Habib Salim bin Thaha Al-Haddad - Kalibata
Wali Kesayangan para Wali
Keseharian
amal ibadah Habib Salim, yang selalu terliputi oleh perasaan penuh
ketenangan dan ketawadhu'an, membekas kuat dalam kepribadiannya yang
sangat tenang, rendah hati, dan senang membantu memenuhi hajat orang
lain.
Era tahun 70-an, di Jakarta ada seorang
tokoh ulama yang cukup disegani, terutama di sekitar wilayah Kalibata,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ulama itu, Habib Salim bin Thaha
Al-Haddad, kini telah tiada, meninggalkan kenangan yang mendalam bagi
masyarakat Kalibata. la juga meninggalkan majelis ta'lim yang saat ini
diteruskan oleh keturunannya, serta nama besar yang menyedot kehadiran
banyak orang saat diselenggarakan peringatan haulnya setiap tahun.
Majelis ta'lim peninggalannya masih ada hingga saat ini, dengan kondisi
fisik yang telah diperbaharui. Tempat majelis itu dulunya juga merupakan
rumah kediamannya, setelah ia pindah dari kawasan yang saat ini berdiri
kompleks bangunan Bakin Kalibata, Jakarta Selatan.
Habib
Salim lahir di Kalibata, Jakarta Selatan, dari pasangan Habib Thaha bin
Ja'far AI-Haddad dan Ibu Tihamah, seorang wanita Betawi yang dikenal
shalihah. Orangtuanya, Habib Thaha bin Ja'far, juga kelahiran Kalibata.
Yang pertama kali masuk ke Indonesia dan mendiami Kampung Kalibata
adalah kakeknya, yaitu Habib Ja'far Al-Haddad. Sayang sekali, tidak
ditemukan data yang menyebutkan tanggal kelahiran Habib Salim, kecuali
sekedar perkiraan.
Merujuk pada tanggal
wafatnya seperti yang tertulis dalam batu nisan dimakamnya, tercatat
bahwa ia wafat pada tanggal 20 Oktober 1978. Berdasarkan keterangan yang
didapat dari kerabat dekatnya, ia wafat dalam usia 80 tahun. Maka,
diambil dari tahun wafatnya di atas, diperkirakan ia lahir sekitar tahun
1898.
Sejak kecil, telah tampak perbedaan
dalam sikap hidup Habib Salim dibandingkan kawan-kawan sepermainannya.
la sudah senang mengenakan pakaian sunnah Nabi SAW, berupa baju gamis.
la juga dikenal sebagai anak yang sangat berbakti kepada orangtua.
Dalam
usia yang masih belia, ia dibawa ke Hadhramaut oleh ayahandanya. Di
sana, ia belajar dengan banyak ulama. Di antara gurunya adalah Habib
Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Pada masa mudanya, beberapa kali ia
pulang pergi Jakarta-Hadhramaut. Di negeri leluhumya itu, banyak sanak
familinya yang tinggal di Desa Al-Hawi.
Dekat dengan Ulama Sepuh
Di
Jakarta, sepulangnya dari Hadhramaut, ia tetap berguru kepada para
habib di Jakarta. Di antara guru-gurunya di Jakarta adalah Habib Ali bin
Abdurrahman AI-Habsyi, Kwitang, dan Habib Ali bin Husain AI-Aththas,
Cikini. la selalu melazimi majelis-majelis kedua gurunya itu, hingga
akhir hayat kedua gurunya tersebut. Selama ia tinggal di Jakarta,
majelis ta'lim hari Ahad pagi di Kwitang, yang diasuh oleh Habib Ali bin
Abdurrahman AI-Habsyi, adalah majelis yang tidak pernah dilewatkannya.
Sekalipun dirinya seorang ulama yang sudah dikenal banyak orang, ia
selalu ingin menempatkan dirinya sebagai murid bagi para habib besar
saat itu, terutama kepada Habib Ali bin Abdurrahman AI-Habsyi.
Begitu
pun, ia tak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan yang didapatinya
saat bertemu para habib sepuh lainnya. Sehingga, mereka pun mengenal
dekat dirinya. Di antara mereka adalah Habib Shalih bin Muhsin Al-Hamid,
yang hampir setiap kali ke Jakarta selalu menyempatkan diri mendatangi
kediaman Habib Salim bin Thaha Al-Haddad. Habib Abdullah bin Muhsin
Al-Aththas Bogor dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, bila datang ke
Jakarta, juga sangat senang bila ditemani oleh Habib Salim.
