//

Sunni Vs Wahabi : BID’AH HASANAH ?



BID’AH HASANAH

Bid’ah Hasanah dan Dalilnya

Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai  bid’ah  hasanah,  juga  karena  adanya  kelompok minoritas  umat  Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ahhasanah dalam Islam.
Akhirnya  kontroversi  bid’ah  hasanah  ini  selalu  menjadi  aktual  untuk  dikaji  dan dibicarakan.  Toh  walaupun  sebenarnya  khilafiyah  tentang  pembagian  bid’ah menjadi  dua,  antara  bid’ah  hasanah  dan  bid’ah  sayyi’ah,  tidak  perlu  terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan  adanya  bid’ah  hasanah  cukup  banyak  dan  sangat  kuat,  juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur  Rasyidin.  Namun  apa  boleh  dikata,  kelompok  yang  anti  bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.

Dalam  sebuah  diskusi  dengan  tema  Membedah  Kontroversi  Bid’ah,  yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam  acara  tersebut.  Dalam  acara  itu,  saya  menjelaskan,  bahwa  pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan  keniscayaan  dari  pengamalan  sekian  banyak  hadits  Rasulullah  shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
 “Jabir  bin  Abdullah  berkata,  “Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  bersabda:
“Sebaik-baik  ucapan  adalah  kitab  Allah.  Sebaik-baik petunjuk  adalah  petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).

Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
 “Jarir  bin  Abdullah  al-Bajali  radhiyallahu  anhu  berkata,  Rasulullah  shallallahu alaihi  wa  sallam  bersabda:  
 “Barangsiapa  yang  memulai  perbuatan  baik  dalam Islam,  maka  ia  akan  memperoleh  pahalanya  serta  pahala  orang-orang  yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun  dari pahala mereka. Dan barangsiapa  yang  memulai  perbuatan  jelek  dalam  Islam,  maka  ia  akan memperoleh  dosanya  dan  dosa  orang-orang  yang  melakukannya  sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

Dalam  hadits  pertama,  Rasulullah  shallallahu  alaihi wa  sallam  menegaskan, bahwa  setiap  bid’ah  adalah  sesat.  Tetapi  dalam  hadits  kedua,  Rasulullah shallallahu  alaihi  wa  sallam  menegaskan  pula,  bahwa barangsiapa  yang memulai  perbuatan  baik  dalam  Islam,  maka  ia  akan  mendapatkan  pahalanya dan  pahala  orang-orang  yang  melakukannya  sesudahnya.   

Dengan  demikian, hadits  kedua  jelas  membatasi  jangkauan  makna  hadits pertama  “kullu  bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana  dikatakan oleh al-Imam alNawawi  dan  lain-lain.  Karena  dalam  hadits  kedua,  Nabi  shallallahu  alaihi  wa sallam  menjelaskan  dengan  redaksi,  “Barangsiapa  yang  memulai  perbuatan yang  baik”,  maksudnya  baik  perbuatan  yang  dimulai  tersebut  pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada  masa Nabi shallallahu alaihi  wa  sallam.  Di  sisi  lain,  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan  oleh  beliau.  Misalnya  berkaitan  dengan  tatacara  ma’mum  masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:

 “Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,  bila  seseorang  datang  terlambat  beberapa  rakaat  mengikuti  shalat berjamaah,  maka  orang-orang  yang  lebih  dulu  datang  akan  memberi  isyarat kepadanya  tentang  rakaat  yang  telah  dijalani,  sehingga  orang  itu  akan mengerjakan  rakaat  yang  tertinggal  itu  terlebih  dahulu,  kemudian  masuk  ke dalam  shalat  berjamaah  bersama  mereka.  Pada  suatu  hari  Mu’adz  bin  Jabal datang  terlambat,  lalu  orang-orang  mengisyaratkan  kepadanya  tentang  jumlah rakaat  shalat  yang  telah  dilaksanakan,  akan  tetapi  Mu’adz  langsung  masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  selesai  shalat,  maka  Mu’adz  segera mengganti  rakaat  yang  tertinggal  itu.  Ternyata  setelah  Rasulullah  shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan  perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab:  “Mu’adz  telah  memulai  cara  yang  baik  buat shalat  kalian.” 

Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihiwa sallam bersabda; “Mu’adz telah  memulai  cara  yang  baik  buat  shalat  kalian.  Begitulah  cara  shalat  yang harus  kalian  kerjakan”.  (HR.  al-Imam  Ahmad  (5/233), Abu  Dawud,  Ibn  Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).

Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat  atau  lainnya,  apabila  sesuai  dengan  tuntunan syara’.  Dalam  hadits  ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata,“Mengapa  kamu  membuat  cara  baru  dalam  shalat  sebelum  bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus  mengikuti imam. 

Dalam hadits lain diriwayatkan:
 “Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu  liman  hamidah”.  Lalu  seorang  laki-laki di  belakangnya  berkata: “rabbana  walakalhamdu  hamdan  katsiran  thayyiban  mubarakan  fih”.  Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab:  “Saya”.  Beliau  bersabda:  “Aku  telah  melihat  lebih  30  malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).

Kedua  sahabat  di  atas  mengerjakan  perkara  baru  yang belum  pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahalayang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji  kepada  Allah.  Oleh  karena  itu  al-Imam  al-Hafizh  Ibn  Hajar  al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa haditsini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang  ma’tsur  (datang  dari  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam),  dan  bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak  mengganggu orang lain. 

Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap  bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.

Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga  dilakukan  oleh  para  sahabat  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam,  termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
 “Abdurrahman  bin  Abd  al-Qari  berkata:  “Suatu  malam  di  bulan  Ramadhan  aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang  shalat  menjadi  imam  beberapa  orang.  Lalu  Umar  radhiyallahu  anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam  berikutnya,  aku  ke  masjid  lagi  bersama  Umar  bin  al-Khaththab,  dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu,  Umar  berkata:  “Sebaik-baik  bid’ah  adalah  ini.  Tetapi  menunaikan  shalat  di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara  berjamaah.  Beliau  hanya  melakukannya  beberapa  malam,  kemudian meninggalkannya.  Beliau  tidak  pernah  pula  melakukannya  secara  rutin  setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu  mengumpulkan  mereka  untuk  melakukan  shalat  tarawih  pada  seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini  tergolong  bid’ah.  Tetapi  bid’ah  hasanah,  karena itu  beliau  mengatakan:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. 

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
 “Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam  duduk  di  atas  mimbar.  Kemudian  pada  masa  Utsman,  dan  masyarakat semakin  banyak,  maka  beliau  menambah  adzan  ketiga  di  atas  Zaura’,  yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).

Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,  Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman,  kota  Madinah  semakin  luas,  populasi  penduduk  semakin  meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yangdilakukan di Zaura’, tempat  di  Pasar  Madinah,  agar  mereka  segera  berkumpul  untuk  menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada  waktu  itu  menyetujuinya.  Apa  yang  beliau  lakukan  ini  termasuk  bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.

Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para  sahabat  secara  individu.  Dalam  kitab-kitab  hadits  diriwayatkan,  beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah binUmar, Anas bin Malik, alHasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’  al-Zawaid,  bahwa  Anas  bin  Malik  dan  al-Hasan al-Bashri  melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.

Berangkat  dari  sekian  banyak  hadits-hadits  shahih  di  atas,  serta  perilaku  para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. 

Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:
 “Bid’ah  (muhdatsat)  ada  dua  macam;  
 pertama,  sesuatu yang  baru  yang menyalahi  al-Qur’an  atau  Sunnah  atau  Ijma’,  dan  itu disebut  bid’ah  dhalalah (tersesat).  Kedua,sesuatu  yang  baru  dalam  kebaikan  yang  tidak  menyalahi  alQur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).

Pernyataan  al-Imam  al-Syafi’i  ini  juga  disetujui  oleh  Syaikh  Ibn  Taimiyah  alHarrani  dalam  kitabnya,  Majmu’  Fatawa  Syaikh  al-Islam  Ibn  Taimiyah  (juz.  20, hal. 163).”

Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz  Husni Abadi, pembicara yang  mewakili  kaum  Salafi  pada  waktu  itu,  tidak  mampu  membantah  dalil-dalil yang  saya  ajukan.  Anehnya  ia  justru  mengajukan  dalil-dalil  lain  yang  menurut asumsinya  menunjukkan  tidak  adanya  bid’ah  hasanah.  Seharusnya  dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap
dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakuibenar dan shahih.Ustadz  Husni  Abadi  berkata:  “Ustadz,  dalam  soal  ibadah  kita  tidak  boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta  yadulla  al-dalil  ‘ala  al-’amal,  (hukum  asal  dalam  sebuah  ibadah  adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaranmengamalkannya)”.
Mendengar  pernyataan  Ustadz  Husni,  saya  menjawab:  “Kaedah  yang  Anda sebutkan  tidak  dikenal  dalam  ilmu  fiqih.  Dan  seandainya  kaedah  yang  Anda sebutkan  ada  dalam  ilmu  fiqih,  maka  kaedah  tersebut tidak  menolak  adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa  dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak bolehmembuat bid’ah hasanah.
Lalu  Anda  berargumen  dengan  kaedah,  hukum  asal  dalam  sebuah  ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya.
Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah  Anda  membenarkan  mengamalkan  bid’ah  hasanah, karena  dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
 “Pada  hari  ini  aku  sempurnakan  bagimu  agamamu  dan  aku  sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna.Dengan demikian, orang yang  melakukan  bid’ah  hasanah  berarti  berasumsi  bahwa  Islam  belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Saya  menjawab:  “Ayat  3  dalam  surat  al-Maidah  yang  Anda  sebutkan  tidak berkaitan  dengan  bid’ah  hasanah.  Karena  yang  dimaksud  dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedahkaedah  agama.  Seandainya  yang  dimaksud  dengan  ayat  tersebut,  tidak  boleh melakukan  bid’ah  hasanah,  tentu  saja  para  sahabat  sepeninggal  Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangansahabat yang menolak halhal  baru  tersebut  dengan  alasan  ayat  3  surat  al-Maidah  tadi.  Jadi,  ayat  yang Anda  sebutkan  tidak  ada  kaitannya  dengan  bid’ah  hasanah.  Justru  bid’ah hasanah  masuk  dalam  kesempurnaan  agama,  karena  dalil-dalilnya  terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihiwa sallam dan perilaku para sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah  hasanah.  Karena  hadits  tersebut  jelas  membicarakan  sunnah  Rasul shallallahu  alaihi  wa  sallam.  Bukankah  redaksinya  berbunyi,  man  sanna  fil Islaam  sunnatan  hasanatan.  Di  samping  itu,  hadits  tersebut  mempunyai  latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya  menjawab:  “Untuk  memahami  hadits  Jarir  bin  Abdullah  al-Bajali  tersebut kita  harus  berpikir  jernih  dan  teliti.  Pertama,  kita  harus  tahu  bahwa  yang dimaksud  dengan  sunnah  dalam  teks  hadits  tersebut  adalah  sunnah  secara lughawi  (bahasa).  Secara  bahasa,  sunnah  diartikan  dengan  al-thariqah mardhiyyatan  kanat  au  ghaira  mardhiyyah  (perilaku  dan  perbuatan,  baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa  dimaksudkan  dengan  Sunnah  dalam  istilah  ilmu  hadits,  yaitu  ma  ja’a ‘aninnabiy  shallallahu  alaihi  wa  sallam  min  qaulin  au  fi’lin  au  taqrir  (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, baik berupa ucapan,
perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah.Seandainya, Sunnah dalam teks  hadits  Jarir  bin  Abdullah  al-Bajali  tersebut  dimaksudkan  dengan  Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits  tersebut  akan  menjadi  kabur  dan  rancu.  Coba  kita  amati,  dalam  teks hadits  tersebut  ada  dua  kalimat  yang  belawanan,  pertama  kalimat  man  sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan  sayyi’atan.  Nah,  kalau  kosa  kata  Sunnah  dalam  teks  hadits  tersebut kita  maksudkan  pada  Sunnah  Rasul  shallallahu  alaihi wa  sallam  dalam terminologi  ahli  hadits  tadi,  maka  akan  melahirkan  sebuah  pengertian  bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang  sayyi’ah  (jelek).  Tentu  saja  ini  pengertian  sangat  keliru.  Oleh  karena  itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam  sunnatan  hasanatan,  membatasi  jangkauan  makna hadits  kullu  bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadilatar belakang (asbab alwurud)  hadits  tersebut  berkaitan  dengan  anjuran  sedekah,  maka  alasan  ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah  bi  ’umum  al-lafzhi  la  bi-khusush  al-sabab,  (peninjauan  dalam  makna suatu  teks  itu  tergantung  pada  keumuman  kalimat,  bukan  melihat  pada konteksnya yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Saya  menjawab:  “Maaf,  Anda  salah  dalam  mengutip  pendapat  al-Imam  Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja.  Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan alImam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab  memang  berpendapat  seperti  yang  Anda  katakan, kita  tidak  akan mengikuti  beliau,  tetapi  kami  akan  mengikuti  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ahhasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena  mereka  termasuk  Khulafaur  Rasyidin.  Dan  Rasulullah  shallallahu  alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya  menjawab:  “Ustadz  Husni  yang  saya  hormati,  menurut  hemat  kami sebenarnya  yang  tidak  mengikuti  Khulafaur  Rasyidin  itu  orang  yang  menolak bid’ah  hasanah  seperti  Anda.  Karena  Khulafaur  Rasyidin  sendiri  melakukan bid’ah  hasanah.  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  memerintahkan  kita mengikuti  Khufaur  Rasyidin.  Sementara  Khulafaur  Rasyidin  melakukan  bid’ah hasanah.  Berarti  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  memerintahkan  kita melakukan  bid’ah  hasanah.  Dengan  demikian  kami  yang berpendapat  dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  dan  Khulafaur  Rasyidin.  Oleh  karena  itu,  mari  kita  ikuti  Rasulullah shallallahu  alaihi  wa  sallam  dan  Khulafaur  Rasyidin dengan  melakukan  bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah  maknanya  terbatas  dengan  artian  bahwa  sebagian  bid’ah  itu  sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi  wa  kullu  dhalalatin  finnar,  dengan  pengertian  yang  sama,  bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani
mengartikan demikian?”
Saya  menjawab:  “Ustadz  Husni  yang  saya  hormati,  dalam  mengartikan  atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah  itu  sesat,  karena  ada  sekian  banyak  hadits  yang  menuntut  demikian.
Sedangkan  berkaitan  teks  berikutnya,  wa  kullu  dhalalatin  finnar  (setiap kesesatan  itu  di  neraka),  di  sini  kami  tegaskan,  bahwa  selama  kami  tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah.
Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil  pula, bukan dengan hawa nafsu.” Demikianlah dialog saya dengan Ustadz HusniAbadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu. 


