lalu menceritakan kesulitannya. Lelaki itu harus membayar pajak kepada pemerintahan Najasi yang saat itu berkuasa hingga ke Ahwas dan Fars. Namun, lelaki itu tidak mampu membayarnya.  Berhubung Imam Ja’far Shadiq adalah panutan raja Najasi, maka lelaki itu memohon bantuan Imam Ja’far agar pajak tersebut dikurangi.  Imam Ja’far, dalam sebuah suratnya, menulis,   يسم الله الرحمن الرحيم سر اخاك يسر ك الله  yang artinya, ‘bahagiakanlah saudaramu maka Allah akan membahagiakanmu’.
    Lelaki itu mengambil surat tersebut, menemui Najasi, dan berbicara empat mata dengannya.  Surat itu diserahkannya kepada Najasi seraya berkata, “Surat ini ditulis oleh Imam Ja’far Shadiq untuk Anda.” Najasi mengambil surat itu dan menciumnya lalu meletakkannya di matanya seraya berkata, “Apakah hajat dan keperluanmu?” Ia berkata, “Aku memiliki hutang pajak yang tidak mampu kubayar.” Raja Najasi itu bertanya, “Berapa jumlahnya?”  Lelaki itu menyebut sepuluh ribu dirham. Najasi memanggil sekretarisnya dan berkata, “Tunaikanlah hutang lelaki ini dari harta pribadiku!” Bahkan, Najasi memerintahkan agar pajak di tahun depan juga dibebaskan. Kemudian Najasi bertanya kepada lelaki itu, “Apakah aku telah membahagiakanmu?” Ia berkata, “Benar, kukorbankan diriku untukmu.” Lantas Raja itu memerintahkan agar lelaki itu diberi kendaraan, seorang budak lelaki, seorang budak wanita, dan sehelai pakaian.  Setiapkali pemberian itu diserahkan, Najasi bertanya, “Apakah aku telah membuatmu senang?” Lelaki itu membenarkannya. Lantas Najasi memberikan permadani, yang di atasnya ia menerima surat dari Imam Ja’far Shadiq –manusia yang sangat dicintainya itu, kepada lelaki itu. Selanjutnya, Najasi meminta lelaki itu datang kepadanya sewaktu-waktu jika ia memiliki hajat lagi.
    Lelaki itu mengambil harta tersebut dan keluar. Tak lama kemudian, lelaki itu menemui Imam Ja’far dan menceritakan pertemuannya dengan Najasi.  Imam Ja’far sangat senang. Lelaki itu berkata, ”Wahai putra Rasulullah! Sepertinya Anda ridha dengan perbuatannya?” Imam mengatakan, “Benar demi Allah! Allah dan Rasul-Nya juga ridha dengan perbuatan ini.”[408]
    Muhammad bin Basyar berhutang seribu dinar kepada Syahab dan tak mampu membayarnya.  Ia menjumpai Imam Ja’far Shadiq. Ia meminta Imam berbicara dengan Syahab agar bersedia menunda  hutangnya hingga musim haji selesai. Imam Ja’far memanggil Syahab dan berkata kepadanya, “Anda mengetahui tentang keadaan Muhammad dan hubungannya dengan kami.” Ia berhutang sebanyak seribu dinar kepadamu. Ia tidak membelanjakan uang itu untuk makanan dan memuaskan syahwatnya, melainkan berhutang kepada masyarakat. Aku menghendaki agar engkau menghalalkan hutangnya. Mungkin engkau berpikir bahwa sebagai ganti uang ini, Allah akan mengambil kebaikan-kebaikannya dan memberikannya kepadamu?” Syahab berkata, “Aku berpikir seperti itu.” Imam Shadiq berkata, “Allah swt lebih adil daripada itu. Bagaimana semua pahala hamba-Nya, yang di malam-malam dingin berdiri untuk beribadah dan di siang yang panas berpuasa dan bertawaf di rumah llahi, diambil darinya lalu diberikan kepada orang lain! Tidak!  Akan tetapi, karunia Allah  sangat melimpah dan diutamakan bagi hamba-hamba-Nya yang mukmin.”  Syahab berkata, “Wahai putra Rasulullah! Kuhalalkan hutangku kepadanya.”[409]


    Sabar dalam Menghadapi Musibah

    Qutaibah berkata, “Aku menjumpai Imam Ja’far untuk mengunjungi putranya yang sedang sakit.  Aku melihat Imam tampak sedih. Aku menanyakan keadaan putranya. Imam berkata, “Demi Allah! Masih seperti sebelumnya.”
    Setelah sekian jam, Imam masuk ke rumah dan tak lama kemudian, kembali.  Wajah Imam berbinar dan kesedihannya hilang. Aku menduga putranya telah sembuh.  Aku bertanya kepada Imam, “Bagaimana keadaan putra Anda?” Imam mengatakan bahwa putranya telah meninggal dunia.  Aku bertanya, “Sewaktu anakmu masih hidup, engkau tampak sedih tetapi kini, ketika sudah meninggal, kesedihanmu malah hilang. Bagaimana bisa seperti ini?” Imam berkata, “Demikianlah sirah kami, Ahlulbait, yakni bahwa sebelum terjadinya musibah, kami berduka tetapi setelah itu terjadi,  kami ridha dan pasrah dengan ketetapan Allah.”[410]
    Sufyan Tsauri menjumpai Imam Ja’far.  Imam tampak berduka dan gelisah.  Imam berkata, “Aku melarang anggota keluargaku pergi ke atap rumah. Ketika aku masuk ke rumah, salah seorang budak sedang menggendong salah seorang putraku naik ke tangga. Tatkala melihatku, ia takut dan gemetar sehingga anakku jatuh dan meninggal. Kini, aku bukan cemas soal kematian anakku tetapi cemas mengapa budakku takut kepadaku sehingga peristiwa itu terjadi.” Kemudian Imam berkata kepada budaknya itu, “Kubebaskan engkau di jalan Allah dan engkau tidak apa-apa.”  Imam mengulangi ucapan itu dua kali.”[411]
    Ala’ bin Kamil berkata, “Aku berada di sisi Imam Ja’far.  Tiba-tiba, terdengar suara tangisan dari dalam rumah. Karena mendengar suara teriakan itu, Imam Ja’far bangun dan berkata, “Inna lilla wa inna ilahi rajiun.” Kemudian Imam duduk dan melanjutkan pembicaraannya sampai selesai.  Selanjutnya Imam berkata, “Kami menyukai kesehatan dan keselamatan diri, anak-anak, serta harta kami. Namun, ketika ketetapan Allah menghendaki lain, maka tidak sepatutnya kami menyesalkan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah.”[412]
  • Imam Ja'far ash-Shadiq sering berkata

     
  • "Hadist-hadist yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadist-hadist dari bapakku adalah dari kakekku. Hadist-hadist dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadist-hadist dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadist dari Rasulullah SAW dan hadist-hadist dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla."
  •  Sebagian dari mutiara kalam beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) adalah :
    “Tiada bekal yang lebih utama daripada takwa. Tiada sesuatu yang lebih baik daripada diam. Tiada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Tiada penyakit yang lebih parah daripada berbohong.”

    “Jika engkau mendengar suatu kalimat dari seorang muslim, maka bawalah kalimat itu pada sebaik-baiknya tempat yang engkau temui. Jika engkau tak mampu untuk mendapatkan wadah tempat kalimat tersebut, maka celalah dirimu sendiri.”

    “Jika engkau berbuat dosa, maka memohon ampunlah, karena sesungguhnya dosa-dosa itu telah dibebankan di leher-leher manusia sebelum ia diciptakan. Dan sesungguhnya kebinasaan yang dahsyat itu adalah terletak pada melakukan dosa secara terus-menerus.”

    “Barangsiapa yang rizkinya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Barangsiapa yang dibuat kagum oleh sesuatu dan menginginkannya demikian terus, maka perbanyaklah ucapan maa syaa-allah laa quwwata illa billah.”

    “Allah telah memerintahkan kepada dunia, ‘Berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepadaku, dan buatlah payah orang yang berkhidmat kepadamu.’ “

    “Fugaha itu orang yang memegang amanah para rasul, selama tidak masuk ke dalam pintu-pintu penguasa.”
    “Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan, untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum mendapatkannya, maka katakanlah, ‘Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya.’ “

    “Empat hal yang tidak seharusnya bagi seorang yang mulia untuk memandang rendah : bangunnya dia dari tempat duduknya untuk menemui ayahnya, berkhidmatnya dia kepada tamunya, bangunnya dia dari atas binatang tunggangannya, dan berkhidmatnya dia kepada seorang yang menuntut ilmu kepadanya.”