Kedekatannya
dengan hampir seluruh tokoh habaib sepuh pada saat itu, membuatnya
dikenai sebagai seorang wali yang menjadi kesayangannya para wali di
zamannya. la senantiasa akan menyambut kedatangan para habib itu dengan
penuh kerendahan hati, karena dirinya memang dikenal sebagai sosok ulama
yang sangat tawadhu'. Ia mempunyai banyak sahabat. Yang terdekat di
antaranya adalah Habib Abdullah bin Salim Al-Aththas, Kebon Nanas,
Jakarta Timur. Hampir di setiap majelis, ia selalu duduk bersebelahan
dengan sahabat-nya ini.
Suatu malam ia pemah
bermimpi bertemu Syaikh Abu Bakar bin Salim. Saat itu Syaikh Abu Bakar
mengatakan kepadanya, "Besok ada salah seorang putraku datang ke kotamu.
Namanya sama dengan namamu. Maka sambutlah ia." Sontak ia terbangun,
saat itu sekitar pukul 2 malam. Langsung saja ia memanggil tukang dokar,
lalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut orang yang
dipesankan oleh Syaikh Abu Bakar.
Ba'da subuh,
ia berangkat ke Stasiun Kota. Tak lama setelah itu, ada kereta dari
Surabaya yang datang. Maka diperhatikannyalah satu per satu orang yang
turun dari kereta tersebut. Sewaktu ia melihat ada seorang berumur
separuh baya, berpakaian necis lengkap dengan dasi dengan garis wajah
berketurunan Arab, ia pun mendekat. Kemudian ia bertanya kepada orang
tersebut, "Engkau Salim?"
"Ya, saya Salim bin Ahmad Bin
Jindan". Habib Salim pun memperkenal dirinya, "Saya Salim bin Thaha
Al-Haddad. Saya diperintahkan oleh datukmu, Syaikh Abu Bakar bin Salim,
untuk menyambutmu, ini dokar telah saya siapkan. Ke mana saja engkau
akan bepergian, biar saya yang antar."
Itu adalah kisah
perjumpaan pertama kali Habib Salim bin Thaha Al-Haddad dengan Habib
Salim bin Ahmad Bin Jindan. Dalam kisah itu juga dapat dilihat betapa
khidmat dirinya terhadap para ulama habaib.
Melayani Umat
Di
rumahnya, Habib Salim membuka majelis pada malam Kamis dan malam Sabtu.
Kitab yang paling sering diajarkannya adalah An-Nashaih Ad-Diniyyah,
karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Di antara berbagai disiplin
ilmu agama yang dikuasainya sebagai seorang ulama, selain ilmu fiqih dan
tasawuf, ia memiliki penguasaan yang mendalam dalam ilmu tarikh. la
dapat menceritakan perjalanan hidup Nabi SAW dan para sahabatnya dengan
sangat mendetail.
Selain sisi keilmuan, sisi
amaliyahnya juga menunjukkan kepribadian seorang yang shalih. Shalatnya
sangat thuma'ninah. Sekalipun dalam shalat Tarawih, ia tetap membaca
secara tartil, seperti dalam shalat lima waktu, hingga shalat Tarawihnya
itu biasanya baru rampung dalam waktu satu setengah jam. Tapi mereka
yang menjadi makmum di belakangnya merasakan kenikmatan shalat di
belakangnya, hingga tak satu pun di antara mereka yang ada keinginan
untuk beranjak meninggalkannya.
Sebagai seorang
ulama, ia adalah pelayan umat yang patut diteladani. Kalau diundang
atau dipanggil orang untuk keperluan tertentu, siapa pun orangnya tanpa
pandang bulu, ia tak kan pernah menolak. Saat itu, banyak orang yang
selalu meminta doa kepadanya untuk berbagai hajat. Bila ada orang
kampung ke rumahnya, terutama bila ada anggota keluarganya yang sakit,
sekalipun di tengah malam buta, segera ia mengambil obor dan menyambangi
rumah orang yang membutuhkan pertolongannya.