Di Islamic Center Jakarta Utara

Ada  kisah  menarik  berkaitan  dengan  bid’ah  hasanah  yang  perlu  diceritakan  di sini.  Kisah  ini  pengalaman  pribadi  Ali  Rahmat,  laki-laki  gemuk  yang  sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren  Assunniyah  Kencong,  Jember.  Ali  Rahmat  bercerita,  “Pada pertengahan  2009,  kaum  Wahhabi  mengadakan  pengajian di  Islamic  Center
Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia.

Pada  waktu  itu,  saya  sengaja  hadir  bersama  beberapa teman  alumni  Pondok Pesantren  Sidogiri  Pasuruan,  antara  lain  Ustadz  Abdussalam,  Ustadz  Abdul Hamid  Umar  dan  Ustadz  Mishbahul  Munir.  Ternyata,  sejak  awal  acara,  dua tokoh  Wahhabi  itu  sangat  agresif  menyampaikan  ajarannya  tentang  bid’ah. Setelah  saya  amati,  Ustadz  Yazid  Jawas  banyak  berbicara  tentang  bid’ah.
Menurut  Yazid  Jawas,  bid’ah  hasanah  itu  tidak  ada.  Semua  bid’ah  pasti  sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang  tidak pernah ada pada masa  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam,  harus ditinggalkan,  karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.

Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda sangat  ekstrem  dalam  membicarakan  bid’ah.  Menurut  Anda,  apa  saja  yang belum  pernah  ada  pada  masa  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  itu  pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin alKhaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’atdengan berjamaah, Sayidina Utsman  menambah  adzan  Jum’at menjadi dua  kali,  sahabat-sahabat  yang  lain juga  banyak  yang  membuat  susunan-susunan  dzikir  yang  tidak  diajarkan  oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan  bahwa  Sayidina  Umar,  Sayidina  Utsman  dan sahabat  lainnya termasuk  ahli  bid’ah  dan  akan  masuk  neraka?”  Mendengar  pertanyaan  saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisamemberikan jawaban. Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan  ulama  kami.  Apakah  Anda  siap?”  “Saya  tidak  siap.”  Demikian  jawab
Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.

Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang  Syi’ah  yang  diadakan  oleh  Perhimpunan  Al-Irsyad  di  Jember,  ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah  dan  ujung-ujungnya  membid’ah-bid’ahkan  amaliah  kaum  Muslimin  di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.
Di  antara  pematerinya  ada  yang  bernama  Abu  Hamzah  Agus  Hasan  Bashori, tokoh  Salafi  dari  Malang.  Dalam  kesempatan  tersebut,  Agus  menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja  yang  tidak  pernah  diajarkan  oleh  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam, harus  kita  tinggalkan,  karena  itu  termasuk  bid’ah  dan  akan  masuk  neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya:  “Kalau  konsep  bid’ah  seperti  yang  Anda  paparkan  barusan,  bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada  pada  masa  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  harus  kami  tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun  oleh  para  sahabat  yang  belum  pernah  diajarkan  oleh  Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
 “Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa,  “Ya Allah ampunilah aku, kedua  orang  tuaku  dan  Muhammad  bin  Idris  al-Syafi’i.”  (Al-Hafizh  al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).

Doa  seperti  itu  sudah  pasti  tidak  pernah  dilakukan  oleh  Rasulullah  shallallahu alaihi  wa  sallam,  para  sahabat  dan  tabi’in.  Tetapi  al-Imam  Ahmad  bin  Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.
Demikian  pula  Syaikh  Ibn  Taimiyah,  setiap  habis  shalat  shubuh,  melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga  Matahari naik  ke  atas,  sambil mengangkat  kepalanya  menghadap langit.  Nah,  sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang
Anda  paparkan  tadi?  Karena  jelas  sekali,  mereka  melakukan  sesuatu  yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Mendengar  pertanyaan  tersebut  Agus  ternyata  tidak  mampu  menjawab  dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan  oleh  beberapa  teman  saya,  antara  lain  Is  dan  AD  yang  mengikuti acara daurah tersebut.
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabisangat lemah dan rapuh.
Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala  Wahhabi  akan  menemukan  jalan  buntu  ketika  dihadapkan  dengan  fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru yang  dilakukan  oleh  para  sahabat.  Konsep  tersebut  akan  runtuh  pula  ketika dibenturkan  dengan  fakta  bahwa  para  sahabat  sepeninggal  Rasulullah shallallahu  alaihi  wa  sallam  banyak  melakukan  inovasi  kebaikan  dalam  agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).

Sumber  :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhab"

2014@abdkadiralhamid
 

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Sunni Vs Wahabi : BID’AH HASANAH ?"

  1. اللهم صلى وسلم على سيدنا محمد و على آله و أهل بيته

    ReplyDelete

Silahkan komentar yg positip