Kajian ilmiah yg sgt MENARIK dari SUMBER YG NETRAL oleh para peneliti sejarah.
Sejarah awal perpecahan umat, shg terbentuk PANDANGAN2 BERBEDA krn desakan2 politik dan kepentingan sehingga melahirkan pemikiran teologi tandingan atau pemahaman2 miring tentang aqidah dan awal terbentuknya kelompok2 oposisi yg menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim yakni "SYIAH" pengikut sy Ali dan "WAHABI" kaum khawarij yg membangkang, sangat menarik utk dikaji (dibaca) dengan hati yg BERSIH.......semoga bermanfaat shg kita memiliki dasar pemahaman yg jelas agar tdk terpengaruh...!!!
Oleh: Nizar A. saputra, Saeful Rokhman, dan Hendriyanto
I. Pendahuluan
Pertama
kali yang kami rasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi
Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi
kami. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di
kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali
dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan
Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami
peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di
masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus
diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
Melihat
permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah
yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka kami
sebagai mahasiswa Islam selain dalam rangka menyelesaikan tugas mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam, kami juga merasa ada kewajiban untuk
ikut serta meluruskan opini-opini miring tentang Ali
bin Abi Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis dan
para pengikutnya yang tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah
Islam. Konflik-konflik yang terjadi di masa itu menjadi bulan-bulanan
untuk memberikan citra buruk terhadap Islam.
Sebenarnya, pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para mu’arrikhin. Ada
yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang
dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA,
dalam buku yang berjudul “Akar Konflik Umat Islam; Sebuah Pelajaran dari
Konflik Politik Pada Zaman Sahabat”. Meskipun dalam judul bukunya
terdapat kata “Zaman Sahabat”, namun fokusnya adalah masa khalifah Ali
ra. Buku itu secara spesifik membahas tentang konflik politik yang
terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Buku itu cukup
representatif untuk meng-counter buku-buku sejarah Islam yang ada di Indonesia[1]
yang tidak adil dalam memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga yang
membahas masa khalifah Ali dengan tujuan memberikan deskripsi yang utuh
dan menyeluruh, seperti yang dilakukan Husain Haikal. Ada juga buku yang
membahas Ali ra, -yang menurut kami tidak proposional/subyektif–
sebagai sosok yang telah dicederai oleh para ulama Sunni, seperti yang
dilakukan oleh George Jordac. Jordac dalam bukunya tersebut menyebut
bahwa Abdullah bin Saba yang sering disebut Sunni sebagai tokoh fiktif
yang sengaja dibuat-buat.[2]
Tentunya,
membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan
cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku di atas, kami
berusaha untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku
itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang
terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data
sejarah yang ada. Kami akan mulai pembahasan ini dengan menganalisa
situasi di akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Kemudian akan kami bahas
tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi.
Adapun masalah futuhat, di sini kami akan membahasnya secara
sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak akan menhadirkan biografi Ali,
sebab yang jadi fokusan kami adalah masa kekhalifahannya. Ini sengaja
kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan.
II. Situasi Terakhir Pemerintahan Utsman bin Affan r.a
Sudah
dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang
lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan
peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan
Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman
bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam
sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahan
Utsman bn Affan.
Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat
berbagai insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya.
Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan penduduk
Kuffah, Mesir dan Bsharah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka
memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya.
Oleh karena itu, mereka meminta kepada khalifah Utsman untuk memecat
para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah
Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah
(Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah
untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.[3]
Khalifah
Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan
mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin
Sa’ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk
sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan
memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia
membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.
Beberapa
saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke
Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk
surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman yang sedang
berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman
tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh
para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah
bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta
dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan
surat itu. Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum para penentang ini
tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos barisan
penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping lalu membunuh
Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an. [4]
Peristiwa
terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak
teka-teki sejarah yang tak kunjung memuaskan. Terutama mengenai misteri
surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji
sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas
keberadaan surat itu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai
konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya.
III. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a
Pembai’atan
Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima
kekhalifahan Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali
bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya.
Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi
politiknya.
Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu.
Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini.
Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat.
Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.
Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan.
Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[5]
Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu.
Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini.
Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat.
Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.
Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan.
Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[5]
Menarik
untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan
tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam
menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok
yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya
Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan
Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung
setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin
al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung
setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un,
Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok
yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu
perkembangan situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah
bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin
Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak
mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun
mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah
Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu
Sa’id al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad.
Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman
bin Affan.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah
yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi
pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak
pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah.
Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[6]
Sikap
kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah
Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti
diungkapkan diatas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi
politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden
tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah
adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad
hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang
disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam
yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi
barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah berkumpulnya para sahabat
Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk
Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik
public, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk
bersatu menerimanya.
Meskipun keadaan politik saat itu begitu
rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap menjalankan berbagai
program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang sangat penting
dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu yang
sedang dan akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan.
Kebijakan-kebijakan Ali itu antara lain mengganti Para Pejabat,
Pembenahan Bait al-Mal dan Perpajakan, Pembenahan Administrasi
kepegawaian, Pengadilan dan Militer, serta menghadapi Para Penantang.
Yang terakhir ini dilakukan agar kekacauan politik dunia Islam stabil.
IV. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa
kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk
dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
IV. 1. Perang Jamal
Ketika
Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau
menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah
Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat
menjadi khalifah pengganti Utsman.[7]
Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks
keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut
tuntas siapa pembunuh Utsman.[8]
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di
Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah
dalam rangka menunaikan umrah.[9]
Data tersebut memberikan informasi pada kita, bahwa Thalhah bin
Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin
Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah
bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi
Thalib.[10]
Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat
itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan
menghukum para pembunuh Utsman.
Informasi-informasi di atas juga
memberi gambaran kepada kita, bahwa penentangan yang dilakukan oleh
Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah penuntasan
hokum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk
diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan
mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah
pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis
sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di
UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa
Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap
Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk
itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak
terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi
Ali.[11] Dengan redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa;
“Setelah
Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat.
Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.”[12]
Hal senada diungkapkan Hery Sucipto. Tanpa menyantumkan rujukannya, di dalam bukunya dia menyebutkan;
“Namun,
tak berapa lama dari menunaikan rukun Islam kelima itu, dia [Aisyah]
mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman meninggal
dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, baiat
terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya yang berhak
mengganti [khalifah Utsman] adalah kakak iparnya, Thalhah bin Ubaidillah.”[13]
Ensiklopedi
Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda dengan yang
disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip sebuah
pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh
keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua
sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing
mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah.[14]
Hipotesa
beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan Asma' Muhammad Ziyadah.
Seperti dinyatakan Asep Sobari Lc, Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam
tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut `Aisyah mencabut
bai`atnya terhadap Ali.[15]
Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang
membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran
yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan
ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Usman.[16] Bagi mereka, persoalan qishash terhadap
pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian
serupa akan terulang kembali di masa yang akan dating. Jika para
pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan
khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin
(Imam) dimasa yang akan datang bisa sering terjadi.
Ada hal lain
yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa yang diberikan
oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan Aisyah
terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat
kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam
bukunya dia menyatakan;
“Ada faktor lain yang lebih penting dari
itu [tuntutan qishash], diantaranya; (1) Sejak dari dahulu telah ada
ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata;
sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang
dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali
memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki. (2) Ali
pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu Bakar…(3) Ada
lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin Zubeir,
putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi Bakar,
dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri…[17]
Memang
ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai bentuk
rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya
meriwayatkan sebauh hadits yang menceritakan situasi Rasulullah saat
sakit. Kala itu, Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu Abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.[18]
Hadits
lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan rasa
sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali
dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun
tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah
bersabda; “Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pastia ia (Ammar)
memilih yang paling bijaksana diantara keduanya”[19]
Dalam hadits kedua ini, tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara
terhadap Ali, seakan-akan dia tidak memperdulikannya (membelanya).