Pernah
sekali waktu saat Habib Salim pulang dari Kwitang, belum sampai di
rumah, di tengah jalan ia dipanggil oleh salah seorang menantu-cucunya
yang memintanya untuk mampir ke rumahnya. Habib Salim pun memenuhi
permintaan itu. Maka di rumah itu Habib Salim berbincang-bincang dengan
segenap isi keluarga. Tidak seberapa lama hujan pun turun. Melihat hujan
turun, sedemikian rupa wajah Habib Salim terlihat seperti orang
kebingungan. Rupanya ia teringat bahwa di rumahnya biasanya banyak orang
yang datang memerlukan dirinya. Memang hampir setiap hari rumah Habib
Salim tak pemah sepi dari tamu. Dengan penuh keyakinan, Habib Salim pun
melangkah ke luar rumah. Di bawah atap teras rumah tersebut, sesaat
Habib Salim sedikit mengangkat kepalanya seraya mengatakan, "Eh hujan,
berhenti, saya mau pulang". Subhanallah, hanya dalam hitungan detik
hujan pun berhenti. Seakan hujan itu tertahan oleh himmah Habib Salim
yang begitu besar dalam melayani umat yang membutuhkannya.
BERSAMA HABIB HUSAIN BIN THAHA ALHADDAD, KEMENAKANNYA.
Ulama yang tawadhu
Bila
'Idul Fitri tiba, hari keempat dan kelima bulan Syawwal adalah jadwal
khususnya setiap tahun untuk mendatangi warga di kampung tempat
tinggal-nya. Hari keempat ia datang ke bludik, sementara pada hari
kelima ia datang ke bletan. Bludik dan bletan adalah sebutan orang-orang
tua Betawi Kalibata tempo dulu yang menunjukkan arah yang bermakna
selatan dan utara. Satu per satu rumah di perkampungan sebelah selatan
dan sebelah utara dari rumah Habib Salim ia kunjungi, dalam rangka
bersilaturahim 'Idul Fitri dengan seluruh warga. Sementara itu, pada
hari-hari pertama 'Idul Fitri, hampir seluruh warga di wilayah itu
mendatanginya.
Perhatiannya yang sangat
mendalam dalam melayani umat juga terlihat dari kepekaan sosialnya yang
tinggi. la adalah orang yang banyak membagi-bagikan shadaqah, hasil dari
usaha pabrik pembuatan batu bata miliknya. Kepekaan sosialnya yang
tinggi itu juga terlihat dari cara pandangnya saat memperhatikan salah
seorang di antara tetangganya yang setiap tahun berangkat haji.
Kala
itu Habib Salim pernah mengatakan kepada salah seorang kemenakan-nya,
"Ada amal yang lebih baik bagi orang tersebut dibanding harus pergi haji
setiap tahun. Seandainya ia mau menghabiskan hartanya untuk bersedekah
dan membantu orang-orang yang sedang membutuhkan bantuan, hal itu akan
lebih bermanfaat dan lebih besar nilainya di sisi Allah Ta'ala."
Selalu Menunduk
Sepertinya,
keseharian amal ibadah Habib Salim, yang selalu terliputi oleh perasaan
penuh ketenangan dan ke-tawadhu'an, membekas kuat dalam ke-pribadiannya
yang sangat tenang, rendah hati, dan senang membantu memenuhi hajat
orang lain.
la mempunyai hati yang lembut dan
nyaris tidak pernah menampakkan kemarahan. Suaranya pelan tapi terdengar
jelas. Sifat tawadhu'nya juga sangat dikenal. Karena sifat
ketawadhu'annya itu, ia selalu terlihat menunduk. la selalu menundukkan
kepala di mana pun berada dan dalam kondisi apa pun, baik sedang berdiri
maupun sedang duduk.
Kalau berada di suatu
majelis, orang akan dengan mudah menandai kehadirannya, yang selalu
terlihat menunduk. Dalam majelis itu, sesekali tampak ia mengangkat
kepala dan melihat orang-orang di sekitarnya. Bila pada saat itu ada
orang yang melihat dirinya, ia pun tersenyum. Sesaat kemudian, ia
menundukkan lagi kepalanya.
Bahkan sekalipun sedang dalam
posisi tidur, ia tetap berusaha untuk tidak menengadahkan kepalanya ke
arah langit. Seperti yang dikisahkan ketika ia pernah dibawa ke rumah
sakit karena sakit prostat yang dideritanya di akhir-akhir usianya. Saat
itu, dokter akan memeriksanya dan kemudian memintanya untuk tidur
terlentang. Dalam kondisi terlentang itu, Habib Salim tetap menekuk
kepalanya, hingga kepalanya itu tidak dalam posisi tertengadah penuh ke
atas. Pada setiap kali difoto pun, ia selalu menunduk. Terkadang, orang
yang memfotonya harus meminta dulu kepadanya untuk sedikit menaikkan
kepalanya, agar wajahnya dapat terlihat lebih jelas.