    “Tidaklah kebaikan itu sempurna kecuali dengan tiga hal : menganggapnya rendah (tidak berarti apa-apa), menutupinya dan mempercepatnya. Sesungguhnya jika engkau merendahkannya, ia akan menjadi agung. Jika engkau menutupinya, engkau telah menyempurnakannya. Jika engkau mempercepatnya, engkau akan dibahagiakannya.”

    Dari sebagian wasiat-wasiat beliau kepada putranya, Musa :
    “Wahai putraku, barangsiapa yang menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka ia akan merasa berkecukupan. Barangsiapa yang membentangkan matanya untuk melihat apa-apa yang ada di tangannya selainnya, maka ia akan mati miskin. Barangsiapa yang tidak rela dengan apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka berarti ia telah menuduh Allah di dalam qadha’-Nya.”

    “Barangsiapa yang memandang rendah kesalahannya sendiri, maka ia akan membesar-besarkan kesalahan orang lain. Barangsiapa yang memandang kecil kesalahan orang lain, maka ia akan memandang besar kesalahannya sendiri.”

    “Wahai anakku, barangsiapa yang membuka kesalahan orang lain, maka akan dibukakanlah kesalahan-kesalahan keturunannya. Barangsiapa yang menghunuskan pedang kezaliman, maka ia akan terbunuh dengannya. Barangsiapa yang menggali sumur agar saudaranya masuk ke dalamnya, maka ia sendirilah yang nanti akan jatuh ke dalamnya.”

    “Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat orang-orang bodoh, maka ia akan dipandang rendah. Barangsiapa yang bergaul dengan ulama, ia akan dipandang mulia. Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat kejelekan, maka ia akan dituduh melakukan kejelekan itu.”

    “Wahai putraku, janganlah engkau masuk di dalam sesuatu yang tidak membawa manfaat apa-apa kepadamu, supaya engkau tidak menjadi hina.”

    “Wahai putraku, katakanlah yang benar, walaupun berdampak baik kepadamu ataupun berdampak buruk.”

    “Wahai putraku, jadikan dirimu memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran, menyambung tali silaturrahmi kepada seorang yang memutuskan hubungan denganmu, menyapa kepada seorang yang bersikap diam kepadamu, dan memberi kepada seorang yang meminta darimu. Jauhilah daripada perbuatan mengadu domba, karena hal itu akan menanamkan kedengkian di hati manusia. Jauhilah daripada perbuatan membuka aib-aib manusia.”

    “Wahai putraku, jika engkau berkunjung, maka kunjungilah orang-orang yang baik, dan janganlah mengunjungi orang-orang pendusta.”

    Meninggalnya

    Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember765Masehi di Madinah, menurut riwayat dari kalangan Syi'ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah.
    Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis surat kepada gubernurMadinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubernurMadinah melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu khalifah sendiri, gubernurMadinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung, dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana Al-Mansur menjadi gagal.
    Ia dimakamkan di pekuburan Baqi', Madinah, berdekatan dengan Hasan bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir.

    Sebagian ada yg meriwayatkan Beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) meninggal di kota Madinah pada malam Senin, pertengahan bulan Rajab, tahun 148 H dan disemayamkan di pekuburan Baqi’ di dalam qubah Al-Abbas, dekat dengan makam ayahnya, kakeknya dan paman kakeknya Hasan bin Ali.

    Anak laki-laki 

     

    1. Isma'il al Aaraj
    2. Musa al-Kadzim
    3. Ishaq al-Mu'taman
    4. Muhammad al-Dibaj
    5. Ali al-Uraidhi

    Anak perempuan

    1. Fatimah binti Ja'far
    2. Asma binti Ja'far
    3. Ummu Farwah binti Ja'far

    "Seseorang pernah sekali meminta Ja'far untuk memperlihatkan Tuhan kepadanya. Imam berkata, "Lihat ke Matahari!" Orang itu berkata bahwa ia tidak dapat melihat matahari karena terlalu terang. Ja'far berkata, "Kalau kamu tidak dapat melihat yang diciptakan, bagaimana kamu merasa dapat melihat Pencipta?".


                Kisah ini kami ambil dari berbagai sumber.
    *Semoga bermanfa'at dan menambah kebaikan bagi kita semua*
     
    2014@abdkadiralhamid

    Subscribe to receive free email updates:

    0 Response to "Kesaksian Tentang IMAM JA’FAR SHADIQ Ra"

    Post a Comment

    Silahkan komentar yg positip