Mengapa
Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk terhadap Ali.
Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari sikap
Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat
(pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai
Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia
masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi
keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini
nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang
sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari
Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya
kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar
tertekan dengan berita fitnah.[20]
Kata-kata
Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga
nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari
sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas
Ali dikalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan imam Al Zuhri,
tokoh hadits dari generasi tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia
pernah dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui
bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan
tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali
tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al
Quran surat Annur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali
hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut
memfitnahnya.[21]
Berkenaan
dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju rumah Aisyah
oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan nama Ali
dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al Jâmiush Shahîh
Al Bukhari (Kitab Al Wudhu’, no. hadits 191) tanpa ada tambahan
perkataan Ibnu Abbas, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.
Tambahan perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah
benci dan dendam terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan
perkataan pada riwayat hadits di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari
dalam Shahîh-nya melainkan mencukupkan dengan kata-kata Ibnu
Abbas, “Laki-laki yang seorang lagi itu adalah Ali”. Kemungkinan
tambahan perkataan, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya (yakni
kepada Ali)”, adalah dari periwayatan Ma’mar bin Râsyid, seorang rawi
yang terdapat pada sanad Imam Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al
Asqalani mencurigai hadits Ma’mar yang diriwayatkannya di Bashrah.[i]
Inilah sebabnya Imam Al Bukhari dalam kasus ini tidak mengambil jalur
riwayat dari Ma’mar melainkan dari Syu’aib bin Abi Hamzah, orang yang
paling kuat riwayatnya dari Az Zuhri.[22]
Adapun
mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang yang
mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan kesahihannya
mengingat pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit yang
meriwayatkan dari Atha’ bin Yasâr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan tsabit oleh sebagian ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dîl, namun menurut Ibnu Huzaimah ia seorang mudallis.
Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari Atha’ tidak terpelihara. Dan
menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha’ bin Yasâr tidak ada mutâbi’nya.
Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasannya
yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih
keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada Musnad-nya no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud.[23]
Alasan
lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai penyebab
retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu
kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah.
Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya
dihadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada
Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali
menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka
berdua, kecemburuan Aisyahpun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali.[24]
Menurut
Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali
dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah. adalah
bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata,
tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah
dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman
dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya
berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan
personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya
Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan
Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk
kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta
pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki.
Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi
keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil
kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu
merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif.
Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai pribadi yang
agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela hanya
karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang
cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang
lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam
kesumat pribadi yang tidak berdasar.[25]
Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi
para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali.
Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak
Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut
pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang
menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog
antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak pernah menyinggung
masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka
mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.[26]
Tentang penuntutan qishash itu,
menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi
tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi
terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan
delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan;
“Wahai
saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa
yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan
kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka
budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara
mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan keburukan atas kalian.
Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu
sebagaimana yang kalian inginkan.[27]
Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash..
Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan
kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah
terbentuk, maka kekuatan hokum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh
khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali,
persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi
politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu
pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak
keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman
bukanlah criminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang
sebenarnya belum diketahui secara pasati, sementara para pendukung yang
terlibat di dalamnya dating dari berbagai kabilah dan suku yang
berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh
menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi
yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar
bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman
qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya
penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.[28]
Karena
perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperanganpun tidak
bisa dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan
sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu
Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban.
Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua
belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir
yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.[29]
Padahal saat itu, Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan
pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali.[30]
Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta
pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali
di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk
menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban
dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan
menguburkannya, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh
penghormatan. Menurut Joesoef Souyb, sejak kejadian tersebut, Aisyah
menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para
penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan
politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya.[31] Banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan.
Perang
antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zuberi merupakan
fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu kita ketahui
juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi
satu-satunya? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan?
Analisa
yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebut bahwa sebelum
terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui
surat-menyurat.untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis,
pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan
negosiasi selama tiga hari untuk mencari jalan damai. Upaya tersebut
sebenarnya berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan
menahan diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya.[32]
Pada
saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan
kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan orang-orang yang
terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai. Karena menjelang hari
perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang terlibat dalam
penyerangan dan pembunuhan Utsman baik itu yang dating dari Bashrah
maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampong halaman
masing-masing.
Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan
kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan
kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar al-Nakha’I dan Syuraih bin
Aufa. Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu
dan membuat rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat
bahwa rencana damai itu harus digagalkan. Sebab, bila tidak maka
merekalah yang akan menjadi korban perdamaian antara Ali dengan pihak
Aisyah. Bukankah penentangan Aisyah, Thalhah dan Zuber kepada Ali
dikarenakan Ali tidak segera menghukum qishash para pembunuh Utsman.
Maka damianya pihak Ali dan Aisyah berarti kematian bagi mereka.[33]
Sebagian ahli sejarah berkeyakinan bahwa orang-orang diatas adalah
antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini adalah profokator-profokator
yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah.
Ali
Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam rangka
menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan
menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali
dengan pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan.[34]
Posisi Aisyah saat itu adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat
itu menghadapi pemerintahan bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat
itu dipimpin oleh gubernur Usman bin Hunaif. Terjadi pertempuran
terlebih dahulu antara pihak Aisyah dengan pihak Usman bin Hunaif.
Karena Aisyah menginginkan perdamaian, akhirnya disepakati untuk
gencatan senjata. Gencatan itu sendiri salah satu isinya adalah mengakui
Usman bin Hunaif sebagai gubernur Basrah berikut bait al-Maal dan
gudang senajatanya. Sementara bagi pihak Aisyah, mereka dibolehkan
tinggal di mana saja di Basrah. Sambil menunggu Ali bin Abi Thalib. Saat
itu, Basrah dan penduduknya dalam keadaan tenang, aktifitas
pemerintahan dan praktek keagamaan dapat dilaksanakan seperti hari-hari
biasa.[35]
Namun,
seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak senang dengan
keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk mengacaukan
keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu
Saba. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif selepas shalat Isya.
Mereka juga menyerbu Bait al-Maal dan membunuh para penjaganya.
Ketika hal tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan perlawanan
dengan Hakim bin Jabalah. Orang ini kemudian mati bersama tujuh puluh
pengikutnya dalam pertempuran dengan Thalhah dan rombongannya.[36]
Jika
kita teliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah ini
semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat scenario besar dibalik
kegagalan perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif,
menyerbu bait al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu
merupakan asset pemerintahan Ali bin Thalib. Namun, Hakim bin Jabalah
mati di tangan Thalhah dan kelompoknya. Menurut kami, hal ini
menunjukkan bahwa Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba itu, melakukan
profokator, mengadu domba pihak Ali dengan cara menculik dan membunuh
Usman bin Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali mempunyai firasat bahwa
pelaku penculikan itu adalah pihak Aisyah. Di sisi lain, Hakim bin
Jabalah juga melakukan pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi Thalhah
yang saat itu memang sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan
besar juga berpikir bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan,
melakukan penyerangan dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya.
Walhasil, kecurigaan dan akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak
bisa dihindari.
IV. 2. Perang Siffin
Saat
Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah,
istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi
korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus
dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di
Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini
dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah
dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong.[37]
Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami
Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu
melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan
dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala dating utusan
khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat)
terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya,
kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan –bukan menolak- pembaiatan
terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali
Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi
Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak
ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior).
Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk
membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya,
lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.[38]
Telah disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap
pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus
menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum
urusan pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali
berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya
sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan
hukuman qishash. Ini semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.[39]
Dengan
mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution
mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang
dating ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi
Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil
tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin
Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.[40]
Memang,
Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir.
Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir,
salah satunya mengangkat Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara
sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar
beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah
Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali
agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan
para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka
selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar
mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah
dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi
Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan
kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke
Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang –katanya- dibawa
oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman.
Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari
Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat
tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target
pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman
untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.[41]
Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari
Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia
menjadi salah satu tersangka.
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang
menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib
“siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi
banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin
Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama
Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar
meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali
langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan
kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah.
Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah ia
[Utsman] mengingatkan saya kepada ayah[42]
[Abu Bakar], saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah.
Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang
akan membunuhnya.[43]
Kesaksian
Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa
Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan
demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan
malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan
Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian
tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah
salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu,
yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh
keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak
memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika
Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah
merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi
kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang.
Ali
sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai
cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak
Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu
menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat
kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu,
surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi
Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.[44]
Surat
tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan
rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan
berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada
Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta
persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap
sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali,
seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang
tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih
dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini
seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan
Abdullah bin Umar.[45]
Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar
Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk
beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran
dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika
Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di
Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.[46]
Singkatnya,
peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama
lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali
memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar
seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu
sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan
pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh
ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu
tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria.
Perang pun terjadi. Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan
Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan
Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan
Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi
ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak
pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak
diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak
terhitung.[47]
Pada
minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak,
sementara pasukan Ali berada di atas angina. Muawiyah yang sudah
berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh
beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat
untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua
bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian
pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang
menyuruh Ali untuk menerimanya.
Menarik untuk dibahas tentang
kedua kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini
kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau
menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun
beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy’ats bin Qais
al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang
nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij),
menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru
sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk
menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk
melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena
telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah
yang benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa
sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra
Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang
mengecam Ali karena menerima tahkim.[48]
Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar
balikan karena ingin mensucikan Ali dan menimpakan keburukan terhadap
pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru
memperkuat bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima
ajakan damai dari pihak Muawiyah.[49]
Meskipun
di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka
sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim).
Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim
delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin
Ash. Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[50]
Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan
di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan
Irak dan Syam.[51]
Banyak
riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr
saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari
Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat
pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati
kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah
diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena
persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing
yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan
menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi
perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali.
Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang
terhormat di hadapannya.[52]
IV. 2. Gerakan kaum Khawarij
Setelah
proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah,
kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan
setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah
yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan
keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim
selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah.
Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali
dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan
ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya
milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali
dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia.
Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada
dalam al-Quran.[53]
Ketika
Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga
kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka,
“Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan
menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi
kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengkampanyekan
pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”[54]
Ali
mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu
secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas
ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali
bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan
bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka tetap
bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah
bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali
terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata
kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih
lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan
membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra
seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang
hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang
Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat
mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan
serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas
ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan, Abdurahman bin
Mulzam.[55]
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama,
mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta
semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena
Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan
gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah
perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian
dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua,
Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam
masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam
persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak.
Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia.
Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan
diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah
Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa
yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada
perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia
mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri
mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah
menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.
Ali
mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping
ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar
kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan
Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum
Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan
atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena
nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah
kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada
dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian
damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum
Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam
naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras
menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi
sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata
“Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”. Kemudian
Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu
suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah”.[56]
Kedua, tuduhan
bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan
hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi
persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah.
Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada
orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu
Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar
bermusyawarah dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan
Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran
mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh
wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al
Quran.[57]
Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah
tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru
runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan
keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut
darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas
tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan
tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan
harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara tawanan perang
itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian
mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir,
dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah
kafir juga”.[58]
V. Kesimpulan dan Penutup
Berbagai
langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan
roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang.
Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di
lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zuber
ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang
penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat
dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya
saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah
maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai
pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang
ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita
berikan terhadap Muawiyah.
Mereka semua tidak pernah mengkafirkan
antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan
kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan
khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul.
Sedangkan sikap kita terhadap khawarij (nenek moyang wahabi), meskipun argumen Khawarij tegas
mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut
kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka
yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para
pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan
ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan
menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki,
menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan
seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada
gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan
hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya
muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua
status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia
hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara
hakikat iman ada pada hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir,
konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang
bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan
pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja,
yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Daftar Pustaka
- Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2.
- George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996)
- Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama.
- Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV.
- DR. Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007)
- Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002)
- Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006)
- Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993
- Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000)
- Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002)
- Joeseof Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986)
- Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994)
[1]Terutama
buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Badri Yatim, MA berjudul “Sejarah
Peradaban Islam” yang telah menjadi buku pegangan bagi mahasiswa
Perguruan Tinggi Islam.
[2] Lihat George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996)
[3] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 66.
[4] Ibid, hal. 68.
[5] Ibid, hal. 74
[6] lihat Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248.
[7]
Sahabat yang memberi tahu kepada Aisyah tentang terbunuhnya Utsman dan
dibaiatnya Ali adalah Ubaidillah bin Salamah al-Laisi. (Ensiklopedi
Islam, Jilid I, hal. 94)
[8] Jeje Zainudin, Op,Cit, hal. 90
[9] Ali Audah, Op,Cit, hal. 205
[10] Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2, hal. 508
[11] DR. Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 39.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002), Edisi 2, Cet. I, hal. 6
[13] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2, hal. 18
[14] Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hal. 113
[15] Asma' Muhammad Ziyadah, ibid, hlm. 424.
[16] Ibid, mengutip dari Tarikh al-Thabari, vol. 4 hlm. 449 dan 437.
[17] Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4, hal. 288
[18] Hadits riwayat Imam Ahmad. CD Hadits Mausu’ah al Hadits al Syarief, (Cairo: Sakh Software, 1996), nomor hadits 22932
[19] Riwayat Imam Ahmad, no. 23676
[20] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 110
[21] ibid
[22] ibid, hal. 112
[23] Ibid, hal. 112-13
[24] George Jordac, Op,Cit, hal. 373
[25] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 113
[26] ibid, hal. 119-120
[27] Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 146
[28] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 121
[29] Ibnu Katsir, Op,Cit, hal. 254
[30] Untuk mengetahui secara detail kronologis Perang Jamal dan penyesalan Thalhah dan Zubeir, lihat Ali Audah, Op,Cit, hal. 231-236
[31] Joeseof Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hal. 479
[32] Dikutip dari Tarikh Thabari oleh Jeje Zainudin, Op,Cit, hal. 95
[33] Ibnu Katsir, Op,Cit, hal. 2550
[34] Ali Audah, Op,Cit, hal. 225
[35] ibid
[36] ibid, hal. 226
[37] Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir. Lihat Jeze Zaenudin, Op,Cit, hal. 98
[38]
Alasan kedua yang dikemukakan oleh Muawiyyah tidaklah tepat. Ali Audah
bahkan menyebut alas an itu terkesan mengada-ada. Sebab, yang tidak
membaiat Ali saat itu hanya beberapa orang. Dan itu pun bersikap netral
dan tidak menentang kekhalifahan. Alas an pertama juga dalam pandangan
Ali Audah agak rancu. Jika memang alas an tersebut menjadi dasar
penentangan Muawiyah terhadap Ali tentunya saat Muawiyyah menjadi
pemimpin Negara, kasus seharusnya Muawiyah mengusut siapa kasus
terbunuhnya Utsman. Akan tetapi, Muawwiyah tidak pernah melakukannya.
Lihat Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain,
Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi
dan Khalifah, (Litera AntarNusa, Jakarta: 2007), cet. Ke-3, hal. 204.
[39] Harun Nasution, Op,Cit, hal. 7
[40] Ibid
[41] Joesef Soy’b, Op,Cit, hal. 444-454
[42]
Perkataan Utsman kepada Muhammad bin Abi Bakar kala itu adalah;
“Kemenakanku, sekiranya ayahmu masih hidup, kau tidak akan memperlakukan
aku seperti ini.”
[43] Ali Audah, Op,Cit, hal. 216
[44] Ibid,, hal. 204
[45] dikutip dari Thabari oleh Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal.91
[46] Abbas Mahmud al-Aqqad, Op,Cit, hal. 70
[47] Jeje Zaenudin, Op, Cit, hal. 100-101
[48] Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994), cet. I, hal. 474
[49] ibid, hal. 483
[50]Mengenai
penunjukkan Abu Musa Al Asy’ary sebagai juru runding pihak Ali. Satu
versi riwayat menuturkan bahwa Asy’ats bin Qais dan penduduk Yaman yang
mengusulkan agar Abu Musa menjadi juru runding dari pihak Ali. Sedang
Ali sendiri ingin mengutus Ibnu Abbas atau Al Asytar. Versi lain
menuturkan bahwa Abu Musa adalah pilihan Ali sendiri karena ia adalah
orang yang benar-benar netral serta menjauhkan diri dari kedua kubu yang
berseteru. Jika mengingat kedudukan Abu Musa sebagai salah seorang
sahabat Nabi yang terhormat dan Nabi sendiri memberi kepercayaan menjadi
utusannya ke Yaman bersama Muadz bin Jabal dan Ali, demikian pula
kepercayaan Utsman kepadanya dengan mengangkatnya sebagai gubernur Irak
adalah pantas jika Ali sendiri yang memilihnya. Lagi pula Asy’asy
dikemudian hari menjadi tokoh Khawarij yang amat menentang adanya tahkim
antara Ali dengan Muawiyah, sangat kecil kemungkinan ia ikut menunjuk
juru bicara. (Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 103)
[51] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 101
[52] ibid, hal.
104. kalau kita perhatikan, pemaparan para ahli sejarah tentang
perundingan antara Abu Musa dan Amr bin Ash adalah masalah
kekhalifahan. Peneliti Muhibbuddin Al Khathib meragukan materi tahkim
seperti itu. Sebab tidak ada kewenangan kedua utusan itu untuk
menghentikan Ali dari kekhalifahan yang sudah dibaiat oleh musyawarah
pembesar sahabat di Madinah. Sedang Muawiyah sendiri tidak berkedudukan
sebagai Khalifah sehingga tidak patut dan tidak perlu diturunkan.
Kalaupun ia masih berkuasa di Syam itu adalah kekuasaan yang bersifat de facto sebab secara de jure
ia telah berakhir dengan berakhirnya pemerintahan Utsman yang
mengangkatnya dulu dan Ali sendiri dalam kapasitas sebagai Khalifah
telah memecatnya dari jabatannya. Maka yang logis, materi perundingan
semestinya tidak keluar dari pemecahan masalah yang disengketakan ini.
Maka cukup mengherankan jika materi tahkim bergeser menjadi pembicaraan
sekitar masalah keabsahan kekhalifahan Ali. Ini sebenarnya tidak menutup
kemungkinan bahwa memang terjadi penyimpangan materi tahkim dari
persoalan semula menjadi persoalan ke absahan kekhalifahan Ali.
Sebagaimana tercatat pula keberatan atau penolakkan pihak Muawiyah dan
penduduk Syam atas naskah perjanjian yang mencantumkan kata “Amirul
Mukminin” (pemimpin kaum mukmin) dibelakang nama Ali pada hari
kesepakatan 13 Shafar. Mereka meminta kata-kata itu dihapus dan diganti
dengan kata, “Ali putra Abi Thalib” untuk mensejajarkan dengan “Muawiyah
putra Abu Sofyan”
[53] Harun Nasution, Op,Cit, hal. 8 dan 13
[54] Jeje Zaenudin, Op.Cit, hal. 107
[55] ibid, hal. 108
[56] Qs. Al-Ahzab: 21
[57] lihat Qs. Al-Nisa: 35
[58] Jeze Zaenudin, Op,Cit, hal. 142-144
Semoga bermanfaat
Semoga bermanfaat
keadaan sekarang lebih kacau lagi... umat islam terpecah belah menjadi beberapa negara, ormas, kelompok, dll yang kadang saling serang satu sama lain saling mengkafirkan satu sama lain dan mengklaim dirinya lah sang "ahlu sunnah wal jama'ah"
ReplyDelete