Namun
demikian, di balik sifat kerendahan hatinya itu, teryata Habib Salim
juga dikenal sebagai seorang yang memiliki keahlian ilmu bela diri.
Sinding, begitulah nama aliran silat Betawi yang dikuasainya. Di samping
keahlian bela dirinya itu, ia juga memiliki keistimewaan yang dalam
keadaan tertentu, bila ia terpaksa menegur dengan mengeluarkan suara
keras, orang yang ditegurnya bisa gemetar dan jatuh lemas.
Pernah
sekali waktu ada orang yang marah-marah dan mendatangi Habib Salim
sambil berteriak-teriak keras di muka rumahnya, "Mana itu yang disebut
habib?"
Saat itu Habib Salim sedang makan. Dengan penuh
ketenangan ia meneruskan makannya hingga selesai, seraya menyuruh
anggota keluarganya untuk mempersilakan orang tersebut menunggu di ruang
tamu. Setelah selesai makan, ia menghampiri orang itu. Rupanya orang
itu ingin menggertak Habib Salim. Sambil mengeluarkan pistol dari bagian
dalam bajunya, ia mengatakan, "Heh! Lihat, ini apa!"
Dengan sikap tenang, Habib Salim tiba-tiba mengeluarkan suara cukup keras, “Tembak! Tembak!"
Tiba-tiba
sekujur tubuh orang itu bergetar dan langsung jatuh lunglai. Orang itu
pun dikabarkan hampir selama seminggu tidak dapat bangun. Bahkan kalau
tidak dikasih makan, ia tidak dapat makan.
Entah
apa yang dilihat orang itu. Selama seminggu itu, melihat siapa pun ia
ketakutan. Akhirya keluarganya sendiri yang datang ke Habib Salim untuk
meminta maaf dan meminta kesediaan Habib Salim mengunjunginya.
Dengan
penuh keluasan hati, ia mendatangi rumah orang tersebut dan
memberikannya air yang telah dibacainya sebagai obat untuk orang
tersebut. Tak lama setelah itu, orang tersebut pun dikabarkan sembuh
seperti sedia kala. Beberapa kali pula terjadi kejadian yang mirip
dengan kejadian tersebut.
Tetap Hidup
Jum'at
malam, tanggal 20 Oktober 1978, Habib Salim wafat, meninggalkan dunia
yang fana ini. Ribuan pelayat mengantar jenazahnya menuju tempat
peristirahatannya yang terakhir, kompleks pekuburan keluarga Al-Haddad
Kalibata.
Usai pemakaman, Habib Abdullah bin
Husain Syami Al-Aththas membacakan talqin. Kompleks pekuburan tempat
jasad Habib Salim dimakamkan, saat ini dikenal dengan nama Qubah Habib
Salim bin Thaha AI-Haddad.
Empat puluh hari
setelah wafatnya, Habib Abdullah bin Salim Al-Aththas, sahabat
terdekatnya, mengunjungi majelis tahlil di rumahnya. Di sana, tiba-tiba
ia meminta agar para jama'ah yang hadir memainkan hadhrah. Para jama'ah
yang biasa bertugas untuk membawakan hadhrah, terlihat ragu. "Bukankah
ini acara ta'ziyah, kenapa harus dimeriahkan dengan pemukulan rebana?"
demikian mungkin yang terlintas dalam pikiran sebagian orang di sana
pada saat itu.
Melihat keraguan di wajah
mereka, Habib Abdullah bin Salim Al-Aththas mengatakan, "Anda semua
tidak tahu, saat ini Habib Salim sangat senang dengan kedatangan saya.
Bahkan ia sedang menyambut saya. Maka sekarang ambil dan pukullah
rebana. Siapa bilang Habib Salim sudah tak ada? Sekarang ini Habib Salim
ada di tengah-tengah kita. Tapi kalian tidak melihatnya."
Kemudian
Habib Abdullah bin Salim Al-Aththas membacakan sebuah ayat Al-Quran
yang berisikan keterangan bahwa sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu
tidaklah mati. Mereka tetap hidup dalam naungan rahmat Allah Ta'ala.
abdkadiralhamid@2013
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Habib Salim bin Thaha Al-Haddad - Kalibata"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip